29 September 2009

Islam dan Asuransi: Pentingnya Pemahaman yang Obyektif

Oleh: Mochammad Said*

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jasa asuransi mungkin masih belum begitu akrab, bahkan ada yang beranggapan bahwa asuransi seperti halnya judi, sehingga ia tidak seharusnya dijalankan. Bagi yang tidak atau belum memahami seluk-beluk asuransi, pemahaman yang keliru tersebut sangat wajar muncul, dan hal inilah yang menyebabkan citra asuransi menjadi buruk di masyarakat. Padahal, kalau kita mau mencermati secara lebih mendalam, kenyataannya tidaklah demikian. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menelaah dan mencermati secara jernih dan obyektif tentang asuransi dan hal-hal yang berkaitan dengannya agar pemahaman kita semakin baik dan lebih obyektif.

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

Asuransi sebenarnya memiliki fungsi utama sebagai suatu mekanisme untuk mengalihkan risiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan risiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Pengalihan risiko ini tidak berarti menghilangkan kemungkinan misfortune, melainkan pihak penanggung menyediakan pengamanan finansial (financial security) serta ketenangan (peace of mind) bagi tertanggung. Sebagai imbalannya, tertanggung membayarkan premi dalam jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan potensi kerugian yang mungkin dideritanya. Fungsi skunder asuransi adalah untuk merangsang pertumbuhan usaha, mencegah kerugian, pengendalian kerugian, memberikan manfaat sosial, dan sebagai tabungan. Sedangkan fungsi tambahan asuransi adalah sebagai investasi dana dan invisible earnings.

Dalam asuransi kita mengenal istilah polis asuransi. Polis asuransi merupakan kontrak yang berisi perjanjian yang sah antara penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi) dengan tertanggung, di mana pihak penanggung bersedia menanggung sejumlah kerugian yang mungkin timbul di masa yang akan datang dengan imbalan pembayaran (premi) tertentu dari tertanggung.
Agar suatu kerugian potensial (yang mungkin terjadi) dapat diasuransikan (insurable) maka harus memiliki karakteristik: 1) terjadinya kerugian yang mengandung ketidakpastian, 2) kerugian harus dibatasi, 3) kerugian harus signifikan, 4) rasio kerugian dapat terprediksi, dan 5) kerugian tidak bersifat katastropis (bencana) bagi penanggung.

Asuransi dan Perdebatan Hukum

Sejak awal, asuransi telah memunculkan perdebatan dan kontrversi di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok yang mengharamkan. Mereka beralasan bahwa asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dan Syekh Yusuf Qardhawi. Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
1. Asuransi sama dengan judi
2. Asuransi mengandung unsur-unsur yang tidak pasti
3. Asuransi mengandung unsur riba/renten
4. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai
5. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah

Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang membolehkan. Mereka mendasarkan alasan mereka pada pendapat yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada Fakultas Syari'ah Universitas Syiria), dan Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo, Mesir). Kelompok ulama’ ini beralasan bahwa:
1. Tidak ada nash (al-Qur'an dan Sunnah) yang melarang asuransi
2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak
4. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan
5. Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil) yang bersifat saling menolong
6. Asuransi sama dengan sistem pensiun seperti taspen

Selanjutnya adalah kelompok ketiga yang mengatakan bahwa asuransi sosial boleh sedangkan asuransi komersial haram. Kelompok ini menganut pendapat yang dikemukakan antara lain oleh Muhammad Abu Zahrah (guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo).
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh). Adapun kelompok yang keempat mengatakan bahwa asuransi itu syubhat dengan alasan karena tidak ada dalil yang tegas yang mengatakan haram atau tidak haramnya asuransi itu.

Fatwa MUI Tentang Asuransi: Sebuah Penjelasan

Di Indonesia sendiri, MUI melalui Dewan Syari’ah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 yang secara detail menjelaskan mengenai kedudukan hukum asuransi serta semua bentuk dan teknis pelaksaannya yang diperbolehkan. Dalam fatwa tersebut dijelaskan asuransi itu diperbolehkan dengan beberapa ketentuan hukum. Misalnya dalam Hukum Asuransi Pertama (Ketentuan Umum) nomor 2 dijelaskan bahwa: “Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat”. Apabila kita kontekskan dengan ketentuan-ketentuan dalam polis asuransi dalam perusahaan jasa asuransi selama ini, tentunya kita tidak menemukan sama sekali unsur-unsur akad yang melanggar syariah di atas.

Kalaupun sebagian orang mengatakan bahwa asuransi mengandung unsur perjudian, tentunya mereka harus mencermati kembali prinsip dasar asuransi dan syarat-syarat karakteristik kerugian potensial yang dapat diasuransikan, karena perjudian hanyalah mengadu nasib tanpa ketentuan dan perjanjian yang terukur, sedangkan asuransi memiliki ketentuan yang jelas dan terukur secara obyektif-rasional. Dan ketentuan-ketentuan inilah yang dimaksudkan oleh fatwa MUI dengan akad yang sesuai dengan syariah.

*Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta