01 December 2008

UGM, Pembiayaan Pendidikan, dan Beasiswa: Antara Idealita dan Realita

Sejak ditetapkannya UGM sebagai PT BHMN melalui PP 153 tahun 2000, pembiayaan di UGM menjadi semakin rumit dan memberatkan. Rumit dalam arti bahwa UGM praktis tidak lagi mendapatkan alokasi anggaran dari pemerintah yang pada masa-masa sebelumnya digunakan dan ‘diandalkan’ sebagai sumber dana untuk membiayai seluruh proses penyelenggaraan pendidikannya. Kalaupun pemerintah masih memberikan subsidi, jumlahnya telah jauh berkurang, bahkan sedikit demi sedikit dihapuskan sama sekali. Dengan demikian, UGM dipaksa untuk ‘berkreasi’ dan ‘berinovasi’ dalam rangka menambah pundi-pundi perolehan pendanaan bagi penyelenggaraan pendidikannya.


Adapun ungkapan memberatkan dimaksudkan sebagai ekses negatif penetapan PT BHMN oleh pemerintah di atas terhadap mahasiswa. Kenapa? Karena perubahan status UGM tersebut telah mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan di UGM, dan ternyata mau tidak mau UGM harus membebankan mahalnya biaya pendidikan itu kepada para mahasiswa. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kritik dan protes dari banyak kalangan, baik masyarakat, akademisi, dosen, dan bahkan mahasiswa sendiri.

Beasiswa di UGM yang jumlahnya sangat banyak dan bervariasi juga mengundang berbagai kritik, karena dalam prakteknya masih jauh dari ideal. Beasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa kurang mampu ternyata semakin berkurang ‘jatahnya’. SPMA misalnya, awalnya berupa pembebasan SPMA (SPMA 0) kemudian menjadi beasiswa 1000 SPMA. Beasiswa-beasiswa lain juga banyak mengundang kritik, seperti beasiswa BOP yang seharusnya diperuntukkan bagi setiap mahasiswa yang kurang mampu ternyata kemudian berubah menjadi beasiswa ‘prestasi’, karena mensyaratkan juga jumlah IP minimal dengan standar tinggi. Selain itu, kelambanan birokrasi juga menjadi sorotan mahasiswa karena seringkali membuat beasiswa telat dalam pengumuman penetapan penerimanya.

Tidak adanya transparansi dalam pengelolaan biaya pendidikan di UGM juga menimbulkan kecurigaan di benak banyak kalangan, karena UGM yang seharusnya mampu menerapkan prinsip good university governance ternyata masih belum menunjukkan niat baiknya untuk melaksanakan transparansi keuangan sebagai salah satu manifestasi dari prinsip good university governance tersebut. Belum lagi dengan tuntutan transparansi kebijakan. Dalam sebuah tata pemerintahan yang baik, sang pemegang kebijakan harusnya mampu memberikan kebijakan yang transparan. Transparan dalam arti siap untuk dikritisi, dibenahi, dan bila perlu diganti apabila kebijakan tersebut tidak sesuai dengan aspirasi stakeholders. Dalam kenyataannya, UGM masih menutup diri terhadap kritik, bersikap arogan, tidak mau dipersalahkan. Usulan dari berbagai pihak, khususnya mahasiswa, untuk tidak menaikkan SPMA dan menambah subsidi bagi mahasiswa yang tidak mampu ternyata tidak digubris dan hanya dianggap angin lalu.
Sungguh mengecewakan.

Kalau demikian yang terjadi, di manakah letak sisi kerakyatan dari UGM itu sendiri? Atau, dengan nada lain, masih pantaskah UGM menyandang gelar ‘kampus kerakyatan’ atau ‘kampus perjuangan’?

Tantangan Menuju Kampus Ideal: UGM dan Problem Masyarakat Indonesia Kontemporer

UGM Tempo Dulu

UGM, atau singkatan dari Universitas Gadjah Mada, merupakan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kelahirannya pun sungguh unik, berbeda dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lainnya di tanah air. Kenapa? Karena kelahirannya diprakarsai oleh banyak tokoh nasional dan intelektual tanah air saat itu, seperti Ki Hadjar Dewantara, Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Prof. Yohannes, Prof. Ir. Rooseno, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Budiarto, Prof. Sunaryo, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa UGM merupakan perguruan tinggi terkemuka, bersejarah, dan penuh perjuangan.


Kalau kita runut secara kronologis, sejarah berdirinya UGM sangatlah panjang dan penuh dinamika. Semua berawal dari sebuah pertemuan yang diadakan di Sekolah Menengah Tinggi (SMT, sekarang SMA Negeri III Padmanaba) Kotabaru pada 20 Januari 1946 (20 hari setelah ibukota pindah ke Yogyakarta). Agenda yang dibahas dalam pertemuan itu adalah kemungkinan untuk mendirikan Balai Perguruan Tinggi (Universiteit) di Yogyakarta. Yang menjadi promotornya adalah Mr. Budiarto, Ir. Marsito, Dr. Priyono, dan Mr. Sunaryo. Kenapa di Yogyakarta? Karena menurut Mr. Sunaryo, kalau kita ingin mendirikan universiteit, tempatnya tidaklah di Jakarta, karena Jakarta memiliki atmosfer internasional, sedangkan keinginan kita adalah mendirikan sebuah Universiteit Nasional.

Dalam pertemuan itu diputuskan untuk membentuk panitia yang bertugas merancang pendirian perguruan tinggi di Yogyakarta. Panitia terdiri dari 32 orang dengan ketua Ki Hadjar Dewantara, Penulis I Mr. Sunaryo, dan Penulis II Drs. Darmoseputro. Dan untuk lebih memudahkan kinerja, dalam kepanitiaan itu dibentuk lagi Panitia Kecil yang terdiri dari 11 orang.

Dalam setiap rapatnya, Panitia Kecil merundingkan berbagai hal terkait tujuan mereka untuk mendirikan Universitas Nasional. Putusan-putusannya kemudian diajukan dalam rapat-rapat Panitia Besar untuk mendapatkan persetujuan. Salah satu putusan akhirnya adalah digantinya kata “Universiteit” dengan “Balai Perguruan Tinggi”. Mr. Budiarto mengusulkan agar nama Balai Perguruan Tinggi ditambahi kata Gadjah Mada. Anggota panitia lain pun menyetujuinya. Dan berdirilah Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Februari 1946, di mana tanggal ini ditetapkan sebagai hari berdirinya. Peresmiannya dilaksanakan pada 3 Maret 1946 di Gedung KNI Jalan Malioboro (sekarang Gedung DPRD). Kuliah pertama dilaksanakan pada 18 Maret 1946. Faculteit yang ada waktu itu adalah Faculteit Hukum dan Faculteit Kesusasteraan.

Seiring berjalannya waktu, dan setelah mengalami berbagai dinamika zaman, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 1949 tertanggal 16 Desember 1949 yang berisi tentang penggabungan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Preklinis, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Klinis, Fakultas Farmasi dan Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Gigi dan Kedokteran Hewan, Akademi Ilmu Politik, dan Balai Pendidikan Ahli Hukum menjadi sebuah universitas yang bernama Universitas Gadjah Mada. Peresmiannya dilaksanakan pada 19 Desember 1949, di mana tanggal ini menjadi tonggak pertama kali berdirinya Perguruan Tinggi Nasional di negara Republik Indonesia.

Dari rangkaian sejarah berdirinya UGM di atas kita dapat melihat bahwa UGM merupakan universitas perjuangan dan universitas kerakyatan, karena para pendiri, dosen, dan mahasiswanya ketika itu adalah juga para pejuang kemerdekaan Indonesia. Bung Karno sendiri pernah berkata ketika meresmikan Gedung Pusat UGM di Bulaksumur: “…saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat, thus, sebenarnya milik rakyat, dan untuk rakyat”. (Soekarno, 1959, dalam Mubyarto, 2005: 4, dalam Santoso, 2008: 7).

UGM Kini: Sebuah Metamorfosis

Pada tahun 2000, UGM ditetapkan sebagai PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) berdasarkan PP 153 tahun 2000 (tentang PT BHMN). Sejak saat itulah biaya pendidikan di UGM menjadi semakin mahal, karena subsidi dari pemerintah semakin berkuang, sehingga UGM ‘terpaksa’ harus membebankan biaya pendidikan itu kepada mahasiswa. Sehingga komponen biaya pendidikan di UGM yang awalnya hanya terdiri dari SPP dan sumbangan POTMA (Persatuan Orang Tua Mahasiswa) yang tidak bersifat mengikat dengan total biaya sekitar Rp. 500.000,00, kemudian terdapat kenaikan biaya pada tahun 2002 dengan ditetapkannya tambahan komponen biaya pendidikan mahasiswa berupa Satuan Kredit Semester (SKS) sebesar Rp. 35.000,00 tiap SKS. Meskipun demikian, masih ada beberapa fakultas yang menggunakan sistem paket dengan biaya per semester sebesar Rp. 750.000,00 berapapun SKS yang ditempuh atau diambil.
Kemudian pada tahun 2003 mulai ditetapkan adanya kewajiban membayar Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bervariasi mulai dari Rp. 0,00, Rp. 5.000.000,00, hingga ratusan juta rupiah. Pada tahun 2004 ditetapkan BOP Variabel per-SKS bagi seluruh fakultas; untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00, dengan ketentuan bahwa biaya yang dibayarkan disesuaikan dengan jumlah SKS yang diambil apabila di bawah 18 SKS, sedangkan apabila SKS yang diambil di atas 18 SKS, maka biaya yang dibayarkan sama dengan biaya 18 SKS. Kemudian pada tahun 2006 BOP Variabel diganti dengan BOP Full Variabel yang berlaku hingga sekarang, yaitu untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00 per SKS, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00 per SKS.

Komponen biaya SPMA pun setiap tahun mengalami kenaikan. Pada awal tahun 2003 mahasiswa masih bisa memilih Rp. 0,00 SPMA, namun pada tahun berikutnya Rp. 0,00 SPMA ini berubah menjadi tanda bintang (*). Hal ini membuat mahasiswa berpikir seribu kali untuk masuk UGM karena kesulitan untuk membayar biaya masuk UGM yang melambung tinggi. Bahkan pada tahun 2007 pilihan Rp. 0,00 SPMA (*) ditiadakan dan diganti dengan beasiswa 1000 SPMA yang memiliki kuota 1000 mahasiswa.
Perubahan status UGM dan kenaikan biaya pendidikan di atas menimbulkan banyak kritik dan sindiran dari banyak kalangan. UGM yang seharusnya mampu memberikan akses pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat ternyata semakin tidak peduli dengan aksesibilitas rakyat menengah ke bawah. Negara pun tidak lepas dari kritik, karena dianggap telah menelantarkan masa depan anak bangsa dengan melepaskan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk memberikan hak pendidikan dan pengajaran kepada setiap warga negaranya.

Masyarakat Indonesia Kontemporer

Sejak bergulirnya reformasi, kita bangsa Indonesia mulai merasakan apa yang disebut dengan demokrasi, setelah kurang lebih 32 tahun dikungkung oleh represi Orde Baru. Kita pun dihadapkan dengan globalisasi, sebuah era di mana batas-batas antar negara semakin kabur, dan kompetisi antar bangsa semakin besar. Rakyat Indonesia dituntut untuk mampu bersaing dengan rakyat di negara lain di segala bidang. Keahlian dan kemampuan dalam bekerja harus diramu dengan baik agar mampu menjadi modal bagi masa depan, sehingga tidak ketinggalan zaman dan kalah bersaing.

Era globalisasi yang bagi sebagian orang dianggap sebagai keniscayaan dan bahkan merupakan hal yang positif ternyata menimbulkan berbagai problem di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya jurang kemiskinan, kerusakan ekosistem yang semakin parah, semakin hilangnya tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, pengikisan terhadap budaya lokal, dan sebagainya.

Selain permasalahan-permasalahan yang merupakan efek globalisasi, bangsa Indonesia juga dihadapkan dengan problem-problem lainnya, seperti tingginya tingkat korupsi, rendahnya jiwa kepemimpinan para elit politik, interaksi antar agama yang rawan konflik, otonomi daerah, tingkat pendidikan yang masih jauh dari ideal, dan sebagainya.

Begitu banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini dan harus segera dicarikan solusi terbaiknya. Kita sudah 63 tahun merdeka, namun belum juga menikmati kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Kita hanya merdeka dalam arti fisik, yaitu merdeka dari penjajahan fisik. Sedangkan sejak kemerdekaan fisik hingga sekarang, kita masih belum mampu menjadi bangsa yang sejahtera, adil, damai, dan makmur. Padahal, negara kita kaya akan sumber daya alam, memiliki sumber daya manusia yang banyak, memiliki kekayaan tradisi, adat, budaya, dan agama yang beraneka ragam.

UGM dan Idealitas Pendidikan

UGM sebagai universitas perjuangan dan universitas kerakyatan sudah tentu harus memiliki idealisme tinggi. Idealisme tinggi itu sebenarnya sudah tertanam dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Kalau kita cermati, ketiga dharma itu sudah sesuai dengan cita-cita, tujuan, dan idealisme pendidikan. Paulo Freire, seorang pendidik asal Brasil, mengemukakan bahwa pendidikan haruslah bertujuan untuk memanusiakan manusia dan membebaskannya dari belenggu kebodohan. Atau kalau diringkas menjadi prinsip humanisasi (memanusiakan) dan liberasi (membebaskan).

Menurut Paulo Freire, dalam proses pendidikan, seorang murid haruslah dipandang sebagai seorang manusia utuh dengan segala potensi positif dan kekayaan pengalamannya, bukan sebagai orang bisu, bodoh, dan karenanya harus ‘diisi’ dengan hal-hal yang benar menurut sang guru. Kenapa? Karena kalau kita berpikir bahwa guru tahu segalanya dan murid bodoh sama sekali, maka itu berarti kita tidak menganggap mereka sebagai manusia secara historis. Justru dari pengalaman serta kondisi yang mereka alami itulah seharusnya kita mencari, meneliti, dan memberikan sesuatu yang sifatnya membebaskan dan memanusiakan untuk kelangsungan masa depan mereka. Membebaskan dalam arti bahwa setelah mendapatkan pendidikan dan pengajaran mereka mampu tampil sebagai manusia yang memiliki pemikiran kritis, sadar akan potensi dan kekuatan dirinya, serta mampu melakukan inovasi dan transoformasi sosial bagi diri mereka sendiri dan masyarakat sekitarnya. Memanusiakan dalam arti bahwa mereka memiliki rasa kemanusiaan, kepedulian terhadap sesama, solidaritas sosial, toleransi, dan bermoral.

Pendidikan harus dimaknai sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial, dan oleh karenanya harus memiliki perspektif tertentu, yaitu perspektif kritis-transformatif. Jangan sampai pendidikan itu justru membuat murid terasing dari realitas, apatis terhadap problem masyarakat di sekitarnya, bahkan berjiwa borjuis dan menjadi penindas bagi sesamanya. Kalau demikian yang terjadi, itu berarti pendidikan kehilangan ruhnya dan menyeleweng dari hakikat dan tujuannya yang sebenarnya.

Lalu, bagaimanakah halnya dengan kurikulum pendidikan di UGM? Apakah ia memiliki relevansi dengan problem masyarakat Indonesia kontemporer? Apakah ia memiliki perspektif kritis-transformastif sebagai hakikat dan tujuan pendidikan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita jawab dengan melihat kenyataan di lapangan.

Sejauh pengamatan penulis, kurikulum yang diajarkan di UGM belum mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi penyelesaian problem yang dihadapi oleh masyarakat. UGM lebih sibuk menciptakan sarjana-sarjana pengangguran yang jauh dari realitas masyarakat, tidak memiliki kepedulian sosial, dan bahkan bersikap layaknya kaum borjuis terhadap sesamanya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari proses pendidikan dan sistem pendidikan yang diterapkan di UGM. UGM telah memiliki segudang filosofi luhur, sejarah panjang yang heroik, serta visi dan misi yang jauh ke depan. Namun dalam kenyataannya ketiga modal tersebut belum mampu diterjemahkan ke dalam praksis yang benar-benar integral dan ideal.

Di lapangan kita dapat melihat bagaimana pengajaran di kelas-kelas ternyata masih terbatas pada diskusi-diskusi yang melangit dan jauh dari realitas sosial. Kalaupun membahas kondisi sosial yang ada, hal itu masih bersifat teoritis dan abstrak, belum mampu memberikan sebuah solusi konkret yang kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan nyata. Penelitian-penelitian yang dilakukan baik oleh mahasiswa maupun dosen belum benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang membutuhkan, karena penelitian-penelitian itu jarang sekali yang berakar dan bersumber langsung dari problem yang dihadapi oleh masyarakat di lapangan. Padahal kalau memang kita memiliki perspektif kritis-transformatif, maka penelitian kita seharusnya berangkat dari problem yang ada dan harus segera dicarikan penyelesaiannya. Kalaupun penelitian itu berasal dari problem masyarakat, hasilnya pun tidak kemudian diarahkan untuk menjadi semacam solusi yang nantinya dapat dilaksanakan oleh masyarakat yang menghadapi dan mengalami problem itu sesuai dengan kemampuan mereka dan mungkin juga dengan bantuan pihak lain. Seringkali hasil penelitian itu hanya menjadi arsip dan dokumen yang ‘dimuseumkan’ oleh para penelitinya tanpa disosialisasikan dan didiskusikan kepada dan bersama masyarakat.

KKN yang menjadi program pengabdian mahasiswa kepada masyarakat pun belum mampu memberikan manfaat yang benar-benar terasa bagi masyarakat, karena program itu hanya bersifat insidental dan bahkan seremonial, bukan suatu program yang kontinyu dan konsisten. Program itu juga tidak berangkat dari kebutuhan masyarakat yang dikemukakan oleh masyarakat sendiri, namun berasal dari apa yang dipikirkan oleh mahasiswa dan dosen. Padahal, belum tentu apa yang mereka pikirkan sama dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat yang menjadi subyek KKN.

Dari uraian di atas, maka menjadi tantangan bagi kita semua untuk kembali merumuskan kurikulum dan orientasi pendidikan di UGM demi terwujudnya cita-cita UGM sebagai universitas perjuangan dan kerakyatan di tengah ambisi untuk mewujudkan cita-cita research universituy

Daftar Pustaka:

Rahardjo, Toto, et, al., (eds). 2001. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santoso, Heri. 2008. Filosofi UGM. Yogyakarta: Senat Akademik bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila.
Saputri, Intan Yanuar. 2008. Mengenal Advokasi (artikel bahan diskusi internal Departemen Advokasi LMPsi). Yogyakarta.
Sutaryo dan Suratman Woro. 2008. Sejarah Lahirnya Universitas Perjuangan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Senat Akademik.
William K. Tabb. 2006. Tabir Politik Globalisasi (terjemahan). Yogyakarta: Lafadl Pustaka.