20 January 2011

UGM Dari Masa Ke Masa: Narasi Sebuah Kampus*

Oleh: Mochammad Said

UGM Tempo Dulu
UGM, atau singkatan dari Universitas Gadjah Mada, merupakan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kelahirannya pun sungguh unik, berbeda dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lainnya di tanah air. Kenapa? Karena kelahirannya diprakarsai oleh banyak tokoh nasional dan intelektual tanah air saat itu, seperti Ki Hadjar Dewantara, Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Prof. Yohannes, Prof. Ir. Rooseno, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Budiarto, Prof. Sunaryo, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa UGM merupakan perguruan tinggi terkemuka, bersejarah, dan penuh perjuangan.
Kalau kita runut secara kronologis, sejarah berdirinya UGM sangatlah panjang dan penuh dinamika. Semua berawal dari sebuah pertemuan yang diadakan di Sekolah Menengah Tinggi (SMT, sekarang SMA Negeri III Padmanaba) Kotabaru pada 20 Januari 1946 (20 hari setelah ibukota pindah ke Yogyakarta). Agenda yang dibahas dalam pertemuan itu adalah kemungkinan untuk mendirikan Balai Perguruan Tinggi (Universiteit) di Yogyakarta. Yang menjadi promotornya adalah Mr. Budiarto, Ir. Marsito, Dr. Priyono, dan Mr. Sunaryo. Kenapa di Yogyakarta? Karena menurut Mr. Sunaryo, kalau kita ingin mendirikan universiteit, tempatnya tidaklah di Jakarta, karena Jakarta memiliki atmosfer internasional, sedangkan keinginan kita adalah mendirikan sebuah Universiteit Nasional.
Dalam pertemuan itu diputuskan untuk membentuk panitia yang bertugas merancang pendirian perguruan tinggi di Yogyakarta. Panitia terdiri dari 32 orang dengan ketua Ki Hadjar Dewantara, Penulis I Mr. Sunaryo, dan Penulis II Drs. Darmoseputro. Dan untuk lebih memudahkan kinerja, dalam kepanitiaan itu dibentuk lagi Panitia Kecil yang terdiri dari 11 orang.
Dalam setiap rapatnya, Panitia Kecil merundingkan berbagai hal terkait tujuan mereka untuk mendirikan Universitas Nasional. Putusan-putusannya kemudian diajukan dalam rapat-rapat Panitia Besar untuk mendapatkan persetujuan. Salah satu putusan akhirnya adalah digantinya kata “Universiteit” dengan “Balai Perguruan Tinggi”. Mr. Budiarto mengusulkan agar nama Balai Perguruan Tinggi ditambahi kata Gadjah Mada. Anggota panitia lain pun menyetujuinya. Dan berdirilah Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Februari 1946, di mana tanggal ini ditetapkan sebagai hari berdirinya. Peresmiannya dilaksanakan pada 3 Maret 1946 di Gedung KNI Jalan Malioboro (sekarang Gedung DPRD). Kuliah pertama dilaksanakan pada 18 Maret 1946. Faculteit yang ada waktu itu adalah Faculteit Hukum dan Faculteit Kesusasteraan. Mengapa Gadjah Mada? Karena para founding fathers UGM secara simbolik ingin menunjukkan bahwa rakyat jelata sebagaimana dipersonifikasikan oleh tokoh Gadjah Mada dengan ketajaman visi, keluasan pandangan, keprihatinan, kesabaran, ketelatenan, serta spirit perjuangannya demi bangsa dan negara yang tak kenal lelah ternyata mampu memberikan jasa yang besar bagi nusa dan bangsa dan mengharumkan namanya, bahkan mengalahkan pamor rajanya. Hal inilah yang secara implisit ingin diharapkan oleh para founding fathers bahwa UGM menghargai seseorang karena prestasi dan kerja kerasnya, bukan karena keturunan atau latar belakang budaya, UGM merupakan universitas yang merakyat, bukan universitas elitis.
Seiring berjalannya waktu, dan setelah mengalami berbagai dinamika zaman, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 1949 tertanggal 16 Desember 1949 yang berisi tentang penggabungan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Preklinis, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Klinis, Fakultas Farmasi dan Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Gigi dan Kedokteran Hewan, Akademi Ilmu Politik, dan Balai Pendidikan Ahli Hukum menjadi sebuah universitas yang bernama Universitas Gadjah Mada. Peresmiannya dilaksanakan pada 19 Desember 1949, di mana tanggal ini menjadi tonggak pertama kali berdirinya Perguruan Tinggi Nasional di negara Republik Indonesia.
Dari rangkaian sejarah berdirinya UGM di atas kita dapat melihat bahwa UGM merupakan universitas perjuangan dan universitas kerakyatan, karena para pendiri, dosen, dan mahasiswanya ketika itu adalah juga para pejuang kemerdekaan Indonesia. Bung Karno sendiri pernah berkata ketika meresmikan Gedung Pusat UGM di Bulaksumur: “…saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat, thus, sebenarnya milik rakyat, dan untuk rakyat”.

UGM Kini: Sebuah Metamorfosis
Pada tahun 2000, UGM ditetapkan sebagai PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) berdasarkan PP 153 tahun 2000 (tentang PT BHMN). Sejak saat itulah biaya pendidikan di UGM menjadi semakin mahal, karena subsidi dari pemerintah semakin berkurang, sehingga UGM ‘terpaksa’ harus membebankan biaya pendidikan itu kepada mahasiswa. Sehingga komponen biaya pendidikan di UGM yang awalnya hanya terdiri dari SPP dan sumbangan POTMA (Persatuan Orang Tua Mahasiswa) yang tidak bersifat mengikat dengan total biaya sekitar Rp. 500.000,00, kemudian terdapat kenaikan biaya pada tahun 2002 dengan ditetapkannya tambahan komponen biaya pendidikan mahasiswa berupa Satuan Kredit Semester (SKS) sebesar Rp. 35.000,00 tiap SKS. Meskipun demikian, masih ada beberapa fakultas yang menggunakan sistem paket dengan biaya per semester sebesar Rp. 750.000,00 berapapun SKS yang ditempuh atau diambil.
Kemudian pada tahun 2003 mulai ditetapkan adanya kewajiban membayar Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bervariasi mulai dari Rp. 0,00, Rp. 5.000.000,00, hingga ratusan juta rupiah. Pada tahun 2004 ditetapkan BOP Variabel per-SKS bagi seluruh fakultas; untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00, dengan ketentuan bahwa biaya yang dibayarkan disesuaikan dengan jumlah SKS yang diambil apabila di bawah 18 SKS, sedangkan apabila SKS yang diambil di atas 18 SKS, maka biaya yang dibayarkan sama dengan biaya 18 SKS. Kemudian pada tahun 2006 BOP Variabel diganti dengan BOP Full Variabel yang berlaku hingga sekarang, yaitu untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00 per SKS, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00 per SKS.
Komponen biaya SPMA pun setiap tahun mengalami kenaikan. Pada awal tahun 2003 mahasiswa masih bisa memilih Rp. 0,00 SPMA, namun pada tahun berikutnya Rp. 0,00 SPMA ini berubah menjadi tanda bintang (*). Hal ini membuat mahasiswa berpikir seribu kali untuk masuk UGM karena kesulitan untuk membayar biaya masuk UGM yang melambung tinggi. Bahkan pada tahun 2007 pilihan Rp. 0,00 SPMA (*) ditiadakan dan diganti dengan beasiswa 1000 SPMA yang memiliki kuota 1000 mahasiswa.
Perubahan status UGM dan kenaikan biaya pendidikan di atas menimbulkan banyak kritik dan sindiran dari banyak kalangan. UGM yang seharusnya mampu memberikan akses pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat ternyata semakin tidak peduli dengan aksesibilitas rakyat menengah ke bawah. Negara pun tidak lepas dari kritik, karena dianggap telah menelantarkan masa depan anak bangsa dengan melepaskan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk memberikan hak pendidikan dan pengajaran kepada setiap warga negaranya.
Akankah UGM tetap menjadi ’universitas kerakyatan’ dan ’universitas perjuangan’? Atau ia akan berubah mengikuti arus globalisasi dengan narasi kapitalisme yang semakin merajalela menindas dan berusaha menggilas siapapun yang tidak ’bermodal’?
Wallahua’lam.

______________________________________________
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin Dialektika Edisi 4 (diterbitkan oleh PMII Rayon Sosio Humaniora Komisariat Gadjah Mada).