22 April 2009

PI dan Perjuangan Kemerdekaan: Refleksi Historis

Kita, bangsa Indonesia, telah merdeka selama 63 tahun sejak peristiwa heroik Proklamasi 17 Agustus 1945. Perjuangan para founding fathers bangsa dan negara Indonesia ini tentunya luar biasa. Tidak akan pernah terbayangkan oleh kita bagaimana mereka harus berhadapan dengan kejamnya penjajahan, intimidasi, penyiksaan, pengasingan, bahkan ancaman pembunuhan demi sebuah cita-cita dan idealisme yang bernama kemerdekaan dan kedaulatan. Dan kini, ketika kita telah merdeka, apakah kita tidak lagi merasa berhutang budi pada mereka, setidaknya dengan meresapi api semangat perjuangan mereka, atau lebih jauh lagi dengan meneruskan perjuangan yang telah mereka lakukan? Atau mungkin benar kata seorang teman penulis bahwa kita, bangsa Indonesia, adalah bangsa pelupa, bahkan dengan orang-orang yang telah berjasa begitu besar pada kita dengan mempertaruhkan jiwa dan raga mereka? Semoga tidak.


Oleh karena itulah, penulis melalui tulisan ini mengajak para pembaca sekalian untuk kembali mengamati, mencermati, memahami, merasakan, dan merefleksikan secara jernih salah satu wadah dan alat perjuangan untuk mewujudkan revolusi kemerdekaan Indonesia di masa lalu. Sebuah wadah yang dijadikan sebagai alat dan senjata ideologis untuk menggemakan semangat penentangan terhadap kekejaman penjajahan, terhadap penindasan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lain yang tidak berperikemanusiaan. Perhimpunan Indonesia (PI).

Perhimpunan Indonesia atau yang sering disingkat dengan PI merupakan salah satu wadah perjuangan nasional yang digunakan oleh para mahasiswa Indonesia yang sadar akan perannya sebagai kaum intelektual terdidik untuk menyerukan protes atas segala penindasan dan penjajahan yang dialami oleh segenap bangsa Indonesia waktu itu. Bibit dari PI adalah sebuah organisasi perhimpunan mahasiswa Indonesia yang bernama IV (Indische Vereeniging/Perhimpunan Hindia). Organisasi ini didirikan pada tahun 1908, bersamaan dengan waktu didirikannya Budi Utomo di Indonesia, oleh para mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Belanda dengan tujuan sebagai sebuah perkumpulan sosial tempat melewatkan waktu senggang mereka untuk berbincang-bincang dan saling memberikan informasi terbaru yang datang dari tanah air. Organisasi ini bersifat nonpolitis.

Namun dalam perkembangannya, terutama setelah dibuangnya pemimpin Indische Partij, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) dari Hindia Belanda pada tahun 1913, IV mengalami perubahan yang sangat drastis dari organisasi nonpolitis menjadi sebuah gerakan politik yang revolusioner dengan gagasan “Hindia bebas dari Belanda” dan ‘pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah oleh rakyatnya sendiri’ yang dibawa oleh ketiga tokoh kharismatik tersebut. Para anggota IV mulai sadar akan kejamnya penjajahan dan arti penting sebuah kemerdekaan yang berdaulat. Ditambah lagi pada tahun 1920-an dengan datangnya tokoh-tokoh PKI yaitu, Darsono, Semaun, dan Abdul Muis yang juga dibuang dari Hindia Belanda. Dan pada akhir tahun 1922, pengurus baru yang terpilih mulai mereorganisasi perkumpulan itu dan mengubah sifat dari cita-cita dan kegiatannya. Mereka terdiri dari Iwa Kusumasumantri (Ketua), J.B. Sitanala (Sekretaris), Hatta (Bendahara), Darmawan Mangunkusumo (Pemegang Arsip), dan Sastromuljono.

Dalam pidato pada rapat umum Januari 1923, Iwa Kusumasumantri menjelaskan bahwa IV yang ‘baru’ itu memiliki tiga asas pokok yang harus diberi tekanan makin lama makin kuat. Pertama, Indonesia berkeinginan untuk menentukan nasib sendiri. Kedua, untuk dapat menentukan nasib sendiri, bangsa Indonesia harus mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri. Ketiga, bangsa Indonesia harus bersatu untuk melawan penjajah Belanda. Perwujudan tiga asas ini semakin jelas dengan diubahnya nama IV menjadi Indonesische Vereeniging pada Maret 1924. Begitu pula nama jurnal organisasi yang sebelumnya Hindia Poetra diubah menjadi Indonesia Merdeka.

Kata Indonesia sebenarnya berasal dari apa yang didapatkan oleh para mahasiswa tersebut ketika mereka menempuh studi di Belanda. Kata itu digunakan oleh para ilmuwan Belanda, terutama yang bekerja di Fakultas Indologi, Universitas Leiden. Kemungkinan kata ini sudah digunakan sejak pertengahan abad ke-19 dalam pengertian geografis dan etnologis. Bagi para mahasiswa tersebut, kata Indonesia tidak hanya memiliki arti politik, tetapi juga menggugah perasaan nasionalisme mereka. Sedangkan kata Merdeka memiliki makna sebagaimana yang dikemukakan dalam kata pengantar edisi pertama Indonesia Merdeka:

Dalam kata Merdeka terkandung ungkapan tentang tujuan dan usaha keras kami, dan mulai sekarang dan seterusnya, Indonesia Merdeka akan menjadi semboyan perjuangan pemuda Indonesia. Merdeka adalah cita-cita umum semua umat manusia; setiap bangsa mempunyai keinginan kuat untuk hidup merdeka. Gagasan tentang kemerdekaan tidak berbeda dari satu bagian dunia ke bagian dunia lainnya. “Kemerdekaan adalah cita-cita umat manusia dan bukan cita-cita Barat; seluruh bumi ini adalah kuil kemerdekaan.”

Pada Januari 1925 IV resmi menjadi sebuah organisasi politik radikal. Bahkan pada 3 Februari di tahun yang sama, nama baru PI, Perhimpunan Indonesia, sudah dipakai. Perubahan ini untuk menegaskan kembali dan menguatkan tujuan utama dari organisasi yaitu untuk mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatan penuh bagi bangsa Indonesia. Ideologi nasionalis berakar sangat kuat dalam diri para anggota PI, terutama karena adanya penggerak intelektual dan organisasi yang sangat kharismatik, yaitu Hatta. Ia seorang yang pendiam dan suka belajar, bacaannya luas, dan dikenal sebagai mahasiswa yang memiliki buku paling banyak di antara mahasiswa Indonesia lainnya di negeri Belanda. Selain itu, ia juga secara intens memikirkan masalah sosial, ekonomi, dan terutama masalah politik. Karakternya yang kuat dan sikapnya yang tegas menentang ketidakadilan membuat teman-temannya segan dan hormat padanya. Selama di Belanda Hatta menunjukkan minat yang lebih banyak dalam politik dibandingkan dalam studinya di universitas dan menghabiskan waktunya di dalam PI, baik dalam jabatannya sebagai bendahara maupun sebagai editor Indonesia Merdeka.

Ketika ia terpilih sebagai ketua PI pada 17 Januari 1926, di depan rapat umum ia berbicara panjang lebar tentang sistem perekonomian dunia dan konflik kekuasaan, dan sejelas mungkin membicarakan antítesis antara pemerintah dan rakyat di satu pihak dan antara orang kulit putih dan kulit berwarna di lain pihak. Ia mengemukakan bahwa antítesis kolonial hanya dapat diselesaikan dengan direbutnya kemerdekaan dari para penjajah karena kerjasama dengan kekuasaan kolonial jelas tidak mungkin.

Hatta dan teman-teman pemimpin PI lainnya sadar bahwa mahasiswa Indonesia di negeri Belanda merupakan kelompok intelektual elit baru di tanah air mereka. Oleh karenanya, ia dan teman-temannya di PI senantiasa berusaha untuk menyemaikan gagasan serta pandangan mereka kepada para mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Belanda akan pentingnya kesadaran nasionalis dan penentangan terhadap penjajahan. Hatta sendiri senantiasa mempropagandakan perjuangan PI dalam pidato-pidatonya, dalam pamflet-pamflet, dan juga dalam artikel-artikelnya di Indonesia Merdeka. Selain itu, mereka juga berusaha untuk menyadarkan dan membuka mata hati rakyat Belanda tentang kekejaman kolonial pemerintah mereka terhadap bangsa Indonesia, bukannya sebagaimana yang mereka anggap bahwa apa yang dilakukan pemerintah mereka (politik etis) merupakan suatu kemurahan hati yang patut dipuji dan didukung.

Ideologi nasionalis yang dikembangkan di dalam PI terdiri dari empat pikiran pokok, yaitu kesatuan nasional (persatuan bangsa dalam melawan penjajah tanpa melihat perbedaan suku, ras, dan agama), solidaritas (adanya kesadaran sebagai sebuah bangsa yang sedang terjajah), nonkooperasi (kemerdekaan tidak mungkin diberikan secara cuma-cuma oleh Belanda, tetapi harus direbut oleh bangsa Indonesia dengan kekuatan mereka sendiri, dan oleh karenanya tidak boleh ada kerja sama dengan Belanda dalam bentuk apapun), dan swadaya (membuat alternatif struktur nasional sendiri sebagai sebuah negara dan bangsa Indonesia yang sejajar dengan pemerintah kolonial Belanda, atau dengan istilah lain konsep negara dalam negara).

Demikianlah, mereka para mahasiswa yang studi di Belanda yang merupakan segolongan elit intelektual bangsa Indonesia waktu itu, dengan segala kesadaran dan jiwa nasionalisnya, telah berjuang untuk menyebarkan ide-ide perjuangan kemerdekaan dan penentangan terhadap penjajahan kepada rakyat pribumi dan rakyat Belanda. Bagaimana dengan kita, mahasiswa era reformasi? Apa yang bisa kita lakukan untuk meneruskan perjuangan mereka dalam konteks kebangsaan saat ini di mana ternyata penjajahan asing itu masih saja ada?

Wallahu a’lam bis shawab.