23 May 2012

Nasionalisme dan Kesadaran Sosial Pemuda*

Kita tentu masih ingat akan peristiwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh pemuda Indonesia di masa itu, tepatnya pada 28 Oktober 1928. Ketika itu kaum pemuda sepakat dan menyatakan dengan penuh kemantapan untuk berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu, Indonesia. Dan ikrar inilah yang kelak kemudian menjelma menjadi spirit perjuangan dan sekaligus alat pengikat bangsa sehingga bangsa kita mampu bangkit untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa penjajah. Dalam lintasan sejarah kebangsaan Indonesia pun kita dapat menyaksikan bagaimana kaum pemuda selalu menjadi pelopor dan ujung tombak perjuangan dalam menghancurkan rezim atau kekuasaan negara yang arogan dan otoriter.

Pun ada sebuah pepatah mengatakan: “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan (syubbanul yaum wa rijalul ghod)”. Artinya, eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini –apakah akan maju dengan keberhasilan di era globalisasi atau jatuh dalam keterpurukan zaman di masa depan- sepenuhnya ada di tangan para pemuda saat ini.

Pemuda Indonesia Kontemporer

Kalau kita amati bersama, ternyata pemuda Indonesia saat ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Kenapa? Setidaknya ada 3 hal yang mengindikasikannya. Pertama, masih banyaknya pemuda Indonesia yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi akibat masalah finansial, minimnya kesadaran akan urgensi pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi, dan sebagainya. Kedua, akibat pengaruh budaya Barat yang permisif, materialis, dan hedonis, tidak sedikit pemuda Indonesia yang tenggelam ke dalamnya. Sehingga mereka tak lagi memperdulikan norma dan tata nilai moral, keagamaan, dan hukum yang ada. Dan akhirnya pudarlah idealisme dan nasionalisme mereka.

Ketiga, belum ada pola pendidikan kritis yang sesungguhnya dalam dunia pendidikan Indonesia, sehingga pemikiran kaum pemuda cenderung statis atau bahkan mundur. Aksi-aksi mereka pun menjadi tidak progresif-liberatif akibat tidak adanya keberanian untuk melakukan sebuah perubahan yang benar-benar mengubah dalam diri mereka terhadap struktur atau sistem dan budaya yang menyimpang.

Sebagai contoh adalah lagu Indonesia Raya yang merupakan lagu kebangsaan Indonesia, di mana setiap kali dilaksanakan upacara bendera, lagu tersebut senantiasa mengiringi saat-saat pengibaran Sang Merah Putih. Apabila kita menghayati lagu tersebut dengan baik, maka kita akan menemukan makna yang mendalam yang terkandung di dalamnya, yaitu makna sebuah kemerdekaan dan ke-Indonesia-an. Namun coba tanyakan bunyi lagu tersebut pada anak didik di lingkungan pendidikan kita, maka saya yakin bahwa tidak sedikit di antara mereka yang plegak-pleguk dalam melantunkannya. Bahkan, mungkin ada yang tidak mengenal sama sekali pencipta lagu tersebut. kalau sudah begini –walaupun tampak sepele- kita menjadi ragu, nasionaliskah mereka?

Mahasiswa Indonesia pun saat ini telah mulai kehilangan ruh idealismenya, akibat terlena oleh buaian materi dan kekuasaan. Memang, ketika masih menjadi mahasiswa dan aktif dalam organisasi, mereka tampak begitu idealis. Namun setelah terjun di masyarakat dan duduk dalam jabatan struktural tertentu, idealisme itu mulai surut, dan bahkan kemudian sirna tak bersisa. Mulailah mereka sibuk dengan urusan perut dan kekuasaan di satu sisi, namun di sisi lain mereka lupa akan realitas sosial yang ada di masyarakat. Kepekaan dan kesadaran sosial (sense of social crisis) itu hilang entah ke mana.

Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi problem di atas, maka ada beberapa hal yang harus dikerjakan. Pertama, pemerintah harus didesak untuk menunjukkan komitmennya terhadap keberlangsungan dan peningkatan mutu pendidikan di kalangan rakyat Indonesia, dengan tujuan agar pemerintah benar-benar concern dan fokus dalam menjadikan pendidikan sebagai salah satu pilar pembangunan. Kedua, harus ada reformasi sistem pendidikan di Indonesia secara menyeluruh yang sebelumnya hanya menganggap anak didik sebagai obyek dan cenderung monolog menuju pengakuan terhadap anak didik sebagai subyek pendidikan itu sendiri dan bersifat dialogis. Pendidikan tersebut haruslah berupa pola pendidikan kritis-emansipatoris-liberatif.

Ketiga, penyelenggaraan pendidikan tersebut harus berorientasi pada pembentukan generasi pemuda yang nasionalis tulen dan berkesadaran sosial tinggi. Selain itu, perlu juga ditanamkan jiwa wiraswasta dalam diri anak didik agar kelak mereka mampu menjadi orang yang mandiri, dinamis, kreatif, dan inovatif.

Usulan-usulan di atas haruslah dilaksanakan dan diaplikasikan dalam ranah realitas secara konsekuen, apabila kita semua benar-benar bertekad untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan kesadaran sosial pemuda. Namun apabila memang kita tidak memiliki kesungguhan tekad, maka biarkanlah bangsa dan negara Indonesia tercinta ini terpecah-belah dalam konflik dan disintegrasi dengan segunung problem multidimensional yang tak pernah terselesaikan. Manakah pilihan kita?

Wallahu a’lam bis showab.

___________________________________________
(*) Artikel ini merupakan artikel lama yang tidak sengaja penulis temukan ketika sedang beres-beres buku di rumah penulis. Artikel ini ditulis pada tahun 2007, ketika penulis masih nyantri di Ponpes Al-Amin, Mojokerto, dan sedang menempuh kelas XII MA Pesantren Al-Amin.

Irshad Manji, Agama, dan Problem Negara Hukum

Oleh: Mochammad Said*

Baru-baru ini tanah air kembali berduka, karena terjadi kekerasan beragama di sebuah kota yang justru ingin menegaskan eksistensinya sebagai kota toleransi (city of tolerance). Ya, kota Yogyakarta, yang juga terkenal sebagai kota pelajar, tempat berkumpulnya dan bersemainya para elit intelektual dan cendekiawan terkemuka di negeri ini.

Peristiwa yang memprihatinkan itu terjadi pada Rabu (9/5), di mana sekelompok massa (baca: MMI) menyerang sebuah tempat diskusi (baca: kantor LKiS) dan memaksa agar diskusi yang mendatangkan Irshad Manji, seorang aktivis gender kelahiran Uganda, tersebut dibatalkan. Sebelumnya, di pagi pada hari yang sama dan acara diskusi yang juga menghadirkan Irshad Manji yang rencananya diadakan bertempat di UGM, juga dibatalkan karena tekanan dan ancaman dari sekelompok ormas.

Kerancuan Berpikir

Menanggapi peristiwa tersebut, Mu’tashim El-Mandiri menulis sebuah artikel (Jawa Pos, 12/5). Dalam artikel tersebut, ia berpendapat bahwa persoalan yang menimpa Irshad Manji di atas bukanlah sekadar persoalan yang berkaitan dengan nilai-nilai agama seperti toleransi, perdamaian, dialog, dan semacamnya; namun lebih dari itu adalah persoalan substansi ajaran Islam (syariat Islam) itu sendiri. Menurutnya, acara yang diadakan dan menghadirkan Irshad Manji itu bertentangan dengan syariat Islam, karena Irshad Manji mengkampanyekan legalitas lesbianisme dan homoseksualitas, padahal Islam jelas-jelas mengharamkannya. Oleh karena itu, menurutnya, sudah seharusnya kalau acara-acara semacam itu dilarang dan tidak seharusnya diberi tempat di bumi Indonesia.

Menurut penulis, cara berpikir demikian mengandung kerancuan cara berpikir. Di satu sisi, ia menghargai nilai-nilai demokrasi seperti dialog, anti-kekerasan, dan menghormati perbedaan pendapat. Namun, di sisi lain, ia menolak dan menentang penerapan nilai-nilai tersebut apabila sebuah ide atau praktik tertentu bertentangan dengan keyakinan dan pendapat diri atau kelompoknya.

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana dicantumkan dalam konstitusi pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, di mana salah satu cirinya adalah adanya jaminan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan penegakan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 28E ayat (2) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Selain dijamin dalam UUD NRI 1945, kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat juga diakui oleh hukum internasional sebagai HAM yang dijabarkan dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) Pasal 19 dan 20, serta dalam Pasal 19 dari International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR).

Dengan demikian, adalah keliru kalau kemudian menyatakan ketidaksetujuan terhadap sebuah ide atau pemikiran dengan cara-cara pelarangan, pembubaran paksa, apalagi dengan anarkisme dan kekerasan. Kedatangan Irshad Manji di Indonesia dengan pemikirannya yang kontroversial –mengenai lesbianisme dan homoseksualitas- itu seharusnya ditentang, kalau memang tidak sepakat, tidak dengan pelarangan atau anarkisme, tetapi dengan argumentasi tandingan yang lebih santun dan elegan. Pemikiran seharusnya dilawan dengan pemikiran, dan argumentasi ditanggapi dengan argumentasi tandingan. Kekerasan atas nama apapun –termasuk agama- tidaklah diperbolehkan, dan harus ditindak tegas secara hukum.

Islam dan Kebebasan Berpikir

Islam merupakan agama yang sangat menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat, bahkan begitu banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan umatnya untuk berpikir dan memperluas serta meningkatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah kita dapat menyaksikan bagaimana peradaban Islam menjadi besar dan sangat disegani karena adanya keluasan yang diberikan oleh negara dalam hal kebebasan berpikir dan berpendapat, sehingga lahirlah sosok-sosok seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan sebagainya.

Namun, dalam sebagian babak sejarah Islam kita juga dapat melihat bahwa negara melakukan intervensi yang berlebihan terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat. Kita tentunya masih ingat peristiwa mihnah al-Qur’an, yang mengakibatkan kriminalisasi terhadap beberapa pemikir dan intelektual muslim yang pemikirannya dianggap menyimpang dan bertentangan dengan ‘madzhab’ yang dianut oleh negara pada masa itu. Dan, dari sinilah, kemunduran peradaban Islam yang gemilang itu dimulai.

Oleh karena itulah, kita perlu meneladani para intelektual dan penguasa Islam di masa lalu yang sangat menghargai dan bahkan mendorong tradisi kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan rakyatnya. Para imam madzhab seperti Imam Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali adalah contoh ulama’ yang sangat egaliter dan toleran. Mereka sangat menghargai perbedaan pendapat dalam pemikiran hukum Islam (fiqih).
Masa Depan Demokra(tisa)si Indonesia

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku, agama, dan ras hidup dalam sebuah rumah bersama bernama Indonesia. Hingga saat ini, kebersamaan tersebut, dengan dinamikanya yang khas, tetap terjaga dalam sebuah harmoni multikultural yang indah. Hal itu dapat terjadi tidak lain tentunya karena adanya perekat yang menjembatani segala jenis perbedaan tersebut yaitu UUD NRI 1945 dan Pancasila yang sangat ampuh. Fondasi kebangsaan dan kenegaraan ini haruslah terus dijunjung tinggi, dikembangkan, dan diterjemahkan dalam praksis bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara riil dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila kedua perekat tersebut –yang di dalamnya memuat nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan toleransi- kita laksanakan dengan baik, maka masa depan NKRI akan senantiasa cerah dan penuh dengan optimisme. Namun, sebaliknya, apabila kita mengingkari dan mengabaikan keduanya, maka penulis tidak yakin bahwa kita akan dapat berkembang dan semakin maju sebagai bangsa dan negara kesatuan, karena perpecahan, konflik, dan kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman agama, etnis, maupun ras akan selalu mengintai. Pilihan ada di tangan kita, apakah kita ingin maju atau mundur sebagai bangsa dan negara demokrasi. Bukankah sudah terang mana yang harus kita pilih?

___________________________________
*) Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, alumnus Ponpes Al-Amin Mojokerto.

Membaca, Pintu Ilmu Pengetahuan*

Membaca. Apakah membaca itu (makanan, mainan, atau apa)? Membaca berasal dari kata dasar baca dengan awalan (prefiks) me-. Menurut bahasa, membaca adalah mengeja dan melafalkan tulisan. Sedangkan menurut istilah, membaca adalah melihat dan memahami isi dari tulisan (baik dengan cara melisankan atau hanya dalam hati). Berangkat dari pengertian tersebut, seseorang dikatakan membaca apabila ia telah melihat dan memahami tulisan yang dibacanya, baik dengan cara mengeja dan melafalkan atau hanya dalam hati. Oleh karena itu, orang yang setelah membaca kemudian tidak paham akan maksud atau isi dari apa yang dibacanya, maka ia belum bisa dikatakan membaca.

Manfaat Membaca

Kalau kita mendengar kata membaca, mungkin khayalan kita akan tertuju pada buku-buku yang banyak dan bertumpuk-tumpuk. Kita seolah merasa bahwa tumpukan buku-buku itu akan menimpa kita, hingga kita pusing karena tertimpa mereka. Mereka semua kelihatan seperti monster yang siap menginjak-injak dan menghancurleburkan diri kita.

Apabila kita mau menelusuri secara lebih serius dan mendalam, mungkin kita bisa menemukan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan dan terekam dalam otak, apa yang kita baca dari buku-buku itu. Di dalamnya kita bisa belajar untuk mengolah dan melatih kecerdasan otak kita berdasarkan pemahaman kita terhadap isinya setelah membaca. Di dalam dunia kehidupan ini, banyak sekali informasi tentang bermacam hal, baik yang sifatnya lokal, interlokal, nasional, atau bahkan internasional, sehingga mau tidak mau kita harus mengaksesnya sescara selektif. Apalagi dalam era globalisasi seperti sekarang ini, di mana dunia seakan bola peta yang amat kecil dan jarak antara suatu daerah dengan daerah lainnya tak berarti bagi terbukanya jendela informasi dunia. Dan untuk melakukannya, antara lain kita harus membaca dan membaca. Bukan begitu?!

Faktor-faktor Keengganan Membaca

Kegiatan membaca bagi sebagian orang mungkin terlihat membosankan. Apalagi bagi para pelajar yang dituntut untuk membaca seluruh mata pelajaran sekolahnya –yang antara lain agar sukses dalam ujian dan ulangan- membaca buku-buku pengetahuan sebanyak-banyaknya bisa sangat mengganggu (distortif) aktivitas belajar mereka. Lha wong, untuk membaca buku-buku pelajaran saja terkadang malas, apalagi yang lainnya.

Sebenarnya rasa malas atau enggan membaca di kalangan pelajar dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang sifatnya internal (berasal dari dalam) ataupun eksternal (berasal dari luar). Faktor internal ada beberapa hal. Pertama, si anak mungkin kurang tahu dan memahami arti penting atau manfaat yang akan didapatkan dari membaca. Kedua, si anak malas untuk melakukan kegiatan membaca karena rasa inferior (rasa rendah diri) dan pesimis (putus asa) yang tertanam dalam dirinya, dan ia belum mampu mengubahnya. Dan ketiga, manajemen waktu (time table) yang kurang akurat dan efektif bagi dirinya. Artinya, ia (si anak) belum bisa mengatur dan membagi waktunya dengan baik, seperti terlalu banyak bermain, tidur terlalu lama, dan sebagainya. Sehingga waktu yang seharusnya untuk belajar tersita oleh yang lainnya.

Sedangkan faktor eksternal kemungkinan adalah karena dua hal. Pertama, lingkungan yang kurang mendukung, baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Misalnya larangan orang tua untuk terlalu banyak membaca karena dianggap percuma atau sia-sia, tidak berguna. Hal ini dapat menimbulkan rasa pesimis pada diri si anak. Kedua, minimnya literatur-literatur yang tersedia (kurang memadai). Hal ini dapat dimisalkan perpustakaan sekolah yang tidak begitu lengkap bukunya dan kurang bisa memenuhi kebutuhan buku siswa. Atau bisa juga perpustakaan umum yang keadaannya memang seperti itu. Keadaan ini dapat memunculkan rasa malas pada diri si anak atau siswa yang sebelumnya haus akan bacaan-bacaan tersebut.

Cara Menanggulangi Keengganan Membaca dan Meningkatkan Kegemaran Terhadapnya

Kegiatan dan kegemaran membaca sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang menarik dan bermanfaat atau menguntungkan apabila kita mau dan mampu memperlakukannya dengan baik dan benar. Ada berbagai macam cara yang bisa kita ambil dan kita laksanakan agar kegemaran membaca melekat dalam diri kita. Ini tergantung pada diri kita masing-masing (individually), apakah bersedia atau tidak untuk itu.

Antara lain adalah yang tersebut berikut ini. Pertama, menata dan membulatkan niat dan tekad dalam diri. Hal ini penting bagi kita untuk memulai suatu hal agar tercapai dengan baik dan benar, sesuai dengan apa yang diharapkan. Niat dan tekad harus kita pegang dan kita genggam erat-erat, jangan sampai terputus atau sirna sebelum tiba di tujuan. Karena apabila kedua hal tersebut sudah tidak ada di tangan kita, maka kecil sekali kemungkinan bagi kita untuk menapaki jalan menuju sukses. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Innama al-a’maalu bi an-niyyaati, wa innamaa li kulli imriin maa nawaa”, yang artinya adalah “Sesungguhnya (sahnya) perbuatan atau amal itu tergantung niatnya, dan tiap-tiap orang akan mendapat apa yang sesuai niatnya”.

Kedua, memahami manfaat dari kegiatan membaca. Sudah seyogyanya segala perbuatan dilakukan dengan tujuan dan maksud tertentu. Ini penting bagi seseorang agar bisa berancang-ancang dan bersiap diri berangkat ke tujuan yang ia inginkan. Begitu pula membaca. Dalam hati, kita harus memiliki motivasi: “Apakah manfaat yang akan aku dapat dari kegiatan ini (membaca)? Untuk apa aku membaca buku ini dan itu?” Tanyakan pada diri kita dan pahami, lalu wujudkan.

Ketiga, lingkungan yang mendukung (kondusif). Untuk menciptakan suasana yang kondusif, maka lingkungan yang ada harus dijadikan kondosif. Dan ini tentunya bertujuan agar dapat tercipta keserasian antara suasana dan lingkungan sehingga dengan begitu keinginan untuk membaca juga besar. Begitu pula sebaliknya, apabila lingkungan tidak mendukung (kondusif), maka keinginan atau semangat membaca akan menjadi kecil. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya kita bisa melakukan antara lain menetapkan peraturan atau disiplin wajib yang intinya bisa mengarahkan para siswa untuk gembar membaca. Tentunya harus dilaksanakan secara bertahap (step by step), bukannya secara radikal.

Keempat, sarana dan prasarana yang memadai. Dalam setiap lembaga pendidikan, pihak yayasan tentu berkeinginan menciptakan lembaga yang baik dan sempurna (berkualitas). Hal ini selain bertujuan meningkatkan image masyarakat, juga agar kegiatan belajar-mengajar bisa berlangsung baik, sehingga output-nya pun bagus. Selain itu, dalam usaha peningkatan kualitas siswa, harus diusahakan agar mereka (siswa-siswi) gemar membaca. Karena dengan membacalah kepintaran mereka akan bertambah, begitu pula kualitas mereka. Untuk mewujudkan itu, sudah seharusnya pihak yayasan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, seperti perpustakaan, ruang audio-visual, dan laboratorium praktik.

Melalui kegiatan atau aktivitas praktik di laboratorium dan ruang audio-visual, pengetahuan yang telah mereka miliki (teori) akan semakin menancap kuat dalam diri. Artinya, mereka mampu memahami dan menguasainya dengan baik. Begitu pula dari kegiatan membaca di perpustakaan, pengetahuan mereka akan bertambah terus-menerus, karena semakin mereka ingin tahu, maka semakin sering pula mereka membaca. Oleh karena itu, mereka perlu diberi rangsangan yang membuat mereka penasaran dan ingin tahu. Dengan begitu, mereka akan semakin rajin mencoba (praktik) di laboratorium dan atau membaca buku-buku yang ada di perpustakaan.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwasannya kegemaran membaca sangatlah baik dan penting untuk diwujudkan, karena ia merupakan pintu menuju ilmu pengetahuan. Untuk itu, perlu diadakan stimulasi-stimulasi yang bersifat pengarahan. Dan sebelum hal tersebut dilakukan, perlu dicari dan diketahui terlebih dahulu kendala-kendala atau hambatan-hambatannya. Hal ini agar jangan sampai harapan yang sudah diidamkan terputus, atau bahkan sirna sebelum sampai pada tujuan, sehingga harapan itu tidak bisa tercapai.
Wallahu a’lam bis showab.

__________________________________
(*) Artikel ini merupakan artikel lama yang tidak sengaja penulis temukan ketika sedang beres-beres buku di rumah penulis. Penulis lupa pada tahun berupa menulis artikel ini. Namun, sebagaimana tertera di bawah akhir lembar tulisan aslinya, ia ditulis ketika penulis masih nyantri di Ponpes Al-Amin, Mojokerto.