22 March 2013

Ki Ageng Suryomentaram dan Psikologi Kawruh Jiwa

Judul : Ilmu Bahagia Menurut Ki Ageng Suryomentaram
Penulis : Afthonul Afif
Penerbit: Penerbit KEPIK & Pustaka Ifada
Tebal : viii + 157 Halaman
Terbit : Oktober 2012



Bagi generasi yang hidup saat ini, nama Ki Ageng Suryomentaram dan ajaran Kawruh Jiwa-nya mungkin hanya sayup-sayup terdengar, kalau tidak asing sama sekali. Hal ini terjadi bukan karena pemikirannya yang tidak relevan dengan konteks kekinian, namun lebih disebabkan oleh kekaguman yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran dari Barat dan minimnya apresiasi serta kajian yang serius terhadap khasanah pemikiran Nusantara yang dikembangkan oleh para pemikir Indonesia seperti dirinya. Kalaupun sebagian masyarakat mengetahuinya, mereka telah salah menilai pemikirannya sebagai bagian dari aliran kebatinan atau mistisisme Jawa (kejawen). Dan dalam konteks demikianlah karya Afthonul Afif ini menjadi sangat relevan.

Ki Ageng Suryomentaram adalah salah satu putra dari Sultan Hamengku Buwono VII. Ia diangkat sebagai pangeran pada usia 18 tahun, namun ia malah meminta ayahnya untuk membatalkan pengangkatan tersebut. Ia lebih memilih untuk meninggalkan istana dan hidup sebagai petani. Dalam kehidupan barunya yang jauh dari hiruk-pikuk kekuasaan itu, ia pun mulai mengembangkan pemikirannya mengenai persoalan kejiwaan dan kebahagiaan. Pemikiran yang kemudian melahirkan ajaran Kawruh Jiwa tersebut berawal dari keinginannya mencari makna dan hakikat hidup dengan meneliti perjalanan serta pengalaman hidupnya sendiri.

Ajaran Kawruh Jiwa bukanlah aliran kebatinan atau mistisisme Jawa, apalagi sebuah agama, sebagaimana banyak disalahpahami masyarakat. Kawruh Jiwa adalah ilmu mengenai jiwa dengan segala wataknya (meruhi jiwa sawateg-wategipun). Ilmu yang dimaksud di sini bukanlah ilmu dalam artian mistik, melainkan ilmu yang diperoleh dengan menggunakan logika dan penalaran ilmiah (rasional). Oleh karena itulah Ki Ageng lebih memilih menggunakan istilah kawruh yang berarti pengetahuan dalam pengertian yang rasional. Sebagai sebuah metode, Kawruh Jiwa mirip dengan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, yang juga meneliti tentang struktur kejiwaan manusia.

Dalam setiap tulisannya, Ki Ageng selalu mengajak kita untuk berpikir rasional, memeriksa ulang keyakinan-keyakinan yang kita miliki secara cermat dan teliti, membuka selubung-selubung yang menutupinya, hingga kita mendapatkan saripati pengetahuan yang terang dan jernih. Pengetahuan yang jernih inilah yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan. Namun rasionalitas pemikiran Ki Ageng tersebut berbeda dengan rasionalitas Barat yang secara umum bercorak egosentris. Rasionalitas yang dimaksud Ki Ageng adalah rasionalitas yang reflektif, di mana ia meliputi dimensi rasa, potensi reflektif dan intuitif dari rasio manusia, serta rasionalitas yang akomodatif, yang menempatkan rasa orang lain sebagai bagian tak terpisahkan dalam upaya mencapai kebenaran dan kebahagiaan.

Inti ajaran Kawruh Jiwa adalah metode untuk memahami diri sendiri (meruhi awakipun piyambak) secara tepat, benar, dan jujur. Ketika seseorang telah mampu memahami dirinya secara tepat, benar, dan jujur, maka dengan sendirinya ia juga akan mampu memahami atau mengerti orang lain dan lingkungannya dengan tepat, benar, dan jujur, sehingga ia dapat hidup damai dan bahagia. Keadaan tersebut disebut Ki Ageng dengan kehidupan bahagia sejati, yaitu kebahagiaan yang tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan (mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan).

Ajaran Kawruh Jiwa yang dikembangkan oleh Ki Ageng merupakan pemikiran yang orisinal dan bahkan revolusioner dalam ukuran masanya. Bagaimana tidak, ketika masyarakat Jawa masih diliputi oleh corak pemikiran irasional dan nuansa mistik, Ki Ageng mampu membangun pemikirannya dari bawah, dari pengalamannya sendiri, yang kemudian dibungkus dengan corak penalaran serta metode yang juga ia kembangkan sendiri, serupa dengan cara para pemikir besar dunia dalam merumuskan gagasan-gagasan mereka.

Oleh karenanya tidak berlebihan apabila Marcel Bonneff, seorang peneliti dari Barat, menyebut Ki Ageng sebagai filsuf, bukan tokoh spiritual atau tokoh kebatinan. Sebutan filsuf tersebut tidaklah berlebihan sama sekali, karena pemikiran Ki Ageng memang bukan bagian atau varian dari tradisi kebatinan yang berkembang di Jawa, melainkan lebih sesuai disebut sebagai ilmu filsafat atau ilmu jiwa, di mana pemikirannya didasarkan pada basis material, formal, dan metodologi yang jelas dan kuat. Lalu, masihkah kita silau oleh pemikiran Barat?

Mochammad Said
Alumnus Fakultas Psikologi UGM

1 comment:

PUISI TANPA SUARA said...

Terima kasih untuk sharingnya. Saya sangat tertarik dengan mazhab jawa ini. Kalau boleh saya mendapatkan info mendapatkan buku atau lainnya agar dapat saya pakai bahan penggalian pengetahuan lebih lanjut?
Kalau boleh saya dikirimkan infomasi via email ke noi0711@yahoo.com

Oh iya nama saya rani dari psikologi bandung... Terima kasih sebelumnya...