30 August 2010

Indonesia dalam Pusaran Neoliberalisme: Mencari Sosok ‘Ekonomi Kerakyatan’


Oleh: Mochammad Said(1)

“Kalau kita sungguh-sungguh mencintai Indonesia yang merdeka, yang bersatu, tidak terpecah belah, berdaulat, adil dan makmur, marilah bercermin sebentar, kembali kepada cita-cita dahulu yang begitu suci, dan mengembalikan pemimpin yang jujur berpadu dengan semangat yang siap melakukan pengorbanan...
Rakyat kita masih tetap miskin, bahkan lebih miskin daripada sebelumnya, di tengah-tengah kekayaan alam yang melimpah ruah. Paling baik kita merenungkan keadaan rakyat kita sekarang, yang sungguh-sungguh berhak untuk mendapatkan nasib yang lebih baik, nasib yang sesuai dengan tujuan kita semula”.
(Bung Hatta, Fifty Years of the National Movement, Pikiran Rakyat, 19 Mei 1958)

Kutipan di atas adalah ungkapan keprihatinan Bung Hatta setelah beliau berkeliling Sumatera sepanjang tahun 1957, di mana beliau melihat bahwa ternyata masih terjadi ketimpangan ekonomi yang demikian mencolok antara wilayah Jawa dan luar Jawa. Wilayah luar Jawa yang begitu kaya akan potensi sumberdaya alam ternyata hanya menjadi ‘pemasok’ bagi kekayaan (devisa) negara yang sebagian besar ternyata dinikmati oleh wilayah Jawa yang lebih sedikit potensi sumberdaya alamnya dan sumbangannya bagi kekayaan negara.
Kita semua tentu mendambakan terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dan hal di atas hanyalah satu dari sekian permasalahan ekonomi-politik yang kita hadapi sebagai bangsa pada saat itu terkait kesejahteraan rakyat. Bagaimana dengan realitas ekonomi-politik di zaman reformasi yang kini telah berjalan lebih dari satu dasawarsa?


Indonesia dalam Pusaran Neoliberalisme: Perspektif Ekonomi-Politik
Hasyim Wahid (1999)(2), atau yang akrab dipanggil Gus Im, berpendapat bahwa ketika kita melihat dan mencermati perjalanan bangsa dan negara Indonesia, maka kita tidak boleh melepaskan arah negara ini dari faktor eksternal yaitu kapitalisme global. Kenapa? Karena, menurut beliau, dalam setiap fase sejarahnya, negara ini selalu bersinggungan dengan kapitalisme global yang ingin menjaga kepentingannya di negara kita.
Dalam perspektif ekonomi-politik, terdapat satu paradigma ekonomi-politik yaitu (yang berlandaskan prinsip) liberalisme, yaitu sebuah paham ekonomi-politik yang beranggapan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, sehingga ia harus diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Tidak boleh ada campur tangan negara dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Karena ketika masyarakat melakukan aktivitas ekonomi, maka secara otomatis mereka akan membagikan ‘kesejahteraan’ yang diperolehnya kepada orang lain yang ‘kurang beruntung’.
Paradigma liberal ini menekankan pada bekerjanya mekanisme pasar bebas, di mana semua transaksi ekonomi seharusnya diserahkan pada proses persaingan bebas di pasar, tanpa ada campur tangan negara. Paradigma inilah yang melahirkan kapitalisme –sebuah ideologi ekonomi-politik yang menekankan pada persaingan bebas (free-fight liberalism) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya (akumulasi modal). Jadi, secara tidak langsung –bagi para penganutya- dapat dikatakan bahwa penerapan paradigma liberalisme ini dalam tataran empiris ekonomi-politik akan menghasilkan kesejahteraan bersama dan keadilan sosial-ekonomi yang diharapkan oleh seluruh komponen masyarakat.
Kapitalisme Eropa di Indonesia telah bercokol sejak ekspedisi negara-negara Eropa seperti Spanyol, Portugis, dan Inggris ke negara ini untuk mencari ‘lahan baru’ bagi akumulasi kapital negara mereka, di mana Indonesia memiliki potensi ‘sumberdaya alam’ dan ‘sumberdaya manusia’ yang luar biasa. Dan untuk mengamankan kepentingan ekonomi itulah kemudian mereka melakukan kolonisasi atau penjajahan. Kekayaan alam negeri ini dikuras, dan manusia-manusianya dipaksa bekerja tanpa upah atau dengan upah sangat rendah. Begitu pulalah yang terjadi di kemudian hari ketika VOC datang dan lalu Jepang. Inilah yang dinamakan imperialisme.
Ketika Indonesia telah merdeka, kepentingan-kepentingan asing masih saja berkeliaran di sekitarnya untuk mencoba menanamkan pengaruhnya dan memuluskan kepentingan kapitalistiknya. Di era Bung Karno, terutama sejak dicanangkannya ‘Demokrasi Terpimpin’, kelompok-kelompok kepentingan asing yang -menginginkan liberalisasi ekonomi (kapitalisme)- merasa tersinggung dengan kemesraan beliau dengan PKI yang ‘kiri’ (sosialisme), kemudian melakukan melakukan berbagai upaya untuk menggulingkan tampuk kepemimpinan beliau. Pada akhirnya, lewat Soeharto, kegelisahan mereka terjawab, dan Soekarno yang anti neokolonialisme dan imperialisme (nekolim) itu pun jatuh -terlepas dari kekurangan beliau dalam memimpin- untuk kemudian digantikan oleh Soeharto yang lebih berpihak pada kepentingan mereka, para kapitalis.
Begitu pula pada saat Soeharto jatuh tahun 1998, selain karena memuncaknya gelombang kemarahan rakyat Indonesia terhadap otoritarianisme Orde Baru pimpinan Soeharto, ada satu faktor penting yang turut mempercepat proses reformasi tersebut, yaitu sudah tidak dibutuhkannya Soeharto sebagai ‘agen’ kaum neoliberal di Indonesia. Karena kekuasaan kaum neoliberal telah menancap begitu kuat di bumi Nusantara ini. Apalagi, ketika tahun 1998 Soeharto mulai menandatangani LoI (Letter of Intent) utang dengan IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi yang melanda negara kita. Dalam praktiknya, prasyarat (conditionalities) yang diajukan –yang berjumlah 130, mencakup berbagai sektor ekonomi- justru memperburuk kondisi perekonomian kita. Pada tahun-tahun berikutnya, privatisasi besar-besaran terhadap BUMN-BUMN dan liberalisasi berbagai sektor perekonomian terjadi di negara ini, yang semuanya tidaklah terlepas dari kepentingan kaum neoliberal di Indonesia.

Ekonomi Kerakyatan: Antitesis Neoliberalisme
Beberapa tahun terakhir kita sering mendengar istilah paradigma ekonomi kerakyatan yang diajukan sebagai antitesis ekonomi-politik neoliberalisme. Istilah ekonomi kerakyatan adalah sebutan lain yang digunakan oleh Prof. Mubyarto terhadap konsep ekonomi Pancasila –yang sempat menjadi perdebatan pada tahun 1981 sampai awal 1990-an(3). Sebenarnya konsep ini, kalau kita telusuri secara historis, berakar dari gagasan Bung Hatta. Beliau mengemukakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang menekankan perwujudan demokrasi ekonomi yang anti-liberalisme dan anti-kapitalisme.
Yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi di sini adalah konsep ekonomi yang sesuai dengan Pancasila; yang berketuhanan, menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, nasionalisme, kekeluargaan, dan berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial. Kalau sistem ekonomi kapitalisme yang didasarkan pada liberalisme sangat menekankan persaingan bebas, di mana negara hanya mengurusi pada tataran makroekonomi, maka dalam demokrasi ekonomi yang ditekankan adalah pada penciptaan lapangan kerja (mengurangi/menghilangkan pengangguran) dan pelayanan/penjaminan negara terhadap kebutuhan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Dalam pemikiran Bung Hatta, sebagaimana gagasan beliau ketika merumuskan Pasal 33 UUD 1945, sektor-sektor perekonomian strategis haruslah dikelola oleh negara dan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Ini bukan berarti bahwa usaha swasta dilarang. Beliau sangat menekankan tentang kewajiban negara dalam menjamin kesejahteraan warga negaranya. Beliau mengatakan: “…Menyediakan pekerjaan baginya adalah kewajiban pemerintah. Membayar upah yang cukup dan layak bagi kemanusiaan bukan kewajiban pemerintah saja, melainkan juga kewajiban usahawan partikelir terhadap buruhnya. Tidak ringan beban yang harus dipikul oleh usahawan partikelir dalam rangka ekonomi terpimpin menurut sistem UUD kita”(4).
Dalam mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat, bagi beliau, ukuran keberhasilan negara adalah kesesuaiannya dengan “suruhan” UUD 1945. “Negeri belumlah makmur dan belum menjalankan keadilan sosial, apabila fakir miskin masih berkeliaran di tengah jalan, dan anak-anak yang diharapkan akan menjadi tiang masyarakat di masa datang terlantar hidupnya”(5), kata beliau.
Wallahu a’lam bis shawab.


(1)Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Psikologi UGM. Pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Advokasi Lembaga Mahasiswa (LM) Psikologi UGM (2008-2009), Kepala Departemen Keilmuan dan Kesantrian CSS MoRA UGM -organisasi mahasiswa penerima beasiswa Depag- (2009-2010), dan Ketua PK PMII Gadjah Mada (2009-2010). Penulis bisa dihubungi lewat email (saidokoro@gmail.com), blog (http://saidugm.blogspot.com), atau facebook (Mochammad Said).
(2)Wahid, Hasyim. 1999. Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
(3)Istilah ekonomi Pancasila kemudian digunakan oleh Prof. Mubyarto ketika mendirikan Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP UGM). Kemudian pada masa kepemimpinan Revrisond Baswir, lembaga ini diubah namanya menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (PUSTEK UGM).
(4)Hatta, Moh. 1961. Ekonomi Terpimpin. Jakarta: Fasco. (hal. 51-52)
(5)Hatta, Moh. Idem. (hal. 52-53)

Reorientasi Pendidikan Nasional: Menuju Jati Diri Manusia Indonesia(1)


Oleh: Mochammad Said(2)


“…saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat, thus, sebenarnya milik rakyat, dan untuk rakyat”
(pidato sambutan Bung Karno pada
peresmian Gedung Pusat UGM tahun 1959)

“…perlulah anak-anak kita dekatkan hidupnya dengan perikehidupan rakyat, agar mereka tidak hanya dapat “pengetahuan” saja tentang hidup rakyatnya, namun juga “mengalami” sendiri dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyat”
(pidato sambutan Ki Hadjar Dewantara pada
penganugerahan Doctor Honoris Causa di UGM tahun 1957)


Beberapa bulan ini kita mendapati banyaknya pemberitaan di berbagai media mengenai fenomena Ujian Nasional (UN), mulai dari berbagai persiapan yang dilakukan sekolah beserta para muridnya dalam menghadapi UN hingga berita tentang ketidaklulusan UN yang melanda banyak siswa di berbagai daerah. Menjelang UN, sekolah-sekolah sibuk men-drill siswa-siswanya dengan berbagai materi dan soal-soal prediksi UN, menyelenggarakan istighotsah atau doa bersama, dan sebagainya. Lalu ketika UN telah usai, kita dapat menyaksikan bagaimana sorak-sorai siswa-siswa yang lulus –di satu sisi- dan –di sisi lain- tangisan serta shock, bahkan sampai bunuh diri, para siswa yang tidak lulus UN.
Fenomena tersebut membuat penulis bertanya, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Kenapa anak-anak itu tampak begitu tertekan dalam menghadapi UN? Kenapa pula ketidaklulusan UN membuat mereka menangis histeris, bahkan ada yang sampai bunuh diri? Apakah ada yang salah dengan UN?

Untuk memahami fenomena UN di atas, maka kita harus melongok kembali pada hakikat filosofis dari apa yang kita sebut dengan pendidikan, karena UN adalah bagian dari upaya pendidikan. Apakah pendidikan itu? Kenapa perlu ada pendidikan? Apa tujuan sebenarnya dari pendidikan itu? Bagaimana cara melaksanakan upaya pendidikan yang baik?
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, mengatakan bahwa pendidikan harus dibedakan dengan pengajaran, karena pengajaran hanyalah satu bagian dari pendidikan. Secara umum, menurut beliau, pendidikan adalah ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Artinya, pendidikan haruslah berorientasi pada pembangunan intelektualitas dan juga karakter/kepribadian nasional. Jadi pendidikan tidak hanya mengurusi pengajaran yang intelektualistis dan materialistis, tetapi juga memperhatikan soal bagaimana membangun kesadaran anak didik terhadap jati diri mereka sebagai anak bangsa Indonesia, sehingga mereka memiliki kesadaran tentang kebudayaan Indonesia, peduli pada kondisi kehidupan rakyat, dan mau berbuat secara konkret untuk membangun bangsa menuju kesejahteraan bersama.
Ki Hajar dalam konsep pendidikannya sangat menekankan pentingnya pendidikan kebudayaan, karena menurut beliau pendidikan adalah alat, dan alat itu harus ditempatkan dan diperuntukkan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Oleh karenanya, ketika kita melaksanakan pendidikan kepada anak-anak kita, maka kita harus benar-benar tahu dan sadar tentang fungsi pendidikan itu bagi bangsa Indonesia, tidak sekedar ‘membeo’ pada konsep pendidikan orang-orang di luar bangsa kita. Pendidikan haruslah ditujukan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tidak memisahkan diri dari kesatuan perikemanusiaan.
Namun di dataran empiris kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana mainstream konsep dan proses pendidikan kita sangatlah materialistis dan intelektualistis. Pendidikan kita hanya menekankan pencapaian dan pengembangan kecerdasan intelektual secara individual, yang menghasilkan orang-orang (akademisi, politisi, jaksa, polisi, dan sebagainya) yang memiliki kualitas keilmuan memadai namun abai terhadap berbagai problem kemasyarakatan seperti kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, penggusuran, dan sebagainya. Mereka menuntut ilmu hanya untuk ilmu itu sendiri dan untuk kepentingannya sendiri, entah itu jabatan, kekuasaan, materi, atau sekedar prestise. Apakah individu-individu demikian yang ingin kita hasilkan dari pendidikan kita?
Kalau kita berbicara secara lebih teoretis, maka kenyataan empiris di atas tidak lepas dari paradigma ekonomi politik pendidikan yang sangat kapitalistik. Kenapa? Karena kapitalisme sebagai sebuah ‘ideologi’ menekankan pada persaingan murni, di mana yang kuat dialah yang menang. Dan kalau kita konteks-kan dengan problem pendidikan Indonesia, maka pendidikan kita -yang kapitalistik saat ini- menekankan pada persaingan anak didik untuk mencapai setinggi mungkin kualitas pendidikan yang diukur –secara positivistik- dari angka-angka rapor, dan termasuk juga angka-angka statistik dari hasil Ujian Nasional (UN); juga dari jenjang pendidikan formal yang ditempuh, di mana dibangun asumsi bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan formal seseorang, maka kualitasnya semakin baik. Dan orang-orang yang memiliki ijazah pendidikan tinggi inilah yang bisa dikatakan ’orang-orang terpilih’, sedangkan yang lainnya adalah orang-orang yang secara otomatis tersingkirkan dari persaingan.
Padahal, untuk menempuh suatu jenjang pendidikan formal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga akses terhadapnya tentu saja hanya dimiliki oleh mereka yang ‘berpunya’. Dan kalau kita berpikir lebih kritis, apakah kekalahan persaingan mereka yang miskin itu kesalahan mereka sendiri? Kalau menurut kacamata kapitalisme, jawabannya adalah iya, entah itu dengan alasan rendahnya need of achievement mereka, kultur mereka yang kolot, pesimistik, dan pasif, atau sederet alasan lainnya yang memojokkan mereka. Padahal di sisi lain terdapat suatu rekayasa sosial (social engineering) yang membuat mereka miskin, yaitu kebijakan negara terkait ekonomi. Kita dapat mengamati bagaimana pemerintah sebagai pengambil kebijakan (decision maker) dalam hal investasi lebih berpihak pada para pengusaha dan pemodal besar serta pengusaha-pengusaha asing daripada pengusaha kecil dan menengah seperti petani, nelayan, pedagang kaki lima, pedagang pasar tradisional, dan sebagainya. Pemerintah juga tidak peduli pada kesejahteraan para buruh, karena mereka lebih melayani keinginan para investor agar biaya produksi tidak tinggi (buruh merupakan bagian dari faktor produksi).
Jadi, apakah benar kemiskinan dan kebodohan sebagian besar rakyat kita ini karena kesalahan mereka sendiri? Jawabannya adalah tidak. Kondisi itu disebabkan oleh faktor yang sifatnya struktural, yaitu keberpihakan pemerintah dalam pengambilan kebijakannya.
Oleh karenanya, ketika kita melihat problem pendidikan saat ini, solusinya adalah kita harus melakukan reorientasi konsep pendidikan kita menuju paradigma pendidikan yang –sebagaimana difatwakan Ki Hajar Dewantara- tidak hanya menekankan intelektualitas dan skill yang hanya berorientasi pada keuntungan diri sendiri, tetapi juga soal bagaimana membangun kesadaran dan kepekaan sosial (sense of social crisis) anak didik agar mereka memiliki kepedulian terhadap bangsanya, terhadap kebudayaannya, dan mau berbuat kebaikan untuk kemanusiaan universal. Itulah jati diri manusia Indonesia. Kita merindukan lahirnya sosok-sosok seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar, Sjahrir, Gus Dur, Hoegeng, Mubyarto, Soedjatmoko, Pram, Gie, Tan Malaka, dan sebagainya, yang sadar akan ke-Indonesiaan-nya dan mau berbuat secara tulus untuk kebaikan bangsa dan negaranya, Indonesia. Bersediakah kita berkorban dan berjuang untuk mewujudkannya?


(1)Artikel ini dimuat di buletin PERSONA Edisi Mei-Juni 2010 yang diterbitkan oleh Lembaga Mahasiswa Psikologi UGM.
(2)Kepala Departemen Advokasi LM Psikologi UGM (2008-2009); Ketua Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Gadjah Mada (2009-2010).

Pesantren, Kampus, dan Santri-Mahasiswa Ideal(1)

Oleh: Mochammad Said(2)

Ketika penulis diminta oleh salah satu teman untuk menulis sebuah artikel tentang “Santri-Mahasiswa Ideal”, muncul pertanyaan, kenapa santri-mahasiswa? Sosok seperti apakah santri-mahasiswa itu? Lalu, bagaimanakah karakter santri-mahasiswa ideal itu?
Setelah penulis berfikir sejenak, walaupun masih agak bingung, penulis mencoba memahami (menebak?) maksud dan makna dari kata santri-mahasiswa. Ketika membaca sebuah tulisan berjudul “Mengeja Kembali Peran Santri-Mahasiswa”(3), penulis tidak menemukan definisi yang eksplisit dari santri-mahasiswa. Namun, dari artikel itu penulis menangkap makna dari santri-mahasiswa, yaitu individu yang lulus dari pesantren kemudian melanjutkan kuliah di suatu perguruan tinggi, atau individu yang kuliah di suatu perguruan tinggi sekaligus menempuh pendidikan di suatu pesantren.
Kalau kita berbicara tentang santri-mahasiswa ideal, maka kita harus membahas hakikat ontologis dari dua kata, yaitu santri dan mahasiswa. Siapakah santri itu? Siapakah mahasiswa itu?

Sejarah Pesantren: Menguji Sebuah Peran
Pesantren merupakan tempat menempuh pendidikan bagi para santri. Dalam sejarahnya, pesantren selalu menjadi basis bagi dua hal, yaitu pemberdayaan masyarakat, baik masyarakat pesantren maupun masyarakat sekitarnya, dan basis bagi perlawanan terhadap setiap ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat.
Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, pesantren menekankan pada dua aspek pemberdayaan, yaitu pemberdayaan keberagamaan dan pemberdayaan kesejahteraan(4). Dalam hal keberagamaan, pesantren melakukan dakwah Islam dengan cita rasa yang khas Indonesia, di mana ajaran Islam yang diajarkan dan dikembangkan kepada masyarakat seolah bersenyawa dengan nuansa keindonesiaan. Oleh Gus Dur, dakwah pesantren ini tidak terlepas dari apa yang dicontohkan oleh Wali Songo dalam melakukan dakwah Islam di Indonesia, yaitu bahwa mereka dalam berdakwah tidak melawan arus masyarakat yang sebelum Islam datang masih dipenuhi oleh dinamisme, animisme, politeisme, dan sebagainya. Namun sebaliknya, mereka lebih memilih untuk mengikuti, dengan pelan-pelan memasukkan esensi tauhid Islam dan mengokohkan fondasi syari’ahnya(5). Inilah yang oleh para intelektual muslim seperti Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan Buya Syafi’i Ma’arif sebut sebagai kontekstualisasi Islam atau pribumisasi Islam.
Selain peran dakwah keberagamaan di atas, pesantren juga menjadi basis sosial bagi lahirnya perlawanan terhadap para penjajah di bumi Nusantara ini. Pada masa pra-kemerdekaan, pesantren menjadi ‘ladang’ penempaan para mujahid anti-penjajahan, hingga lahirlah laskar-laskar seperti Hizbul Wathan, Hizbullah, Sabilillah, dan sebagainya. Semua itu bertujuan tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan nasional Indonesia. Satu momen historis penting yang harus kita ingat adalah lahirnya Resolusi Jihad –deklarasi para ulama NU se-Jawa dan Madura yang menyatakan bahwa perjuagan kemerdekaan merupakan jihad (perang suci)- pada 22 Oktober 1945, yang merupakan upaya ulama pesantren untuk melindungi bangsa dan negara Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya dari rongrongan penjajah yang ingin kembali ke Indonesia.
Martin van Bruinessen (1994) menceritakan: “…Pada pertengahan Oktober 1945, Jepang telah merebut beberapa kota Jawa yang telah jauh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkannya kepada Inggris. Beberapa hari sebelum pertemuan NU di atas, Bandung dan Semarang telah jatuh-setelah pertempuran berdarah yang dahsyat- ke tangan Inggris. Demikian juga di Surabaya, kedatangan pasukan Inggris ditunggu dengan gelisah- mereka masuk pada 25 Oktober. … Pemerintah mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik dan tampaknya menerima saja ketika bendera Belanda dikibarkan lagi di Jakarta. “Resolusi Jihad” meminta pemerintah republik mendeklarasikan “perang suci”. Resolusi ini tampaknya merupakan pengakuan legitimasi bagi pemerintah dan sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasifnya”(6).

Kampus dan Perjalanan Bangsa: Mengokohkan Peran Kaum Intelektual
Kalau kita mau berkaca pada sejarah, kampus –sebagai representasi dari ‘gudang’ penggodokan kaum terdidik– merupakan tempat yang ideal bagi lahirnya sosok-sosok intelektual di negeri ini. Kampus juga menjadi basis sosial perlawanan masyarakat terhadap tirani negara. Kampus juga menjadi tempat lahirnya para pemimpin negeri ini, para pejabat, para pegawai terdidik, dan orang-orang yang sangat mempengaruhi perjalanan bangsa dan negara ini.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, kaum terdidik masih sedikit. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok-sosok yang dilahirkan oleh pendidikan di masa kolonial. Dari proses pendidikan yang mereka jalani dan juga aktivisme mereka dalam berorganisasi, mereka memperoleh pemahaman dan kesadaran tentang keterjajahan bangsanya, dan bahwa bangsa Indonesia harus bangkit melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah. Dan mereka telah melakukan apa yang mereka anggap sebagai “kewajiban moral” kaum terdidik, yaitu mendidik dan menyadarkan masyarakat akan kondisi mereka serta hak-hak mereka, dan mengarahkan masyarakat pada praksis perjuangan untuk mengubah kondisi hidup mereka serta merebut hak-hak mereka yang telah dirampas penjajah.
Pada saat Soekarno mulai menunjukkan watak otoritariannya, kembali mahasiswa keluar dari kampus dan turun ke jalan untuk menyuarakan ‘kegelisahan’ mereka. Begitu pula pada saat Soeharto tidak peduli lagi pada rakyatnya, kampus –dengan dosen dan mahasiswanya yang sadar akan kondisi ini- ‘menyerukan’ perlawanan terhadap dinding tirani yang kokoh dibangun Soeharto, dan lahirlah zaman baru, zaman reformasi.

PBSB, Santri-Mahasiswa, dan Momok Borjuisme
Program Beasiswa Santri Beasiswa (PBSB) yang diinisiasi oleh Departemen Agama (Depag) merupakan suatu terobosan baru sebagai bagian dari usaha negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Program beasiswa yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pesantren ini berangkat dari sebuah misi besar, yaitu agar para santri yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi nantinya mampu meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren mereka masing-masing, dan juga agar mereka mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat secara nyata sesuai bidang keilmuan mereka. Hal ini sesuai dengan misi pesantren sejak awal keberadaannya di bumi nusantara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup mereka.
PBSB membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan biaya itu berasal dari anggaran negara yang dialokasikan untuk Depag. Dan dari manakah anggaran negara itu berasal? Sebagian besar tidak lain adalah penerimaan negara dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Mengapa pemerintah, dalam hal ini Depag, bersedia mengalokasikan dana yang sedemikian besar untuk program PBSB ini? Semua itu tidak lain adalah dengan harapan bahwa setelah lulus kuliah nanti para peserta PBSB ini mampu memberikan kontribusi yang lebih nyata dan lebih baik bagi pesantrennya dan masyarakat.
Oleh karena itu, program PBSB di atas seharusnya benar-benar dipahami oleh para santri-mahasiswa yang mengikutinya, agar mereka sadar akan ‘kewajiban moral’ yang mereka emban di masa depan, dan tidak ‘berfoya-foya’ dengan beasiswa yang mereka terima hanya untuk kepentingan individual mereka sendiri. Biaya yang mereka terima berasal dari uang rakyat, dan seharusnya mereka menyadari bahwa mereka harus menggunakannya sebaik mungkin dan sebermanfaat mungkin untuk memberikan kemaslahatan bagi rakyat banyak, baik pada saat masih kuliah ataupun ketika telah lulus dan saatnya berkontribusi secara nyata bagi rakyat. Jangan sampai PBSB ini, yang memiliki cita-cita sangat mulia, justru memunculkan apa yang disebut dengan ‘momok borjuisme’, yaitu munculnya orang-orang yang menikmati ‘kenyamanan baru’ yang mereka dapatkan untuk kepentingan mereka sendiri: wisata kuliner, makan-makan, jalan-jalan, camping, pergi ke bioskop, shopping, berganti-ganti HP sesuai selera, membeli motor dan laptop baru, dan sebagainya. Padahal, tidak jauh dari mereka, sebagian besar rakyat negeri ini dalam keadaan yang memprihatinkan. Namun, mereka –kaum borjuis- tidak peduli dengan realitas ini, karena mereka telah mendapatkan kenikmatan dari ‘rejeki’ yang mereka dapatkan. Sungguh memalukan. Atau biasa saja?


(1)Artikel ini dimuat dalam buletin eX-SI∑MA Edisi II/Juni 2010 yang diterbitkan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika CSS MoRA UGM.
(2)Anggota CSS MoRA UGM, mahasiswa Fakultas Psikologi UGM.
(3)Majalah SARUNG Edisi Perdana 2009, hal. 4-7.
(4)Ibid, hal. 16-17.
(5)Asmani, Jamal Ma’mur. 2009. Pesantren, Keislaman, dan Keindonesiaan. Yogyakarta (makalah disampaikan pada Pembinaan Santri Berprestasi Penerima Beasiswa Depag di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, 26 Desember 2009).
(6)Bruinessen, Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (terjemahan). Yogyakarta: LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial); hal. 52-53.