28 December 2009

UGM dan Liberalisasi Pendidikan: Relasi Ekonomi-Politik Global Dalam Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Sejak pemerintah menetapkan sebagai PT BHMN, UGM sebagai salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia mulai melakukan berbagai perubahan kebijakan dalam pengelolaan pendidikannya sebagai respon atas PP 153 tahun 2000 (penetapan sebagai PT BHMN) tersebut. Hal ini dikarenakan pemerintah melalui PP tersebut memaksa PT BHMN untuk mulai mencari tambahan sumber dana bagi pembiayaan pendidikannya yang sebelumnya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Dan kini, setelah disahkannya UU BHP, maka perguruan tinggi harus semakin mandiri dan melakukan segala cara untuk membiayai pendidikannya, karena pembiayaan dari pemerintah semakin berkurang.
Efek dari PP 153 tahun 2000 telah sangat jelas terasa dengan adanya kenaikan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh mahasiswa, yang kalau kita bandingkan antara tahun 2000 ketika biayanya per semester hanya 250.000 hingga sekarang maka kenaikannya mencapai 8 kali lipat. Bagaimana ke depan?

Kalau kita mencoba mencermati lebih mendalam, maka akan muncul sebuah pertanyaan: Kenapa sampai muncul kebijakan pemerintah seperti di atas yang berimplikasi besar terhadap semakin terbatasnya aksesibilitas pendidikan bagi warga kurang mampu akibat semakin melambungnya biaya pendidikan? Apakah kebijakan tersebut muncul secara tiba-tiba? Tentunya tidak.
Realitas Ekonomi-Politik Global
Mungkin sebagian besar dari kita belum begitu akrab dengan istilah kapitalisme, kecuali yang memang secara intens mengkajinya, khususnya dalam kaitannya dengan kajian ekonomi-politik.
Kapitalisme merupakan sebuah ideologi ekonomi-politik yang menekankan pada akumulasi modal, yang secara sederhana dapat kita artikan sebagai sebuah paham yang memiliki pemahaman bahwa dalam hidup ini untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang sesungguhnya, khususnya secara ekonomi, maka kita harus benar-benar menerapkan yang disebut dengan prinsip ekonomi yang sangat mendasar, yaitu terakumulasinya keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Kapitalisme telah ada sejak lama, bahkan penaklukan Colombus terhadap Amerika tidak lepas dari motif ekonomi kapitalistik ini, yaitu untuk mengeruk kekayaan sumber daya alamnya bagi keuntungan perusahaan-perusahaan besar di negaranya. Selain itu, Colombus dkk juga memanfaatkan orang-orang Indian sebagai budak-budak untuk kepentingan bisnis mereka.
Para kapitalis selalu mencari lahan-lahan baru melalui ekspedisi mereka untuk menemukan sumber daya-sumber daya (baik alam maupun manusia) yang bisa dieksploitasi dan dipekerjakan secara murah. Dan karena motif itulah Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda datang ke Indonesia.
Namun setelah bangsa-bangsa yang terjajah mulai sadar akan kebusukan para kapitalis yang kejam dan tamak tersebut, mereka mulai memperjuangkan kemerdekaan bangsanya dan mendeklarasikan kedaulatan negaranya agar mampu mengelola sumber daya alamnya secara mandiri dan lebih bermartabat, serta mencerdaskan sumber daya manusianya agar tidak lagi dibodohi dan dieksploitasi oleh para kapitalis tersebut.
Meskipun demikian, para kapitalis tidak mau melepaskan begitu saja cengeramannya atas bangsa-bangsa jajahan mereka yang kini telah merdeka. Mereka kemudian bermetamorfosis, berubah menjadi perusahaan-perusahaan multinasional, atau yang sering disebut dengan multinational corporation (MNC) atau transnational corporation (TNC). Bila dikaitkan dengan diskursus ideologi kontemporer, maka kelompok ini dapat disebut juga dengan kaum kapitalis global atau kaum neoliberal. Mereka menginginkan negara-negara di seluruh dunia melakukan liberalisasi di segala sektor, khususnya ekonomi, yang ditandai dengan pembebasan bea impor, penghilangan kebijakan proteksi produk dalam negeri, penentuan harga sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi dari pemerintah, pricatisasi BUMN, serta penghapusan subsidi-subsidi publik yang dianggap tiadk efisien dan tidak produktif.
UGM: Korban Liberalisasi Pendidikan
Hasrat kaum neoliberal untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya telah terbukti menyebabkan banyak kesengsaraan dan kemiskinan yang massif, hilangnya identitas kebudayaan lokal, lenyapnya kekayaan alam yang melimpah, dan kerusakan lingkungan yang begitu besar.
Sedangkan dalam konteks pendidikan, para kapitalis neoliberal mendorong terjadinya liberalisasi besar-besaran terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Hal ini ditandai dengan adanya tuntutan terhadap pemerintah di negara-negara di berbagai belahan dunia untuk melakukan swastanisasi dan privatisasi pendidikan. Dengan demikian, sebagai contoh, UGM yang sebelum tahun 2001 merupakan PTN (perguruan tinggi negeri) yang pembiayaannya ditanggung penuh oleh pemerintah kemudian ditetapkan sebagai PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) yang mengharuskannya untuk mulai mencari sumber dana sendiri, yaitu bahwa ternyata pada akhirnya orang tua dan mahasiswalah yang harus menjadi ‘sasaran empuk’ bagi UGM untuk menarik sumber dana bagi pembiayaan pendidikannya, sehingga tidak mengherankan apabila beban biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua dan mahasiswa semakin meningkat hingga delapan kali lipat.
Bagaimana ketika UU BHP benar-benar telah diterapkan? Dalam salah satu pasal UU BHP disebutkan bahwa peserta didik berkewajiban menanggung hanya sepertiga ;dari keseluruhan biaya pendidikan. Namun, apabila keseluruhan biaya melambung tinggi sedemikian rupa, tentu saja mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu tetap tidak mampu membayar sepertiganya. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara yang seharusnya bertanggungjawab untuk menjamin aksesibilitas terhadap pendidikan bagi setiap warganegara tanpa memandang kemampuan ekonomi secara adil telah melepaskan dan lari dari kewajibannya. Anak-anak bangsa dari kalangan rakyat yang kurang mampu secara ekonomi pada akhirnya ‘dipaksa’ untuk tidak mampu menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan seberkualitas mungkin karena syarat untuk mendapatkan kesempatan pendidikan itu bukan lagi berdasarkan kecerdasan saja, tetapi ditambah dengan kemampuan secara ekonomi alias biaya yang mahal. Sebuah ketidakadilan bagi si miskin.
Internasionalisasi UGM: Kelanjutan Proyek Liberalisasi
Saat ini UGM sedang gencar-gencarnya untuk mewujudkan ambisinya dalam menjadikan UGM sebagai world class research university (WCRU). Hal ini merupakan bagian dari upaya UGM untk meningkatkan popularitas dan rangkingnya di mata dunia. Namun dalam kenyataannya konsep yang dilaksanakan dengan jargon ‘internasionalisasi UGM’ ini tidak lain hanyalah kelanjutan dari proyek liberalisasi pendidikan yang diterapkan pemerintah terhadap UGM. Hal tersebut ditandai dengan mulai diadakannya kelas internasional yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa asing dan mahasiswa dalam negeri untuk kuliah dalam kelas khusus berbahasa Inggris, tentunya dengan biaya yang sangat mahal.
Memang tidak salah apabila UGM berambisi untuk menjadi universitas riset kelas dunia yang benar-benar diakui, namun apabila ternyata hal tersebut hanyalah jebakan dari para kapitalis global untuk mengeruk keuntugan yang sebesar-besarnya dari apa yang disebut dengan bisnis jasa pendidikan, maka hal itu sangatlah merugikan bangsa dan negara kita, khususnya anak-anak bangsa yang akan menggantikan kepemimpinan pada tahun-tahun mendatang. Dan apabila paradigma pendidikan itu telah berubah dari tujuan awalnya –yaitu untuk melahirkan manusia-manusia yang benar-benar utuh, tidak hanya berorientasi pada materi, dan selalu peduli pada usaha perbaikan dan perubahan sosial ke arah yang lebih baik- menjadi sekedar ‘ahli-ahli’ yang bisanya cuma mengekor pada kepentingan siapa yang ‘membayarnya’ secara oportunistik tanpa idealisme kritis, maka masa depan bangsa dan negara kita akan semakin suram.

NB:
Tulisan ini berasal dari artikel penulis yang dimuat dalam rubrik Advokasi Buletin PERSONA Edisi Khusus Maba 2009 yang diterbitkan oleh Lembaga Mahasiswa Psikologi (LMPsi) Fakultas UGM periode 2009, di mana penulis menjabat sebagai Kepala Departemen Advokasi.

29 September 2009

Islam dan Asuransi: Pentingnya Pemahaman yang Obyektif

Oleh: Mochammad Said*

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jasa asuransi mungkin masih belum begitu akrab, bahkan ada yang beranggapan bahwa asuransi seperti halnya judi, sehingga ia tidak seharusnya dijalankan. Bagi yang tidak atau belum memahami seluk-beluk asuransi, pemahaman yang keliru tersebut sangat wajar muncul, dan hal inilah yang menyebabkan citra asuransi menjadi buruk di masyarakat. Padahal, kalau kita mau mencermati secara lebih mendalam, kenyataannya tidaklah demikian. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menelaah dan mencermati secara jernih dan obyektif tentang asuransi dan hal-hal yang berkaitan dengannya agar pemahaman kita semakin baik dan lebih obyektif.

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Asuransi sebenarnya memiliki fungsi utama sebagai suatu mekanisme untuk mengalihkan risiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan risiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan risiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan pengamanan finansial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya. Fungsi skunder asuransi adalah untuk merangsang pertumbuhan usaha, mencegah kerugian, pengendalian kerugian, memberikan manfaat sosial, dan sebagai tabungan. Sedangkan fungsi tambahan asuransi adalah sebagai investasi dana dan invisible earnings.

Dalam asuransi kita mengenal istilah polis asuransi. Polis asuransi merupakan kontrak yang berisi perjanjian yang sah antara penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi) dengan tertanggung, di mana pihak penanggung bersedia menanggung sejumlah kerugian yang mungkin timbul di masa yang akan datang dengan imbalan pembayaran (premi) tertentu dari tertanggung.
Agar suatu kerugian potensial (yang mungkin terjadi) dapat diasuransikan (insurable) maka harus memiliki karakteristik: 1) terjadinya kerugian yang mengandung ketidakpastian, 2) kerugian harus dibatasi, 3) kerugian harus signifikan, 4) rasio kerugian dapat terprediksi, dan 5) kerugian tidak bersifat katastropis (bencana) bagi penanggung.

Asuransi dan Perdebatan Hukum

Sejak awal, asuransi telah memunculkan perdebatan dan kontrversi di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok yang mengharamkan. Mereka beralasan bahwa asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dan Syekh Yusuf Qardhawi. Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
1. Asuransi sama dengan judi
2. Asuransi mengandung unsur-unsur yang tidak pasti
3. Asuransi mengandung unsur riba/renten
4. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai
5. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah

Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang membolehkan. Mereka mendasarkan alasan mereka pada pendapat yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada Fakultas Syari'ah Universitas Syiria), dan Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo, Mesir). Kelompok ulama’ ini beralasan bahwa:
1. Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi
2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak
4. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan
5. Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil) yang bersifat saling menolong
6. Asuransi sama dengan sistem pensiun seperti taspen

Selanjutnya adalah kelompok ketiga yang mengatakan bahwa asuransi sosial boleh sedangkan asuransi komersial haram. Kelompok ini menganut pendapat yang dikemukakan antara lain oleh Muhammad Abu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Adapun kelompok yang keempat mengatakan bahwa asuransi itu syubhat dengan alasan karena tidak ada dalil yang tegas yang mengatakan haram atau tidak haramnya asuransi itu.

Fatwa MUI Tentang Asuransi: Sebuah Penjelasan

Di Indonesia sendiri, MUI melalui Dewan Syari’ah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 yang secara detail menjelaskan mengenai kedudukan hukum asuransi serta semua bentuk dan teknis pelaksaannya yang diperbolehkan. Dalam fatwa tersebut dijelaskan asuransi itu diperbolehkan dengan beberapa ketentuan hukum. Misalnya dalam Hukum Asuransi Pertama (Ketentuan Umum) nomor 2 dijelaskan bahwa: “Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat”. Apabila kita kontekskan dengan ketentuan-ketentuan dalam polis asuransi dalam perusahaan jasa asuransi selama ini, tentunya kita tidak menemukan sama sekali unsur-unsur akad yang melanggar syariah di atas.

Kalaupun sebagian orang mengatakan bahwa asuransi mengandung unsur perjudian, tentunya mereka harus mencermati kembali prinsip dasar asuransi dan syarat-syarat karakteristik kerugian potensial yang dapat diasuransikan, karena perjudian hanyalah mengadu nasib tanpa ketentuan dan perjanjian yang terukur, sedangkan asuransi memiliki ketentuan yang jelas dan terukur secara obyektif-rasional. Dan ketentuan-ketentuan inilah yang dimaksudkan oleh fatwa MUI dengan akad yang sesuai dengan syariah.

*Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta

18 May 2009

Evo Morales dan Revolusi Bolivia: Menggugat Neoliberalisme*

Dalam sejarah, pergulatan ideologi di berbagai negara berlangsung terus-menerus. Dalam kajian ideologi kita mengenal dua ideologi besar, yaitu kapitalisme dan sosialisme/komunisme, di mana masing-masing memiliki varian-varian. Seorang ilmuwan bernama Francis Fukuyama pernah mengatakan bahwa saat ini merupakan ‘akhir sejarah (the end of history)’, karena tidak ada lagi persaingan ideologi seperti halnya pada era Perang Dingin, di mana -menurutnya- pertarungan tersebut dimenangkan oleh kapitalisme. Kapitalisme telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan yang tak tertandingi di muka bumi, dan telah memberikan kesejahteraan bagi umat manusia dengan berbagai kebijakan yang dihasilkannya. Benarkah demikian? Apakah tidak ada lagi perlawanan menentang kapitalisme, yang kini menjelma menjadi kapitalisme global dengan sebutan imperialisme atau neoliberalisme itu?


Kalau kita mencoba menengok ke Amerika Latin, maka kita akan melihat bahwa tesis Fukuyama di atas tidak sepenuhnya benar -kalau tidak bisa dikatakan salah-. Kuba, Brasil, Argentina, Uruguay, Bolivia, dan Venezuela merupakan beberapa negara yang menerapkan sistem ekonomi-politik sosialisme. Dan dalam tulisan ini penulis ingin sedikit mengulas perjalanan revolusi Bolivia yang mencoba melakukan perombakan sistem ekonomi yang dulunya kapitalis-indiviudualis menjadi sosialis-distributif. Semoga bisa menjadi bahan renungan kita bersama untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia tercinta ini.

Bolivia merupakan sebuah negara kecil di Amerika Latin. Pada tahun 1937 di awal depresi global, suatu periode ketika tatanan dunia pada umumnya menyambut baik intervensi negara yang lebih besar dalam ekonomi (madzhab Keynesian), Bolivia melakukan kontrol terhadap sektor pertambangan (extractive sector). Setelah suatu pergeseran ke kanan yang perlahan tapi pasti, sebuah revolusi pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Gerakan Nasionalis Revolusioner (MNR) berhasil menggulingkan rezim militer kanan dan menasionalisasi tambang timah terbesar di negeri itu, memulai reformasi tanah (land reform), dan memberikan hak pilih kepada perempuan dan kaum Indian yang sebelumnya tidak berhak memilih. Konteks global pada masa itu memang menunjukkan adanya peningkatan jumlah pemerintahan kiri, ditandai dengan kebangkitan Uni Soviet menjadi negara adidaya dan revolusi komunis di Cina. Pemerintahan revolusioner Bolivia disingkirkan 12 tahun kemudian, setelah itu negeri tersebut menjadi korban serangkaian pemerintahan militer dan rezim sipil lemah yang berjatuhan seperti domino.

Pada tahun 1993, Gonzalo Sanchez de Lozada -sang perancang kebijakan neoliberal pada tahun 1980-an- terpilih sebagai presiden. Sejak itu, ia melakukan privatisasi besar-besaran terhadap berbagai sektor ekonomi di negera itu. Langkah ini membolehkan penduduk asing memiliki setengah dari perusahaan yang sebelumnya merupakan korporasi publik atau negara dalam sektor-sektor strategis seperti petroleum, penerbangan, telekomunikasi, kereta-api, perusahaan listrik, dan seterusnya. Sejak awal, kebijakan restrukturisasi ini mendapatkan perlawanan yang sengit berupa aksi-aksi protes rakyat.

Gerakan-gerakan protes rakyat ini berawal dari serangkaian peristiwa seputar peringatan di tahun 1992 tentang Penaklukan oleh Spanyol 500 tahun sebelumnya. Gerakan penduduk asli mulai dibangun pada masa ini, dan memicu semakin tingginya aktivisme politik antara penduduk mayoritas negeri itu. dan titik balik yang terlihat jelas terjadi pada tahun 1999-2000 ketika diterapkan rencana privatisasi air di Lembah Cochabamba melalui anak perusahaan Bechtel Corporation, Aguas de Tunari. Dalam waktu beberapa bulan harga air meningkat drastis dan memicu aksi-aksi protes yang semakin agresif, termasuk suatu demonstrasi massal di mana seorang protestan terbunuh dan beberapa lainnya terluka oleh militer. 'Perang Air' ini, sebagaimana biasa disebut, berujung pada pembatalan kesepakatan privatisasi air. Ia juga memperkuat gerakan anti-neoliberal yang berlanjut meningkat dalam jumlah dan intensitas.

Pada tahun 2003, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang tidak populis berupa pembangunan pipa gas untuk tujuan ekspor gas ke Cile. Bagi rakyat banyak, kebijakan ini tidaklah menguntungkan mereka, dan ini hanyalah salah satu skema untuk mengekstraksi sumber daya alam Bolivia yang berharga demi keuntungan korporasi transnasional dan pihak asing. Dan pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembasmian koka dengan alasan pembasmian narkotika, padahal koka merupakan tempat sebagian besar penduduk negeri itu bergantung. Sehingga, pecahlah tragedi Oktober Hitam, yang mana presiden memerintahkan militer untuk menggunakan kekerasan dalam membubarkan blokade jalanan di La Paz dan pemukiman kumuh El Alto yang didirikan sebagai protes terhadap kebijakan presiden yang tidak merakyat. Setidaknya 100 orang ditembaki oleh militer dan banyak lainnya terluka. Gonzalo Sanchez de Lozada pun mengundurkan diri dan mencari suaka di Amerika Serikat, sementara wakil presidennya, Carlos Mesa Gisbert, mengambil kendali yang goyah terhadap pemerintahan hingga kejatuhannya dua tahun kemudian. Pada tahun 2004, dalam suatu referendum 80% suara rakyat memilih nasionalisasi terhadap sumber daya energi negeri itu. Luar biasanya, pemerintah memilih untuk mengabaikan mandat publik yang terang-terangan ini. Aksi-aksi protes pun merebak, dan memaksa Presiden Mesa mundur.

Pada Pemilu 2005, yang dipercepat dari seharusnya 2007 akibat pemaksaan mundur Presiden Mesa, terpilih seorang presiden yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan aspirasi hati nurani mayoritas rakyat Bolivia, yaitu Evo Morales, pemimpin Partai Movimiento a Socialismo (Gerakan Menuju Sosialisme) atau disingkat MAS, yang berarti "lebih". MAS terlibat secara aktif dalam ‘Perang Gas’ (menentang pembangunan pipa gas untuk tujuan ekspor ke Cile), bersama-sama dengan banyak kelompok lainnya, yang biasanya dirujuk sebagai "gerakan sosial". Ia memperoleh 54,3 persen suara menurut hasil resmi yang diumumkan pada 21 Desember 2005. Kemenangannya itu menunjukkan bahwa dukungan rakyat lebih besar dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya sejak demokrasi dipulihkan di negara itu dua dekade lalu. Setelah terpilih, dia menyatakan akan memotong setengah gajinya untuk kepentingan pendidikan dan perluasan lapangan kerja.

Sejak itu, kebijakan demi kebijakan yang pro-rakyat digulirkan oleh Morales. Ia memilih para menteri dari kalangan aktivis dan memotong gaji mereka hingga 50% yang dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan bagi rakyat. Ia juga menasionalisasi perusahaan tambang migas di Bolivia, yang sebelumnya bak lumbung bagi korporasi-korporasi multinasional seperti Exxon Mobil, Repsol, Petrobras, Shell, dan lain-lain. Dan di bawah pemerintahannya pula penanaman koka, tanaman tradisional masyarakat suku Indian Aymar yang merupakan penduduk asli Bolivia, dilegalkan. Koka biasa digunakan dalam upacara adat dan pengobatan tradisional. Koka mentah juga dikonsumsi untuk menambah stamina para petani saat bekerja. Padahal, sebelum Evo Morales menjadi presiden, koka adalah tanaman terlarang karena bisa disalahgunakan menjadi narkotika kokain, dan AS menekan pemerintah untuk melakukan pembasmian koka dan mengalihkannya ke tanaman industri seperti lada dan kacang mademia. Tapi faktanya, harga yang didapat petani untuk hasil panen tanaman itu sungguh tidak kompetitif dengan harga koka dan sulit menemukan pasar untuk menjual komoditas tani ini. Sehingga dengan melegalkan koka, berarti Evo Morales telah memberi kemudahan dan meningkatkan kesempatan-kesempatan untuk para petani untuk ikut menghidupkan ekonomi Bolivia sembari melestarikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Indian. Menurutnya, masalah kokain harus diselesaikan pada sisi konsumsinya, bukan dengan membasmi perkebunan koka.

Bolivia di bawah Morales menambah sederet pemerintahan kiri-sosialis yang menentang imperialisme dan sistem neoliberal Amerika Serikat. Keyakinannya yang kuat, beserta dukungan yang didapatkannya dari rakyat yang sadar akan kebusukan neoliberalisme, telah memberikan kesempatan dan tugas yang harus diembannya dalam usaha menyejahterakan rakyat Bolivia. Dan ia telah melaksankan dan membuktikannya. Bagaimana dengan Indonesia?

Wallahu a’lam bis showab.
___________________________________________________________________________________
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin Dialektika Edisi 8 (diterbitkan oleh PMII Rayon Sosio Humaniora Komisariat Gadjah Mada).

22 April 2009

PI dan Perjuangan Kemerdekaan: Refleksi Historis

Kita, bangsa Indonesia, telah merdeka selama 63 tahun sejak peristiwa heroik Proklamasi 17 Agustus 1945. Perjuangan para founding fathers bangsa dan negara Indonesia ini tentunya luar biasa. Tidak akan pernah terbayangkan oleh kita bagaimana mereka harus berhadapan dengan kejamnya penjajahan, intimidasi, penyiksaan, pengasingan, bahkan ancaman pembunuhan demi sebuah cita-cita dan idealisme yang bernama kemerdekaan dan kedaulatan. Dan kini, ketika kita telah merdeka, apakah kita tidak lagi merasa berhutang budi pada mereka, setidaknya dengan meresapi api semangat perjuangan mereka, atau lebih jauh lagi dengan meneruskan perjuangan yang telah mereka lakukan? Atau mungkin benar kata seorang teman penulis bahwa kita, bangsa Indonesia, adalah bangsa pelupa, bahkan dengan orang-orang yang telah berjasa begitu besar pada kita dengan mempertaruhkan jiwa dan raga mereka? Semoga tidak.


Oleh karena itulah, penulis melalui tulisan ini mengajak para pembaca sekalian untuk kembali mengamati, mencermati, memahami, merasakan, dan merefleksikan secara jernih salah satu wadah dan alat perjuangan untuk mewujudkan revolusi kemerdekaan Indonesia di masa lalu. Sebuah wadah yang dijadikan sebagai alat dan senjata ideologis untuk menggemakan semangat penentangan terhadap kekejaman penjajahan, terhadap penindasan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain yang tidak berperikemanusiaan. Perhimpunan Indonesia (PI).

Perhimpunan Indonesia atau yang sering disingkat dengan PI merupakan salah satu wadah perjuangan nasional yang digunakan oleh para mahasiswa Indonesia yang sadar akan perannya sebagai kaum intelektual terdidik untuk menyerukan protes atas segala penindasan dan penjajahan yang dialami oleh segenap bangsa Indonesia waktu itu. Bibit dari PI adalah sebuah organisasi perhimpunan mahasiswa Indonesia yang bernama IV (Indische Vereeniging/Perhimpunan Hindia). Organisasi ini didirikan pada tahun 1908, bersamaan dengan waktu didirikannya Budi Utomo di Indonesia, oleh para mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Belanda dengan tujuan sebagai sebuah perkumpulan sosial tempat melewatkan waktu senggang mereka untuk berbincang-bincang dan saling memberikan informasi terbaru yang datang dari tanah air. Organisasi ini bersifat nonpolitis.

Namun dalam perkembangannya, terutama setelah dibuangnya pemimpin Indische Partij, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dari Hindia Belanda pada tahun 1913, IV mengalami perubahan yang sangat drastis dari organisasi nonpolitis menjadi sebuah gerakan politik yang revolusioner dengan gagasan “Hindia bebas dari Belanda” dan ‘pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah oleh rakyatnya sendiri’ yang dibawa oleh ketiga tokoh kharismatik tersebut. Para anggota IV mulai sadar akan kejamnya penjajahan dan arti penting sebuah kemerdekaan yang berdaulat. Ditambah lagi pada tahun 1920-an dengan datangnya tokoh-tokoh PKI yaitu, Darsono, Semaun, dan Abdul Muis yang juga dibuang dari Hindia Belanda. Dan pada akhir tahun 1922, pengurus baru yang terpilih mulai mereorganisasi perkumpulan itu dan mengubah sifat dari cita-cita dan kegiatannya. Mereka terdiri dari Iwa Kusumasumantri (Ketua), J.B. Sitanala (Sekretaris), Hatta (Bendahara), Darmawan Mangunkusumo (Pemegang Arsip), dan Sastromuljono.

Dalam pidato pada rapat umum Januari 1923, Iwa Kusumasumantri menjelaskan bahwa IV yang ‘baru’ itu memiliki tiga asas pokok yang harus diberi tekanan makin lama makin kuat. Pertama, Indonesia berkeinginan untuk menentukan nasib sendiri. Kedua, untuk dapat menentukan nasib sendiri, bangsa Indonesia harus mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri. Ketiga, bangsa Indonesia harus bersatu untuk melawan penjajah Belanda. Perwujudan tiga asas ini semakin jelas dengan diubahnya nama IV menjadi Indonesische Vereeniging pada Maret 1924. Begitu pula nama jurnal organisasi yang sebelumnya Hindia Poetra diubah menjadi Indonesia Merdeka.

Kata Indonesia sebenarnya berasal dari apa yang didapatkan oleh para mahasiswa tersebut ketika mereka menempuh studi di Belanda. Kata itu digunakan oleh para ilmuwan Belanda, terutama yang bekerja di Fakultas Indologi, Universitas Leiden. Kemungkinan kata ini sudah digunakan sejak pertengahan abad ke-19 dalam pengertian geografis dan etnologis. Bagi para mahasiswa tersebut, kata Indonesia tidak hanya memiliki arti politik, tetapi juga menggugah perasaan nasionalisme mereka. Sedangkan kata Merdeka memiliki makna sebagaimana yang dikemukakan dalam kata pengantar edisi pertama Indonesia Merdeka:

Dalam kata Merdeka terkandung ungkapan tentang tujuan dan usaha keras kami, dan mulai sekarang dan seterusnya, Indonesia Merdeka akan menjadi semboyan perjuangan pemuda Indonesia. Merdeka adalah cita-cita umum semua umat manusia; setiap bangsa mempunyai keinginan kuat untuk hidup merdeka. Gagasan tentang kemerdekaan tidak berbeda dari satu bagian dunia ke bagian dunia lainnya. “Kemerdekaan adalah cita-cita umat manusia dan bukan cita-cita Barat; seluruh bumi ini adalah kuil kemerdekaan.”

Pada Januari 1925 IV resmi menjadi sebuah organisasi politik radikal. Bahkan pada 3 Februari di tahun yang sama, nama baru PI, Perhimpunan Indonesia, sudah dipakai. Perubahan ini untuk menegaskan kembali dan menguatkan tujuan utama dari organisasi yaitu untuk mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatan penuh bagi bangsa Indonesia. Ideologi nasionalis berakar sangat kuat dalam diri para anggota PI, terutama karena adanya penggerak intelektual dan organisasi yang sangat kharismatik, yaitu Hatta. Ia seorang yang pendiam dan suka belajar, bacaannya luas, dan dikenal sebagai mahasiswa yang memiliki buku paling banyak di antara mahasiswa Indonesia lainnya di negeri Belanda. Selain itu, ia juga secara intens memikirkan masalah sosial, ekonomi, dan terutama masalah politik. Karakternya yang kuat dan sikapnya yang tegas menentang ketidakadilan membuat teman-temannya segan dan hormat padanya. Selama di Belanda Hatta menunjukkan minat yang lebih banyak dalam politik dibandingkan dalam studinya di universitas dan menghabiskan waktunya di dalam PI, baik dalam jabatannya sebagai bendahara maupun sebagai editor Indonesia Merdeka.

Ketika ia terpilih sebagai ketua PI pada 17 Januari 1926, di depan rapat umum ia berbicara panjang lebar tentang sistem perekonomian dunia dan konflik kekuasaan, dan sejelas mungkin membicarakan antítesis antara pemerintah dan rakyat di satu pihak dan antara orang kulit putih dan kulit berwarna di lain pihak. Ia mengemukakan bahwa antítesis kolonial hanya dapat diselesaikan dengan direbutnya kemerdekaan dari para penjajah karena kerjasama dengan kekuasaan kolonial jelas tidak mungkin.

Hatta dan teman-teman pemimpin PI lainnya sadar bahwa mahasiswa Indonesia di negeri Belanda merupakan kelompok intelektual elit baru di tanah air mereka. Oleh karenanya, ia dan teman-temannya di PI senantiasa berusaha untuk menyemaikan gagasan serta pandangan mereka kepada para mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Belanda akan pentingnya kesadaran nasionalis dan penentangan terhadap penjajahan. Hatta sendiri senantiasa mempropagandakan perjuangan PI dalam pidato-pidatonya, dalam pamflet-pamflet, dan juga dalam artikel-artikelnya di Indonesia Merdeka. Selain itu, mereka juga berusaha untuk menyadarkan dan membuka mata hati rakyat Belanda tentang kekejaman kolonial pemerintah mereka terhadap bangsa Indonesia, bukannya sebagaimana yang mereka anggap bahwa apa yang dilakukan pemerintah mereka (politik etis) merupakan suatu kemurahan hati yang patut dipuji dan didukung.

Ideologi nasionalis yang dikembangkan di dalam PI terdiri dari empat pikiran pokok, yaitu kesatuan nasional (persatuan bangsa dalam melawan penjajah tanpa melihat perbedaan suku, ras, dan agama), solidaritas (adanya kesadaran sebagai sebuah bangsa yang sedang terjajah), nonkooperasi (kemerdekaan tidak mungkin diberikan secara cuma-cuma oleh Belanda, tetapi harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan kekuatan mereka sendiri, dan oleh karenanya tidak boleh ada kerja sama dengan Belanda dalam bentuk apapun), dan swadaya (membuat alternatif struktur nasional sendiri sebagai sebuah negara dan bangsa Indonesia yang sejajar dengan pemerintah kolonial Belanda, atau dengan istilah lain konsep negara dalam negara).

Demikianlah, mereka para mahasiswa yang studi di Belanda yang merupakan segolongan elit intelektual bangsa Indonesia waktu itu, dengan segala kesadaran dan jiwa nasionalisnya, telah berjuang untuk menyebarkan ide-ide perjuangan kemerdekaan dan penentangan terhadap penjajahan kepada rakyat pribumi dan rakyat Belanda. Bagaimana dengan kita, mahasiswa era reformasi? Apa yang bisa kita lakukan untuk meneruskan perjuangan mereka dalam konteks kebangsaan saat ini di mana ternyata penjajahan asing itu masih saja ada?

Wallahu a’lam bis shawab.

15 January 2009

Kapitalisme Global dan Format Gerakan

eSaat ini kita hidup dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin kaburnya ‘batas-batas’ antar negara. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh semakin menyebarnya kapitalisme multinasional atau yang oleh Lenin disebut dengan imperialisme. Dunia tempat kita hidup semakin terasa sempit, seolah-olah tidak ada lagi tempat untuk kita menyepi, merenung, dan memaknai kembali hidup kita. Kita semakin disibukkan oleh apa yang disebut dengan rutinitas duniawi, kegiatan dan aktivitas yang terus berulang dari hari ke hari, yang membuat kita seolah dikejar-kejar oleh pemenuhan materi dan melupakan bahwa sebenarnya ada kebutuhan lain dalam diri kita yang mungkin bisa dikatakan lebih fundamental, yaitu kebutuhan akan sebuah spiritualitas individual, kebutuhan akan pemenuhan ruhani.


Kalau kita mencoba mencermati realitas yang ada saat ini, maka kita akan melihat bahwa kapitalisme semakin menjerat negara dan bangsa Indonesia. Di bidang politik, kebijakan-kebijakan (policies) pemerintah lebih banyak diatur oleh sekelompok orang yang punya kepentingan ekonomi-politik untuk ‘menguasai’ serta ‘mengendalikan’ negara dan bangsa kita daripada oleh orang-orang yang memiliki keberanian politik untuk melaksanakan kebijakan-kabijakan secara mandiri dan berkedaulatan. Dalam bidang ekonomi, kita juga tidak bisa melepaskan diri dari jeratan liberalisme ekonomi dengan instrumen-instrumennya seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia, di mana ketiganya disetir oleh para penguasa kapital dunia.

Di ranah budaya, kita semakin dijajah oleh komponen-komponen budaya asing yang hedonis, materialistis, dan individualis, sehingga mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa yang ramah, sederhana, toleran, suka bergotong royong, dan berbagai cirri khas bangsa Indonesia. Hal ini pada akhirnya mengancam eksistensi budaya dan tradisi kita, dan membuat kita lupa akan kebesaran dan kekayaan budaya kita. Dan satu hal lagi yang membuat kita miris yaitu kondisi pendidikan kita. Pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pelayan rakyat, ternyata malah diserahkan kepada segelintir orang ‘pemegang saham’ untuk menentukan masa depannya. Ketika pendidikan dikuasai oleh mereka yang memiliki modal, maka aksesibilitas orang-orang yang tak bermodal akan semakin kecil dan bahkan mungkin hilang sama sekali. Hal ini terbukti dengan disahkannya RUU BHP baru-baru ini.

Apakah kita akan diam saja melihat kondisi yang demikian? Kalau memang kita masih memiliki rasa nasionalisme dan kepedulian sosial terhadap sesama, maka seharusnya kita menjawab tidak. Begitu pula sebaliknya. Namun, apabila kita merasa memiliki rasa nasionalisme dan kepedulian sosial terhadap sesama sedangkan kita memilih untuk berdiam diri dan bungkam melihat realitas yang ada, maka kita perlu menanyakan kembali pada diri kita, “Apakah kita benar-benar memiliki rasa nasionalisme dan kepedulian terhadap sesama, atau hanya kesadaran semu (pseudo-consciousness) belaka?”

Gerakan mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat sipil (civil society) memiliki kewajiban moral untuk memanifestasikan rasa nasionalisme dan kepedulian sosialnya. Gerakan mahasiswa merupakan salah satu tonggak utama bagi terwujudnya demokrasi yang sesungguhnya, keadilan sosial yang sebenarnya, dan kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah terbukti dalam berbagai babakan sejarah kebangsaan kita sejak awal munculnya gerakan nasionalisme tahun 1920-an hingga runtuhnya Orde Baru. Dan kini, gerakan mahasiswa dihadapkan pada realitas sosial dan politik yang semakin kompleks, di mana globalisasi dengan boncengannya yaitu kapitalisme multinasional telah merasuk begitu dalam ke jantung ‘pertahanan’ negara dan bangsa Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Indonesia sebagai salah satu negara dan sebuah entitas kebangsaan tidak lepas dari jeratan kapitalisme multinasional. Oleh karena itulah, tantangan gerakan mahasiswa di era reformasi ini, selain menuntaskan perubahan setelah jatuhnya rezim diktator Soeharto, adalah menghadapi gempuran serangan kapitalisme multinasional dengan strategi globalisasinya.

Kalau kita melihat ke belakang, sebenarnya gerakan-gerakan perjuangan pembebasan dan kemerdekaan sejak awal abad ke-20, terutama yang dipelopori oleh kaum muda dan mahasiswa, menghadapi musuh yang sama, yaitu kapitalisme global. Hasyim Wahid dalam bukunya yang berjudul “Telikungan Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia” berpendapat bahwa perjalanan negara dan bangsa Indonesia sejak awal hingga sekarang dan bahkan di masa depan tidak pernah terlepas dari hubungan atau keterkaitannya dengan kapitalisme global. Oleh karena itu, dalam melihat dan mengamati perjalanan bangsa ke depan, kita pun harus memperhatikan hal ini. Dalam bukunya tersebut Gus Im (panggilan akrab Hasyim Wahid) menjelaskan secara gamblang bagaimana pengaruh dan ‘intervensi’ kapitalisme global dengan berbagai kelicikan dan kecerdikannya telah mewarnai perjalanan bangsa dan negara Indonesia.

Hal inilah yang harus disadari oleh gerakan mahasiswa saat ini dan ke depan, apabila tidak ingin kehilangan pisau analisis sosial dan analisis kebijakan dalam menentukan format dan strategi gerakannya. Atau malah lebih memilih untuk ‘mengikuti arus’? Wallahu a’lam bis showab.