27 March 2015

Psikologi Politik dalam Perspektif Psikologi Kritis[*]


Mochammad Said
Mahasiswa Magister Psikologi Unair


Psikologi Kritis: Sebuah Pengantar
            Psikologi kritis merupakan sebuah paradigma psikologi yang menentang psikologi arus utama. Kata kritis sendiri bermakna suatu perlawanan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran umum. Dalam konteks psikologi, psikologi kritis bermakna bahwa ia merupakan suatu pendekatan keilmuan yang melawan teori dan praktik psikologi arus utama. Yang dimaksud psikologi arus utama adalah psikologi yang biasa diajarkan di perguruan tinggi dan dipraktikkan oleh ahli psikologi klinis, peneliti, dan para konsultan psikologi. Ia mencerminkan psikologi sebagai sains yang obyektif dan bebas nilai, serta berusaha memahami perilaku manusia dan membantunya menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan modern.
            Psikologi kritis berbeda dengan psikologi arus utama setidaknya dalam dua aspek utama, yaitu dalam aspek nilai dasar dan asumsi dasar. Nilai-nilai dasar yang dianut para ahli psikologi kritis adalah nilai-nilai seperti keadilan sosial, penentuan diri sendiri dan partisipasi, kasih sayang dan rasa kasihan, kesehatan, dan keragaman manusia. Nilai-nilai ini menuntun dan mengarahkan mereka dalam mengkritik struktur sosial, khususnya yang melanggengkan praktik penindasan, dan pandangan tentang tatanan masyarakat yang lebih baik. Sekilas terlihat bahwa nilai-nilai tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti bagi psikologi arus utama dan psikologi kritis. Namun, apabila dicermati secara lebih dalam, nilai-nilai tersebut bagi psikologi kritis lebih dekat pada nilai-nilai sosialisme dibandingkan nilai-nilai individualisme bagi psikologi arus utama. Dan memang, psikologi kritis sangat menentang individualisme.
            Sedangkan dalam hal asumsi dasar, tabel berikut dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang perbedaan di antara psikologi kritis dan psikologi arus utama.
 
Asumsi yang dibahas
Kritik terhadap psikologi arus utama
Alternatif psikologi kritis
Penelitian dan pengetahuan.
Konsep ilmu pengetahuan apa yang didukung? Apa yang menjadi tujuan penelitian?
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai akumulasi fakta-fakta obyektif yang tidak mengandung kepentingan pribadi dan politis. “Sains yang  bebas nilai dapat mengatasi semua masalah manusia”.
Ilmu pengetahuan dipandang dipengaruhi oleh penggunaan politik dan berada dalam subyektifitas penciptanya. Penelitian digunakan demi nilai-nilai moral, yaitu menolong masyarakat tertindas.
Definisi persoalan dan penyelesaiannya.
Apa yang dimasukkan dan dikeluarkan dalam definisi persoalan? Tingkat intervensi pada persoalan mana yang dituju?
Persoalan didefinisikan dalam pengertian kekurangan intrapersonal dan interpersonal. Pola kekuasaan dalam masyarakat biasanya dikeluarkan dari definisi. Intervensi biasanya ditujukan kepada individu, bukan ditujukan kepada sistem sosial, dan menyalahkan korban penindasan.
Persoalan didefinisikan sescara holistik dengan menggunakan faktor-faktor psikologis dan sosial yang berkaitan dengan lingkungan yang tak memberdayakan dan menindas. Intervensi ditujukan kepada idmensi pribadi dan sosial, mencoba memeratakan kekuasaan, dan berjuang untuk mencapai keadilan yang merata dalam hal akses sumber daya.
Kehidupan yang baik.
Konsepsi kehidupan yang baik seperti apa yang diajukan?
Kehidupan yang baik didasarkan pada individualisme dan akumulasi kekayaan serta sumber daya material.
Kehidupan yang baik didasarkan pada penentuan diri sendiri secara timbal-balik di mana orang memenuhi kepentingan mereka dengan mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
Masyarakat yang baik.
Konsep masyarakat yang baik seperti apa yang diajukan?
Masyarakat yang baik didasarkan pada prinsip kapitalis yang lebih mementingkan penguasa.
Masyarakat yang baik didasarkan pada kebersamaan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Hubungan kekuasaan.
Apa yang membentuk kekuasaan yang dilegitimasi dan bagaimana seharusnya kekuasaan dialami bersama?
Kekuasaan diperoleh melalui latihan profesional dan ilmu pengetahuan dianggap sah. Kedudukan para ahli membuat perhatian dalam hal pembagian kekuasaan menjadi sedikit.
Kekuasaan seharusnya dimiliki secara merata. Legitimasi lahir melalui proses demokratis yang  didukung baik oleh profesional psikologi maupun masyarakat.


Psikologi Politik dan Status Quo: Perspektif Historis
            Psikologi politik merupakan disiplin ilmiah yang dikembangkan dari pertemuan antara psikologi dan ilmu politik. Ia mempelajari pengaruh proses psikologi terhadap perilaku politik, dan sebaliknya, pengaruh psikologis perilaku politik terhadap individu atau kelompok. Proses-proses psikologis yang terkait dengan politik meliputi persepsi, kognisi (misalnya keyakinan, nilai-nilai, representasi sosial, sikap, dan ideologi), sosialisasi, kepemimpinan, identitas sosial, konflik, komunikasi, otoritarianisme, dan kekuasaan. Selain itu, perilaku-perilaku seperti konformitas, gerakan massa, jajak pendapat, dan afiliasi politik juga menjadi perhatian para ahli psikologi politik.
            Kelahiran psikologi politik diawali oleh munculnya karya-karya p0enting yang dihasilkan pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Pertama, antara 1895 hingga 1920, muncul usulan mengenai psikologi massa. Pada era ini terdapat banyak literatur di Eropa dan Amerika Latin mengenai kaitan antara politik dan proses sosiopsikologis dengan perspektif evolusioner dan positivistik. Kedua, antara 1923 hingga 1940, muncul Madzhab Frankfurt di Jerman dengan perspektif Marxis-nya dalam kajian psikopolitik. Mereka mengkaji ideologi -dengan mengawinkan gagasan Freud dan Marx- sebagai distorsi dari realitas sosial yang bertujuan untuk melayani kepentingan-kepentingan tertentu.
            Setelah itu, psikologi politik berkembang pesat, yang ditandai dengan tiga fase utama. Pada fase pertama, terdapat ketertarikan terhadap penelitian mengenai kepribadian para pemimpin politik dan perilaku politik pada kebudayaan tertentu (1940-1950). Pada fase kedua, penelitian lebih difokuskan pada masalah sikap politik, misalnya konservatisme dan liberalisme, dan perilaku memilih. Pada fase ketiga, dan hingga saat ini, kajian ditekankan pada masalah ideologi politik, yang mengarah pada masalah kognisi sosial (social cognition).
            Tinjauan historis atas kelahiran dan perkembangan psikologi politik menunjukkan bahwa perspektif psikologi politik selama ini mengandung bias, karena terdapat tendensi untuk menampilkan perspektif yang subyektif sebagai interpretasi yang sah dan berlaku secara universal. Penggambaran pengetahuan parsial -yang dikonstruksi secara sosial- sebagai pengetahuan universal menghilangkan dan membungkam perspektif lainnya. Padahal, kalau kita lebih jeli, psikologi politik arus utama tersebut lebih berpihak pada kekuasaan status quo yang cenderung melayani kepentingan sekelompok kecil orang dan mengabaikan –bahkan menindas- kepentingan sebagian besar orang lainnya.
           
Psikologi Politik Kritis: Kritik dan Gagasan
Politik dan individu
            Istilah politik biasanya dialamatkan pada apa yang dilakukan oleh politikus. Namun, menurut Martin-Baro, hubungan antara aktor dan tindakan serta tatanan sosial yang dominan, seharusnya juga dianggap sebagai politik. Orang-orang yang terlibat di dalam politik, menurut perspektif psikologi politik arus utama, terdiri dari dua aktor, yaitu aktor utama dan aktor pendukung. Aktor utama adalah mereka yang memiliki dan memanfaatkan kekuasaan yang terlembagakan secara formal, misalnya presiden, hakim, dan aktivis partai politik. Sedangkan aktor pendukung adalah mereka yang disebut dengan massa, yaitu masyarakat yang aktifitas politiknya direduksi pada ritual pemungutan suara. Melalui pemungutan suara inilah massa, sebagai aktor pendukung, mewakilkan kekuasaannya kepada para aktor utama. Setelah pemungutan suara, kekuasaan massa ini pun sirna dan tidak lagi diperhitungkan. Bahkan, massa dikonsepsikan sebagai kelompok yang irasional, agresif, dan tidak dapat diramalkan, dan mengabadikan mitor-mitos. Mereka dianggap sebagai orang-orang awam yang tidak mengetahui apa yang mereka inginkan, apa yang mereka butuhkan, dan apa yang pantas bagi mereka. Mereka diabaikan dan tidak dilibatkan dalam setiap pembuatan kebijakan politik yang justru berdampak pada mereka secara langsung. Mereka hanyalah obyek politik, bukan subyek politik.
            Kajian-kajian psikologi politik selama ini diarahkan pada penelitian mengenai pengaruh dari sistem dan gagasan politik terhadap individu -misalnya sosialisasi politik dan sikap politik- dan perkembangan kepemimpinan politik. Sedangkan pandangan orang-orang yang menentang dan menanggung konsekuensi dari keputusan-keputusan politik dilupakan dan bahkan diabaikan. Mereka direduksi sekadar sebagai penyimpangan atau hasil yang tidak signifikan dalam grafik statistik.
            Psikologi politik seharusnya mempelajari seluruh pemain politik, dan tidak hanya pemain/aktor politik utama. Mereka mencakup banyak aktor. Orang-orang yang memperoleh pengaruh politik karena latar belakangnya, seperti manajer bisnis, kelompok dan pemimpin kelompok ekonomi dan keagamaan. Rakyat jelata, yang memiliki hak dan kewajiban politik, dan mereka yang menggerakkan diri mereka sendiri untuk mengambil bagian dalam pemerintahaan negara. Kelompok minoritas yang mungkin mendapatkan perlakuan berbeda sebagai obyek kebijakan politik.

Tindakan politik
            Setiap aktor politik melakukan apa yang disebut dengan tindakan politik. Tindakan politik, menurut definisi Sabucedo, adalah perilaku yang disengaja dari seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai jenis pengaruh dalam pengambilan keputusan politik. Ada dua model tindakan politik, yaitu model konvensional dan model alternatif. Dalam model konvensional, tindakan politik diartikan sebagai aktifitas-aktifitas yang secara tradisional dilakukan dalam koridor saluran sistem demokrasi, misalnya pemungutan suara. Model ini bersandar pada keyakinan tentang suatu dunia yang adil. Artinya, bahwa sistem p9litik yang ada telah tertata dengan suatu mekanisme yang jujur dan adil, di mana “para profesional politik” bertugas melayani kebutuhan dan keinginan masyarakat. Apabila ada individu atau kelompok yang tidak cocok dengan masyarakat dan berperilaku secara tidak terduga, maka mereka dianggap abnormal dan menyimpang. Protes politik tidak memperoleh dasar legitimasi karena perilaku ini tidak mengikuti aturan permainan.
            Namun, dalam perkembangannya yang dimulai pada akhir 1960-an, muncul model kedua tindakan politik, yaitu model alternatif. Model ini tidak mau menerima begitu saja standar dan aturan-aturan dari partisipasi politik tradisional. Para aktornya melakukan berbagai tindakan protes sebagai bentuk ketidakpuasan atas keputusan politik pemerintah dengan cara-cara non-konvensional, seperti aksi duduk, corat-coret (grafiti), dan pemboikotan. Banyak dari tindakan ini yang berhasil mendorong perubahan kebijakan dan peraturan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kelompok marginal dan tertindas. Sebagai contoh adalah gerakan anti-wajib militer, gerakan pembangkangan sipil yang dipimpin Mahatma Gandhi, gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, dan gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat.

Politik, ideologi, dan demokrasi
            Setiap fenomena politik disertai dengan peran sentral dari apa yang disebut ideologi. Ideologi merupakan sebuah keyakinan tentang kebenaran tertentu yang “dipaksakan” kepada orang-orang sebagai satu-satunya kebenaran yang sahih. Melalui penanaman ideologi, mereka yang berkuasa menerima hak-hak istimewanya, sedangkan mereka yang dikuasai tidak dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada sekadar tunduk pada kekuasaan. Kebenaran dari ideologi ini ditanamkan sebagai ‘pandangan umum’.
            Menurut perspektif kritis, ‘pandangan umum’ di atas tidak menggambarkan sesuatu yang sebenarnya, karena ia mengandaikan kehadiran dan ketidakhadiran. Ada realitas di satu sisi yang dihadirkan, namun juga ada realitas di sisi lain yang dihilangkan. Oleh karena itu, psikologi politik berperan penting untuk meniadakan ideologi dan bentuk-bentuknya serta membuka selubungnya untuk menghadirkan realitas yang dihilangkan tersebut, yakni apa yang disebut deideologisasi. Deideologisasi mensyaratkan suatu komitmen politik: untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tertindas dan meletakkan kepentingan mereka di atas kepentingan lainnya. Selain itu, deideologisasi memiliki tujuan memunculkan kesadaran (consciousness) rakyat agar selalu terjaga (aware) terhadap kondisi kehidupan mereka dan agar mereka mampu melakukan perubahan serta pemberdayaan bagi kehidupan mereka.
Upaya perubahan ini dimulai dengan mengontrol kehidupan terdekat mereka, kemudian diperluas pada upaya menuntuk hak-hak mereka terhadap pemerintah. Melalui berbagai upaya ini, mereka dapat memperkuat dan mengubah demokrasi secara substansial, membangun karakter demokratis, dan menjembatani perbedaan antara rakyat dan pemerintah yang terpilih untuk melayani kepentingan mereka. Munculnya kesadaran diharapkan akan mendorong tindakan-tindakan yang benar, di luar tindakan rutin pemungutan suara.


[*] Tulisan ini merupakan resume terhadap dua tulisan, yaitu “Pengantar Menuju Psikologi Kritis: Nilai, Asumsi, dan Status Quo” dan “Psikologi Politik: Suatu Perspektif Kritis”, yang dimuat dalam buku Critical Psychology: An Introduction (terj.), 2005, Isaac Prilleltensky dan Dennis Fox (eds.), Jakarta: Teraju.

No comments: