26 April 2014

Mas Mono: Sebuah Perjumpaan

Siang ini udara tidak terlalu panas menurutku. Aku pun memilih bermalas-malasan di kamar sambil membaca sebuah novel terjemahan berjudul Steppenwolf karya Hermann Hesse. Hari ini adalah hari ke-13 puasa Ramadhan.
...

Thiiit. Thiiit. Hapeku berbunyi, tanda ada SMS masuk. Ketika kubuka, ternyata SMS itu dari Mas Mono. Aku pun bertanya-tanya, ada apa gerangan? Maklum, sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya, baik lewat hape ataupun bertemu secara langsung. Dulu, sekitar 6 bulan yang lalu, sekali waktu ia mengabariku lewat SMS soal perkembangan teman-teman asongan kereta api yang sedang menuntut hak kepada PT KAI (Kereta Api Indonesia) untuk diperbolehkan berjualan di dalam gerbong kereta api.

“Mas, gimana kabarnya? Maaf ngrepoti.” Aku pun membalas, “Baik. Njenengan yoknopo kabare?” Agak lama tak ada balasan, lalu kemudian dia SMS lagi. “Baik Mas. Sepuntene ngrepoti Mas. Sakniki konco-konco asongan kangelan kabeh Mas. Tambah ruwet aturane.”

Membaca SMS tersebut, aku pun menghela nafas. Bercampur antara rasa marah dan kecewa. Marah karena persoalan ini sudah lama sekali dan hingga kini belum terselesaikan. Memang PT KAI telah mengumumkan aturan mengenai larangan berjualan di atas gerbong kereta api yang berlaku sejak 1 Januari 2012. Namun, mereka tidak mempertimbangkan nasib ribuan pedagang asongan yang telah puluhan tahun menggantungkan rejekinya di kereta api. Para pedagang ini bahkan telah ada sejak pertama kali adanya kereta api itu sendiri. Ada gula ada semut, sederhananya.

Lalu mau dikemanakan mereka? Apakah mereka tiba-tiba harus dipaksa beralih profesi atau menganggur begitu saja? Sungguh kebijakan yang kejam. Bagiku, kebijakan tersebut menunjukkan bahwa PT KAI hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri, ciri kapitalis ‘sejati’. Di sisi lain, aku sangat kecewa pada diriku sendiri karena tidak bisa membantu perjuangan Mas Mono dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Paguyuban ASKA (Asongan Kereta Api).

Aku pertama kali bertemu dengan Mas Mono ketika aku mengerjakan skripsi. Ketika itu aku mencari pedagang asongan kereta api sebagai subyek penelitian skripsiku. Setelah bertanya ke beberapa pedagang asongan di Stasiun Mojokerto, akhirnya aku bertemu dengannya. Kami pun terlibat dalam perbincangan santai seputar dunia asongan di Mojokerto dan sekitarnya. Dalam bayanganku, orang inilah yang cocok untuk kuwawancarai. Ia tampak memiliki wawasan dan tentunya pemahaman yang lebih luas mengenai dunia asongan dibandingkan para pedagang asongan lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, aku baru mengetahui kalau ternyata Mas Mono adalah seorang aktivis Paguyuban ASKA. Ketika itu ia menawariku untuk hadir dalam pertemuan paguyuban asongan di rumah adiknya, yang juga seorang pedagang asongan. Aku mengira bahwa pertemuan tersebut hanyalah semacam arisan di antara pedagang asongan, namun ternyata aku salah. Di luar dugaanku, pertemuan tersebut ternyata adalah sebuah rapat konsolidasi yang rutin digelar oleh Paguyuban ASKA yang dibentuk sejak bulan Februari 2012 untuk melawan kebijakan PT KAI yang dianggap merugikan mereka.

“Lha dari pihak PT KAI apa masih ngebolehin jualan -meskipun dibatasi- atau udah nggak boleh sama sekali?” balasku pada Mas Mono. “Boleh, tapi dibatasi Mas. Niki kulo ten Jombang, ada hearing sama DPRD Jombang.” Dalam bayanganku, berharap pada wakil rakyat tak ada gunanya, hanya buang-buang waktu saja. Kemudian dia SMS lagi, “Mas, sepunteni ngrepoti. Sampean saget nyelehi (meminjami) kulo dhuwek ta? Wingi kulo dodolan, bukane bathi malah entek bondhone.”

Dadaku semakin sesak. Rasa marah dan kecewa semakin memenuhi dadaku. Dancok! Kenapa mereka yang ingin mencari sesuap nasi dengan cara yang baik dan halal ditendang begitu saja dengan kejamnya? Apa pula yang bisa kulakukan untuk membantu mereka? Aku termangu di atas kasur. Hasratku untuk melanjutkan membaca novel yang sedari tadi tertunda kini lenyap seketika.

Sering aku berpikir bahwa mungkin kesalahanku yang terbesar adalah memahami persoalan-persoalan sosial yang terlalu pelik seperti yang dialami oleh Mas Mono dan kawan-kawannya, sehingga aku merasa terbebani untuk ikut memperjuangkan nasib orang-orang seperti mereka. Namun di sisi lain, justru hal itulah yang menggiringku untuk mengambil tema skripsi mengenai mereka. Idealisme, itulah yang ada di pikiranku. Aku ingin memotret kehidupan mereka, dan terlibat dalam upaya perjuangan mereka. Namun yang terjadi kini adalah justru ketidakberdayaanku untuk membantu mereka.

Mungkin benar kata salah seorang guru di madrasah yang juga kini menjadi tempatku mengajar: lebih baik tidak (mau) tahu apa-apa. Ya, kalau aku tidak tahu dan tidak mau tahu, tentu aku tidak akan menjadi gelisah apalagi kecewa seperti ini. Biarlah itu menjadi urusan mereka, dan kuurus urusanku sendiri. Masih banyak urusan yang lebih penting daripada hanya memperjuangkan nasib mereka yang ‘tidak jelas’. Tetapi nuraniku mengatakan, sikap demikian adalah tindakan egois, dan itu bertentangan dengan esensi ajaran Islam yang mengajarkan kepedulian sosial, solidaritas, dan, bla bla bla. Mulai dari Asghar Ali Engineer hingga Tan Malaka muncul dalam otakku. Pikiranku berkecamuk.

Owh, nggeh. Butuh pinten?” balasku. “250 ribu Mas, buat modal jualan nasi kotak”. Kembali aku bimbang, namun sebentar kemudian aku menjadi mantap. Ya, aku harus memberinya uang yang dibutuhkannya. Soal apakah uang itu akan kembali atau tidak, itu tidak penting, niati saja sebagai shadaqah. Beres. Dan itulah yang aku lakukan, di mana aku kemudian datang ke rumahnya pada malam di hari berikutnya.
Setelah pertemuan di rumahnya itu, aku belum pernah bertemu lagi dengan Mas Mono. Sampai suatu ketika, ia mengabari bahwa ia dan istrinya membuka warung nasi di dekat palang pintu kereta api di Suratan. Aku pun membalas SMS-nya, dan mengatakan bahwa kapan-kapan aku akan mampir ke warungnya tersebut. Sekitar satu minggu kemudian aku menyempatkan mampir ke warungnya, namun aku tidak menemukan tempat yang kumaksud. Aku pun bertanya-tanya, apakah aku yang kurang teliti sehingga warung Mas Mono tidak aku temukan? Jawabannya aku dapati 3 hari kemudian. Ternyata ia memang berhenti berjualan untuk sementara, karena badan istrinya tersiram air panas ketika memasak. Aku pun kaget mengetahui musibah tersebut.

Beberapa hari kemudian aku mencoba mencari alamat rumahnya, berniat untuk menjenguk Mas Mono dan keluarganya. Namun aku kembali gagal. Ketika aku sudah sampai di rumahnya, ternyata rumah tersebut sudah berganti penghuni, dan penghuni baru tersebut mengatakan bahwa Mas Mono dan keluarganya pindah ke sebuah rumah kos di RW sebelah. Aku pun kemudian mencari-cari alamat rumah kos baru itu, dan kembali nihil hasilnya. Aku pulang dengan kekecewaan.

Mas Mono, dengan kegetiran kehidupannya, bagiku adalah salah satu cerita dari sekian banyak cerita orang-orang yang (di)kalah(kan), termasuk diriku. Dan yang ia tahu hanyalah bahwa ia harus terus memperjuangkan nasibnya sebisanya, hingga apa yang diinginkannya tercapai atau ia tidak mampu lagi dan menyerah. Dan cerita ini masih terus berlanjut.

Mojokerto, Januari-April 2014