23 May 2012

Nasionalisme dan Kesadaran Sosial Pemuda*

Kita tentu masih ingat akan peristiwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh pemuda Indonesia di masa itu, tepatnya pada 28 Oktober 1928. Ketika itu kaum pemuda sepakat dan menyatakan dengan penuh kemantapan untuk berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu, Indonesia. Dan ikrar inilah yang kelak kemudian menjelma menjadi spirit perjuangan dan sekaligus alat pengikat bangsa sehingga bangsa kita mampu bangkit untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa penjajah. Dalam lintasan sejarah kebangsaan Indonesia pun kita dapat menyaksikan bagaimana kaum pemuda selalu menjadi pelopor dan ujung tombak perjuangan dalam menghancurkan rezim atau kekuasaan negara yang arogan dan otoriter.

Pun ada sebuah pepatah mengatakan: “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan (syubbanul yaum wa rijalul ghod)”. Artinya, eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini –apakah akan maju dengan keberhasilan di era globalisasi atau jatuh dalam keterpurukan zaman di masa depan- sepenuhnya ada di tangan para pemuda saat ini.

Pemuda Indonesia Kontemporer

Kalau kita amati bersama, ternyata pemuda Indonesia saat ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Kenapa? Setidaknya ada 3 hal yang mengindikasikannya. Pertama, masih banyaknya pemuda Indonesia yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi akibat masalah finansial, minimnya kesadaran akan urgensi pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi, dan sebagainya. Kedua, akibat pengaruh budaya Barat yang permisif, materialis, dan hedonis, tidak sedikit pemuda Indonesia yang tenggelam ke dalamnya. Sehingga mereka tak lagi memperdulikan norma dan tata nilai moral, keagamaan, dan hukum yang ada. Dan akhirnya pudarlah idealisme dan nasionalisme mereka.

Ketiga, belum ada pola pendidikan kritis yang sesungguhnya dalam dunia pendidikan Indonesia, sehingga pemikiran kaum pemuda cenderung statis atau bahkan mundur. Aksi-aksi mereka pun menjadi tidak progresif-liberatif akibat tidak adanya keberanian untuk melakukan sebuah perubahan yang benar-benar mengubah dalam diri mereka terhadap struktur atau sistem dan budaya yang menyimpang.

Sebagai contoh adalah lagu Indonesia Raya yang merupakan lagu kebangsaan Indonesia, di mana setiap kali dilaksanakan upacara bendera, lagu tersebut senantiasa mengiringi saat-saat pengibaran Sang Merah Putih. Apabila kita menghayati lagu tersebut dengan baik, maka kita akan menemukan makna yang mendalam yang terkandung di dalamnya, yaitu makna sebuah kemerdekaan dan ke-Indonesia-an. Namun coba tanyakan bunyi lagu tersebut pada anak didik di lingkungan pendidikan kita, maka saya yakin bahwa tidak sedikit di antara mereka yang plegak-pleguk dalam melantunkannya. Bahkan, mungkin ada yang tidak mengenal sama sekali pencipta lagu tersebut. kalau sudah begini –walaupun tampak sepele- kita menjadi ragu, nasionaliskah mereka?

Mahasiswa Indonesia pun saat ini telah mulai kehilangan ruh idealismenya, akibat terlena oleh buaian materi dan kekuasaan. Memang, ketika masih menjadi mahasiswa dan aktif dalam organisasi, mereka tampak begitu idealis. Namun setelah terjun di masyarakat dan duduk dalam jabatan struktural tertentu, idealisme itu mulai surut, dan bahkan kemudian sirna tak bersisa. Mulailah mereka sibuk dengan urusan perut dan kekuasaan di satu sisi, namun di sisi lain mereka lupa akan realitas sosial yang ada di masyarakat. Kepekaan dan kesadaran sosial (sense of social crisis) itu hilang entah ke mana.

Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi problem di atas, maka ada beberapa hal yang harus dikerjakan. Pertama, pemerintah harus didesak untuk menunjukkan komitmennya terhadap keberlangsungan dan peningkatan mutu pendidikan di kalangan rakyat Indonesia, dengan tujuan agar pemerintah benar-benar concern dan fokus dalam menjadikan pendidikan sebagai salah satu pilar pembangunan. Kedua, harus ada reformasi sistem pendidikan di Indonesia secara menyeluruh yang sebelumnya hanya menganggap anak didik sebagai obyek dan cenderung monolog menuju pengakuan terhadap anak didik sebagai subyek pendidikan itu sendiri dan bersifat dialogis. Pendidikan tersebut haruslah berupa pola pendidikan kritis-emansipatoris-liberatif.

Ketiga, penyelenggaraan pendidikan tersebut harus berorientasi pada pembentukan generasi pemuda yang nasionalis tulen dan berkesadaran sosial tinggi. Selain itu, perlu juga ditanamkan jiwa wiraswasta dalam diri anak didik agar kelak mereka mampu menjadi orang yang mandiri, dinamis, kreatif, dan inovatif.

Usulan-usulan di atas haruslah dilaksanakan dan diaplikasikan dalam ranah realitas secara konsekuen, apabila kita semua benar-benar bertekad untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan kesadaran sosial pemuda. Namun apabila memang kita tidak memiliki kesungguhan tekad, maka biarkanlah bangsa dan negara Indonesia tercinta ini terpecah-belah dalam konflik dan disintegrasi dengan segunung problem multidimensional yang tak pernah terselesaikan. Manakah pilihan kita?

Wallahu a’lam bis showab.

___________________________________________
(*) Artikel ini merupakan artikel lama yang tidak sengaja penulis temukan ketika sedang beres-beres buku di rumah penulis. Artikel ini ditulis pada tahun 2007, ketika penulis masih nyantri di Ponpes Al-Amin, Mojokerto, dan sedang menempuh kelas XII MA Pesantren Al-Amin.

Irshad Manji, Agama, dan Problem Negara Hukum

Oleh: Mochammad Said*

Baru-baru ini tanah air kembali berduka, karena terjadi kekerasan beragama di sebuah kota yang justru ingin menegaskan eksistensinya sebagai kota toleransi (city of tolerance). Ya, kota Yogyakarta, yang juga terkenal sebagai kota pelajar, tempat berkumpulnya dan bersemainya para elit intelektual dan cendekiawan terkemuka di negeri ini.

Peristiwa yang memprihatinkan itu terjadi pada Rabu (9/5), di mana sekelompok massa (baca: MMI) menyerang sebuah tempat diskusi (baca: kantor LKiS) dan memaksa agar diskusi yang mendatangkan Irshad Manji, seorang aktivis gender kelahiran Uganda, tersebut dibatalkan. Sebelumnya, di pagi pada hari yang sama dan acara diskusi yang juga menghadirkan Irshad Manji yang rencananya diadakan bertempat di UGM, juga dibatalkan karena tekanan dan ancaman dari sekelompok ormas.

Kerancuan Berpikir

Menanggapi peristiwa tersebut, Mu’tashim El-Mandiri menulis sebuah artikel (Jawa Pos, 12/5). Dalam artikel tersebut, ia berpendapat bahwa persoalan yang menimpa Irshad Manji di atas bukanlah sekadar persoalan yang berkaitan dengan nilai-nilai agama seperti toleransi, perdamaian, dialog, dan semacamnya; namun lebih dari itu adalah persoalan substansi ajaran Islam (syariat Islam) itu sendiri. Menurutnya, acara yang diadakan dan menghadirkan Irshad Manji itu bertentangan dengan syariat Islam, karena Irshad Manji mengkampanyekan legalitas lesbianisme dan homoseksualitas, padahal Islam jelas-jelas mengharamkannya. Oleh karena itu, menurutnya, sudah seharusnya kalau acara-acara semacam itu dilarang dan tidak seharusnya diberi tempat di bumi Indonesia.

Menurut penulis, cara berpikir demikian mengandung kerancuan cara berpikir. Di satu sisi, ia menghargai nilai-nilai demokrasi seperti dialog, anti-kekerasan, dan menghormati perbedaan pendapat. Namun, di sisi lain, ia menolak dan menentang penerapan nilai-nilai tersebut apabila sebuah ide atau praktik tertentu bertentangan dengan keyakinan dan pendapat diri atau kelompoknya.

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana dicantumkan dalam konstitusi pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, di mana salah satu cirinya adalah adanya jaminan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan penegakan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 28E ayat (2) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Selain dijamin dalam UUD NRI 1945, kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat juga diakui oleh hukum internasional sebagai HAM yang dijabarkan dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) Pasal 19 dan 20, serta dalam Pasal 19 dari International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR).

Dengan demikian, adalah keliru kalau kemudian menyatakan ketidaksetujuan terhadap sebuah ide atau pemikiran dengan cara-cara pelarangan, pembubaran paksa, apalagi dengan anarkisme dan kekerasan. Kedatangan Irshad Manji di Indonesia dengan pemikirannya yang kontroversial –mengenai lesbianisme dan homoseksualitas- itu seharusnya ditentang, kalau memang tidak sepakat, tidak dengan pelarangan atau anarkisme, tetapi dengan argumentasi tandingan yang lebih santun dan elegan. Pemikiran seharusnya dilawan dengan pemikiran, dan argumentasi ditanggapi dengan argumentasi tandingan. Kekerasan atas nama apapun –termasuk agama- tidaklah diperbolehkan, dan harus ditindak tegas secara hukum.

Islam dan Kebebasan Berpikir

Islam merupakan agama yang sangat menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat, bahkan begitu banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan umatnya untuk berpikir dan memperluas serta meningkatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah kita dapat menyaksikan bagaimana peradaban Islam menjadi besar dan sangat disegani karena adanya keluasan yang diberikan oleh negara dalam hal kebebasan berpikir dan berpendapat, sehingga lahirlah sosok-sosok seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan sebagainya.

Namun, dalam sebagian babak sejarah Islam kita juga dapat melihat bahwa negara melakukan intervensi yang berlebihan terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat. Kita tentunya masih ingat peristiwa mihnah al-Qur’an, yang mengakibatkan kriminalisasi terhadap beberapa pemikir dan intelektual muslim yang pemikirannya dianggap menyimpang dan bertentangan dengan ‘madzhab’ yang dianut oleh negara pada masa itu. Dan, dari sinilah, kemunduran peradaban Islam yang gemilang itu dimulai.

Oleh karena itulah, kita perlu meneladani para intelektual dan penguasa Islam di masa lalu yang sangat menghargai dan bahkan mendorong tradisi kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan rakyatnya. Para imam madzhab seperti Imam Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali adalah contoh ulama’ yang sangat egaliter dan toleran. Mereka sangat menghargai perbedaan pendapat dalam pemikiran hukum Islam (fiqih).
Masa Depan Demokra(tisa)si Indonesia

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku, agama, dan ras hidup dalam sebuah rumah bersama bernama Indonesia. Hingga saat ini, kebersamaan tersebut, dengan dinamikanya yang khas, tetap terjaga dalam sebuah harmoni multikultural yang indah. Hal itu dapat terjadi tidak lain tentunya karena adanya perekat yang menjembatani segala jenis perbedaan tersebut yaitu UUD NRI 1945 dan Pancasila yang sangat ampuh. Fondasi kebangsaan dan kenegaraan ini haruslah terus dijunjung tinggi, dikembangkan, dan diterjemahkan dalam praksis bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara riil dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila kedua perekat tersebut –yang di dalamnya memuat nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan toleransi- kita laksanakan dengan baik, maka masa depan NKRI akan senantiasa cerah dan penuh dengan optimisme. Namun, sebaliknya, apabila kita mengingkari dan mengabaikan keduanya, maka penulis tidak yakin bahwa kita akan dapat berkembang dan semakin maju sebagai bangsa dan negara kesatuan, karena perpecahan, konflik, dan kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman agama, etnis, maupun ras akan selalu mengintai. Pilihan ada di tangan kita, apakah kita ingin maju atau mundur sebagai bangsa dan negara demokrasi. Bukankah sudah terang mana yang harus kita pilih?

___________________________________
*) Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, alumnus Ponpes Al-Amin Mojokerto.

Membaca, Pintu Ilmu Pengetahuan*

Membaca. Apakah membaca itu (makanan, mainan, atau apa)? Membaca berasal dari kata dasar baca dengan awalan (prefiks) me-. Menurut bahasa, membaca adalah mengeja dan melafalkan tulisan. Sedangkan menurut istilah, membaca adalah melihat dan memahami isi dari tulisan (baik dengan cara melisankan atau hanya dalam hati). Berangkat dari pengertian tersebut, seseorang dikatakan membaca apabila ia telah melihat dan memahami tulisan yang dibacanya, baik dengan cara mengeja dan melafalkan atau hanya dalam hati. Oleh karena itu, orang yang setelah membaca kemudian tidak paham akan maksud atau isi dari apa yang dibacanya, maka ia belum bisa dikatakan membaca.

Manfaat Membaca

Kalau kita mendengar kata membaca, mungkin khayalan kita akan tertuju pada buku-buku yang banyak dan bertumpuk-tumpuk. Kita seolah merasa bahwa tumpukan buku-buku itu akan menimpa kita, hingga kita pusing karena tertimpa mereka. Mereka semua kelihatan seperti monster yang siap menginjak-injak dan menghancurleburkan diri kita.

Apabila kita mau menelusuri secara lebih serius dan mendalam, mungkin kita bisa menemukan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan dan terekam dalam otak, apa yang kita baca dari buku-buku itu. Di dalamnya kita bisa belajar untuk mengolah dan melatih kecerdasan otak kita berdasarkan pemahaman kita terhadap isinya setelah membaca. Di dalam dunia kehidupan ini, banyak sekali informasi tentang bermacam hal, baik yang sifatnya lokal, interlokal, nasional, atau bahkan internasional, sehingga mau tidak mau kita harus mengaksesnya sescara selektif. Apalagi dalam era globalisasi seperti sekarang ini, di mana dunia seakan bola peta yang amat kecil dan jarak antara suatu daerah dengan daerah lainnya tak berarti bagi terbukanya jendela informasi dunia. Dan untuk melakukannya, antara lain kita harus membaca dan membaca. Bukan begitu?!

Faktor-faktor Keengganan Membaca

Kegiatan membaca bagi sebagian orang mungkin terlihat membosankan. Apalagi bagi para pelajar yang dituntut untuk membaca seluruh mata pelajaran sekolahnya –yang antara lain agar sukses dalam ujian dan ulangan- membaca buku-buku pengetahuan sebanyak-banyaknya bisa sangat mengganggu (distortif) aktivitas belajar mereka. Lha wong, untuk membaca buku-buku pelajaran saja terkadang malas, apalagi yang lainnya.

Sebenarnya rasa malas atau enggan membaca di kalangan pelajar dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang sifatnya internal (berasal dari dalam) ataupun eksternal (berasal dari luar). Faktor internal ada beberapa hal. Pertama, si anak mungkin kurang tahu dan memahami arti penting atau manfaat yang akan didapatkan dari membaca. Kedua, si anak malas untuk melakukan kegiatan membaca karena rasa inferior (rasa rendah diri) dan pesimis (putus asa) yang tertanam dalam dirinya, dan ia belum mampu mengubahnya. Dan ketiga, manajemen waktu (time table) yang kurang akurat dan efektif bagi dirinya. Artinya, ia (si anak) belum bisa mengatur dan membagi waktunya dengan baik, seperti terlalu banyak bermain, tidur terlalu lama, dan sebagainya. Sehingga waktu yang seharusnya untuk belajar tersita oleh yang lainnya.

Sedangkan faktor eksternal kemungkinan adalah karena dua hal. Pertama, lingkungan yang kurang mendukung, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Misalnya larangan orang tua untuk terlalu banyak membaca karena dianggap percuma atau sia-sia, tidak berguna. Hal ini dapat menimbulkan rasa pesimis pada diri si anak. Kedua, minimnya literatur-literatur yang tersedia (kurang memadai). Hal ini dapat dimisalkan perpustakaan sekolah yang tidak begitu lengkap bukunya dan kurang bisa memenuhi kebutuhan buku siswa. Atau bisa juga perpustakaan umum yang keadaannya memang seperti itu. Keadaan ini dapat memunculkan rasa malas pada diri si anak atau siswa yang sebelumnya haus akan bacaan-bacaan tersebut.

Cara Menanggulangi Keengganan Membaca dan Meningkatkan Kegemaran Terhadapnya

Kegiatan dan kegemaran membaca sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang menarik dan bermanfaat atau menguntungkan apabila kita mau dan mampu memperlakukannya dengan baik dan benar. Ada berbagai macam cara yang bisa kita ambil dan kita laksanakan agar kegemaran membaca melekat dalam diri kita. Ini tergantung pada diri kita masing-masing (individually), apakah bersedia atau tidak untuk itu.

Antara lain adalah yang tersebut berikut ini. Pertama, menata dan membulatkan niat dan tekad dalam diri. Hal ini penting bagi kita untuk memulai suatu hal agar tercapai dengan baik dan benar, sesuai dengan apa yang diharapkan. Niat dan tekad harus kita pegang dan kita genggam erat-erat, jangan sampai terputus atau sirna sebelum tiba di tujuan. Karena apabila kedua hal tersebut sudah tidak ada di tangan kita, maka kecil sekali kemungkinan bagi kita untuk menapaki jalan menuju sukses. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Innama al-a’maalu bi an-niyyaati, wa innamaa li kulli imriin maa nawaa”, yang artinya adalah “Sesungguhnya (sahnya) perbuatan atau amal itu tergantung niatnya, dan tiap-tiap orang akan mendapat apa yang sesuai niatnya”.

Kedua, memahami manfaat dari kegiatan membaca. Sudah seyogyanya segala perbuatan dilakukan dengan tujuan dan maksud tertentu. Ini penting bagi seseorang agar bisa berancang-ancang dan bersiap diri berangkat ke tujuan yang ia inginkan. Begitu pula membaca. Dalam hati, kita harus memiliki motivasi: “Apakah manfaat yang akan aku dapat dari kegiatan ini (membaca)? Untuk apa aku membaca buku ini dan itu?” Tanyakan pada diri kita dan pahami, lalu wujudkan.

Ketiga, lingkungan yang mendukung (kondusif). Untuk menciptakan suasana yang kondusif, maka lingkungan yang ada harus dijadikan kondosif. Dan ini tentunya bertujuan agar dapat tercipta keserasian antara suasana dan lingkungan sehingga dengan begitu keinginan untuk membaca juga besar. Begitu pula sebaliknya, apabila lingkungan tidak mendukung (kondusif), maka keinginan atau semangat membaca akan menjadi kecil. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya kita bisa melakukan antara lain menetapkan peraturan atau disiplin wajib yang intinya bisa mengarahkan para siswa untuk gembar membaca. Tentunya harus dilaksanakan secara bertahap (step by step), bukannya secara radikal.

Keempat, sarana dan prasarana yang memadai. Dalam setiap lembaga pendidikan, pihak yayasan tentu berkeinginan menciptakan lembaga yang baik dan sempurna (berkualitas). Hal ini selain bertujuan meningkatkan image masyarakat, juga agar kegiatan belajar-mengajar bisa berlangsung baik, sehingga output-nya pun bagus. Selain itu, dalam usaha peningkatan kualitas siswa, harus diusahakan agar mereka (siswa-siswi) gemar membaca. Karena dengan membacalah kepintaran mereka akan bertambah, begitu pula kualitas mereka. Untuk mewujudkan itu, sudah seharusnya pihak yayasan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, seperti perpustakaan, ruang audio-visual, dan laboratorium praktik.

Melalui kegiatan atau aktivitas praktik di laboratorium dan ruang audio-visual, pengetahuan yang telah mereka miliki (teori) akan semakin menancap kuat dalam diri. Artinya, mereka mampu memahami dan menguasainya dengan baik. Begitu pula dari kegiatan membaca di perpustakaan, pengetahuan mereka akan bertambah terus-menerus, karena semakin mereka ingin tahu, maka semakin sering pula mereka membaca. Oleh karena itu, mereka perlu diberi rangsangan yang membuat mereka penasaran dan ingin tahu. Dengan begitu, mereka akan semakin rajin mencoba (praktik) di laboratorium dan atau membaca buku-buku yang ada di perpustakaan.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwasannya kegemaran membaca sangatlah baik dan penting untuk diwujudkan, karena ia merupakan pintu menuju ilmu pengetahuan. Untuk itu, perlu diadakan stimulasi-stimulasi yang bersifat pengarahan. Dan sebelum hal tersebut dilakukan, perlu dicari dan diketahui terlebih dahulu kendala-kendala atau hambatan-hambatannya. Hal ini agar jangan sampai harapan yang sudah diidamkan terputus, atau bahkan sirna sebelum sampai pada tujuan, sehingga harapan itu tidak bisa tercapai.
Wallahu a’lam bis showab.

__________________________________
(*) Artikel ini merupakan artikel lama yang tidak sengaja penulis temukan ketika sedang beres-beres buku di rumah penulis. Penulis lupa pada tahun berupa menulis artikel ini. Namun, sebagaimana tertera di bawah akhir lembar tulisan aslinya, ia ditulis ketika penulis masih nyantri di Ponpes Al-Amin, Mojokerto.

28 April 2012

NU, Kaum Muda, dan Dialektika Keberagamaan: Menjejak (Kembali) “Post-Tradisionalisme” Islam di Indonesia(1)

Oleh: Mochammad Said(2)


“Semakin mengglobal dunia,
Semakin penting hal-hal yang berbasis lokal”.

John Neisbitt, Global Paradox


Nahdlatul Ulama’ merupakan organisasi sosial keagamaan dengan kuantitas jama’ah terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, di mana mayoritas di antaranya hidup dan tinggal di perdesaan. Kultur keberagamaan yang dibangun memiliki kekhasan yang sangat berbeda dengan arus besar aliran Islam yang berkembang di dunia asal Islam lahir, yaitu di Arab. Hal itu sangat mudah dipahami karena kultur keberagamaan tersebut lebih berakar pada tradisi Nusantara daripada Arabisme.

Sebagai sebuah organisasi keagamaan, NU memiliki akar intelektual yang khas pula apabila dibandingkan dengan misalnya Muhammadiyah, Persis, atau LDII. Tradisi intelektual NU sangatlah panjang, di mana sanad-nya merentang dari para ulama’ Nusantara, Walisongo, hingga para imam madzhab. Tidak seperti organisasi keagamaan lainnya, NU dapat dikatakan sebagai satu-satunya gerakan keagamaan yang memiliki akar intelektual dan kultural yang kuat dari para pendahulu Nusantara.

Tegangan Modernitas: Menjawab Tantangan Zaman

Banyak pihak luar –baik ilmuwan, agamawan, bahkan juga pemegang kebijakan- melihat NU dengan kultur agraris basis umatnya dan pemahaman serta kultur keberagamaannya yang didasarkan pada kitab-kitab klasik –yang sering disebut kitab kuning- sebagai kelompok yang tradisional, bahkan istilah ini dikonotasikan secara peyoratif sebagai kekolotan dan kebekuan. Istilah ini dilawankan dengan kosakata modern(itas) yang dianggap sebagai indikator kemajuan dan kesesuaian dengan era kekinian, yang didapuk berdasarkan contoh kemajuan peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat. Dikotomi kategoris yang demikian tak pelak memunculkan konfrontasi yang bahkan tidak jarang berujung pada konflik horisontal –bahkan vertikal- tidak hanya dalam lingkup kehidupan beragama, tetapi juga dalam lapangan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.

Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, kita bisa melihat bagaimana pertentangan antara kelompok ‘tradisionalis’ tersebut berhadapan dengan kelompok ‘modernis’. Dan bagaimana pula kebijakan pemerintah, khususnya di era Orde Baru, terhadap kelompok ‘tradisionalis’ ini. Padahal, kalau kita bersikap secara lebih kritis, kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan, “atas dasar apakah kategorisasi tradisional-modern itu bisa dianggap absah?” Atau sebuah sanggahan, “apakah ukuran modern, kemajuan, dan kekinian harus didasarkan pada sikap ‘membeo’ kepada apa yang dicapai dan terjadi di Barat tanpa preserve?”

Dalam mengambil dan menyikapi setiap persoalan, ulama’ NU memang senantiasa menggunakan rujukan kitab-kitab kuning, yang secara tidak langsung merupakan bagian dari persambungan (sanad) intelektual dari para ulama’ terdahulu. Apakah ini buruk? Tidak, karena seperti halnya para ilmuwan di Barat yang mendasarkan kebangkitan peradabannya dari tradisi Yunani, maka demikian pulalah yang dilakukan oleh para ulama’ NU. Tradisi (turats), yang diartikan oleh Hassan Hanafi sebagai warisan pemikiran Islam klasik, merupakan basis intelektual yang kaya dan justru harus ditransformasikan sebagai bahan racikan menuju pembaharuan (tajdid) gagasan yang lebih relevan dengan kekinian, yang menurut Hassan Hanafi adalah ke arah revolusi (tsaurah). Jadi, untuk mencapai kemajuan bukanlah dengan mengingkari dan menafikan begitu saja tradisi, tetapi justru dengan mengolahnya secara kreatif dengan konteks kekinian.

Kalau kita membaca sejarah pemikiran keagamaan di dalam tubuh NU, kita akan menemukan bagaimana dinamisnya dialektika pemikiran tersebut. Bahkan, dalam fase-fase krusial sejarah kebangsaan kita, sikap dan keputusan NU selalu menjadi pijakan sejarah yang penting. Peristiwa 10 Nopember adalah penerimaan asas Tunggal adalah contohnya. Dan sekali lagi, harus dikatakan bahwa sikap dan keputusan tersebut adalah hasil dari pergulatan intelektual berbasis kitab kuning.

Otokritik dan Upaya Ke Arah Progresivitas

Seiring dengan perkembangan zaman, pola pemikiran yang berbasis kitab kuning itu pun mengalami gugatan dari dalam, yang digaungkan oleh mereka yang disebut kaum muda NU. Ya, kaum muda NU, adalah anak-anak muda NU yang sebelumnya menempuh pendidikan dan menempa ilmu di basis pesantren-pesantren NU –dengan tradisi kitab kuningnya yang khas tentunya- dan kemudian menempuh pendidikan dan menempa ilmu di kampus-kampus, mulai dari IAIN (kini sebagian menjadi UIN) hingga kampus-kampus yang notabene ‘sekuler’ seperti UGM, UI, ITB, dsb. Gejala ini mulai muncul setidaknya sejak era 1970-an, dan semakin ke sini gelora ‘pemberontakan’ itu semakin kentara. Mereka yang sebelumnya mendapatkan asupan ilmu pengetahuan dari kitab-kitab kuning, ketika memasuki kampus, bersentuhan secara intens dengan wacana-wacana dan pengetahuan warisan peradaban Yunani (Barat) serta pemikiran para intelektual Timur Tengah (Arab).

Dialektika di antara 3 kutub keilmuan inilah yang membentuk karakter berpikir mereka, yang sangat berbeda dengan para sesepuh mereka terdahulu. Mereka mengalami lompatan pemikiran yang luar biasa, dari “tradisionalisme” menuju “post-tradisionalisme”. Terma kedua (post-tradisionalisme) ini digunakan untuk menunjukkan bahwa perubahan paradigma berpikir mereka tidaklah dari tradisional, kemudian memutuskan hubungan darinya untuk kemudian menanjak ke pemikiran ‘modern’, tetapi justru tradisi itu menjadi basis intelektual yang disikapi secara kritis untuk menyikapi persoalan zaman kekinian, sehingga lebih tepat disebut dengan istilah “post-tradisionalisme”. Dan ini adalah gejala khas dalam tubuh NU.
Dengan kekayaan basis intelektual tersebut, mereka –kaum muda NU- menghunjamkan kritik ke dalam tubuh NU dalam 3 persoalan utama yang menjadi concern mereka. Pertama, masalah kemandegan berfikir (jumud). Kaum muda NU berpendapat bahwa wacana-wacana yang dikembangkan oleh NU selama ini masih terpaku pada persoalan-persoalan yang sifatnya formalistik-ritualistik. Padahal, menurut mereka, NU –sebagai sebuah entitas- memiliki kontribusi yang sangat besar dalam fase-fase pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan, dan memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi yang lebih besar bagi umat Islam dan rakyat Indonesia. Mereka menggugat –meminjam istilah Ignas Kleden- relevansi sosial dari pemikiran keagamaan yang ada dalam tubuh NU. Mereka menuntut adanya sebuah pembaruan (tajdid) dalam paradigma berpikir NU, sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran dan praksis yang lebih luas dalam persoalan ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, hukum, pertanian, lingkungan, teknologi, dan sebagainya.

Kedua, keterlibatan NU dalam dunia politik praktis. Keterlibatan NU dalam percaturan politik praktis sejak 1952 membuat agenda-agenda keumatan seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi menjadi terbengkalai. Hal inilah yang menjadi keprihatinan kaum muda NU, sehingga mereka menyerukan agar NU kembali kepada khittah gerakannya, yaitu sebagai organisasi sosial-keagamaan sebagaimana dicantumkan dalam Khittah NU 1926. Sebenarnya gagasan untuk kembali ke Khittah ini pertama kali dikemukakan oleh K.H. Achyat Chalimy, Sekretaris Tanfidziyah PCNU Mojokerto, Jawa Timur, pada Muktamar NU ke-22 tahun 1965, namun kegelisahannya ternyata belum begitu dirasakan oleh elit-elit NU lainnya, sehingga tidak mendapat tanggapan serius dari muktamirin lainnya. Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah terjadi pergulatan dan perdebatan yang semakin intens dalam tubuh NU, gagasan tersebut diamini pada Muktamar NU tahun 1984, yang memilih Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Tanfidziyyah PBNU. Kembalinya NU ke Khittah 1926 dan terpilihnya Gus Dur dapat dikatakan sebagai simbol kemenangan dan keberhasilan kaum muda NU –yang sebagian besarnya adalah alumni PMII- untuk mendorong peran-peran transformasi sosial dan keumatan NU, sekaligus menjauhkannya dari pragmatisme politik praktis.

Ketiga, permasalahan pengelolaan keorganisasian. Pola pengelolaan basis masyarakat NU selama ini lebih bersifat patron-client, di mana elit ulama’ menjadi pemimpin kharismatik dan masyarakat yang menjadi client yang bergantung pada kharisma ulama’ mengakibatkan lemahnya dan kurangnya peran-peran NU dalam memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat. Kaum muda NU menuntut adanya pola manajerial dan kepemimpinan yang lebih sistematis agar dapat lebih akomodatif, proaktif, dan responsif dalam upaya-upaya mentransformasikan kehidupan masyarakat NU menuju kesejahteraan yang lebih baik.

Dari gerakan pembaruan pemikiran dan otokritik tersebut, lahirlah berbagai gagasan-gagasan baru, seperti Islam Progresif, Islam Liberal, Islam Emansipatoris, Islam Transformatif, dan berbagai turunannya. Dan pada akhirnya, gagasan-gagasan ini melahirkan praksis baru yang semakin membahana dengan keterlibatan anak-anak muda NU dalam gerakan mahasiswa seperti PMII –gerbong utama kaderisasi anak muda NU, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organiasasi Nonpemerintah (Ornop), serta berbagai gerakan rakyat lainnya di masa Orde Baru, dan berlanjut hingga kini.

Nasib “Post-Tradisionalisme” Islam: Kaum Muda NU dan Tantangan Ke Depan

Gerakan pembaruan pemikiran “post-tradisionalisme” yang digalakkan oleh kaum muda NU merupakan kontinuitas dari tradisi pemikiran keagamaan yang dianut oleh NU. Kiprah mereka dalam berbagai praksisnya menjadi penanda dari prediksi Cak Nur –panggilan akrab cendekiawan Nurcholish Madjid- pada tahun 1990-an bahwa abad 21 adalah abad kejayaan NU dengan “panen intelektual”-nya, di mana Gus Dur tampil sebagai pelopor dan inspirasi utama.

Dan kini, di mana abad 21 telah dimulai, bibit-bibit yang dulu ditanamkan telah mulai dapat dipanen. Hal itu dapat dilihat dari semakin membuncahnya keterlibatan kader-kader muda NU dalam berbagai bidang, baik secara gagasan maupun praksis. Mereka tidak lagi hanya bisa berkomentar dalam isu-isu keagamaan, tetapi juga isu-isu lingkungan, pendidikan, ekonomi, politik, hukum, kebudayaan, pertanian, teknologi, dan sebagainya. Perangkat analisis (tool of analysis) yang digunakan pun tidak lagi hanya didasarkan pada kitab-kitab klasik (baca: kitab kuning), tetapi juga teori-teori dan pemikiran kontemporer yang mereka ramu dengan kekayaan khasanah Islam klasik yang mereka miliki. Dari sekian karya pemikiran mereka, kita dapat melihat di antaranya pemikiran Teologi Buruh, Fiqih Minoritas, Fiqih Feminisme, Fiqih Rakyat, Fiqih Lingkungan, Fiqih Korupsi, dan sebagainya.

Ke depan, dengan adanya kesadaran yang mendalam atas kekayaan khasanah tradisi keislaman yang mereka miliki, dan dengan pengalaman serta wawasan yang mereka serap dari pemikiran-pemikiran luar (Barat, Timur Tengah, maupun yang lainnya), mereka (diharapkan dan dituntut) mampu menghasilkan gagasan-gagasan brilian yang khas dan memiliki relevansi teoritis serta relevansi sosial yang luas. Dan lebih jauh dari itu, kiprah serta keterlibatan mereka dalam praksis kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan akan semakin dinanti, dan tentunya akan semakin mewarnai lapangan ke-Indonesia-an dan (diharapkan) dapat memberikan sumbangsih yang nyata bagi transformasi sosial rakyat Indonesia. Masih begitu banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kondisi kehidupan bangsa dan negara ini, terutama yang berkaitan dengan kemiskinan, dan kaum muda NU ditantang untuk turut andil di dalamnya.


Daftar Bacaan:

Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: LP3ES.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Misrawi, Zuhairi (ed.). 2004. Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU. Jakarta: Kompas.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam, Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (terj.). Yogyakarta: LKiS.
Wahid, Abdurrahman. 1999. “Agamawan dan Pembangunan Desa”, dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS.

________________________________
(1) Artikel ini merupakan tulisan pengantar diskusi “Post-Tradisionalisme Islam” dalam rangka diskusi pra-PKD PMII Komisariat Gadjah Mada yang disampaikan pada Jumat, 27 April 2012, di Balairung UGM.

(2) Penulis merupakan Kepala Departemen Advokasi LM Psikologi UGM (2009), Kepala Departemen Media PMII Rayon Sosio Humaniora (2008-2009), Ketua PK PMII Gadjah Mada (2009-2010), dan Ketua Umum PC PMII Sleman (2011-2012). Saat ini sedang ‘berjuang’ merampungkan tugas akademik S1 di Fakultas Psikologi UGM.

06 April 2012

NU, Ulama, dan Kemaslahatan Umat*

NU merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yang sebagian besar anggotanya adalah masyarakat pedesaan dan kalangan bawah. Hal ini tentunya menjadi modal penting bagi NU untuk mengambil peranan dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Apalagi di zaman reformasi ini, di mana bangsa Indonesia masih saja dilanda krisis multidimensi —mulai dari ekonomi, politik, hingga keagamaan sebagaimana terjadi di Poso akhir-akhir ini— tentunya peran serta NU sangat dibutuhkan.

Peranan NU tersebut tentunya tak lepas dari sosok ulama. Kenapa? Karena NU secara bahasa berarti kebangkitan ulama di mana mereka adalah sebagai pewaris risalah para Nabi.
Dan sebagaimana kita ketahui, bahwa ketika diutus oleh Allah SWT, Nabi Muhammad melakukan dua perjuangan penting dan bersejarah. Pertama, adalah perjuangan teologis (ketuhanan) dengan ajaran Tauhid. Kedua, adalah perjuangan sosial yang meliputi tiga hal, yaitu pembebasan kaum budak, pembebasan kaum miskin, serta pembebas dan pengangkat derajat kaum perempuan. Jadi, perjuangan Nabi tersebut tidaklah sebatas pada ajakan untuk mengesakan Allah, tetapi juga meliputi usaha untuk pemihakan dan pembelaan terhadap masyarakat yang miskin, tertindas, dan kaum perempuan.

Dan sebagai pewaris Nabi, salah satu identitas ulama menurut Imam Al-Ghazali adalah “peka terhadap permasalahan makhluk.” Artinya, ulama harus memiliki tingkat kepedulian yang tinggi, memahami permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi umat dalam berbagai aspeknya, dan dituntut untuk mampu berperan dalam mencari solusi terbaiknya. Mereka tidak boleh hanya mementingkan masalah fiqhiyyah yang bersifat personal-ritual. Tetapi, lebih dari itu, mereka harus bangkit dan beranjak menuju pemecahan masalah-masalah yang lebih luas seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Dan yang berbahaya adalah apabila mereka hanya bertujuan untuk mencapai kepentingan politik dan kekuasaan. Sedangkan umat hanya dijadikan mereka sebagai alat untuk mewujudkan cita-citanya, dan setelah itu mereka melupakan kemaslahatan umat. Ulama seperti inilah yang digolongkan oleh Imam Al-Ghazali sebagai ulama tercela.

Oleh sebab itu, tulisan ini diakhiri dengan sebuah harapan besar bahwa ulama NU dapat senantiasa menjaga citra mereka sebagai pembimbing dan penjaga moral umat, demi tercapainya kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, sebagaimana telah diamanatkan oleh Khittah 1926.


*Tulisan ini merupakan artikel lama yang pernah dimuat di rubrik Opinium buletin Ad-Da’wah (yang diterbitkan oleh Ponpes Al-Amin, Mojokerto) edisi 42/21 Muharram 1428 H/9 Februari 2007 M. Waktu itu, penulis merupakan santri Ponpes Al-Amin Mojokerto dan sedang menempuh kelas XII MA Pesantren Al-Amin. Dimuat ulangnya tulisan ini adalah sebagai upaya dokumentasi sejarah.

28 January 2012

Liberalisasi Pendidikan dan Dampaknya Terhadap Pendidikan Indonesia (1)

Liberalisme sebagai Ideologi

Sebelum lebih jauh membahas tentang liberalisasi pendidikan, maka penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu tentang istilah liberalisasi. Liberalisasi, sebagai sebuah proses, berasal dari istilah liberalisme. Liberalisme, sebagai sebuah filsafat dan ideologi, terdiri dari tiga nilai yang mendasar, yaitu Kehidupan, Kebebasan, dan Hak Milik (Life, Liberty, dan Property).

Ketiga nilai menghasilkan prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam segala bidang kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun kebudayaan. Kedua, dalam setiap kebijakannya, pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat. Ketiga, yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu. Keempat, negara hanyalah alat, sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri, dengan anggapan bahwa masyarakat pada dasarnya dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah sebagai penengah ketika usaha yang secara mandiri dilakukan masyarakat telah mengalami kegagalan.

Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan, di mana keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Liberalisme menghasilkan paham demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Salah satu tokoh utama yang mempengaruhi paham liberalisme ini, khususnya di bidang ekonomi, adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi sangat luas, namun yang paling utama adalah pemikiran bahwa segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar di mana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan.

Liberalisme dalam Sektor Pendidikan

Dalam membicarakan persoalan liberalisasi pendidikan di Indonesia, penting bagi kita untuk menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya proses liberalisasi pendidikan itu sendiri. Lahirnya liberalisasi pendidikan ini berawal dari kesepakatan dalam WTO (World Trade Organization), sebuah organisasi di bawah PBB, yang merupakan organisasi internasional yang mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan "aturan perdagangan" di antara anggotanya. Organisasi ini didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan GATT, yang bertujuan untuk meniadakan hambatan perdagangan internasional setelah Perang Dunia II. Prinsip dan persetujuan GATT diambil oleh WTO, yang bertugas untuk mendaftar dan memperluasnya. WTO bermarkas di Jenewa, Swiss. Pada Juli 2008 organisasi ini memiliki 153 negara anggota, termasuk Indonesia. Privatisasi merupakan prinsip WTO yang memegang peranan sangat penting. Privatisasi berada di top list dalam tujuan WTO. Privatisasi yang didukung oleh WTO akan membuat peraturan-peraturan pemerintah sulit untuk mengaturnya. WTO membuat sebuah peraturan secara global sehingga penerapan peraturan-peraturan tersebut di setiap negara belum tentulah cocok. Namun, meskipun peraturan tersebut dirasa tidak cocok bagi negara tersebut, negara itu harus tetap mematuhinya; jika tidak, negara tersebut dapat terkena sanksi ekonomi oleh WTO.

Negara-negara yang tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dirasa tidak fair, tetap tidak dapat memberikan suaranya, karena pencapaian suatu keputusan dalam WTO tidak berdasarkan konsensus dari seluruh anggota. Merupakan rahasia umum bahwa empat kubu besar dalam WTO (Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa)-lah yang memegang peranan untuk pengambilan keputusan. Pertemuan-pertemuan besar antara seluruh anggota hanya dilakukan untuk mendengarkan pendapat-pendapat yang ada tanpa menghasilkan keputusan. Pengambilan keputusan dilakukan di sebuah tempat yang diberi nama “Green Room”. Green Room ini adalah tempat berkumpulnya negara-negara yang biasa bertemu dalam Ministerial Conference (selama 2 tahun sekali), negara-negara besar yang umumnya negara maju dan memiliki kepentingan pribadi untuk memperbesar cakupan perdagangannya. Negara-negara berkembang tidak dapat mengeluarkan suara untuk pengambilan keputusan. Dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan WTO inilah, yang salah satunya harus melakukan privatisasi di bidang pendidikan, pemerintah mengeluarkan produk hukum yaitu UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana di dalam BAB VII BIDANG USAHA Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa “Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan”. Sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa “Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden”. Penjabaran UU ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No.77 tahun 2007 tentang Bidang Usaha Tertutup dan Yang Terbuka dengan persyaratan terhadap penanaman modal asing dan dalam negeri, di mana pendidikan termasuk di dalamnya.

Dampak Liberalisasi terhadap Pendidikan Indonesia

Konsekuensi dari keputusan pemerintah tersebut adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan non-formal. Dengan demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan berorientasi kepada laba. Bermunculannya sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing akan mendorong persaingan yang tajam dengan sekolah-sekolah swasta dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat positif, karena sekolah swasta Indonesia akan dipacu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik.

Namun di sisi lain, persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah swasta akan dipacu menjadi sebuah institusi bisnis yang harus mendatangkan laba, supaya mampu meningkatkan kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai fasilitas pendidikan. Tujuannya agar dengan peningkatan fasilitas sekolah yang semakin bagus, akan mampu bersaing dengan sekolah yang memiliki modal yang kuat. Kondisi ini akan menciptakan persaingan yang membuat pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat. Hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas.

Pendidikan, dengan demikian, akhirnya menjadi sebuah bisnis yang tidak lagi mengemban misi sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi mengemban misi bisnis global. Sehingga kepentingan pemilik modal akan menentukan dan mengarahkan bagaimana bentuk dan tujuan pendidikan tersebut. Dan kepentingan pemilik modal selalu terkait dengan laba. Liberalisasi pendidikan akan berpotensi menciptakan kesenjangan yang luar biasa terhadap akses ke pendidikan, karena “korporasi” pendidikan akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi kepada pasar semata. Sementara jutaan masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Post-script: Meneladani Konsep Pendidikan Ki Hajar

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, harus dibedakan dengan pengajaran, karena pengajaran hanyalah satu bagian dari pendidikan. Secara umum, menurut beliau, pendidikan adalah “tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak”. Artinya, pendidikan haruslah berorientasi pada pembangunan intelektualitas dan juga karakter/kepribadian nasional. Jadi pendidikan tidak hanya mengurusi pengajaran yang intelektualistis dan materialistis, tetapi juga memperhatikan soal bagaimana membangun kesadaran anak didik terhadap jati diri mereka sebagai anak bangsa Indonesia, sehingga mereka memiliki kesadaran tentang kebudayaan Indonesia, peduli pada kondisi kehidupan rakyat, dan mau berbuat secara konkret untuk membangun bangsa menuju kesejahteraan bersama.

Ki Hajar dalam konsep pendidikannya sangat menekankan pentingnya pendidikan kebudayaan, karena menurut beliau pendidikan adalah alat, dan alat itu harus ditempatkan dan diperuntukkan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Oleh karenanya, ketika kita melaksanakan pendidikan kepada anak-anak kita, maka kita harus benar-benar tahu dan sadar tentang fungsi pendidikan itu bagi bangsa Indonesia, tidak sekedar meniru konsep pendidikan orang-orang di luar bangsa kita. Pendidikan haruslah ditujukan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tidak memisahkan diri dari kesatuan perikemanusiaan.

Oleh karenanya, pemerintah perlu memikirkan secara mendalam dampak liberalisasi pendidikan terhadap tujuan pendidikan nasional. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, tanggung jawab yang utama dari pemerintah adalah menyediakan akses yang merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai, serta mengatur proses pendidikan melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan Indonesia. Jika investasi asing ini membuat kemampuan negara dalam memenuhi hak-hak masyarakat akan pendidikan menjadi semakin menurun, maka pemerintah perlu meninjau ulang PP Nomor 77 tersebut. Karena bukan tidak mungkin masuknya modal asing dalam pendidikan ini akan mengakibatkan ketergantungan yang semakin besar dari pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan.

Sejak dini, pemerintah harus memastikan regulasi yang dikeluarkan tersebut tidak membuat sekolah-sekolah milik negeri sendiri kalah bersaing karena permodalan, membuat lunturnya nilai-nilai kebangsaan karena kebijakan sekolah yang berorientasi laba, serta dalam perkembangannya justru tidak mendukung misi dan tujuan pendidikan nasional. Jika pemerintah ingin membendung liberalisasi pendidikan dengan segala dampaknya tersebut, maka pemerintah harus membangun kemampuan finansialnya dalam pendidikan nasional. Target minimum 20 % anggaran pendidikan (di luar gaji guru) harus dipenuhi, untuk memastikan tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Kelemahan dalam manajemen pendidikan harus diperbaiki, serta korupsi dalam bidang pendidikan harus diperangi untuk memastikan anggaran tepat sasaran. Kita harus mulai bergantung kepada kemampuan diri sendiri dalam membangun pendidikan bangsa, termasuk kemampuan finansial kita.

Daftar Referensi:
Assegaf, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat. Yogyakarta: Gama Media.
Dewantara, Ki Hajar. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.
Majalah BASIS Edisi Juli-Agustus 2009.
UU Nomor 25 tahun 2007
PP Nomor 77 tahun 2007
http://www.wto.org/ (diakses 31 Maret 2011).

________________________________________
(1) Draf awal artikel ini merupakan makalah yang disampaikan oleh penulis bersama Muhammad Safri D. dalam mata kuliah Isu-isu Kontemporer Pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2011. Setelah itu, penulis melakukan beberapa perubahan untuk kepentingan pemuatan dalam blogsite pribadi ini.

27 January 2012

Tentang Pak Hasyim: Sebuah Memoar Untuk Sang Pendidik

Saya sangat terkejut dan tak menyangka sama sekali ketika sebuah SMS masuk pada hari Kamis kemarin (19/01/12) pukul 14:08 WIB. Pesan singkat itu dari Abid, adik kelas saya di MI hingga MA di Mojokerto dan sama-sama kuliah di UGM walaupun berbeda fakultas. Rumahnya juga tidak jauh dari rumah saya, berada di dusun yang sama, hanya berbeda RT. Ia tinggal di RT 02, sedangkan saya di RT 03.

Isi SMS itu adalah: “Assalamu’alaikum Wr. Wb. Kang Said, ayahku tilar dunyo. Tolong dungakno yo. Aku moleh saiki. By: Abid.” Saya pun tak kuasa menahan sedih. Ayahnya, yaitu Pak Hasyim Asy’ari, adalah guru ngaji saya sejak kecil hingga usia 12 tahun, sebelum akhirnya saya mondok dan meneruskan ke MTs di Pondok Pesantren Al-Amin. Pak Hasyim, begitu saya dan teman-teman santri lainnya memanggil beliau, adalah kepala TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan Madrasah Diniyyah An-Nidhomiyyah yang letaknya di depan rumah beliau. Beliau melanjutkan amanah untuk memimpin kedua lembaga itu dari almarhum mertua beliau, yaitu K.H. Zainal Abidin.


Saya pun langsung membalas SMS Abid bahwa saya akan segera menyusul. Dan malam harinya, saya bersama 2 Sahabat PMII dari UGM berangkat dari Yogyakarta naik bus. Saya sangat ingin hadir ke rumah duka untuk ikut mendoakan beliau. Sepanjang perjalanan, pikiran saya tidak lepas dari bayangan sosok beliau. Bagaimana tidak, beliau adalah sosok yang begitu bersahaja, santun, dan ikhlas dalam mengajar.

Proses pendidikan di TPQ dan Madrasah Diniyyah An-Nidhomiyyah yang berjalan hingga kini menjadi bukti kemampuan beliau dalam mengkombinasikan keikhlasan dan konsistensi perjuangan. Ya, memang sangat berat untuk benar-benar ikhlas mengelola kedua lembaga itu, apalagi dengan bisyaroh yang dapat dibilang sama sekali tidak sepadan dengan beban dan tanggung jawab yang beliau emban. Dan sangat sulit pula untuk konsisten dan komitmen terhadap perjuangan mendidik anak-anak generasi muda Islam di Kedungpring dan sekitarnya lewat kedua lembaga itu, karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan. Dan beliau telah membuktikan kemampuannya melalui semua ujian itu, walaupun harus mengorbankan banyak hal, termasuk kesehatannya.

Saya masih ingat ketika beliau men-jewer dan memarahi saya dan beberapa teman lainnya karena kami bermain-main di atas pohon sawo di halaman gedung pada saat mengaji Madrasah Diniyyah. Waktu itu memang sudah waktunya mengaji, tetapi kami masih saja bermain-main. Beliau menasehati kami: ”Kalian itu harus serius dalam belajar ilmu agama, agar bisa bermanfaat untuk masa depan kalian”. Sebuah nasehat yang saya ingat hingga kini.

Ketika saya mengikuti tahlilan di rumah duka pada hari Jumat (20/01/12), saya tidak bisa berhenti memikirkan beliau. Saya teringat bagaimana salah satu guru saya, Ustadz Aang Baihaqi, meninggal dunia pada bulan Juli 2011. Dia adalah inspirator sekaligus aktor perjuangan yang sangat saya kagumi. Saya merasa sangat terpukul waktu itu. Dan kini, satu lagi guru yang menjadi teladan dan inspirator bagi saya, menyusul pergi. Saya menjadi bingung, siapakah kemudian sosok yang dapat menjadi tempat ‘berlabuh’ saya?

Mungkin wejangan dari Pak Sholihin, salah satu guru saya di Madrasah Diniyyah juga, dapat menjadi jawabannya. “Id, satu per satu sosok-sosok teladan kita meniggalkan kita, lalu siapakah yang meneruskan perjuangan mereka kalau bukan anak-anak muda seperti kalian?” Ya, mereka yang telah meninggalkan kita tidak perlu diratapi secara berlebihan; justru semangat dan perjuangan merekalah yang harus kita tanamkan kepada generasi sekarang dan generasi masa depan untuk melanjutkannya.

Semoga engkau damai di sisi Allah SWT, Pak Hasyim. Amin.

22 January 2012

Problem Kaderisasi dan Masa Depan “Politik NU”: Sebuah Catatan Kritis

Sekitar seminggu yang lalu (13/01/12) penulis bersama beberapa Sahabat PMII Cabang Sleman sowan ke K.H. Mu’tashim Billah, pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Kaliurang, Sleman. Tujuan utama kedatangan kami–selain silaturrahim tentunya- adalah untuk menyampaikan ucapan terima kasih kami atas saran-saran dan dukungan beliau baik secara moral, spiritual, maupun finansial bagi pelaksanaan rangkaian kegiatan Peringatan Haul Gus Dur yang diselenggarakan oleh PC PMII Sleman pada 28 dan 30 Desember 2011 sehingga dapat berjalan dengan lancar.

Selain itu, dalam kesempatan tersebut kami meminta wejangan dan masukan dari beliau terkait beberapa program kerja kepengurusan yang sedang berjalan dan yang akan dilaksanakan, seperti program kemitraan –yakni pendidikan TPA dan bimbingan belajar untuk anak-anak kampung Pohruboh, Condongcatur, Sleman- dan gagasan untuk membentuk sebuah forum mahasiswa lintas iman di kampus. Beliau memberi masukan-masukan yang sangat bermanfaat bagi pelaksanaan kedua program kerja tersebut.


Kami pun terlibat dalam obrolan yang santai namun serius dengan beliau. Dalam obrolan tersebut, beliau mengemukakan tentang rencana pelaksanaan Pendidikan Politik (Dikpol) Untuk Santri Putri pada 20-22 Januari 2012 di Wonosobo. Dikpol ini merupakan yang kedua, setelah sebelumnya dilaksanakan kegiatan serupa untuk santri putra pada tahun 2011 di Ponpes Pandanaran yang beliau pimpin.

Kegiatan Dikpol tersebut, kata beliau, dilatar-belakangi oleh keprihatinan terhadap dua kenyataan yang sedang terjadi di dalam tubuh NU. Pertama, orang-orang NU yang berpolitik praktis –termasuk para kiai- namun tidak memiliki integritas dan keberpihakan yang nyata kepada masyarakat NU dan rakyat miskin, tidak mampu menjadi aktor yang berperan penting dalam pengambilan kebijakan politik, atau bahkan hanya menjadi ‘kacung’ untuk menjaring suara rakyat dalam Pemilu dan setelah itu dibuang –seperti pepatah “habis manis sepah dibuang”.

Kedua, berkebalikan dari yang pertama, adalah orang-orang NU yang resisten bahkan apatis terhadap politik praktis, sehingga membuat NU semakin termajinalkan dalam berbagai kebijakan politik negara. Walaupun banyak juga kader-kader NU yang memilih jalur NGO dan gerakan kerakyatan untuk berpolitik, namun menurut beliau upaya mendorong transformasi sosial yang paling efektif tetaplah lewat sistem, alias berpolitik praktis.

Kedua kenyataan di atas adalah konsekuensi logis dari adanya dua pandangan yang bertentangan di dalam tubuh NU itu sendiri, yaitu pandangan bahwa NU harus masuk jalur politik praktis untuk mewujudkan aspirasinya dan pandangan bahwa NU harus lepas sama sekali dari politik praktis. Menurut beliau, dua pandangan itu sama-sama kurang tepat. Yang seharusnya dilakukan adalah kiai-kiai NU tetap menjadi pengasuh pesantren dan masyarakat, namun para santrinya harus dipersiapkan dan dikader agar mampu tampil sebagai pelaku-pelaku politik yang berpengaruh dan dapat memberikan dampak positif bagi perbaikan masyarakat NU dan rakyat Indonesia. Selain itu, kiprah mereka dalam berpolitik diharapkan tetap memiliki keterikatan ideologis dengan kiai dan pesantren, serta berakar pada tradisi pesantren dan pedesaan. Untuk tujuan itulah, menurut beliau, Dikpol diselenggarakan.

Pemikiran dan praksis yang diambil oleh Gus Ta’shim dkk di atas merupakan sebentuk kekhawatiran yang mendalam terhadap masa depan “politik NU”. Artinya, mereka khawatir bahwa jika NU tidak segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internalnya dan berperan secara lebih signifikan sebagai aktor dan katalisator transformasi sosial di Indonesia, maka NU akan semakin terasing dan bahkan tersingkir dari dinamika kebangsaan di Indonesia. Kekhawatiran yang demikian sangatlah bisa dimaklumi.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah yang dilakukan oleh Gus Ta’shim dkk akan dapat menjamin bahwa ke depan aktor-aktor politik yang merupakan alumni “komunitas epistemik” Dikpol tersebut dapat berkiprah sesuai dengan harapan dan idealisme yang dibangun? Kemudian yang lebih mendasar, apakah kesadaran yang demikian telah dimiliki oleh para pengurus NU? Kalau iya, bagaimanakah keseriusan dan konsistensi sikap mereka untuk mewujudkannya dalam kebijakan-kebijakan organisasi?

Sejauh pengamatan penulis, PBNU selama ini tidak mampu mengambil kebijakan yang jelas terkait batas demarkasi antara NU sebagai organisasi sosial-keagamaan sesuai Khittah 1926 dengan politik praktis yang harus dijauhi. Bahkan, saat ini muncul tuduhan –yang menurut penulis cukup berdasar- bahwa PBNU cenderung (men)-dekat dengan salah satu partai politik. Begitu pula halnya dengan para pengurus NU di tingkatan wilayah, cabang, bahkan ranting. Tidak jarang mereka dengan tanpa tedeng aling-aling mengarahkan suara warga NU -bahkan cenderung instruktif- untuk memilih calon pemimpin daerah atau anggota legislatif dengan dalih para calon tersebut adalah kader NU dan atau berjasa besar bagi NU. Bahkan banyak dari mereka yang ternyata –selain menjabat sebagai pengurus NU- juga menduduki posisi tertentu dalam suatu partai politik.

Hal di atas belum ditambah dengan begitu besarnya ketergantungan organisasi NU secara finansial terhadap ‘sumbangan’ dari orang-orang NU yang berkiprah dalam politik praktis, atau orang-orang non-NU yang meniti karier politik di partai politik yang notabene lahir dari ‘rahim’ NU. Sungguh kenyataan yang ironis. Bagaimana NU mampu menjaga independensinya dari politik praktis nan pragmatis jika dalam praktiknya mereka tetap dependen kepada partai politik dan para politisi? Bagaimana pula NU mampu diandalkan untuk tampil sebagai pelindung dan pembela rakyat kecil dari ketertindasan politik, hukum, ekonomi, dan kultural akibat dari kebijakan-kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka?

Neoliberalisme dan Reorientasi Gerakan: Sebuah Imperatif

Berbagai permasalahan kebangsaan yang dihadapi Indonesia saat ini tidak terlepas dari hegemoni globalisasi yang disetir oleh kekuatan neoliberalisme. Mulai dari persoalan terorisme, kemiskinan, perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, hingga tragedi pembunuhan atau bunuh diri yang menghiasi berita sehari-sehari di media massa adalah dampak dari serbuan arus globalisasi neoliberal yang mencekam. Mungkin sebagian besar di antara masyarakat Indonesia tidak menyadari keterkaitan konteks mikro, mezzo, dan makro ini. Namun, seharusnya elit-elit bangsa dan pemimpin NU memahami hal ini dengan baik. Atau tentunya mereka telah memahaminya, namun enggan melakukan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil. Mereka lebih suka bertakhta di singgasananya masing-masing. Kalau demikian yang terjadi, alangkah malangnya nasib anak negeri ini.

NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan seharusnya mampu menjadi benteng pertahanan kekuatan rakyat, dan sekaligus garda terdepan pembela kepentingan rakyat kecil. Perjalanan sejarah kebangsaan kita selalu menunjukkan bahwa rakyat kecil berada dalam ketertindasan. Oleh karena itu, dibutuhkan orang-orang yang mendampingi mereka untuk mendapatkan hak-haknya. Dan NU sangatlah berpotensi untuk memainkan peran strategis tersebut. Semua itu bergantung pada keseriusan dan konsistensi para elit NU untuk selalu berada dan berjuang di jalan perjuangan membela rakyat tertindas.

Dan pada akhirnya, sejarahlah yang akan membuktikan keberpihakan NU. Entah kepada siapa, rakyat kecil yang tertindas atau penguasa yang lalim.

Wallahu a’lam.

14 January 2012

Merunut Kajian Masalah Pertanahan

Judul: Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor
Penulis: Ahmad Nashih Luthfi
Cetakan: Juli 2011
Tebal: lii + 347 hlm
Penerbit: Pustaka Ifada dan Sajogyo Institute

Kasus-kasus konflik agraria di negeri ini masih terus terjadi dan belum menunjukkan sebuah titik penyelesaian. Dua kasus terbaru, yaitu di Mesuji dan Bima, setidaknya menguatkan hal itu. Konflik agraria ini disebabkan oleh ketidakmampuan negara melaksanakan tugas konstitusionalnya untuk memberikan keadilan agraria bagi rakyatnya. Bagaimana tidak. Kewajiban pemerintah untuk meredistribusikan lahan kepada kepada rakyat sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) tidak pernah dilaksanakan. Rakyat kecil yang seharusnya menjadi subyek dalam pengelolaan kekayaan alam negeri ini ternyata justru dimarjinalkan, karena pemerintah memberikan akses pengelolaan lahan kepada para pemodal besar.


Menyimak dua kasus konflik agraria di atas, menjadi penting bagi kita untuk memikirkan kembali kebijakan agraria pada saat ini. Kesalahan dalam tata kelola dan tata laksana kebijakan agraria negara pada saat ini sebenarnya telah dipikirkan, diperbincangkan, bahkan digagas solusinya oleh dua sosok ilmuwan-pemikir-pejuang agraria yang dikaji dalam buku ini: Profesor Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi. Yang pertama adalah perintis dan pelopor studi sosiologi pedesaan Indonesia, sedangkan yang kedua adalah guru studi reformasi agraria.

Begitu banyak kajian tentang persoalan agraria sejak periode kolonial hingga sekarang dalam konteks pembentukan kebijakan agraria. Kajian itu meliputi riset ilmu sosial tentang struktur agraria dan sejarahnya, kemiskinan pedesaan dan agraria, reformasi agraria, hingga pembangunan pedesaan.

Pada masa kolonial, kajian agraria lebih banyak ditujukan untuk melegitimasi kebijakan penguasa Hindia Belanda pada waktu itu, sehingga metodologi dan hasilnya pun seringkali bias. Kalaupun hasilnya menunjukkan ketimpangan struktur agraria, rekomendasi yang dihasilkan tetaplah merepresentasikan kepentingan penguasa.

Walaupun demikian, ada beberapa pengecualian. Antara lain penelitian Sumitra Dingley (nama samaran dari Iwa Kusuma Sumantri), Tan Malaka, dan S.J. Rutgers, yang mau tak mau harus diakui bahwa kebanyakan dari mereka adalah para “sejarawan” yang berperspektif “Marxis-Komunis” (halaman 103).

Pada dekade awal kemerdekaan, kajian agraria semakin massif sejalan dengan upaya dekolonisasi sistem penguasaan sumber daya agraria dan berbagai gagasan pemba(ha)ruan (agraria). Kajian-kajian rintisan sosiologi dan pembangunan pedesaan telah dilakukan, dan sebagian besar menghasilkan beberapa kesimpulan: timpangnya penguasaan lahan antara mayoritas rakyat kecil, pemodal besar, dan negara. Ketimpangan itu berdampak kemiskinan struktural rakyat kecil di negerinya sendiri.

Prof. Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi merupakan dua sosok pemikir yang berada dalam kelompok pemikir kritis agraria tersebut. Upaya-upaya pelembagaan gagasan “mazhab Bogor” mereka menunjukkan, keduanya secara konsisten berusaha melawan tradisi riset dan kebijakan agraria yang elitis. Keduanya berpendapat, para ilmuwan perlu memberikan perhatian pada problem struktural yang menyebabkan dan mendorong terjadinya kemiskinan pedesaan. Mereka juga menekankan pentingnya reformasi agraria untuk menghapus ketimpangan itu.

Sosok dua pemikir mazhab Bogor ini merefleksikan peran dan kapasitas ilmuwan yang ideal. Pertama, sebagai ilmuwan, mereka memiliki relevansi teoretis dan relevansi sosial, sehingga dekat dengan realitas sosial dan tidak elitis. Kedua, kegiatan ilmiah mereka tidak disetir oleh kekuatan kapital. Ketiga, mereka mampu mengorganisasi gagasan lewat riset, seminar, pertemuan ilmiah, dan penulisan buku, lalu mendiseminasikannya kepada khalayak sehingga dapat dikenal dan diterima publik.

Selain itu, dalam konteks kerja kesarjanaan, penting bagi kita untuk menekuni kembali problematika agraria Indonesia secara lebih mendalam dan menyeluruh. Warisan pemikiran terdahulu perlu dihimpun agar tidak muncul tuduhan bahwa sejarah kesarjanaan Indonesia tidak terakumulasi menjadi pengetahuan yang otoritatif. Dengan akumulasi pengetahuan yang otoritatif dan relevan secara teoretis dan sosial, kerja-kerja kesarjanaan ilmuwan Indonesia akan benar-benar terasa dan bermanfaat bagi transformasi kehidupan rakyat ke arah yang lebih baik.


*Artikel resensi ini dimuat di Majalah GATRA No. 10 Tahun XVIII Edisi 12-18 Januari 2012.

**Mochammad Said
Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM,
Ketua Umum PC PMII Sleman,
Alumnus Ponpes Al-Amin, Mojokerto.

09 January 2012

Memori Kelam G30S: Sebuah Cerita dari Ibu

Banyak di antara generasi muda saat ini mungkin tidak memahami, atau bahkan mengetahui, peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia 30 September 1965. Bagi mereka yang mengetahuinya pun, penulis yakin bahwa sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa peristiwa itu lebih merupakan upaya kudeta kekuasaan oleh PKI daripada tragedi kemanusiaan. Pemahaman pertama yang demikian kemungkinan besar dipengaruhi oleh teks-teks sejarah yang dominan pada masa Orde Baru, baik buku, film, maupun artefak yang diciptakan oleh rezim Orde Baru seperti monumen dan semacamnya.

Pada 8 Januari kemarin, ketika penulis mudik beberapa hari untuk melakukan pertemuan dengan beberapa teman sepesantren terkait agenda penyelenggaraan diskusi buku di pesantren, penulis berbincang-bincang dengan ibu tercinta di rumah. Ya, sebuah perbincangan yang sangat hangat dan akrab antara anak dan ibunya. Suasana yang senantiasa penulis nantikan, karena dalam suasana demikianlah penulis menemukan kedamaian yang “lebih dari apapun”.

Dalam perbincangan itu, ibu penulis menceritakan tentang peristiwa yang dalam sejarah “resmi” lazim disebut G30S/PKI. Beliau mendapatkan cerita itu dari kakek dan nenek serta orang-orang tua yang menjadi saksi sejarah atas peristiwa berdarah itu. Ya, kita semua tentu mengetahui bagaimana diceritakan dalam teks-teks sejarah –serta film yang selalu diputar pada 30 September di era Orde Baru itu- bahwa dalam peristiwa itu kelompok PKI yang komunis ingin menguasai Indonesia dengan membunuh para pemimpin negara dan militer. Dan ketika pasukan militer di bawah komando Soeharto berhasil ‘menguasai’ keadaan negara, ia dan pasukannya memprovokasi masyarakat untuk membasmi sisa-sisa anggota PKI sampai habis, dengan mengatakan bahwa PKI itu ateis, anti-Tuhan, dan suka membunuh, sehingga harus ditumpas habis. Dan terjadilah pembantaian itu.

Kampung penulis, yaitu di dusun Kedungpring, desa Jampirogo, kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto, tidak luput dari peristiwa itu. Beliau mengatakan bahwa orang-orang ketika itu berada dalam suasana yang sangat mencekam. Bagaimana tidak, saudara-saudara mereka, tetangga dekat mereka, dan orang-orang yang begitu mereka kenal baik, sederhana, bahkan alim, tiba-tiba dituduh sebagai anggota PKI –yang komunis, ateis, dan suka membunuh. Kata beliau, mereka yang dituduh antek PKI ketika itu karena mereka masuk dalam daftar hadir pertemuan-pertemuan di kelurahan dan semacamnya. Ya, hanya karena nama mereka tercantum dalam daftar hadir pertemuan. Tidak lebih.

Mereka yang dituduh PKI itu tidak tahu apa-apa soal PKI. Mereka tak tahu apa itu komunis atau ateis. Mereka digiring ke lapangan dekat sungai yang sekarang didirikan Masjid Rahmat, masjid dusun Kedungpring. Ketika mereka memberontak dan bersikukuh bahwa mereka bukan bagian dari PKI, pembelaan mereka tetap tak dipedulikan. Bahkan, kata ibu, sebelum mereka dieksekusi, banyak dari mereka yang meminta untuk shalat dahulu, membaca syahadat dahulu, atau wudlu terlebih dahulu. Mereka seakan pasrah akan nasib yang menimpa mereka, yang sangat di luar dugaan dan bahkan di luar batas kemanusiaan. Dan siapakah yang mengeksekusi mereka? Para tentara, dibantu para warga yang telah terprovokasi oleh tentara. Sungguh tragis.

Ketika penulis bertanya kepada ibu penulis, apakah beliau dan warga lainnya takut terhadap PKI, beliau menjawab iya. Beliau memiliki keyakinan yang sama seperti yang senantiasa diwacanakan rezim Orde Baru, bahwa kalau PKI hidup dan bangkit lagi, maka Indonesia akan menjadi negara otoriter dan ateis. Ya, beliau dan kebanyakan dari kita mungkin masih terhegemoni oleh wacana PKI ala Orde Baru yang bias itu. Padahal, kalau kita mencermati sejarah lebih mendalam, peristiwa G30S merupakan skenario militer yang didukung CIA untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno yang nasionalis, sehingga muncullah pemimpin militer, yaitu Soeharto, yang berkiblat kepada AS dalam setiap kebijakannya, dengan ciri liberalisme ekonominya. Dan naiknya Soeharto inilah tonggak liberalisasi ekonomi Indonesia dengan munculnya UU yang meliberalkan sektor-sektor ekonomi kita, dan hasilnya salah satunya adalah PT Freeport yang mengeruk kekayaan alam Papua secara sewenang-wenang dan sangat merugikan rakyat Indonesia hingga kini.

Peristiwa G30S bukanlah upaya kudeta PKI. Ia adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Ia adalah perang saudara yang diskenariokan oleh militer dan CIA. Dan rakyat banyak hanya menjadi alat dan korban. Alat bagi dan korban dari kebiadaban orang-orang yang haus kekuasaan dan pihak-pihak yang sok demokratis namun sebenarnya bermental penjajah/penindas.

Sampai kapankah konstruksi sosial yang bias atas G30S berlangsung? Entahlah. Menurut penulis, yang terpenting adalah usaha kita semua untuk berdamai dengan sejarah. Untuk memahami dengan jernih masa lalu kita. Untuk bersikap obyektif atas kesalahan-kesalahan masa lalu perjalanan kita sebagai bangsa. Dan untuk merajut kebersamaan nan damai dalam menggapai masa depan yang lebih baik.

Wallahu a’lam.