16 December 2011

PMII dan Organisasi Gerakan: Menakar Urgensi Perencanaan Strategis

PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) merupakan salah satu elemen gerakan mahasiswa di Indonesia yang telah lama berkecimpung dalam dunia sosial-politik. Sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society), PMII mempunyai tugas dan peran yang strategis, yaitu dalam rangka turut mendorong dan melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Idealisme yang dibawa oleh PMII adalah cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, plural, toleran, demokratis, dan partisipatif. Hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai dasar pergerakannya (NDP) yang berakar pada pemahaman Islam progresif-kritis-transformatif dan nilai-nilai Indonesia yang plural, toleran, dan demokratis.

Untuk melaksanakan tugas dan peran di atas, PMII haruslah memiliki kapasitas organisasi yang memadai. Artinya, ia harus memiliki kemampuan dalam manajemen organisasi yang baik. Hal itu tentunya tidak terlepas dari aspek-aspek lainnya seperti kaderisasi dan kepemimpinan. Seperti halnya sebuah peribahasa Arab yang mengatakan bahwa “Kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir dengan baik”. Nah, dari sinilah kita dapat mengambil sebuah rasionalisasi yang argumentatif bahwa perlu ada sebuah sistem organisasi yang mencakup segala aspek secara komprehensif dalam rangka mencapai visi dan misi organisasi.

Dalam pengamatan penulis selama ini, PMII belum memiliki sebuah sistem keorganisasian yang sistematis dan komprehensif. Dalam perjalanan pergerakannya, PMII masih bekerja secara ‘acak-acakan’. Kerja-kerja kaderisasi, discourse building, sosialisasi, ataupun yang lainnya masih belum tersistematisasikan dalam sebuah kerangka kerja yang jelas. Akibatnya, masing-masing bagian (ketua, sekretaris, bendahara, dan departemen-departemen) bekerja sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang baik dengan bagian lainnya dan asal-asalan, tanpa visi dan misi yang memadai. Padahal kalau kita mengacu pada AD/ART dan Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII, maka kita dapat menemukan sebuah spirit yang visioner, transformatif, progresif, dan prospektif. Namun ternyata hal tersebut kurang idpahami dan diaplikasikan dalam bentuk program kerja yang sistematis dan komprehensif oleh para kader PMII yang menjalankan roda organisasi. Hal ini, menurut penulis, akan berakibat fatal pada eksistensi dan kontinuitas gerakan PMII sendiri ke depannya.

Lalu, sistem organisasi seperti apakah yang ideal bagi PMII? Menurut penulis, perlu bagi para pengurus PMII di berbagai tingkatan, baik rayon, komisariat, cabang, bahkan pengurus besar untuk membuat perencanaan strategis organisasi (strategic planning). Yang dimaksud dengan perencanaan strategis adalah sebuah sistem pengorganisasian sumber daya organisasi yang ada dengan mempertimbangkan dan diarahkan pada visi, misi, dan tujuan organisasi secara global yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk rencana program kerja gradual (bertahap), di mana masing-masing tahapan memiliki target-target tertentu yang akan dilanjutkan pada tahapan selanjutnya dengan target lanjutan pula.

Sumaryono (2009) menjelaskan bahwa perencanaan strategis merupakan “seperangkat prosedur pengambilan keputusan untuk tujuan dan strategi organisasi dalam kurun waktu yang lama”. Tujuan yang ingin didcapai adalah tujuan strategis (strategic goals), yaitu target-target utama atau hasil akhir yang berkaitan dengan kelangsungan hidup, nilai-nilai, dan perkembangan organisasi. Sedangkan strategi adalah pola tindakan dan alokasi sumberdaya yang didesain untuk pencapaian tujuan organisasi. Lebih mudahnya, perencanaan strategis dapat digambarkan dalam tahapan sebagai berikut :

Dari diagram di atas, kita dapat melihat dan memahmi bahwa proses perencanaan strategis dilakukan dengan tahapan:
a. Merumuskan visi, misi, dan tujuan organisasi
b. Analisis kekuatan dan kelemahan internal serta analisis peluang dan ancaman eksternal (SWOT)
c. Memformulasikan strategi pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi
d. Mengimplementasikan strategi yang telah dibuat
e. Melakukan kontrol dan evaluasi atas implementasi strategi yang ada.

Dengan membuat perencanaan strategis, kinerja pengurus akan lebih efektif, efisien, terarah, sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan (sustainable). Para pengurus yang menjalankan roda organisasi tidak akan kebingungan dalam menentukan langkah-langkah kinerja organisasi, apa yang harus dilakukan, dan kenapa ini atau itu yang harus diprioritaskan. Selain itu, kinerja organisasi tidak akan stagnan atau bahkan mundur karena adanya regenerasi kepengurusan, karena telah dibuat tahapan-tahapan strategis pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi. Jadi, apakah kita akan tetap berpegang pada cara kerja lama yang tidak sistematis, atau beralih pada sistem organisasi dengan metode perencanaan strategis yang lebih sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan?

Wallahu a’lam bis shawab.

Multikulturalisme dalam Konteks Ke-Indonesia-an*

Istilah multikultural sebagai sebuah fakta yang tak terelakkan tentang adanya keanekaragaman berbeda dengan istilah multikulturalisme sebagai sebuah konsep yang bersifat normatif. Konsep multikulturalisme pertama kali muncul pada saat negara-negara maju menghadapi kenyataan adanya keanekaragaman yang kemudian menimbulkan tantangan tersendiri bagi mereka untuk menyelesaikan permasalahan rasial yang muncul. Namun, harus disadari bahwa pada akhirnya permasalahan tersebut juga akan dihadapi oleh negara-negara lain yang mengaku sebagai negara bangsa modern, di mana masyarakatnya semakin berkembang ke arah keberagaman, seperti halnya negara kita, Indonesia.

Ketika kita berbicara tentang multikulturalisme, kita tentu tidak bisa terlepas dari persoalan mengenai kaum minoritas. Namun, menurut Bikhu Parekh, sebenarnya multikulturalisme tidaklah secara spesifik menawarkan pembelaan terhadap kaum minoritas. Ia sebenarnya lebih menekankan pada usaha pembuatan konsep dan kebijakan yang diharapkan dapat menjaga dan memelihara dengan baik relationship di antara berbagai komunitas rasial yang ada (dalam Nurkhoiron, 2007: 18). Hal ini diperkuat oleh pendapat Homi Bhabha yang menyatakan bahwa konsep kaum minoritas muncul dari adanya konstruksi diskursif, yang kemudian memunculkan minoritisasi. Minoritas lebih sulit ditemukan di dalam kenyataan di lapangan, karena apa yang kita anggap sebagai kaum minoritas tidak lebih dari akibat kategorisasi kita terhadap mereka sebagai ‘the other’ yang kemudian melahirkan kategori-kategori minor (minoritas, tradisional, bodoh, tertinggal, terbelakang, dan sebagainya). Dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan Orde Baru yang diskriminatif dan hegemonik terhadap berbagai komunitas yang dianggap sebagai minoritas, seperti penggunaan istilah “masyarakat terpencil”, yang dikeluarkan secara resmi oleh Dinas Sosial, dan tampaknya belum berubah sampai sekarang. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menurut mereka bertujuan untuk memberikan kemajuan dan demokrasi, yang dilatarbelakangi oleh konsep kemajuan, yang kemudian menjadi biang marjinalisasi dan minoritisasi kelompok-kelompok sosial tertentu, karena konsep kemajuan ini telah membagi ide-ide masyarakat ke dalam kategori-kategori menurut tingkatan kualitasnya: superior, inferior, maju, terbelakang, dan sebagainya.

Persoalan-persoalan yang timbul di dalam konteks ke-Indonesia-an berkaitan dengan kaum minoritas, sebenarnya tidak terlepas dari peran utama yang dimainkan oleh negara yang berkuasa dan kemudian membentuk wacana tertentu dari sudut pandang mereka. Hal inilah yang memunculkan politik representasi, yang akhirnya membentuk narasi di dalam masyarakat tentang kaum minoritas dan melegitimasi tindakan-tindakan yang diambilnya terhadap kaum minoritas tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan adanya sokongan dari aparatus negara dalam merealisasikan ‘gagasan’ negara terhadap masyarakat minoritas.

Dari Representasi ke Multikulturalisme

Sebagaimana kita ketahui bersama, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural, dan oleh karenanya harus ditumbuhkan sebuah kesadaran multikulturalisme terhadap masyarakat seluruhnya. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana negara mampu memberikan contoh yang baik bagi rakyatnya dalam mewujudkan kesadaran multikulturalisme ini secara nyata dalam bentuk instrumen kebijakan yang benar-benar berpihak kepada mereka yang merupakan golongan minoritas. Memang saat ini kita dapat melihat adanya perkembangan yang lebih baik dalam hal kebijakan terhadap kaum minoritas yang bertujuan untuk mencegah diskriminasi dalam wilayah-wilayah seperti pendidikan, pekerjaan, praktik kebudayaan, dan sistem kepercayaan, di mana hal ini merupakan bagian dari proses ratifikasi berbagai konvensi hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga dari lima konvensi utama hak asasi yang telah diratifikasi yang di dalamnya diatur mengenai larangan diskriminasi, yaitu: Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Namun, di sini terkandung sebuah kelemahan, di mana penggunaan istilah masyarakat adat dan pengadopsian beberapa unsur yang menyertainya masih berkecenderungan untuk mengarah pada penjustifikasian kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Seperti yang dialami oleh komunitas Tolotang yang meskipun secara numerik minoritas, namun dalam konstelasi politik lokal mampu memerankan siasat identitas kulturalnya untuk menempatkan wakilnya di dalam kursi pemerintahan.

Oleh karena itu, perlu upaya-upaya lebih lanjut untuk memetakan secara lebih mendalam komunitas lokal yang ada untuk kemudian menyiapkan instrumen kebijakan lokal yang berpihak kepada mereka. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa hal ini mutlak memerlukan komitmen dari pemerintah untuk mendukung upaya-upaya ini ke depan secara lebih baik dan konstruktif.

_____________________________________________________

*Artikel ini merupakan sebuah tulisan lama yang ditulis sebagai prasyarat ketika penulis menjadi peserta Sekolah Multikulturalisme yang diadakan oleh Lafadl Initiatives Yogyakarta pada tahun 2008.