22 October 2011

Pesantren, Transformasi Sosial, dan Perjuangan Kemanusiaan: Sebuah Memoar Untuk Almarhum Ustadz Aang Baihaqi

“Semoga ada yang diridloi oleh Allah SWT...”
-Aang Baihaqi-

Sebuah Kejutan Kabar Duka

Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah berpulang ke rahmatullah, Ustadz Aang Baihaqi, S. Ag, pada Sabtu, 9 Juli 2011 sekitar pukul 10.00 WIB di RSI Sakinah Mojokerto. Semoga amal ibadah beliau diterima Alloh SWT dan diampuni segala dosa dan khilaf beliau. Amin.

Itulah pesan singkat (SMS) yang aku terima dari salah seorang teman sepondok di Ponpes Al-Amin, Mojokerto, di mana pada saat itu aku masih berada di pondokan lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Dusun Banjarsari, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY. Aku sangat kaget dan bingung. Di satu sisi, aku sangat ingin bertakziyah ke rumah duka beliau. Namun di sisi lain, aku memiliki kewajiban untuk menyelesaikan tugas KKN-ku. Ketika aku meminta ijin kepada Koordinator Unit KKN-ku untuk takziyah, aku tak diperbolehkan, karena memang waktu yang dibutuhkan untuk itu pasti lebih dari 2 x 24 jam. Kalaupun mau ‘ngebut’, itu pasti sangat memaksakan. Pada akhirnya aku pun pasrah. Yang bisa aku lakukan hanyalah berdo’a, semoga beliau mendapatkan tempat yang terhormat di sisi Allah SWT.


Pada saat 40 hari beliau, aku pun tak bisa hadir, karena masih berada di lokasi KKN. Begitu juga kemarin, pada 16 Oktober 2011, aku tak bisa hadir dalam peringatan 100 hari wafat beliau, karena aku harus melaksanakan agenda-agenda kepengurusan PC PMII Sleman –di mana aku menjabat sebagai ketua umum- yang masih berjalan. Aku sebenarnya merasa sangat tidak enak, karena tidak bisa hadir sama sekali dalam acara pemakaman ataupun peringatan wafat beliau. Namun, apalah daya. Yang terpenting bagiku kemudian adalah bahwa semoga doaku dari dan di Jogja ini mampu menjadi manifestasi simbolik bagi sebuah kedukaan yang mendalam atas wafat beliau, sekaligus sebagai sebuah permohonan ampunan dan kasih sayang dari Allah SWT kepada orang yang sangat aku sayangi ini.

Santri dan Pergolakan Pribadi
Sosok Ustadz Aang merupakan sebuah mozaik kehidupan kemanusiaan. Bagaimana tidak, pengalaman-pengalaman kehidupan, pergulatan jiwa dan pemikiran, serta ‘pemberontakan-pemberontakan’ sosial yang beliau lakukan, merupakan kumpulan dari rangkaian perjalanan anak manusia yang sedang mencari makna dan hakikat kebenaran dan kemanusiaan.

Aku masih ingat, bagaimana beliau mempertanyakan kebenaran Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang merupakan landasan ideologi NU. Apalagi beliau melontarkan pertanyaan dan pernyataan kontroversial itu kepadaku dan teman-teman yang masih duduk di bangku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pesantren Al-Amin. Ketika itu beliau mengajar kami mata pelajaran Ke-NU-an/Aswaja, sebuah mata pelajaran ‘wajib’ bagi siswa-siswa yang berada di sekolah-sekolah yang notabene berhaluan NU, apalagi berada di bawah naungan LP Ma’arif NU. Kami pun terbengong-bengong karena terkejut, bingung, dan tidak paham akan pemaparan beliau. Tapi justru dari situlah aku kemudian mulai belajar memahami Aswaja, dan buku yang aku baca adalah sebuah buku terbitan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) yang berjudul Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi.

Dalam kesempatan lain, ketika aku dan beberapa teman menghadap beliau di kediaman beliau yang berada di sebelah barat pondok, kami terlibat dalam obrolan dengan beliau tentang berbagai macam persoalan sosial, keagamaan, hingga persoalan politik. Beliau berbicara tentang kosmopolitanisme pemikiran Gus Dur, yang waktu itu aku bahkan belum tahu istilah kosmpolitanisme dan juga sosok Gus Dur. Beliau memperkenalkan pemahaman tentang pluralisme, demokrasi substantif, berbagai macam problematika kebangsaan, dan bahkan pentingnya peran pesantren sebagai agen sekaligus aktor perubahan sosial (social change).

Pengalaman ngobrol dengan seorang Nadzir Pesantren –jabatan beliau dalam struktur kepengurusan pondok pesantren- dalam suasana santai dan tidak jarang disertai guyonan merupakan sesuatu yang jarang aku dapatkan selama aku mondok di Ponpes Al-Amin. Entahlah, ketika berhadapan dan bercakap-cakap dengan beliau, aku merasakan sesuatu yang berbeda, seperti sebuah kedekatan emosional di antara 2 teman atau sahabat. Hal ini sangat berbeda dengan perasaanku ketika berhadapan dengan banyak ustadz lainnya yang terasa berjarak secara psikologis.

Dalam setiap percakapan dengan beliau, aku merasa selalu mendapatkan pengalaman dan inspirasi baru, atau kalau dalam istilah psikologi mungkin bisa disebut insigt. Semakin ke sini, seiring berjalannya waktu, aku pun mulai memahami kenapa aku merasakan kedekatan psikologis yang lebih dengan beliau dibandingkan dengan ustadz yang lain. Menurutku, hal itu karena besarnya pengaruh beliau terhadap tumbuhnya minat membacaku, dan karena pemikiran-pemikiran yang beliau lontarkan selalu menginspirasiku untuk mencari tahu maksud dan kebenarannya, yang membuatku semakin berhasrat untuk membaca dan membaca, bahkan hingga saat ini.

Dari Pesantren Untuk (Memperjuangkan) Kemanusiaan
Dalam berbagai kesempatan, Ustadz Aang senantiasa berusaha menyisipkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi keyakinannya dan selalu diperjuangkannya. Ketika aku mencari-cari informasi mengenai kiprah sosial beliau lewat dunia maya, dan kuhubungkan dengan pernyataan-pernyataan beliau dalam berbagai kesempatanku bersua dengan beliau, aku memperoleh sebuah kesimpulan bahwa beliau merupakan seorang pejuang kemanusiaan tulen.

Beliau tercatat sebagai anggota Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur, sebuah organisasi yang merupakan tempat berkumpulnya para aktivis dan intelektual muslim yang peduli pada dan memperjuangkan keadilan, kesetaraan, pluralisme, dan sangat anti-diskriminasi. Ketika para anggota legislatif di Kota Mojokerto melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar Jawa tanpa alasan dan agenda yang jelas, dan diduga kuat hanya ingin menghabiskan anggaran yang berasal dari APBD, beliau tampil di depan publik untuk melakukan kritik sosial atas egoisme, arogansi, dan sikap pragmatis para legislator tersebut.

Dan masih banyak lagi pernyataan dan kiprah beliau yang aku sendiri kurang begitu paham. Namun, yang sangat aku pegang dan aku anut dari beliau adalah, bahwa segala kiprah sosial itu bersumber dari sebuah kesadaran seorang santri akan peran sosialnya, dan juga kesadaran akan pentingnya peran pesantren dalam upaya-upaya melakukan transformasi sosial menuju tatanan yang lebih demokratis nan berkeadilan sosial.

Setelah beliau, siapakah yang akan melanjutkan estafet perjuangan itu? Entahlah. Satu hal yang aku yakini adalah bahwa bibit-bibit kemanusiaan yang telah beliau tanamkan kepada kami para santrinya, dan yang beliau semaikan dalam berbagai konteks kemasyarakatan, pasti akan menuai hasilnya yang sepadan, dan akan muncul generasi penerus beliau di masa depan untuk meneruskan desakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. InsyaAllah.

Terima kasih, Ustadz. Selamat jalan. Semoga engkau damai di sisi-Nya.

____________________________________________________
NB: Artikel ini juga dimuat di Kompasiana.

20 October 2011

Di Ambang Ketidakpercayaan Publik (?)

Negara kita tak pernah berhenti didera masalah. Berbagai permasalahan terus menghampiri, mulai dari bencana alam, bencana industrial, pengangguran, rendahnya upah buruh, ‘penguasaan’ sumberdaya alam oleh investor asing, berbagai tindak korupsi, carut-marut dunia pendidikan, persoalan perbatasan dengan negara ‘sebelah’, hingga hukuman pancung TKI di Arab Saudi. Belum lagi permasalahan-permasalahan lain yang terjadi silih berganti –bahkan menumpuk- di berbagai daerah.
Rakyat pun semakin jenuh, frustrasi, dan bahkan depresi, karena hampir selalu dihadapkan dengan ketidakbecusan penanganan negara terhadap masalah-masalah yang ada. Bila hal ini terus berlanjut, maka tidak mustahil bahwa akan timbul ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan penegak hukum.

Dalam perspektif psikologi sosial, hilangnya kepercayaan terhadap individu atau lembaga disebabkan oleh dua hal pokok (Bies & Tripp, 1996). Pertama, adanya ketidaksesuaian kinerja individu atau lembaga dengan nilai-nilai sosial. Mereka dianggap melanggar civic order, seperti ingkar janji, berbohong, memanipulasi aturan, dan menyalahgunakan wewenang.
Kedua, tindakan yang merusak identitas sosial, seperti berbuat tidak adil secara terbuka (diskriminatif, tebang pilih) dan mengkritik kelompoknya sendiri di depan umum. Ketidakpercayaan publik ini –jika dibiarkan tanpa ada upaya nyata untuk membangun kembali kepercayaan- akan muncul dalam bentuk tindakan tidak melakukan apapun (apatis), konfrontasi (protes), atau mengalihkan pada permasalahan lain (escape).
Berbagai macam gerakan protes yang dilakukan rakyat, baik melalui aksi jalanan, mogok makan, berbagai upaya judicial review, hingga gerakan “koin peduli”, merupakan manifestasi nyata dari ketidakpercayaan publik. Begitu pula tingginya rating sinetron-sinetron ‘picisan’ dan program-program reality show dalam tayangan televisi kita, menurut penulis, merupakan sebentuk pelarian (escape) masyarakat dari kejenuhan menghadapi realitas yang menyesakkan.

Membangun (Kembali) Kepercayaan

Membangun sebuah kepercayaan (trust) bukanlah hal yang mudah. Ketika berbagai pelanggaran terhadap civic order -sebagaimana disebutkan di atas- telah melekat dalam kognisi rakyat, maka kepercayaan yang telah terbentuk sebelumnya akan menurun drastis, bahkan mengarah pada ketidakpercayaan publik. Mungkin rakyat masih patuh kepada pemerintah sebagai penguasa yang sah (institutional-based trust), namun dalam perjalanannya mereka sebenarnya menentang dan tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan dan cara-cara yang digunakan pemerintah dalam memimpin negara. Padahal membangun kepercayaan demikian merupakan kemutlakan dan harus melalui proses yang lama (process-based trust), jika pemerintah tidak ingin kehilangan legitimasi.
Ada empat dimensi kepercayaan, yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedulian, dan reliabilitas (Mishra, 1996). Keempat dimensi tersebut merupakan satu kesatuan. Tinggi atau rendahnya kepercayaan rakyat tergantung pada kompetensi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan, keterbukaan dalam menyampaikan informasi publik, kepedulian nyata (dalam bentuk kebijakan) terhadap problem-problem kebangsaan, serta konsistensi dalam menjalankan pemerintahan yang baik.
Mencermati realitas saat ini, harapan akan terpenuhinya keempat dimensi kepercayaan di atas tampak tidak realistis. Kompetensi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan sangat meragukan, terbukti dengan berbagai problem yang belum terselesaikan hingga kini, bahkan melahirkan problem-problem baru, seperti kasus terbunuhnya Munir dan korban tragedi 1998, kasus Bank Century, biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal, dan angka pengangguran yang semakin meningkat. Keterbukaan pemerintah dalam menyampaikan informasi publik tercoreng oleh pernyataan Seskab yang mengarah pada ‘kriminalisasi’ media. Kepedulian terhadap problem-problem kebangsaan pun sangat kecil, dan semakin menunjukkan inkonsistensi pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang baik.
Oleh karenanya, apabila pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, maka menjadi sebuah keharusan untuk melakukan langkah-langkah riil dalam menyelesaikan berbagai problem kebangsaan, dan rakyat akan melihat dengan sendirinya kompetensi, kepedulian, dan konsistensi pemerintah. Pemerintah pun harus bersikap terbuka, baik dalam hal penyampaian informasi kepada publik maupun penerimaan kritik dari rakyat, karena menutup-nutupi persoalan dan bersikap arogan (anti-kritik) hanya akan memperbesar kecurigaan rakyat terhadap ketidakberesan dalam pemerintahan.
Bukankah demikian demokrasi yang selama ini kita cita-citakan?