Mochammad Said
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Kenneth J. Gergen merupakan profesor psikologi di Swarthmore College, Swarthmore, Pennsylvania. Dia merupakan penulis buku Toward Transformation in Social Knowledge dan The Saturated Self (2). Ia telah memfokuskan diri di bidang psikologi sosial selama lebih dari 3 dekade. Namun, dalam perjalanan karir intelektualnya, pandangannya terhadap ilmu psikologi sosial dan signifikansinya berubah secara substansial selama periode ini. Tulisan ini akan memaparkan secara biografis proses perubahan pandangannya terhadap ilmu psikologi sosial tersebut, yang melahirkan pemikiran konstruksionisme sosial dalam psikologi sosial.
Asumsi-asumsi Tradisional: Paradigma Eksperimental
Selama ini, di lingkungan dunia akademik perguruan tinggi, menurut Gergen, terdapat 2 fakta yang amat jelas: pertama, sumbangan terbesar terhadap kemajuan umat manusia abad sebelumnya berasal dari ilmu-ilmu alam; dan kedua, kita tetap berusaha memahami perilaku manusia. Disiplin psikologi tidak hanya mengakui kedua fakta ini, bahkan juga meyakini bahwa apabila kita mampu menghasilkan pengetahuan ilmiah tentang perilaku manusia, maka kita pasti mampu mengatasi berbagai persoalan, seperti agresi, prasangka, konflik kelas, immoralitas, abnormalitas, dan sebagainya.
Keyakinan di atas tercakup dalam sebuah metode psikologi sosial yang disebut dengan psikologi sosial empiris atau eksperimental. Melalui metode ini, ilmuwan atau peneliti mengadakan suatu setting eksperimental di mana hubungan kausal yang presisi dapat ditelusuri. Hubungan kausal yang dimaksud adalah dampak kondisi stimulus terhadap proses psikologis subjek individual dan dampak proses psikologis ini terhadap perilaku subjek satu sama lain. Observasi terhadap tahapan kausal juga dapat dievaluasi secara statistik untuk memantapkan generalitasnya. Setelah itu, penemuan penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai bahan untuk studi atau penelitian lebih lanjut bagi peneliti lainnya, berdasarkan kelemahan dan keterbatasan penelitian tersebut. Seiring waktu, bidang ilmu tersebut –yang terus diteliti dan dikembangkan melalui penelitian- akan menghasilkan prinsip-prinsip dan penjelasan-penjelasan teoritis umum yang menyeluruh dan teruji dengan baik. Hasil temuan tersebut tidak akan terpengaruh (bias) oleh ideologi tertentu, posisi politik, atau komitmen etis manapun. Dengan demikian, hasil temuan ini dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat, sehingga para pengambil kebijakan, pemimpin komunitas, dan setiap individu warga negara dapat mengambil manfaat darinya dalam upaya mereka untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
Asumsi yang mendasari psikologi sosial eksperimental adalah bahwa penelitian empiris dapat menghasilkan deskripsi dan eksplanasi yang sistematis dan tidak bias terhadap perilaku sosial. Akurasi dan generalitas pemahaman teoritis yang dilahirkan darinya merupakan subjek bagi pengembangan berkelanjutan melalui penelitian, dan tidak ada yang lebih praktis bagi masyarakat daripada teori yang akurat yang didukung dengan fakta-fakta empiris. Dengan demikian, para ilmuwan dapat menawarkan kepada masyarakat pemahaman mengenai prinsip-prinsip interaksi manusia, dan dengannya masyarakat dapat mengembangkan diri mereka sendiri. Dan pengetahuan pun akan terus berkembang pula.
Psikologi Sosial sebagai Sejarah
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, antusiasme dan optimisme terhadap masa depan psikologi sosial didasarkan pada keyakinan bahwa sifat pengetahuan adalah terakumulasi: setiap percobaan akan memperkuat hasil percobaan sebelumnya, dan kumpulan temuan tersebut memberi kita keyakinan yang lebih kuat mengenai realitas kehidupan sosial. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana jika kehidupan sosial itu sendiri tidak stabil; bagaimana jika pola sosial dalam keadaan kontinyu dan mungkin mengalami perubahan yang kacau (chaotic)?
Psikologi bisa disebut sebagai disiplin ilmu yang kreatif. Ia terus mengembangkan istilah-istilah baru, penjelasan-penjelasan baru, dan wawasan baru tentang perilaku manusia. Namun, bukankah semua usaha ini adalah petualangan interpretasi? Dan bila demikian, tidakkah ia berkontribusi terhadap percampuran interpretasi di dalam masyarakat? Bukankah ia ikut menekan interpretasi kita, dan dengan demikian mempengaruhi tindakan kita terhadap satu sama lain? Sehingga, dapat dikatakan bahwa ketika teori psikologi sosial masuk ke masyarakat, ia memiliki kapasitas untuk mempengaruhi pola sosial. Dan akhirnya, bidang ilmu tersebut juga berkontribusi terhadap proses pembentukan pola sosial yang akhirnya membatalkan keyakinannya sendiri terhadap pengetahuan yang bersifat kumulatif.
Kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan kritis di atas adalah bahwa sebenarnya disiplin psikologi tidak hanya mempengaruhi pondasi pemaknaan sosial, bahkan ia adalah nilai yang tersaturasi. Yakni, meskipun ia berusaha untuk bebas-nilai, interpretasi-interpretasinya menghasilkan penilaian positif terhadap perilaku-perilaku tertentu dan mendiskreditkan perilaku-perilaku lainnya. Riset-riset terkenal, sebagai contoh, mendiskreditkan konformitas, kepatuhan, dan perubahan sikap. Disiplin psikologi mengagungkan independensi, otonomi, dan pengendalian-diri; kerjasama, kolaborasi, dan integrasi empatik dengan yang lain ditekan. Sehingga ilmu psikologi tidak hanya melakukan perubahan interpretasi, tetapi juga tanpa disadari berperan sebagai advokat moral dan politik. Dengan demikian, harapan terhadap ilmu yang bebas-nilai sangatlah keliru.
Visi Baru Psikologi Sosial: Paradigma Konstruksi Sosial
Tugas psikologi sosial adalah untuk memahami basis psikologis dari pola-pola sosial –bagaimanakah proses mendasar dari kognisi, motivasi, prasangka, dan sejenisnya berfungsi dalam diri manusia. Menurut Gergen, proses-proses ini tidaklah stabil; mereka melekat dalam sifat manusia. Hanya ekspresinya yang bisa berubah-ubah. Proses internal dalam diri manusia merupakan fenomena khusus (sementara), tidak universal. Pemahaman demikian membawa psikologi sosial pada titik balik kritis menuju sebuah paradigma baru, yaitu psikologi sosial konstruksionis.
Pemikiran psikologi sosial konstruksionis Gergen ini dipengaruhi oleh pemikiran Gadamer (1975). Dalam bukunya yang berjudul Truth and Method, sebagaimana dikutip Gergen, Gadamer bergulat dengan sebuah pertanyaan yang menjangkiti para sarjana hermeneutika selama beberapa abad: bagaimanakah kita bisa memahami makna yang ada dalam sebuah teks –apakah yang sebenarnya penulis ingin katakan? Pertanyaan itu tidak pernah menghasilkan jawaban yang memuaskan dalam tradisi hermeneutik. Permasalahan ini sama dengan bagaimana psikolog memahami proses psikologis yang menghasilkan tindakan berlebihan. Bagi Gergen, konsep penting dari Gadamer merupakan horison pemahamannya. Menurut Gadamer, seorang pembaca mendekati sebuah teks dengan struktur-awal pemahaman, yang pada dasarnya merupakan berbagai kecenderungan penafsiran (interpretatif) yang biasanya akan mendominasi cara teks tersebut dipahami.
Gergen juga mengutip pendapat Thomas Kuhn. Dalam karyanya, The Structure of Scientific Revolution (1970), Thomas Kuhn juga menyatakan bahwa cara menginterpretasi suatu bukti ilmiah dipengaruhi oleh paradigma pemahaman utama di bidang tersebut pada waktu tertentu. Menurutnya, seorang ilmuwan melaksanakan penelitian dan menafsirkan temuannya dalam sebuah kerangka (seperangkat asumsi apriori) teoritis (metateoritis) yang dibagi dalam komunitas tertentu. Kesimpulan yang sama dicapai, meskipun dalam bidang yang berbeda, oleh teoretisi sastra, Stanley Fish. Fish (1980) berpendapat bahwa ketika para pembaca mencoba untuk memahami sebuah teks, mereka melakukannya juga sebagai anggota komunitas interpretatif. Interpretasi mereka akan menghasilkan pemahaman umum dari komunitas tersebut.
Berdasarkan berbagai argumen di atas, menjadi jelaslah –menurut Gergen- bahwa tidak ada pembacaan terhadap “interior psikologis” yang selamat dari suatu anggapan awal (pre-asumsi) yang dibawa dan dimiliki oleh seseorang. Tindakan masyarakat belum tentu mencerminkan karakter subyektif atau proses mental mereka; namun, setelah para psikolog menggunakan sebuah teori yang ada, mereka meletakkan “peristiwa-peristiwa internal” dalam istilah-istilahnya. Teori-teori ini tidak memiliki dasar dalam kenyataan; kenyataan-kenyataan apapun tentang pikiran yang digunakan dalam dukungan merekalah yang mengharuskan penggunaan teori-teori ini. Oleh karenanya, dunia psikologis yang dipahami oloeh banyak psikolog sosial adalah sebuah konstruksi sosial, dan temuan-temuan yang digunakan untuk membenarkan pernyataan tentang dunia ini hanya berlaku sejauh ia tetap berada di dalam paradigma teoritis (dan metateoritis) dari bidang tersebut. Temuan-temuan penelitian tidak memiliki arti apa pun sampai mereka ditafsirkan, dan interpretasi ini tidak dituntut atau diminta oleh temuan-temuan itu sendiri. Mereka adalah hasil dari proses negosiasi makna dalam masyarakat.
Tantangan Ke Depan: Empiris, Reflektif, dan Kreatif
Dalam pandangan Gergen, secara garis besar ada tiga tantangan utama yang dihadapi psikologi sosial dalam perspektif konstruksionis, yaitu tantangan empiris, tantangan reflektif, dan tantangan kreatif.
Dalam perspektif konstruksionis sosial, penelitian empiris tidak ditinggalkan; hanya tujuannya yang direvisi sedemikian rupa sehingga hasilnya lebih ditujukan secara langsung pada masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam penelitian empiris, banyak psikolog sosial, dengan perspektif konstruksionis, tidak puas dengan implikasi politik dari eksperimentasi manusia, dan memilih untuk mengeksplorasi cara-cara di mana realitas dibangun dalam masyarakat. Studi-studi ini, yang berfokus pada cara diskursif yang dengannya kita menentukan apa yang benar dan baik, bertujuan emansipatoris. Untuk tujuan tersebut sudah ada banyak contoh. Beberapa peneliti, misalnya, alih-alih mencoba untuk menunjukkan prinsip-prinsip universal, mereka menggunakan analisis wacana untuk memahami kebiasaan khusus kita dalam mengkonstruksi dunia dan diri kita sendiri. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan masalah-masalah yang dibuat oleh kesepakatan umum (konvensi) yang bersifat diskursif ini dan untuk membuka diskusi tentang pengertian-pengertian alternatif. Dengan demikian, misalnya, peneliti telah menggunakan metode analisis wacana untuk menggugat perbedaan gender tradisional (Kitzinger, 1987), konsep memori individu (Middleton dan Edwards, 1990), rasionalitas kerusuhan sosial (Potter dan Reicher, 1987), kebenaran-kebenaran yang diterima tentang alkohol (Taylor, 1990), atribusi dari intensi (niat tindakan) (Edwards dan Potter, 1992), dan gagasan tentang laporan faktual atau obyektif (Woofitt, 1992).
Para peneliti lain prihatin dengan cara di mana bentuk-bentuk kesepakatan umum (konvensi sosial) yang secara tidak sengaja mengarahkan anggapan-anggapan kita tentang hal yang nyata. Dalam kasus tentang diri (self), misalnya, Mary Gergen dan Gergen (Gergen dan Gergen, 1988) telah berusaha untuk menunjukkan bagaimana konvensi naratif -atau cara-cara tradisional dalam bercerita- menyediakan kerangka yang melaluinya kita membuat diri kita dimengerti orang lain. Dalam hal ini, diri dipandang sebagai sesuatu yang dicapai melalui proses dialogis yang terus-menerus bergerak.
Konstruksionis sosial dalam bidang psikologi sosial juga dituntut untuk mengupayakan apa yang disebut dengan dileberasi reflektif, yaitu suatu upaya untuk mendialogkan dan merefleksikan kembali karakter kehidupan dunia yang terbentuk secara historis dan kultural ini, yang di dalamnya terdapat potensi penindasan terhadap yang lain sekaligus potensi untuk membuka ruang bagi suara-suara lain melalui dialog budaya. Para psikologi sosial konstruksionis dituntut untuk melakukan dialog reflektif, baik dalam bidang psikologi maupun budaya secara umum.
Psikologi sosial tradisonal beranggapan bahwa psikologi sosial, sebagai ilmu pengetahuan, haruslah bebas-nilai. Menurut psikologi sosial konstruksionis, hal ini adalah keliru. Para konstruksionis justru memiliki perhatian besar terhadap tendensi-tendensi etis dan politis dari penelitian dan temuan di bidang psikologi sosial, dan memiliki sebuah tujuan nyata untuk menjadikan psikologi sosial sebagai suatu alat untuk membentuk dan menghasilkan apa yang disebut dengan transformasi sosial dan kultural.
Dalam rangka itu, perlu dilakukan formulasi-formulasi teoritis baru untuk menyusun kembali istilah-istilah psikologis tradisional. Selain itu, juga perlu digunakan metodologi-metodologi baru yang berbeda dengan psikologi sosial tradisional, karena –sesuai dengan pemahaman konstruksionisme sosial- metodologi pun mengandung tendensi nilai dan ideologi tertentu. Metodologi kualitatif (Denzin dan Lincoln, 1994) adalah satu langkah penting menuju psikologi sosial yang lebih diperkaya, sebagai prosedur analitik wacana.
Catatan:
1) Tulisan ini merupakan hampiran (review) terhadap pemikiran Kenneth J. Gergen yang ia tulis dalam sebuah artikel berjudul Social Psychology as Social Construction: The Emerging Vision yang dimuat dalam sebuah buku berjudul For The Message of Social Psychology: Perspectives on Mind in Society (Eds. C. Mc.Garty and A. Haslam) (1996), Oxford: Blackwell.
2) Steinar Kvale (ed.), Psychology and Postmodernism (terjemahan), 2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
14 November 2014
26 April 2014
Mas Mono: Sebuah Perjumpaan
Siang ini udara tidak terlalu panas menurutku. Aku pun memilih bermalas-malasan di kamar sambil membaca sebuah novel terjemahan berjudul Steppenwolf karya Hermann Hesse. Hari ini adalah hari ke-13 puasa Ramadhan.
...
Thiiit. Thiiit. Hapeku berbunyi, tanda ada SMS masuk. Ketika kubuka, ternyata SMS itu dari Mas Mono. Aku pun bertanya-tanya, ada apa gerangan? Maklum, sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya, baik lewat hape ataupun bertemu secara langsung. Dulu, sekitar 6 bulan yang lalu, sekali waktu ia mengabariku lewat SMS soal perkembangan teman-teman asongan kereta api yang sedang menuntut hak kepada PT KAI (Kereta Api Indonesia) untuk diperbolehkan berjualan di dalam gerbong kereta api.
“Mas, gimana kabarnya? Maaf ngrepoti.” Aku pun membalas, “Baik. Njenengan yoknopo kabare?” Agak lama tak ada balasan, lalu kemudian dia SMS lagi. “Baik Mas. Sepuntene ngrepoti Mas. Sakniki konco-konco asongan kangelan kabeh Mas. Tambah ruwet aturane.”
Membaca SMS tersebut, aku pun menghela nafas. Bercampur antara rasa marah dan kecewa. Marah karena persoalan ini sudah lama sekali dan hingga kini belum terselesaikan. Memang PT KAI telah mengumumkan aturan mengenai larangan berjualan di atas gerbong kereta api yang berlaku sejak 1 Januari 2012. Namun, mereka tidak mempertimbangkan nasib ribuan pedagang asongan yang telah puluhan tahun menggantungkan rejekinya di kereta api. Para pedagang ini bahkan telah ada sejak pertama kali adanya kereta api itu sendiri. Ada gula ada semut, sederhananya.
Lalu mau dikemanakan mereka? Apakah mereka tiba-tiba harus dipaksa beralih profesi atau menganggur begitu saja? Sungguh kebijakan yang kejam. Bagiku, kebijakan tersebut menunjukkan bahwa PT KAI hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri, ciri kapitalis ‘sejati’. Di sisi lain, aku sangat kecewa pada diriku sendiri karena tidak bisa membantu perjuangan Mas Mono dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Paguyuban ASKA (Asongan Kereta Api).
Aku pertama kali bertemu dengan Mas Mono ketika aku mengerjakan skripsi. Ketika itu aku mencari pedagang asongan kereta api sebagai subyek penelitian skripsiku. Setelah bertanya ke beberapa pedagang asongan di Stasiun Mojokerto, akhirnya aku bertemu dengannya. Kami pun terlibat dalam perbincangan santai seputar dunia asongan di Mojokerto dan sekitarnya. Dalam bayanganku, orang inilah yang cocok untuk kuwawancarai. Ia tampak memiliki wawasan dan tentunya pemahaman yang lebih luas mengenai dunia asongan dibandingkan para pedagang asongan lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, aku baru mengetahui kalau ternyata Mas Mono adalah seorang aktivis Paguyuban ASKA. Ketika itu ia menawariku untuk hadir dalam pertemuan paguyuban asongan di rumah adiknya, yang juga seorang pedagang asongan. Aku mengira bahwa pertemuan tersebut hanyalah semacam arisan di antara pedagang asongan, namun ternyata aku salah. Di luar dugaanku, pertemuan tersebut ternyata adalah sebuah rapat konsolidasi yang rutin digelar oleh Paguyuban ASKA yang dibentuk sejak bulan Februari 2012 untuk melawan kebijakan PT KAI yang dianggap merugikan mereka.
“Lha dari pihak PT KAI apa masih ngebolehin jualan -meskipun dibatasi- atau udah nggak boleh sama sekali?” balasku pada Mas Mono. “Boleh, tapi dibatasi Mas. Niki kulo ten Jombang, ada hearing sama DPRD Jombang.” Dalam bayanganku, berharap pada wakil rakyat tak ada gunanya, hanya buang-buang waktu saja. Kemudian dia SMS lagi, “Mas, sepunteni ngrepoti. Sampean saget nyelehi (meminjami) kulo dhuwek ta? Wingi kulo dodolan, bukane bathi malah entek bondhone.”
Dadaku semakin sesak. Rasa marah dan kecewa semakin memenuhi dadaku. Dancok! Kenapa mereka yang ingin mencari sesuap nasi dengan cara yang baik dan halal ditendang begitu saja dengan kejamnya? Apa pula yang bisa kulakukan untuk membantu mereka? Aku termangu di atas kasur. Hasratku untuk melanjutkan membaca novel yang sedari tadi tertunda kini lenyap seketika.
Sering aku berpikir bahwa mungkin kesalahanku yang terbesar adalah memahami persoalan-persoalan sosial yang terlalu pelik seperti yang dialami oleh Mas Mono dan kawan-kawannya, sehingga aku merasa terbebani untuk ikut memperjuangkan nasib orang-orang seperti mereka. Namun di sisi lain, justru hal itulah yang menggiringku untuk mengambil tema skripsi mengenai mereka. Idealisme, itulah yang ada di pikiranku. Aku ingin memotret kehidupan mereka, dan terlibat dalam upaya perjuangan mereka. Namun yang terjadi kini adalah justru ketidakberdayaanku untuk membantu mereka.
Mungkin benar kata salah seorang guru di madrasah yang juga kini menjadi tempatku mengajar: lebih baik tidak (mau) tahu apa-apa. Ya, kalau aku tidak tahu dan tidak mau tahu, tentu aku tidak akan menjadi gelisah apalagi kecewa seperti ini. Biarlah itu menjadi urusan mereka, dan kuurus urusanku sendiri. Masih banyak urusan yang lebih penting daripada hanya memperjuangkan nasib mereka yang ‘tidak jelas’. Tetapi nuraniku mengatakan, sikap demikian adalah tindakan egois, dan itu bertentangan dengan esensi ajaran Islam yang mengajarkan kepedulian sosial, solidaritas, dan, bla bla bla. Mulai dari Asghar Ali Engineer hingga Tan Malaka muncul dalam otakku. Pikiranku berkecamuk.
“Owh, nggeh. Butuh pinten?” balasku. “250 ribu Mas, buat modal jualan nasi kotak”. Kembali aku bimbang, namun sebentar kemudian aku menjadi mantap. Ya, aku harus memberinya uang yang dibutuhkannya. Soal apakah uang itu akan kembali atau tidak, itu tidak penting, niati saja sebagai shadaqah. Beres. Dan itulah yang aku lakukan, di mana aku kemudian datang ke rumahnya pada malam di hari berikutnya.
Setelah pertemuan di rumahnya itu, aku belum pernah bertemu lagi dengan Mas Mono. Sampai suatu ketika, ia mengabari bahwa ia dan istrinya membuka warung nasi di dekat palang pintu kereta api di Suratan. Aku pun membalas SMS-nya, dan mengatakan bahwa kapan-kapan aku akan mampir ke warungnya tersebut. Sekitar satu minggu kemudian aku menyempatkan mampir ke warungnya, namun aku tidak menemukan tempat yang kumaksud. Aku pun bertanya-tanya, apakah aku yang kurang teliti sehingga warung Mas Mono tidak aku temukan? Jawabannya aku dapati 3 hari kemudian. Ternyata ia memang berhenti berjualan untuk sementara, karena badan istrinya tersiram air panas ketika memasak. Aku pun kaget mengetahui musibah tersebut.
Beberapa hari kemudian aku mencoba mencari alamat rumahnya, berniat untuk menjenguk Mas Mono dan keluarganya. Namun aku kembali gagal. Ketika aku sudah sampai di rumahnya, ternyata rumah tersebut sudah berganti penghuni, dan penghuni baru tersebut mengatakan bahwa Mas Mono dan keluarganya pindah ke sebuah rumah kos di RW sebelah. Aku pun kemudian mencari-cari alamat rumah kos baru itu, dan kembali nihil hasilnya. Aku pulang dengan kekecewaan.
Mas Mono, dengan kegetiran kehidupannya, bagiku adalah salah satu cerita dari sekian banyak cerita orang-orang yang (di)kalah(kan), termasuk diriku. Dan yang ia tahu hanyalah bahwa ia harus terus memperjuangkan nasibnya sebisanya, hingga apa yang diinginkannya tercapai atau ia tidak mampu lagi dan menyerah. Dan cerita ini masih terus berlanjut.
Mojokerto, Januari-April 2014
...
Thiiit. Thiiit. Hapeku berbunyi, tanda ada SMS masuk. Ketika kubuka, ternyata SMS itu dari Mas Mono. Aku pun bertanya-tanya, ada apa gerangan? Maklum, sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya, baik lewat hape ataupun bertemu secara langsung. Dulu, sekitar 6 bulan yang lalu, sekali waktu ia mengabariku lewat SMS soal perkembangan teman-teman asongan kereta api yang sedang menuntut hak kepada PT KAI (Kereta Api Indonesia) untuk diperbolehkan berjualan di dalam gerbong kereta api.
“Mas, gimana kabarnya? Maaf ngrepoti.” Aku pun membalas, “Baik. Njenengan yoknopo kabare?” Agak lama tak ada balasan, lalu kemudian dia SMS lagi. “Baik Mas. Sepuntene ngrepoti Mas. Sakniki konco-konco asongan kangelan kabeh Mas. Tambah ruwet aturane.”
Membaca SMS tersebut, aku pun menghela nafas. Bercampur antara rasa marah dan kecewa. Marah karena persoalan ini sudah lama sekali dan hingga kini belum terselesaikan. Memang PT KAI telah mengumumkan aturan mengenai larangan berjualan di atas gerbong kereta api yang berlaku sejak 1 Januari 2012. Namun, mereka tidak mempertimbangkan nasib ribuan pedagang asongan yang telah puluhan tahun menggantungkan rejekinya di kereta api. Para pedagang ini bahkan telah ada sejak pertama kali adanya kereta api itu sendiri. Ada gula ada semut, sederhananya.
Lalu mau dikemanakan mereka? Apakah mereka tiba-tiba harus dipaksa beralih profesi atau menganggur begitu saja? Sungguh kebijakan yang kejam. Bagiku, kebijakan tersebut menunjukkan bahwa PT KAI hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri, ciri kapitalis ‘sejati’. Di sisi lain, aku sangat kecewa pada diriku sendiri karena tidak bisa membantu perjuangan Mas Mono dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Paguyuban ASKA (Asongan Kereta Api).
Aku pertama kali bertemu dengan Mas Mono ketika aku mengerjakan skripsi. Ketika itu aku mencari pedagang asongan kereta api sebagai subyek penelitian skripsiku. Setelah bertanya ke beberapa pedagang asongan di Stasiun Mojokerto, akhirnya aku bertemu dengannya. Kami pun terlibat dalam perbincangan santai seputar dunia asongan di Mojokerto dan sekitarnya. Dalam bayanganku, orang inilah yang cocok untuk kuwawancarai. Ia tampak memiliki wawasan dan tentunya pemahaman yang lebih luas mengenai dunia asongan dibandingkan para pedagang asongan lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, aku baru mengetahui kalau ternyata Mas Mono adalah seorang aktivis Paguyuban ASKA. Ketika itu ia menawariku untuk hadir dalam pertemuan paguyuban asongan di rumah adiknya, yang juga seorang pedagang asongan. Aku mengira bahwa pertemuan tersebut hanyalah semacam arisan di antara pedagang asongan, namun ternyata aku salah. Di luar dugaanku, pertemuan tersebut ternyata adalah sebuah rapat konsolidasi yang rutin digelar oleh Paguyuban ASKA yang dibentuk sejak bulan Februari 2012 untuk melawan kebijakan PT KAI yang dianggap merugikan mereka.
“Lha dari pihak PT KAI apa masih ngebolehin jualan -meskipun dibatasi- atau udah nggak boleh sama sekali?” balasku pada Mas Mono. “Boleh, tapi dibatasi Mas. Niki kulo ten Jombang, ada hearing sama DPRD Jombang.” Dalam bayanganku, berharap pada wakil rakyat tak ada gunanya, hanya buang-buang waktu saja. Kemudian dia SMS lagi, “Mas, sepunteni ngrepoti. Sampean saget nyelehi (meminjami) kulo dhuwek ta? Wingi kulo dodolan, bukane bathi malah entek bondhone.”
Dadaku semakin sesak. Rasa marah dan kecewa semakin memenuhi dadaku. Dancok! Kenapa mereka yang ingin mencari sesuap nasi dengan cara yang baik dan halal ditendang begitu saja dengan kejamnya? Apa pula yang bisa kulakukan untuk membantu mereka? Aku termangu di atas kasur. Hasratku untuk melanjutkan membaca novel yang sedari tadi tertunda kini lenyap seketika.
Sering aku berpikir bahwa mungkin kesalahanku yang terbesar adalah memahami persoalan-persoalan sosial yang terlalu pelik seperti yang dialami oleh Mas Mono dan kawan-kawannya, sehingga aku merasa terbebani untuk ikut memperjuangkan nasib orang-orang seperti mereka. Namun di sisi lain, justru hal itulah yang menggiringku untuk mengambil tema skripsi mengenai mereka. Idealisme, itulah yang ada di pikiranku. Aku ingin memotret kehidupan mereka, dan terlibat dalam upaya perjuangan mereka. Namun yang terjadi kini adalah justru ketidakberdayaanku untuk membantu mereka.
Mungkin benar kata salah seorang guru di madrasah yang juga kini menjadi tempatku mengajar: lebih baik tidak (mau) tahu apa-apa. Ya, kalau aku tidak tahu dan tidak mau tahu, tentu aku tidak akan menjadi gelisah apalagi kecewa seperti ini. Biarlah itu menjadi urusan mereka, dan kuurus urusanku sendiri. Masih banyak urusan yang lebih penting daripada hanya memperjuangkan nasib mereka yang ‘tidak jelas’. Tetapi nuraniku mengatakan, sikap demikian adalah tindakan egois, dan itu bertentangan dengan esensi ajaran Islam yang mengajarkan kepedulian sosial, solidaritas, dan, bla bla bla. Mulai dari Asghar Ali Engineer hingga Tan Malaka muncul dalam otakku. Pikiranku berkecamuk.
“Owh, nggeh. Butuh pinten?” balasku. “250 ribu Mas, buat modal jualan nasi kotak”. Kembali aku bimbang, namun sebentar kemudian aku menjadi mantap. Ya, aku harus memberinya uang yang dibutuhkannya. Soal apakah uang itu akan kembali atau tidak, itu tidak penting, niati saja sebagai shadaqah. Beres. Dan itulah yang aku lakukan, di mana aku kemudian datang ke rumahnya pada malam di hari berikutnya.
Setelah pertemuan di rumahnya itu, aku belum pernah bertemu lagi dengan Mas Mono. Sampai suatu ketika, ia mengabari bahwa ia dan istrinya membuka warung nasi di dekat palang pintu kereta api di Suratan. Aku pun membalas SMS-nya, dan mengatakan bahwa kapan-kapan aku akan mampir ke warungnya tersebut. Sekitar satu minggu kemudian aku menyempatkan mampir ke warungnya, namun aku tidak menemukan tempat yang kumaksud. Aku pun bertanya-tanya, apakah aku yang kurang teliti sehingga warung Mas Mono tidak aku temukan? Jawabannya aku dapati 3 hari kemudian. Ternyata ia memang berhenti berjualan untuk sementara, karena badan istrinya tersiram air panas ketika memasak. Aku pun kaget mengetahui musibah tersebut.
Beberapa hari kemudian aku mencoba mencari alamat rumahnya, berniat untuk menjenguk Mas Mono dan keluarganya. Namun aku kembali gagal. Ketika aku sudah sampai di rumahnya, ternyata rumah tersebut sudah berganti penghuni, dan penghuni baru tersebut mengatakan bahwa Mas Mono dan keluarganya pindah ke sebuah rumah kos di RW sebelah. Aku pun kemudian mencari-cari alamat rumah kos baru itu, dan kembali nihil hasilnya. Aku pulang dengan kekecewaan.
Mas Mono, dengan kegetiran kehidupannya, bagiku adalah salah satu cerita dari sekian banyak cerita orang-orang yang (di)kalah(kan), termasuk diriku. Dan yang ia tahu hanyalah bahwa ia harus terus memperjuangkan nasibnya sebisanya, hingga apa yang diinginkannya tercapai atau ia tidak mampu lagi dan menyerah. Dan cerita ini masih terus berlanjut.
Mojokerto, Januari-April 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)