28 December 2009

UGM dan Liberalisasi Pendidikan: Relasi Ekonomi-Politik Global Dalam Kebijakan Pendidikan di Indonesia

Sejak pemerintah menetapkan sebagai PT BHMN, UGM sebagai salah satu perguruan tinggi favorit di Indonesia mulai melakukan berbagai perubahan kebijakan dalam pengelolaan pendidikannya sebagai respon atas PP 153 tahun 2000 (penetapan sebagai PT BHMN) tersebut. Hal ini dikarenakan pemerintah melalui PP tersebut memaksa PT BHMN untuk mulai mencari tambahan sumber dana bagi pembiayaan pendidikannya yang sebelumnya ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Dan kini, setelah disahkannya UU BHP, maka perguruan tinggi harus semakin mandiri dan melakukan segala cara untuk membiayai pendidikannya, karena pembiayaan dari pemerintah semakin berkurang.
Efek dari PP 153 tahun 2000 telah sangat jelas terasa dengan adanya kenaikan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh mahasiswa, yang kalau kita bandingkan antara tahun 2000 ketika biayanya per semester hanya 250.000 hingga sekarang maka kenaikannya mencapai 8 kali lipat. Bagaimana ke depan?

Kalau kita mencoba mencermati lebih mendalam, maka akan muncul sebuah pertanyaan: Kenapa sampai muncul kebijakan pemerintah seperti di atas yang berimplikasi besar terhadap semakin terbatasnya aksesibilitas pendidikan bagi warga kurang mampu akibat semakin melambungnya biaya pendidikan? Apakah kebijakan tersebut muncul secara tiba-tiba? Tentunya tidak.
Realitas Ekonomi-Politik Global
Mungkin sebagian besar dari kita belum begitu akrab dengan istilah kapitalisme, kecuali yang memang secara intens mengkajinya, khususnya dalam kaitannya dengan kajian ekonomi-politik.
Kapitalisme merupakan sebuah ideologi ekonomi-politik yang menekankan pada akumulasi modal, yang secara sederhana dapat kita artikan sebagai sebuah paham yang memiliki pemahaman bahwa dalam hidup ini untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang sesungguhnya, khususnya secara ekonomi, maka kita harus benar-benar menerapkan yang disebut dengan prinsip ekonomi yang sangat mendasar, yaitu terakumulasinya keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Kapitalisme telah ada sejak lama, bahkan penaklukan Colombus terhadap Amerika tidak lepas dari motif ekonomi kapitalistik ini, yaitu untuk mengeruk kekayaan sumber daya alamnya bagi keuntungan perusahaan-perusahaan besar di negaranya. Selain itu, Colombus dkk juga memanfaatkan orang-orang Indian sebagai budak-budak untuk kepentingan bisnis mereka.
Para kapitalis selalu mencari lahan-lahan baru melalui ekspedisi mereka untuk menemukan sumber daya-sumber daya (baik alam maupun manusia) yang bisa dieksploitasi dan dipekerjakan secara murah. Dan karena motif itulah Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda datang ke Indonesia.
Namun setelah bangsa-bangsa yang terjajah mulai sadar akan kebusukan para kapitalis yang kejam dan tamak tersebut, mereka mulai memperjuangkan kemerdekaan bangsanya dan mendeklarasikan kedaulatan negaranya agar mampu mengelola sumber daya alamnya secara mandiri dan lebih bermartabat, serta mencerdaskan sumber daya manusianya agar tidak lagi dibodohi dan dieksploitasi oleh para kapitalis tersebut.
Meskipun demikian, para kapitalis tidak mau melepaskan begitu saja cengeramannya atas bangsa-bangsa jajahan mereka yang kini telah merdeka. Mereka kemudian bermetamorfosis, berubah menjadi perusahaan-perusahaan multinasional, atau yang sering disebut dengan multinational corporation (MNC) atau transnational corporation (TNC). Bila dikaitkan dengan diskursus ideologi kontemporer, maka kelompok ini dapat disebut juga dengan kaum kapitalis global atau kaum neoliberal. Mereka menginginkan negara-negara di seluruh dunia melakukan liberalisasi di segala sektor, khususnya ekonomi, yang ditandai dengan pembebasan bea impor, penghilangan kebijakan proteksi produk dalam negeri, penentuan harga sepenuhnya oleh pasar tanpa intervensi dari pemerintah, pricatisasi BUMN, serta penghapusan subsidi-subsidi publik yang dianggap tiadk efisien dan tidak produktif.
UGM: Korban Liberalisasi Pendidikan
Hasrat kaum neoliberal untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya telah terbukti menyebabkan banyak kesengsaraan dan kemiskinan yang massif, hilangnya identitas kebudayaan lokal, lenyapnya kekayaan alam yang melimpah, dan kerusakan lingkungan yang begitu besar.
Sedangkan dalam konteks pendidikan, para kapitalis neoliberal mendorong terjadinya liberalisasi besar-besaran terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Hal ini ditandai dengan adanya tuntutan terhadap pemerintah di negara-negara di berbagai belahan dunia untuk melakukan swastanisasi dan privatisasi pendidikan. Dengan demikian, sebagai contoh, UGM yang sebelum tahun 2001 merupakan PTN (perguruan tinggi negeri) yang pembiayaannya ditanggung penuh oleh pemerintah kemudian ditetapkan sebagai PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) yang mengharuskannya untuk mulai mencari sumber dana sendiri, yaitu bahwa ternyata pada akhirnya orang tua dan mahasiswalah yang harus menjadi ‘sasaran empuk’ bagi UGM untuk menarik sumber dana bagi pembiayaan pendidikannya, sehingga tidak mengherankan apabila beban biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua dan mahasiswa semakin meningkat hingga delapan kali lipat.
Bagaimana ketika UU BHP benar-benar telah diterapkan? Dalam salah satu pasal UU BHP disebutkan bahwa peserta didik berkewajiban menanggung hanya sepertiga ;dari keseluruhan biaya pendidikan. Namun, apabila keseluruhan biaya melambung tinggi sedemikian rupa, tentu saja mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu tetap tidak mampu membayar sepertiganya. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara yang seharusnya bertanggungjawab untuk menjamin aksesibilitas terhadap pendidikan bagi setiap warganegara tanpa memandang kemampuan ekonomi secara adil telah melepaskan dan lari dari kewajibannya. Anak-anak bangsa dari kalangan rakyat yang kurang mampu secara ekonomi pada akhirnya ‘dipaksa’ untuk tidak mampu menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan seberkualitas mungkin karena syarat untuk mendapatkan kesempatan pendidikan itu bukan lagi berdasarkan kecerdasan saja, tetapi ditambah dengan kemampuan secara ekonomi alias biaya yang mahal. Sebuah ketidakadilan bagi si miskin.
Internasionalisasi UGM: Kelanjutan Proyek Liberalisasi
Saat ini UGM sedang gencar-gencarnya untuk mewujudkan ambisinya dalam menjadikan UGM sebagai world class research university (WCRU). Hal ini merupakan bagian dari upaya UGM untk meningkatkan popularitas dan rangkingnya di mata dunia. Namun dalam kenyataannya konsep yang dilaksanakan dengan jargon ‘internasionalisasi UGM’ ini tidak lain hanyalah kelanjutan dari proyek liberalisasi pendidikan yang diterapkan pemerintah terhadap UGM. Hal tersebut ditandai dengan mulai diadakannya kelas internasional yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa asing dan mahasiswa dalam negeri untuk kuliah dalam kelas khusus berbahasa Inggris, tentunya dengan biaya yang sangat mahal.
Memang tidak salah apabila UGM berambisi untuk menjadi universitas riset kelas dunia yang benar-benar diakui, namun apabila ternyata hal tersebut hanyalah jebakan dari para kapitalis global untuk mengeruk keuntugan yang sebesar-besarnya dari apa yang disebut dengan bisnis jasa pendidikan, maka hal itu sangatlah merugikan bangsa dan negara kita, khususnya anak-anak bangsa yang akan menggantikan kepemimpinan pada tahun-tahun mendatang. Dan apabila paradigma pendidikan itu telah berubah dari tujuan awalnya –yaitu untuk melahirkan manusia-manusia yang benar-benar utuh, tidak hanya berorientasi pada materi, dan selalu peduli pada usaha perbaikan dan perubahan sosial ke arah yang lebih baik- menjadi sekedar ‘ahli-ahli’ yang bisanya cuma mengekor pada kepentingan siapa yang ‘membayarnya’ secara oportunistik tanpa idealisme kritis, maka masa depan bangsa dan negara kita akan semakin suram.

NB:
Tulisan ini berasal dari artikel penulis yang dimuat dalam rubrik Advokasi Buletin PERSONA Edisi Khusus Maba 2009 yang diterbitkan oleh Lembaga Mahasiswa Psikologi (LMPsi) Fakultas UGM periode 2009, di mana penulis menjabat sebagai Kepala Departemen Advokasi.