04 December 2016

Yang Terserak: Secuil Kisah Perjalananku

“Menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga.” –K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)             


Beberapa minggu yang lalu, Hanif Junaedy -adik kelasku di pesantren- mengirim sebuah pesan pribadi lewat Facebook padaku. Ketika kubaca, isinya adalah informasi tentang lomba menulis cerpen yang diadakan oleh CSS MoRA, organisasi yang menaungi para mahasiswa penerima beasiswa S1 PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) dari Kemenag RI. Lomba cerpen tersebut bertema tentang kisah inspiratif para penerima beasiswa PBSB. Aku, Juned (panggilanku pada Hanif Junaedy), dan beberapa teman lainnya dari pesantrenku merupakan alumni program beasiswa tersebut.

Dia menanyakan padaku, apakah aku tidak berminat untuk mengikuti lomba tersebut, karena menurutnya, kisahku sangat unik dan inspiratif, sehingga sayang sekali kalau tidak ditulis dan diikutkan dalam lomba tersebut. Aku pun membalasnya dengan mengatakan bahwa aku tidak bisa menulis cerpen, hahaha... Ya, memang demikianlah kenyataannya. Namun di balik itu, aku sebenarnya memiliki alasan yang lebih mendasar. Bagiku, kisah perjalananku dari pesantren hingga mendapat beasiswa PBSB untuk studi S1 di UGM, pengabdian di pesantrenku pasca-lulus S1, dan beasiswa dari IDB-UIN Walisongo untuk studi S2 di Unair tidak layak untuk diikutkan dalam lomba tersebut. Atau setidaknya, belum bisa dikatakan layak. Mengapa? Karena menurutku, masih amat banyak kisah lain yang lebih unik dan inspiratif dibandingkan kisah perjalananku. Selain itu, aku sendiri merasa “terlalu berlebihan” kalau perjalananku itu disebut inspiratif.