10 June 2013

Banalitas Indonesia (*)


Judul : Republik Rimba
Penulis : Ryan Sugiarto
Penerbit: Komunitas Kembang Merak
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal : xiv + 145 Halaman

Sebuah realita “rimbawi” dari Indonesia.
Kehidupan berbangsa yang buas, ganas, dan tak berperikemanusiaan


Rimba adalah sebuah dunia yang buas dan menakutkan. Di alam rimba, seluruh hewan bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, bahkan saling memakan. Barang siapa yang lebih kuat, dialah yang menang, sebagaimana hukum Darwinisme Sosial, survival of the fittest. Tak ada yang disebut dengan keadilan moral –apalagi keberpihakan- untuk si miskin atau si kecil, karena hukum yang berlaku adalah persaingan bebas. Barang siapa tidak mampu bersaing, dia harus siap tersingkir dan terpinggirkan.

Realitas kehidupan alam rimba itulah yang didedah dalam fabel Republik Rimba karya Ryan Sugiarto. Republik Rimba yang diceritakan dalam fabel ini adalah sebentuk metafor satiris dari tafsir pengarangnya atas kondisi republik ini. Sebagaimana tampak dari penggalan cerita berikut (hal. 4): “Inilah Republik Rimba. Rimba nan kaya. Gemah ripah loh jinawi. Semua bisa tenteram hidup di tanah ini. Tanahnya cipratan lokananta. Kaya akan bahan alam. Rimba para bidadari. Rimba yang konon dijanjikan oleh Sang Gusti. Inilah rimba paling seksi. Cantik di antara rimba lain di muka bumi. Kesuburan tanahnya tak diragukan. Tongkat kayu dilempar pun jadi tanaman. Persediaan air melimpah.”

Negeri kita tercinta, Indonesia, adalah tanah air yang kaya akan sumber daya alam nan subur. Kita tentu sangat bangga dan takjub dengan kekayaan alam kita. Namun, pada kenyataannya, hingga saat ini tanah tumpah darah yang kaya akan potensi sumber daya alam ini masih memprihatinkan. Kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, penjarahan sumber daya alam, dan sebagainya senantiasa menghiasi wajahnya. Perilaku para penguasanya sangat bobrok. Hampir tak ada lagi penghargaan terhadap kejujuran, kesederhanaan, ketulusan, dan keteladanan kepimpinan yang baik.

Pada bagian Cicak vs Buaya dalam karya ini, kita akan teringat pada upaya kriminalisasi terhadap KPK yang sangat heboh sekitar setahun lalu. Ya, cicak adalah KPK dan buaya adalah para koruptor. Cicak menggambarkan sosok yang besar, agresif, dan berkuasa. Cerita Cicak vs Buaya itu adalah salah satu gambaran betapa banalnya realitas kemanusiaan kita. Fabel ini menjadi gambaran satiris atas banalitas realitas sosial-politik bangsa Indonesia.

“Alam Rimba” dan Modus Eksistensi

Erich Fromm, psikolog sosial, mengatakan bahwa dalam gemerlap modernitas banyak orang yang terjebak pada orientasi hidup yang serba artifisial, jangka pendek, dan bahkan hanya didorong oleh nafsu untuk menguasai. Orientasi hidup itu, dalam istilah Fromm, disebut modus eksistensi “memiliki” (to have). Mereka selalu terdorong untuk memiliki dan menguasai benda-benda, orang lain, dan bahkan takhta atau jabatan, seolah hanya dirinya yang berhak memiliki semua itu. Secara tidak langsung, tanpa disadari, mereka diperbudak oleh kekuasaan dan kepemilikan mereka itu. Modus inilah yang menjangkiti sebagian besar elite politik bangsa Indonesia, yang dalam fabel ini digambarkan sebagai singa, banteng, beruang, dan kancil. Mereka sibuk berebut kekuasaan, menjarah kekayaan Republik Rimba lewat berbagai perilaku korup, dan mengabaikan hajat hidup rakyatnya.

Padahal, di sisi lain, manusia memiliki potensi untuk mengembangkan orientasi hidup yang lebih manusiawi dan bermakna, yaitu modus eksistensi “menjadi” (to be). Dalam orientasi “menjadi” ini, seseorang tidak akan terjebak pada “penghambaan” (fetishism) terhadap harta benda ataupun kekuasaan. Baginya, hidup adalah penghayatan atas hakikat kemanusiaan yang tidak ditentukan wujud fisik berupa harta benda atau kekuasaan berupa jabatan tertentu, tetapi oleh kesadaran mendalam akan kekinian sebagai proses, bukan hasil. Bukankah orientasi hidup demikian yang kita harapkan juga dimiliki kalangan elite politik dan penguasa negeri ini?

Yang lebih bermakna baginya adalah kebersamaan, solidaritas, kejujuran, dan ketulusan, bukan materi, gelar, jabatan, atau kekuasaan. Burung prenjak, burung manyar, dan kelinci –yang dalam fabel ini digambarkan sebagai rakyat kecil- adalah hewan-hewan yang jujur, sederhana, bahkan bisa dibilang polos, sehingga bisa ditipu oleh elite-elite yang tidak bertanggung jawab dengan janji-janji kosong. Namun, kenestapaan rakyat kecil di Republik Rimba seolah merupakan kemestian dan mereka –bagi penguasa- hanyalah angka-angka dalam statistik laporan kemajuan pembangunan, selain sebagai alat legitimasi kekuasaan saat pemilihan penguasa Republik Rimba.

(*) Artikel resensi ini pernah dimuat di Harian Jawa Pos edisi Minggu, 3 Juli 2011.