12 November 2008

Pemilu 2009 dan Harapan Perubahan: Menimbang Antusiasme Pemilih

Pemilu merupakan salah satu ajang bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya, yaitu untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan pilihannya. Di dalam Pemilu seluruh warga negara dituntut untuk mampu dengan cermat menentukan pilihan pemimpin mereka, bukan asal pilih, apalagi tanpa tahu-menahu siapa yang akan dipilih. Kenapa? Karena pilihan mereka akan sangat menentukan masa depan Negara dan nasib seluruh warga Negara ke depannya.

Pemilu 2009 masih lama, namun partai-partai politik sudah mulai melakukan ‘manuver-manuver’ untuk menarik minat para pemilih agar memilih partai mereka. Kita dapat menyaksikan bagaimana bendera-bendera partai-partai politik bertebaran di mana-mana, mulai dari jalan tol hingga pelosok-pelosok kampong. Ukurannya pun bermacam-macam, mulai dari yang sangat besar hingga yang kecil. Begitu pula halnya dengan iklan-iklan politik di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Kita dapat melihat bagaimana partai-partai politik berlomba-lomba memperkenalkan, mengkampanyekan, dan mencitrkan partai mereka masing-masing kepada para pemirsa dan pembaca yang merupakan pemilih dalam Pemilu 2009 nanti. Ada pula yang berusaha ‘memasarkan’ partainya melalui poster-poster, baliho, spanduk, dan sebagainya yang diletakkan di tempat-tempat strategis. Semua itu tidak lain adalah untuk mengenalkan partai mereka dan harapannya juga para pemilih akan memilih mereka.
Berbagai macam cara dan strategi yang digunakan oleh partai-partai politik di atas tentu saja sah-sah saja, asalkan tidak melanggar peraturan kampanye yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Masa kampanye yang panjang memang seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh partai-partai politik untuk mensosialisasikan partai mereka, visi dan misi yang mereka bawa, serta calon-calon anggota legislatif, dan bahkan pada saatnya nanti mungkin juga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka usung.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sebagian rakyat Indonesia yang merupakan pemilih dalam Pemilu nanti akan antusias dalam memilih, baik calon anggota legislatif maupun pasangan calon presiden dan wakil presiden? Hal ini perlu dipertanyakan karena pada masa-masa Pemilu sebelumnya, baik di daerah maupun di tingkat nasional, tingkat partisipasi politik rakyat Indonesia masih rendah. Pada Pilkada Jawa Timur yang jumlah pemilihnya paling besar, ternyata tingkat partisipasi hanya sekitar 54 persen, yang artinya tingkat golput mencapai 46 persen. Begitu pula halnya dengan Pilkada-Pilkada di daerah lainnya; kondisinya ternyata tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi yang dimiliki oleh para pemimipin yang terpilih selama ini tidak begitu tinggi, kalau tidak bisa dibilang rendah. Apakah fenomena golput ini merupakan sesuatu yang wajar? Penulis rasa tidak.
Lalu, mengapa banyak di antara pemilih yang memilih untuk tidak memilih alias golput? Menurut penulis hal tersebut disebabkan oleh setidaknya … faktor. Pertama, karena apatisme politik. Kenapa hal ini terjadi? Karena para pemilih merasa bahwa siapapun yang terpilih nantinya hal tersebut tidak akan terlalu berpengaruh signifikan bagi mereka, dalam artian bahwa pemimpin yang terpilih diragukan akan mampu mengubah nasib mereka ke taraf yang lebih baik dan sejahtera. Apalagi dengan adanya Pemilu multipartai seperti sekarang ini, mereka berpikiran bahwa partai-partai baru hanya ingin memanfaatkan euforia demokrasi dan mendapatkan keuntungan dari dana yang mereka peroleh dari pemerintah. Mereka beranggapan bahwa partai-partai baru tersebut tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Mereka tidak akan membawa perubahan yang signifikan.
Sedangkan partai-partai lama, terutama partai-partai besar dengan tokoh-tokoh yang menjadi ikon mereka dianggap tidak akan membawa perubahan yang signifikan. Karena berdasarkan pengalaman, partai-partai besar tersebut tidak mampu memberikan manfaat dan maslahat yang besar dan benar-benar dirasakan oleh rakyat banyak. Alih-alih menyejahterakan rakyat, mereka justru mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat.
Kedua, pesimisme publik. Yang dimaksud dengan hal ini adalah bahwa dalam kenyataan sekarang sebagian besar rakyat Indonesia merasa bahwa masa depan bangsa yang sedang dalam krisis ini tidak begitu memberikan harapan, bahkan dengan kemunculan tokoh muda sekalipun, seperti yang akhir-akhir ini digembar-gemborkan oleh beberapa partai politik dan beberapa kalangan yang mengharapkan perubahan radikal. Sebagian besar rakyat tidak percaya bahwa pemimpin yang ada dan yang akan terpilih nantinya mampu melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai amanat rakyat dan janji-janji manisnya dalam kampanye Pemilu. Mereka beranggapan bahwa para pemimpin hanya memikirkan golongan atau kelompok dan kerabat-kerabat mereka sendiri dan mengesampingkan kepentingan rakyat banyak.
Kedua faktor di atas merupakan determinan yang dapat dijadikan indikator bagi tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi para pemilih dalam Pemilu 2009 nanti. Apabila kedua faktor di atas mampu kita pecahkan, maka antusiasme para pemilih akan semakin tinggi.
Wallahu a’lam bis showab.

03 November 2008

Islam dan Politik Islam: Pencarian Identitas*

Setiap pemeluk agama memiliki keyakinan dan kepercayaan akan agama yang dipeluknya. Ketika dua kelompok atau lebih yang berbeda agama dibenturkan, maka terdapat kemungkinan besar bahwa akan terjadi konflik antar agama. Dan oleh karena itulah sangat diperlukan kesadaran dari masing-masing pemeluk agama untuk menghormati keberadaan pemeluk agama lain.

Dalam Pembukaan UUD 1945, kalau kita berkaca pada sejarah, kita akan melihat bahwa di baliknya terdapat sebuah narasi yang panjang tentang konflik antar agama.
Pada saat sidang BPUPKI, kelompok Islam menginginkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara dengan argumen bahwa karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, maka sudah sepantasnya apabila negara Indonesia menerapkan sistem negara Islam yang tentunya diberlakukan kepada seluruh rakyat Indonesia. Namun, ternyata hal ini tidak berhasil, karena kelompok nasionalis mengatakan bahwa apabila Indonesia ‘diharuskan’ untuk menerapkan sistem negara Islam, maka para pemeluk agama lain akan memilih untuk tidak bergabung dalam NKRI, karena mereka merasa ada diskriminasi agama dalam konteks tersebut. Akhirnya, hasil yang dapat dicapai oleh kelompok Islam adalah Piagam Jakarta yang memuat “tujuh kata” yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Dan pada saat sidang PPKI, perdebatan sengit antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis mengenai “tujuh kata” di atas kembali mengemuka. Akhirnya, Bung Karno menengahi dengan berkata bahwa yang paling penting untuk diperhatikan ketika itu adalah keutuhan NKRI, dan oleh karenanya beliau meminta kelompok Islam untuk mengalah, dan sebagai kompensasinya kelompok Islam dihadiahi ‘jatah’ Departemen Agama, yang banyak mengurusi urusan umat Islam.
Pada Sidang Konstituante (1955-1959), kelompok Islam yang berada dalam partai Islam terus memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, namun usaha ini gagal. Meskipun begitu, mereka tetap menghormati dan menaati keputusan yang dihasilkan oleh Majelis Konstituante. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tetap menghormati demokrasi dan prinsip musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Dan karena didorong oleh kesadaran inilah mereka dalam perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia tetap taat pada NKRI dan tidak melakukan usaha-usaha anarkis yang dapat memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Adapun pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengatasnamakan Islam merupakan hal lain yang memiliki penyebab dan tujuan yang berbeda dengan mereka.
Keinginan dan cita-cita negara Islam yang diperjuangkan oleh kelompok Islam saat itu tidak terlepas dari sebuah kesadaran akan sifat komprehensif dari ajaran Islam. Islam merupakan agama yang universal, menyeluruh, dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik kenegaraan. Islam bukan hanya syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi juga mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keberadaban. Dan semua hal ini didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun pada perkembangannya, kelompok Islam terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok formalis-dasar negara dan kelompok formalis-UU dan peraturan lain. Kelompok pertama tetap menginginkan dan memperjuangkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara Islam. Pada era reformasi kita dapat melihat bagaimana kelompok berusaha memperjuangkan kembali aspirasinya, yaitu diberlakukannya kembali Piagam Jakarta dalam pembahasan perubahan UUD 1945 dalam Sidang Tahunan (ST) MPR pada tahun 2000, tetapi tidak berhasil. Sedangkan kelompok kedua tidak lagi memaksakan Islam untuk dijadikan sebagai dasar negara, tetapi lebih mementingkan pada tercapainya kesesuaian setiap peraturan dan undang-undang dengan prinsip-prinsip etis yang terkandung dalam ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut penulis, usaha yang dilakukan oleh kelompok pertama di atas sudah tidak sesuai lagi dengan konteks saat ini, karena kita sebagai bangsa yang besar harus menghormati keputusan bersama yang telah disepakati bersama di masa lalu. Namun, yang lebih layak dan patut diperjuangkan adalah tercapainya sistem dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertib, konstitusional, aman, adil, makmur, dan bermoral. Bukankah lebih penting memperjuangkan implementasi nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam daripada sekedar memperdebatkan bentuk negara?
__________________________________________________________________________________
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin Dialektika Edisi 2 (diterbitkan oleh PMII Rayon Sosio Humaniora Komisariat Gadjah Mada).