30 March 2008

Ali Syari’ati, Islam, dan Indonesia: Sebuah Analisis

Pada tanggal 11 Februari 1979, semua mata masyarakat dunia tersedot pada sebuah pemandangan di Iran yang sangat menakutkan, namun sekaligus menakjubkan. Kenapa? Karena pada hari itu terjadi sebuah peristiwa yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka, di mana mereka melihat berjuta-juta orang melakukan aksi turun ke jalan menentang sebuah rezim yang mereka anggap sebagai tirani yang kejam, tidak manusiawi, dan telah membuat mereka tercerabut atau terasing (alienated) dari akar kebudayaan mereka. Peristiwa yang telah mencengangkan dunia internasional tersebut adalah revolusi Islam yang terjadi di Iran. Bahkan seorang pemikir Marxis yang terkenal seperti Fred Halliday pun mengomentari bahwa sebenarnya revolusi sebagaimana yang terjadi di Iran itulah yang sebenarnya diimpikan oleh Karl Marx dan Engels, di mana ia melibatkan seluruh komponen rakyat Iran, bukan seperti yang terjadi pada revolusi-revolusi di Rusia, Cina, Kuba, dan beberapa negara lainnya yang hanya melibatkan sekelompok kecil dari komponen masyarakat dengan dukungan dan koordinasi dari segelintir elit pimpinan kelompok komunis, sehingga dapat dimaklumi bahwa sebenarnya seluruh kaum Marxis di dunia merasa iri dengan apa yang telah terjadi di Iran.

Sebagaimana halnya yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa besar, revolusi Islam yang terjadi di Iran juga menyimpan sebuah pertanyaan. Bagaimana mungkin orang-orang yang berada di suatu negara yang tingkat pendidikan dan ekonominya belum begitu maju, walaupun memiliki potensi kekayaaan sumber daya minyak yang tinggi, dapat menjadi sangat revolusioner dan radikal? Faktor apakah yang menyebabkan hal tersebut? Kekuatan apakah yang berada di balik peristiwa itu? Ataukah mungkin ada aktor-aktor tertentu yang mempunyai andil besar dalam mengubah mindset mereka? Kalau iya, siapa sajakah mereka?
Mungkin masih banyak di antara kita yang belum akrab atau bahkan belum pernah mendengar nama Ali Syari’ati, seorang tokoh revolusioner yang mempunyai peran sangat besar, khususnya secara intelektual, dalam tercapainya revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, di samping tokoh-tokoh lainnya seperti Imam Khomeini, Muhammad Khatami, dan Ali Mossadeq.

Ali Syari’ati: Biografi Singkat
Ali Syari’ati lahir pada tanggal 24 November 1933 dengan nama asli Muhammad Ali Mazinani. Ia adalah putra sulung dari pasangan Sayyid Muhammad Taqi’ Syariati dan putri Zahrah. Ia tumbuh dan dibesarkan di sebuah desa dekat Masyhad di timur laut Khurasan, Iran. Keluarganya cukup disegani di kalangan masyarakat, terutama karena ayahnya yang terkenal sebagai seorang guru dan mujahid besar, pendiri Markaz Nasyr al-Haqa’iq al-Islamiyyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-Kebenaran Islam) di Masyhad dan sekaligus merupakan salah satu putra dari tokoh pergerakan pemikiran Islam di Iran. Dan melalui peran sang ayah inilah kelak Syari’ati menemukan jalan ke arah jati diri dan identitasnya sebagai seorang intelektual Islam, di samping peran tokoh-tokoh lainnya seperti kakek-kakeknya, khususnya Akhund Hakim, kakek dari ayahnya, dan juga paman ayahnya yang merupakan murid dari pemikir terkemuka dan sastrawan, Adib Nisyapuri.
Ali Syari’ati kecil terkenal sangat pendiam, kurang bisa bergaul, suka menyendiri, tidak mau diatur, namun sangat rajin membaca dan belajar. Ia lebih suka berada di kamar ayahnya membaca buku-buku milik ayahnya dengan ditemani olehnya hingga menjelang pagi daripada mempelajari buku-buku pelajaran sekolah atau bermain di luar rumah. Namun demikian, sebagaimana anak-anak lainnya, ia selalu naik kelas di sekolahnya.
Saat menginjak usia remaja, tepatnya pada tahun pertama di sekolah menengah atas, Syari’ati sudah mulai menyukai bidang filsafat dan mistisisme. Salah satu filosof yang mempengaruhi ketertarikannya terhadap filsafat adalah Maeterlinck yang membuatnya terkesan dengan pertanyaannya yang menggelitik: “Bila kita meniup mati sebatang lilin, ke manakah perginya nyala lilin itu?”
Saat memasuki usia dewasa, Syari’ati sangat aktif di dalam berbagai gerkan dan organisasi sosial dan politik. Pada sekitar usia 17-18 tahun ia menjadi mahasiswa di lembaga pendidikan Primary Teacher’s Training College (Kampus Pendidikan Guru Primer). Pada usia 20-an ia mulai menyadari kondisi sosial dan politik bangsanya yang mengalami penindasan oleh penguasa. Dan hal inilah yang kemudian membuat ia aktif melakukan perlawanan melalui pidato, tulisan dan gerakan. Setelah menginjak usia 23 tahun, ia masuk Fakultas Sastra di Universitas Masyhad. Di sini ia bergabung dengan kelompok pro-Mosadeq, oposisi rezim penguasa, dan Gerakan perlawanan Nasional atau NRM (National Revolution Movement) cabang Masyhad. Pada usia 25 tahun ia menikah dengan seorang putri dari Haji Ali Akbar yang bernama Pouran-e Syari’ati Razavi.
Setelah lulus dari Universitas Masyhad, Syari’ati mendapat beasiswa studi ke Universitas Sorbonne, Paris. Di sinilah ia menemukan kebebasan dalam pergulatan intelektual yang intens dan mendalam dengan berbagai aliran pemikiran yang belum pernah ditemuinya di Iran. Ia mulai mengenal tokoh-tokoh dunia, para filosof, sosiolog, islamolog, serta para penulis terkenal seperti Albert Camus, Henry Bergson, Jean Paul Sartre, Frantz Fanon, dan Louis Massignon. Ia juga mengkaji secara kritis pandangan-pandangan Karl Marx dan mengkorelasikannya dengan kondisi dunia ketiga, khususnya negaranya, Iran. Ia saat itu sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Frantz Fanon, seorang cendekiawan Aljazair asal Martinique yang aktif mendukung revolusi Aljazair kala itu, yang kemudian mengilhaminya untuk menerapkan pemikiran-pemikiran revolusionernya di negaranya, Iran. Salah satu buku yang sangat terkenal darinya dan disebarluaskan oleh Syari’ati adalah The Wretched of The Earth (Yang Terkutuk di Bumi). Selama di Paris ia bersama kawan-kawan seperjuangannya menyebarkan ide-ide revolusioner dan progresif untuk mengabarkan apa yang terjadi di Iran kepada warga dunia, khususnya Eropa.
Pada bulan September 1964, Ali Syari’ati dan keluarganya kembali ke Iran. Ia berniat untuk ikut berjuang secara penuh bersama para pejuang lainnya untuk kemerdekaan Iran dari rezim Syah yang lalim. Ia rela keluar-masuk penjara demi menyebarkan ide-ide revolusionernya tentang kebebasan dan kemerekaan kepada rakyat Iran, khususnya kalangan terdidik, yaitu kaum mahasiswa dan akademisi, dengan harapan bahwa mereka mampu menjadi ujung tombak dalam pergerakan anti-penjajahan oleh rezim yang totaliter. Ia berpidato di Universitas Masyhad dan di Institut Husyainiyah Irsyad mengenai arti dan pentingnya ideologi Islam radikal dan gerakan politik, dan karena kemampuannya dalam mempengaruhi massa yang sangat baik itulah ia seringkali menjadi sasaran penangkapan aparat keamanan rezim Syah.
Kemudian pada bulan Mei 1977, Syari’ati hijrah ke Inggris dengan harapan dapat menuangkan idenya secara luas. Akan tetapi, sebulan setelah itu, tepatnya pada tanggal 19 Juni 1977, ia meninggal secara misterius di rumah kerabatnya di Inggris. Ia dimakamkan di Damaskus, Syiria, di dekat kuburan Sayyidah Zainab, saudari Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Islam Revolusioner: Sebuah Gagasan
Salah satu ide Ali Syari’ati yang sangat terkenal dan mempengaruhi berbagai kalangan pemikir di dunia Islam adalah idenya tentang sifat revolusioner dari agama Islam. Ia memandang bahwa sesungguhnya Islam adalah agama perlawanan, agama kiri, agama rakyat tertindas, dan oleh karena itu ia harus dipahami sebagai sebuah gerakan dan semangat pembebasan secara keseluruhan, baik dari penindasan politik, ekonomi, agama, sosial, maupun yang lainnya.
Pemikiran di atas lahir karena didasari oleh ajaran tauhid, yang intinya adalah pernyataan pengakuan akan satu-satunya dzat yang patut disembah dan dipatuhi, yaitu Allah SWT, dan penyangkalan terhadap selain-Nya, seperti rezim yang totaliter, penghambaan terhadap harta kekayaan, kectentangan dengan ajaran itu adalah adanya penindasan di Iran, kata Syari’atiintaan terhadap keluarga yang berlebihan, dan sebagainya. Ketika kita sudah mengikrarkan tauhid, maka harus menentang segala hal yang bertentangan dengan ajaran tauhid dan ajaran yang datang dari Allah serta Rasul-Nya, dan salah satu hal yang ber. Oleh karena itu, menurutnya, seluruh umat Islam di Iran harus ikut bergerak dan bangkit bersama melawan hegemoni rezim Syah yang tidak adil dan lalim kala itu, karena hal itu bertentangan dengan prinsip ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin. Ia sangat menekankan perlunya pemahaman dan keyakinan tauhid yang mendalam sebagai simbol pembebasan manusia.
Ali Syari’ati menekankan pentingnya Islam sebagai sebuah ideologi, dan karakter dari ideologi Islam di sini ialah sifatnya yang anti-status quo dan pro-perubahan. Menurutnya, ideologi Islam harus termanifestasikan dalam amanat yang ia emban untuk membangkitkan dan membebaskan kaum yang menderita, bodoh, dan tertindas, agar bangun dan menuntut hak-haknya secara tegas. Tujuan utama dari seluruh pemikiran yang diperjuangkan oleh Syari’ati bermuara pada cita-cita bagi terwujudnya Islam sebagai agama pembaharuan yang progresif dan revolusioner. Oleh karena itu, diperlukan suatu penafsiran kembali terhadap ajaran Islam secara radikal agar tidak hanya berkutat pada permasalahan ritual individual saja, tetapi secara lebih luas harus juga menyentuh permasalahan yang dihadapi masyarakat seluruhnya, terutama yang berkaitan dengan hak-hak politik dan ekonomi.
Dalam upaya menggerakkan masyarakat yang tertindas untuk merebut hak-haknya yang terampas, Ali Syari’ati berpandangan bahwa diperlukan adanya golongan atau kelompok yang membimbing dan memimpin mereka dalam mengambil langkah-langkah strategis bagi tercapainya tujuan mereka. Dan kelompok ini haruslah terdiri dari orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi dengan pemhaman yang komprehensif terhadap ideologi yang menjadi landasan gerakannya. Dengan begitu, segala langkah yang akan ditempuhnya mempunyai pijakan yang pasti dan arah yang jelas. Orang yang mempunyai keyakinan ideologi yang kuat akan mampu berbuat secara total untuk memperjuangkan cita-citanya. Syari’ati menyebut kelompok ini dengan sebutan rausyanfikr, pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Merekalah yang akan memimpin masyarakat menuju revolusi.
Menurut Ali Syari’ati, ideologi komunisme yang berkembang dan dipahami oleh orang-orang saat itu kurang sesuai apabila diterapkan secara ‘mentah’ di Iran. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan yang nyata antara kondisi sosial, kultural, dan politik di negara-negara komunis dengan negara Iran. Bangsa Iran merupakan bangsa yang religius, terutama mayoritas dari mereka beragama Islam, sedangkan ideologi komunisme berwatak atheis, menekankan pertentangan kelas, dan terlalu mementingkan aspek materi. Oleh karena itu, perlu adanya ‘penyesuaian’ yang tepat antara komunisme dengan ideologi Islam yang diyakini oleh rakyat Iran. Di dalam Islam tidak dikenal istilah pertentangan kelas, karena justru ia bertujuan menghilangkannya dengan konsep taqwa. Selain itu, Islam juga melarang umatnya melakukan pemujaan terhadap harta benda, karena harta benda hanyalah sarana untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya di akhirat. Dan khusus untuk rakyat Iran, Syari’ati berpendapat bahwa mereka perlu kembali kepada semangat Islam Syi’ah yang selama ini mereka miliki dengan menggugah kembali akar-akar revolusioner dari ajaran-ajarannya. Ia berpandangan demikian karena Islam, khususnya Islam Syi’ah, masih mendominasi budaya, tradisi, dan identitas rakyat Iran. Ia meyakinkan seluruh rakyat Iran bahwa kebutuhan yang paling mendasar mereka saat itu adalah sebuah gerakan revolusioner yang didasarkan pada ajaran Islam yang mereka yakini yang bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat intelektual mereka dan mewujudkan kebangkitan Islam. Ini semua berawal dari sebuah pemahaman bahwa Islam adalah agama revolusioner, agama perlawanan.

Islam Indonesia: Revolusioner?
Rakyat Iran telah mengalami sendiri masa-masa sulit dalam menghadapi kekuatan penguasa yang menindas dan despotis, dan mereka berhasil membuktikan dengan baik bahwa mereka mampu bangkit melawan segala penindasan dan kedzaliman yang mereka hadapi. Mereka telah membuktikan bahwa kekuatan revolusioner Islam benar-benar ada, apabila hal itu ada dalam keyakinan kita. Dan meskipun Ali Syari’ati tidak sempat menyaksikan secara langsung peristiwa revolusi Islam di Iran yang sangat bersejarah dan inspiratif itu, kita semua pasti setuju bahwa ia sebenarnya sangat berbahagia karena usahanya yang penuh dedikasi dan pantang menyerah selama hidupnya tidaklah sia-sia. Mungkin di dalam kuburnya ia tidak henti-hentinya mengucapkan syukur dan bersujud kepada Allah dengan diiringi tangis bahagia.
Bagaimana halnya dengan Islam di Indonesia?

Einstein, Nuklir, dan Masa Depan Peradaban Dunia

Albert Einstein adalah seorang ilmuwan yang sangat disegani di dunia internasional. Dalam dunia fisika, ia dikenal sebagai seorang revolusioner sejati. Kenapa? Karena teorinya, yaitu teori relativitas umum dan relativitas khusus, telah menjungkirbalikkan secara revolusioner seluruh pemikiran ilmiah tentang konsep ruang dan waktu absolut yang telah diyakini oleh para ilmuwan sebelumnya. Namun, dengan ditemukannya teori tersebut, maka runtuhlah seluruh pemikiran ilmiah yang mengatakan bahwa waktu di dunia ini adalah bersifat absolut. Einstein, melalui teorinya, menyatakan dan membuktikan dengan sangat baik bahwa sebenarnya waktu di dunia ini bersifat relatif, tergantung dari mana posisi 'pengamat' dan siapa 'pengamat' itu. Relativitas dalam pengamatan ini dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor, yaitu faktor psikologis, faktor fisiologis, dan faktor fisis. Yang dimaksud dengan faktor psikologis adalah bahwa kondisi psikologis seseorang akan turut mempengaruhi cara dia mengamati sebuah obyek, dan tentunya hal ini juga akan ikut mempengaruhi hasil atau kesimpulan yang diambil olehnya. Misalnya, pada saat kita sedang dalam keadaan mengantuk dan hampir-hampir tidak sadar di dalam kereta yang berhenti, kemudian di samping kereta kita terdapat sebuah kereta lain yang bergerak maju berlawanan dengan arah badan kita, maka kita akan merasa seolah-olah kereta yang sedang kita tumpangi bergerak menjauhi kereta yang ada di samping kita.

Kemudian faktor fisiologis. Faktor ini sebenarnya berkaitan dengan faktor yang pertama di atas. Pada contoh di atas, dalam keadaan mengantuk dan hampir tidak sadar (faktor fisiologis), pikiran dan perasaan kita tidak akan berada dalam kondisi 'fit', sehingga hal ini mempengaruhi pengamatan kita dan hasilnya. Kondisi fisik kita pada saat melakukan pengamatan juga sangat mempengaruhi proses dan tentu saja hasil yang diperoleh darinya. Dan yang ketiga adalah faktor jarak atau posisi. Yang dimaksudkan dengan faktor posisi adalah letak atau posisi pengamat dan obyek pengamatan pada saat dilakukan pengamatan. Misalnya, pada contoh di atas, ketika kita melakukan pengamatan terhadap kereta yang ada di samping kita, maka posisi dan jarak kita dengan kereta lain yang sedang kita amati juga akan mempengaruhi hasil pengamatan kita.
Itulah sedikit uraian tentang kecemerlangan dan kegeniusan seorang Albert Einstein. Dalam artikel ini penulis ingin memaparkan tentang kaitan antara teori dan pemikiran Einstein yang revolusioner di atas dengan salah satu kenyataan yang kita hadapi saat ini, yaitu nuklir.
Salah satu hasil dari tercetuskannya teori relativitas Einstein adalah lahirnya rumus E = mc2, yang mengemukakan bahwa benda dan energi berada dalam arti yang berimbangan. E menunjukkan energi, m menunjukkan massa benda, sedangkan c menunjukkan kecepatan cahaya. Karena c sama dengan 180.000 kilometer per detik, dan merupakan jumlah angka yang sangat besar, maka dapat dipastikan bahwa apabila c dikuadratkan menjadi c2, maka jumlahnya menjadi tak terhingga. Dengan demikian, perubahan sekecil apapun dari sebuah benda dapat mengeluarkan jumlah energi yang sangat luar biasa besarnya. Dan seperti telah diketahui oleh semua orang, rumus inilah yang kemudian melahirkan pemikiran yang memunculkan ide pembuatan energi atom yang sangat dahsyat, yang pernah menghancurkan dan meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Einstein merupakan seorang ilmuwan yang mencintai perdamaian dan kemanusiaan. Dan oleh karena itulah, ketika ia menyadari bahwa teorinya ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh segelintir orang, dan melihat sendiri dampak buruk yang diakibatkannya, ia merasa sangat bersalah dan kemudian gencara menyerukan perdamaian di seluruh dunia dan dengan begitu beraninya mengemukakan pandangan politiknya melawan kekejaman dan tirani, walaupun di sisi lain, mungkin karena pengalaman masa lalunya di masa Hitler dan ketidaktahuannya tentang seluk-beluk Zionisme, ia menjadi pendukung setia gerakan Zionisme yang kemudian melahirkan negara Israel.
Ide tentang pembuatan bom atom yang mengakibatkan hancurnya dua kota di Jepang itu ternyata belum mampu membuat seluruh umat manusia berpikir secara lebih mendalam dan berinstropeksi, menyadari kesalahan yang telah diperbuat untuk kemudian menciptakan sebuah tatanan dunia baru yang bebas dari ancaman kemusnahan dunia. Yang terjadi justru adalah pengembangan yang lebih jauh dari ide tersebut yang kemudian melahirkan energi yang lebih dahsyat dan lebih hebat dari energi atom, yaitu energi nuklir. Sebagaimana yang kita lihat saat ini, negara-negara maju, khususnya negara-negara adikuasa, semakin gencar melakukan pengembangan dan penelitian untuk meningkatkan energi nuklir tersebut menjadi bahan untuk pengembangan di bidang militer dan pertahanan, yang pada ujungnya melahirkan bom nuklir. Bahkan negara-negara dunia kedua dan ketiga juga tidak mau kalah dalam hal ini.
Bagi sebagian orang yang mendukung ide pengembangan teknologi nuklir, mereka beralasan bahwa ada hal-hal positif dari energi nuklir yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat, seperti pengembangan untuk tenaga listrik yang akan menghemat anggaran negara dan tingkat efisiensi dan keamanannya yang lebih besar. Namun bagi sebagian yang lain yang menolak ide pengembangan teknologi nuklir, mereka beralasan bahwa hal tersebut, walaupun dalam beberapa hal memiliki dampak yang positif, namun di sisi lain lebih banyak bahaya dan ancaman yang akan ditimbulkannya. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa apabila teknologi nuklir telah menjadi komoditas, maka ia akan cenderung dieksploitasi untuk kepentingan politik segelintir elit saja, khususnya di bidang militer dan pertahanan. Mungkin tujuan awalnya baik, yaitu untuk tenaga listrik, namun pada akhirnya hal tersebut akan berlanjut pada pengembangan yang lebih berbahaya seperti untuk bom nuklir. Hal ini dapat meningkatkan suhu perpolitikan internasional dan semakin mengancam perdamaian dunia, di samping efek-efek negatif yang ditimbulkannya, seperti terhadap peningkatan pemanasan global dan ancaman kerusakan ekosistem.
Kalau begitu, apakah langkah yang sebaiknya kita ambil dalam menyikapi pro dan kontra yang terjadi di atas? Menurut penulis, kita harus sadar akan besarnya potensi kerusakan dunia yang diakibatkan oleh bahaya pengembangan teknologi nuklir tersebut. Bukankah masih banyak potensi-potensi lainnya yang terdapat di dalam materi-materi di dunia seperti yang telah menghasilkan biogas itu? Marilah kita berinstropeksi dan berefleksi tentang masa depan peradaban dunia kita yang sedang terancam ini. Akankah kita, umat manusia, menghancurkan sendiri tempat tinggalnya?!

Saatnya Sektor Informal Diperhatikan

Negara kita, Indonesia, merupakan negara yang penuh dengan potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Namun, ternyata potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Malah yang terjadi adalah hal-hal negatif yang justru berakibat pada kerugian dan kerusakan yang menimpa diri kita sendiri, seperti KKN dan illegal logging.

Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan penyesuaian berbagai kebijakan ekonomi dalam negeri sebagai akibat dari ketidakpastian perekonomian di tingkat global. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian kita masih belum stabil dan kuat. Kondisi perekonomian kita masih mudah terguncang oleh ‘gonjang-ganjing’ perekonomian yang terjadi di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat. Padahal, apabila perekonomian kita kuat, maka gangguan-gangguan di tingkat dunia tersebut tentunya tidak terlalu mempengaruhi stabilitas perekonomian dalam negeri.
Selama ini banyak orang yang mengeluh, kenapa negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, hasil hutan, dan hasil laut tidak mampu menjadi negara yang makmur dan sejahtera? Padahal bila dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya seperti Jepang atau bahkan Amerika Serikat yang potensi sumber daya alamnya jauh di bawah Indonesia, maka potensi alam yang dimiliki Indonesia seharusnya dapat menjadikannya negara yang lebih makmur daripada kedua negara tersebut.
Apabila kita menengok kondisi riil perekonomian di Indonesia, maka dapat dikatakan wajar kalau negara ini belum mampu menahbiskan diri sebagai negara yang makmur dan sejahtera, karena kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilahirkan oleh pemerintah belum sepenuhnya memenuhi persyaratan untuk dapat menjadi negara dengan perekonomian yang kuat. Kenapa? Karena selama ini pemerintah lebih memilih untuk ‘mengekor’ dengan menerapkan kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian yang menyenangkan Bank Dunia dan IMF yang sebenarnya merupakan ‘budak’ dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, karena merekalah pemilik saham terbesar di dalam kedua lembaga keuangan internasional tersebut. Hal ini terlihat dari berbagai instrumen kebijakan ekonomi yang lebih condong kepada sisi makroekonomi dan lebih berpihak pada para pengusaha yang bermodal besar. Pemerintah belum berani membuat kebijakan yang benar-benar berpihak kepada rakyat kecil melalui berbagai instrumen kebijakan ekonomi yang mengutamakan sektor riil dan para pengusaha di tingkat bawah, khususnya yang berada di sektor informal. Padahal merekalah yang menjadi penyumbang terbesar devisa ekonomi negara selama ini, walaupun akhir-akhir ini mengalami penurunan. Bahkan pada saat perusahaan-perusahaan besar bangkrut akibat krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998, sektor informal justru mampu memainkan peran yang cukup signifikan dalam menopang perekonomian negara yang sedang ‘sekarat’ waktu itu.
Namun, justru yang menjadi pertanyaan adalah kenapa pemerintah selalu menegasikan dan bahkan terkesan ingin ‘memusnahkan’ sektor informal ini? Selama ini kita sudah sering melihat bagaimana pemerintah dengan begitu ‘antusias’ menggusur dan merazia PKL di berbagai daerah. Menurut penulis, sudah saatnya pemerintah sebagai otoritas pengambil kebijakan ekonomi memberikan apresiasi yang memadai terhadap peran mereka dalam mendorong pertumbuhan perekonomian negara dengan memerhatikan secara serius keberadaan sektor informal. Dan oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, menyiapkan instrumen kebijakan ekonomi yang berpihak pada sektor riil, terutama sektor informal. Kedua, mendorong perkembangan sektor riil melalui kebijakan anggaran. Ketiga, perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah, pihak swasta, dan sektor riil serta sektor informal dalam menumbuhkan perekonomian yang kuat di dalam negeri. Dan keempat, harus dilakukan pengawasan secara berkesinambungan terhadap perkembangan perekonomian di dalam sektor informal, untuk kemudian dilakukan evaluasi untuk perbaikan ke depannya. Diharapkan dengan menguatnya sektor informal ini perekonomian dalam negeri ini akan menjadi semakin kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh ‘guncangan-guncangan’ eksternal yang berdampak negatif terhadap stabilitas perekonomian dalam negeri. Wallahu a’lam.

24 March 2008

Filsafat dan Keseharian Kita

Dalam kegiatan sehari-hari yang kita lakukan, terdapat banyak sekali peristiwa yang bagi kita mungkin hanyalah sesuatu yang biasa dan tidak perlu dipikirkan secara mendalam, apalagi melalui penalaran yang ketat. Kita seringkali kurang atau bahkan tidak sadar bahwa apa yang kita pikirkan, apa yang kita lihat, apa yang kita bicarakan, dan apa yang kita lakukan setiap hari dan setiap saat sebenarnya – apabila kita mau dan dengan sadar menyadarinya – bukanlah sekedar peristiwa yang patut dilupakan begitu saja tanpa ada suatu penghayatan atau pemaknaan yang dilakukan secara sadar (consciously.

Ketika kita melakukan suatu aktivitas tertentu, maka sistem syaraf di dalam otak kita akan memprosesnya, mulai dari menerima, menyalurkan, mengolah, hingga meresponnya dengan cara tertentu yang disesuaikan dengan rangsangan atau aktivitas yang diterimanya sebagai rangsangan (stimulus). Ketika itu, sekecil apapun rangsangan yang diterima, ia akan turut mempengaruhi pola berpikir, berbicara, dan bertindak kita dalam kehidupan keseharian kita. Mungkin hal ini kelihatan tidak masuk akal atau bahkan mustahil, namun apabila kita mampu mengamati dan mencermati fenomena tersebut melalui pengamatan dan penelitian yang mendalam dan membandingkan hasilnya dengan efek yang ditimbulkannya dalam kenyataan sehari-hari, maka kita akan menemukan kebenaran atas pernyataan yang dikemukakan di atas. Dalam pengetahuan ilmiah hal ini berkaitan dengan bidang fisiologi dan psikologi.
Secara lebih jauh dapat penulis katakan bahwa kesadaran sangatlah penting bagi setiap orang dalam menghadapi setiap peristiwa dalam hidupnya. Kenapa? Karena tanpa adanya kesadaran dalam berpikir, berucap, bersikap, dan bertindak akan membuat diri kita menjadi seonggok daging yang dipenuhi dengan insting hewani saja. Perhatikanlah hewan, bagaimana ia berperilaku dalam hidupnya yang hanya didorong dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis-instingtifnya. Apakah kita, manusia, seperti itu? Bukankah kita semua tahu dan paham bahwa di dalam diri kita terdapat suatu kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan atas makhluk-makhluk lainnya? Ya, itulah kelebihan kita, akal budi. Dengan akal budi tersebut manusia berkarya, berkehidupan sosial, dan melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Apabila akal budi ini diasah dan dikembangkan dengan baik, maka ia akan mampu membimbing pemiliknya menuju puncak ketinggian kebijaksanaan. Namun begitu pula sebaliknya, apabila akal budi tersebut tidak diasah dan dikembangkan secara maksimal, maka yang terjadi adalah pembodohan diri sendiri dan hal ini membuat pemiliknya jatuh dalam kubangan hina dan nestapa, karena kodrat kemanusiaannya tidak tercapai. Ia justru menjadi makhluk hewani yang primitif dan tak berbudaya.
Dalam hal ini, peran filsafat sangat penting bagi manusia untuk menjadi pembimbing dan penunjuk ke arah kebijaksanaan tertinggi sesuai kodratnya sebagai mikrokosmos di dunia ini. Tentunya peran itu tidak menafikan peran bidang-bidang lainnya seperti agama dan ilmu pengetahuan (sciences). Filsafat mampu menjadi pisau yang tajam dalam menelusuri fenomena-fenomena yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-harinya, menganalisa, dan untuk kemudian menentukan sikap dan perilaku yang pas dan sesuai dalam kehidupan sosialnya. Dalam merespon segala hal, ia akan menjadi sangat berhati-hati, teliti, dan penuh pertimbangan dengan memperhatikan berbagai perspektif yang ada dalam memandang hal tersebut.
Oleh karena itu, sejak sekarang, marilah kita berfilsafat dan memaksimalkan peran kesadaran akal budi kita dalam menghadapi dan merespon kehidupan sehari-hari kita. Berfilsafat tidaklah harus berpikir penuh abstraksi dan kata-kata yang muluk-muluk. Yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha untuk menggunakan akal sehat dan akal budi dengan baik dan tidak tunduk pada perintah hawa nafsu dan insting hewani belaka. Mulailah dari yang terdekat dan termudah, misalnya, dengan menanggapi fenomena kerusakan lingkungan atau kebersihan lingkungan. Cobalah menganalisanya dari berbagai sudut pandang atau perspektif dan mencoba mencari solusi yang terbaik setelah mempertimbangkan berbagai aspek tersebut.
Selamat berfilsafat!!!

“Manusia adalah hewan yang berpikir (berakal budi)”.