Mochammad Said
Mahasiswa Magister Psikologi Unair Surabaya
Tujuan dari wawancara mendalam
adalah untuk mencapai dua hal, yaitu: 1) keluasan cakupan terhadap
masalah-masalah utama, dan 2) kedalaman cakupan terhadap masing-masing masalah
utama. Berdasarkan kedua tujuan ini, secara umum ada dua jenis pertanyaan, yaitu
content mapping questions dan content mining questions. Yang
pertama didesain untuk membuka wilayah penelitian dan mengidentifikasi dimensi
atau masalah yang relevan dan berkaitan dengan partisipan. Sedangkan yang kedua
didesain untuk mengeksplorasi detail yang terletak di dalam setiap dimensi,
untuk mengetahui makna dari setiap dimensi yang dirasakan/dialami oleh orang
yang diwawancarai (interviewee), dan untuk menghasilkan pemahaman yang
mendalam dari sudut pandang interviewee. Setiap wawancara melibatkan
kombinasi dari kedua jenis pertanyaan ini dan keduanya tidak terbatas hanya pada
beberapa bagian dari wawancara.
Kedua jenis pertanyaan di atas,
khususnya content mining questions, juga melibatkan apa yang disebut
dengan probes (penyelidikan). Probes adalah pertanyaan-pertanyaan
tindak-lanjut yang didesain untuk memperoleh informasi lebih lanjut, deskripsi,
penjelasan, dan sebagainya. Bentuknya biasanya verbal, tetapi probe
nonverbal -seperti jeda, gesture, alis terangkat- juga sangat penting.
Dalam content mapping questions, probe digunakan untuk membantu
dalam pemetaan wilayah penelitian; sedangkan dalam content mining questions,
probe menjadi alat yang amat penting untuk mencapai kedalaman informasi.
Content
Mapping Questions
Ada tiga jenis content mapping questions, yaitu:
1.
Ground mapping
questions, yaitu pertanyaan-pertanyaan awal yang diajukan
untuk ‘membuka’ suatu subyek masalah. Pertanyaan-pertanyaan ini didesain untuk
mendorong spontanitas partisipan dan memungkinkannya untuk mengungkapkan
masalah-masalah yang sangat relevan/berkaitan dengan dirinya. Ditambah dengan
sedikit probing, pertanyaan-pertanyaan ini akan menghasilkan daftar
dimensi-dimensi yang perlu ditindaklanjuti.
2.
Dimension
mapping questions, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan untuk menstrukturkan dan mengarahkan wawancara, dengan memfokuskan
jawaban partisipan secara lebih sempit pada topik atau konsep tertentu. Ia
dapat digunakan untuk, misalnya, menstrukturkan sebuah proses atau pengalaman
partisipan, misalnya dalam urutan kronologis. Atau untuk memfokuskan setiap
dimensi atau topik yang diungkapkan partisipan sebagai tindak-lanjut dari ground
mapping questions, mendorong partisipan untuk berbicara tentang
masing-masing dimensi secara bergiliran, dan mengungkap unsur-unsur yang
membentuk masing-masing konsep dimensi tersebut.
3.
Perspective-widening
questions, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk
memahami secara penuh sudut pandang (perspektif) partisipan, yang dengan pertanyaan
tersebut peneliti bermaksud untuk memperluas sudut pandang partisipan,
merangsang pemikiran lebih lanjut, atau memperkuat cakupan yang lebih
menyeluruh terhadap pandangan partisipan tentang suatu subyek masalah. Jenis
pertanyaan ketiga ini kadang digambarkan sebagai 'petunjuk' (prompts),
yaitu item-item yang kepadanya peneliti secara eksplisit mengarahkan perhatian
partisipan melebihi item-item yang diungkapkan melalui pertanyaan yang lebih
terbuka. Pertanyaan-pertanyaan itu harus diungkapkan secara gamblang, sehingga
dimensi-dimensi yang tidak relevan dengan partisipan tidak diberi penekanan
yang tidak semestinya dan mengakibatkan perspektif yang unik dari partisipan
hilang. Selain itu, pertanyaan jenis ini bisa juga diajukan dengan melibatkan
pemikiran rangsangan dengan mengemukakan kembali kepada partisipan masalah atau
sudut pandang yang telah diungkapkan pada wawancara sebelumnya atau dalam
penelitian lain.
Content
Mining Questions
Ada empat jenis content mining
questions, yaitu:
1. Amplificatory probes,
yaitu pertanyaan yang ditujukan untuk memperoleh kedalaman artikulasi jawaban
para partisipan dengan mendorong mereka untuk mengelaborasi lebih lanjut jawaban
mereka. Dengan demikian, peneliti memperoleh gambaran penuh dan pemahaman mendalam
terhadap manifestasi atau pengalaman tentang sebuah fenomena.
2. Exploratory probes, yaitu
pertanyaan yang ditujukan untuk menggali pandangan dan perasaan partisipan
terhadap perilaku, peristiwa, atau pengalaman tertentu, dan untuk membantu menunjukkan
makna yang dirasakan partisipan dari pengalaman tersebut. Selain itu,
pertanyaan ini juga ditujukan untuk menggali dampak, pengaruh, dan konsekuensi
dari pengalaman dan perilaku partisipan.
3. Explanatory probes, yaitu
pertanyaan yang ditujukan untuk menyelediki alasan-alasan di balik pandangan,
perasaan, perilaku, keputusan, peristiwa, dan sebagainya. Pertanyaan jenis ini
menjadi penting karena penjelasan dari suatu perilaku atau pandangan seringkali
berlapis-lapis, dan persis di sinilah nilai penting wawancara kualitatif, yang
dengan penyelidikan (probing) berulang akan dapat mengungkap
lapisan-lapisan penjelasan tersebut.
4. Clarificatory probes,
yaitu pertanyaan yang ditujukan untuk mencapai tingkat ketepatan (presisi) dan
kejelasan yang tinggi/memadai. Secara lebih rinci, ada empat tujuan clarificatory
probes, yaitu:
a. Untuk
memperjelas istilah-istilah dan mengeksplorasi bahasa
b. Untuk
memperjelas rincian, urutan, dan lain-lain
c. Untuk
memperjelas posisi yang diekspresikan partisipan
d. Untuk
menantang inkonsistensi jawaban atau pernyataan partisipan
Probing
(Penyelidikan) Berulang secara Mendalam
Probing merupakan tugas yang
sangat penting, yaitu untuk memperoleh kedalaman seluruh informasi mengenai
poin tertentu yang belum tereksplorasi. Oleh karena itu, probing harus
dilakukan secara terus-menerus hingga peneliti merasa yakin bahwa ia telah
mencapai titik jenuh (saturasi) mengenai poin atau dimensi yang ingin diungkap,
yakni sebuah pemahaman penuh dari sudut pandang partisipan.
Probing yang baik ibarat
pekerjaan detektif, di mana peneliti selalu waspada dan curiga bahwa mereka
belum mendengar jawaban yang sepenuhnya dari partisipan. Probing yang
berulang menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang terasa tidak wajar
atau dibuat-buat (artifisial). Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terasa
banal atau bahkan konyol. Namun, hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting
untuk mencapai pemahaman mendalam, yang merupakan tujuan utama penelitian
kualitatif. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan dapat mengungkap
kompleksitas atau detail informasi yang belum diperoleh.
Merumuskan
Pertanyaan Wawancara
Menggunakan
pertanyaan luas dan pertanyaan sempit
Wawancara mendalam biasanya tidak
menggunakan pertanyaan sempit (tertutup) yang mengandaikan pilihan jawaban
ya/tidak dari responden. Ia menggunakan pertanyaan terbuka, yang kelihatanya
mudah, tetapi sebenarnya lebih sulit dalam praktiknya. Namun, pilihan untuk
menggunakan pertanyaan yang luas (terbuka) atau sempit (tertutup) sebenarnya
tergantung pada kebutuhan wawancara. Misalnya, pertanyaan content mapping -sebagaimana
telah dibahas pada bagian sebelumnya- memang menggunakan pertanyaan yang amat
luas untuk membuka wilayah penelitian atau sebuah dimensi. Akan tetapi mungkin
pada suatu momen dibutuhkan pertanyaan sempit (tertutup), misalnya ketika
menanyakan apakah motivasi atau pandangan tertentu relevan dengan responden,
yang kemudian membutuhkan tahapan selanjutnya, yaitu probing. Begitu
pula halnya dengan pertanyaan content mining. Pertanyaan tertutup juga
berguna dalam mengontrol proses wawancara. Sebagai misal, ketika jawaban
partisipan melenceng dari apa yang ditanyakan, maka peneliti perlu lebih
memfokuskan pertanyaan pada topik tertentu.
Menghindari
pertanyaan yang bersifat mengarahkan
Pertanyaan
peneliti dalam wawancara mendalam didesain untuk memperoleh jawaban penuh
partisipan: pertanyaan tersebut tidak ditujukan untuk mempengaruhi jawaban itu
sendiri. Namun, dalam situasi dan kondisi tertentu, akan lebih mudah bagi
peneliti untuk memperoleh jawaban dengan mengajukan sebuah pertanyaan kepada
partisipan yang mendorong pada suatu jawaban tertentu
Mengajukan
pertanyaan yang jelas
Pertanyaan yang
paling efektif adalah pertanyaan yang singkat dan jelas, sehingga tidak
meninggalkan ketidakpastian tentang sejumlah informasi yang dibutuhkan. Untuk
itu, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, awalilah wawancara dengan
sebuah pertanyaan. Tujuannya mungkin agar wawancara tidak tampak terlalu
intrusif jika ia menyangkut suatu isu yang sensitif, untuk menghubungkan
pembicaraan dengan sesuatu yang dikatakan sebelumnya oleh partisipan, atau
untuk menjelaskan bagaimana pertanyaan itu dilihat dari pemahaman peneliti tentang
suatu masalah.
Kedua, hindarilah pertanyaan ganda,
karena akan sangat membingungkan bagi partisipan untuk mengingat atau
menjawabnya. Kecenderungan masyarakat pada umumnya adalah menjawab bagian
pertanyaan yang lebih mudah, sehingga jawaban dari pertanyaan yang seharusnya
bisa menghasilkan data yang lebih kaya akan hilang. Oleh karena itu, jauh lebih
efektif untuk mengajukan satu pertanyaan pada satu waktu, mengikutinya dengan probe
apa pun yang sesuai, dan kemudian mengajukan pertanyaan berikutnya.
Ketiga,
hindari pertanyaan yang terlalu abstrak atau teoritis. Pertanyaan yang paling
efektif adalah pertanyaan yang berkaitan langsung dengan diri partisipan dan
pandangan atau keadaan diri mereka sendiri. Meskipun pertanyaan peneliti mungkin
berasal dari pemahaman teori sosialnya yang relevan, penting untuk menemukan
cara menerjemahkannya ke dalam pertanyaan konkret yang sederhana, yang diutarakan
dalam bahasa sehari-hari, karena justru pertanyaan-pertanyaan inilah yang
paling mungkin untuk menghasilkan data yang lebih kaya dalam menindaklanjuti pemahaman
teoritis (Kvale, 1996, dalam Ritchie dan Lewis, 2003).
Selain
ketiga hal di atas, penting bagi peneliti untuk peka terhadap bahasa dan
terminologi yang digunakan oleh masyarakat, dan 'bercermin' padanya sejauh
mungkin. Penggunaan bahasa resmi dalam situasi di mana seseorang telah terbiasa
menggunakan bahasa yang lebih sehari-hari dapat memunculkan suatu penghalang
yang mungkin menghambat proses wawancara. Penting juga untuk mengeksplorasi
istilah tertentu yang digunakan oleh masyarakat, yang mungkin dapat menjelaskan
aspek yang mendasari persepsi, nilai-nilai, atau sikap mereka.
Teknik
Lebih Lanjut untuk Mencapai Kedalaman
Mendengarkan
dan mengingat
Mendengarkan
adalah prinsip dasar wawancara mendalam. Ini tidak hanya berarti mendengarkan
kata-kata, tetapi benar-benar mencoba untuk mendengar makna apa yang partisipan
katakan, memahami subteks yang perlu dieksplorasi, dan mendengar nuansa dalam penjelasan
partisipan. Meskipun tampaknya peran pasif, mendengarkan sebenarnya merupakan
bagian aktif dari wawancara (Hammersley dan Atkinson, 1995), di mana sebagian
besar energi dan perhatian pewawancara akan diarahkan padanya.
Mendengarkan
membantu pewawancara mengingat poin yang perlu ditindaklanjuti pada tahap
wawancara selanjutnya. Satu tanggapan dari orang yang diwawancarai dapat memicu
empat atau lima poin untuk diselidiki (di-probing) dalam pikiran
peneliti. Namun, keputusan cepat harus diambil tentang masalah langsung yang
perlu ditindaklanjuti. Dalam kasus seperti ini, peneliti harus membuat catatan
mental untuk kembali ke masalah-masalah lain yang diangkat, baik setelah ia
berurusan dengan masalah saat itu juga atau dalam wawancara selanjutnya ketika ia
berhadapan dengan topik terkait.
Membangun
(dan menjaga) hubungan dengan partisipan
a. Mengekspresikan
ketertarikan dan perhatian
Hal
ini dicapai dengan mempertahankan kontak mata dengan orang yang diwawancarai,
memberikan senyum aneh dan mengangguk sesekali yang dirancang untuk mengekspresikan
perhatian (bukan persetujuan), dan dengan mengajukan pertanyaan tindak lanjut
yang menunjukkan bahwa peneliti telah mendengar apa yang telah dikatakan dan
ingin tahu lebih banyak. Ini adalah sinyal kepada partisipan untuk terus
memberikan jawaban penuh dan bahwa apa yang mereka katakan adalah relevan dan
berharga.
b. Memastikan
bahwa tidak ada jawaban yang benar atau salah
Kadang-kadang
berguna untuk mengatakan hal ini pada awal wawancara, tetapi penting untuk
menyampaikannya dalam seluruh wawancara dengan cara tanpa-menghakimi. Hal ini juga
berarti tidak mengoreksi kesalahan atau kesalahpahaman. Seorang partisipan bisa
saja salah informasi tentang hak mereka terhadap manfaat keamanan sosial
tertentu, atau tentang prosedur yang didesain untuk menilai kelayakan seorang
penggugat. Daripada mengoreksi mereka dan menghadapi risiko yang akan membuat
mereka merasa bodoh dan bungkam, tugas peneliti adalah untuk mengetahui
bagaimana mereka membentuk kesan ini dan apa konsekuensinya.
c. Sensitif
terhadap nada suara dan bahasa tubuh
Orang
sering menyampaikan keadaan pikiran mereka melalui nada suara, gaya, atau
bahasa tubuh. Peneliti harus terus-menerus reseptif terhadap petunjuk ini.
Jadi, misalnya, jika orang yang diwawancarai terdengar ragu-ragu tentang sebuah
pandangan, hal ini harus dijadikan sinyal bagi peneliti untuk menjelajahi lebih
lanjut. Misalnya dengan sekadar mempersilakan mereka untuk terus berbicara, menanyakan
apakah mereka memiliki pandangan atau pengalaman lain, atau mengatakan 'Anda
terlihat (atau suara Anda) agak ragu-ragu' dan memberi mereka kesempatan untuk
merefleksikan atau menjelaskan lebih lanjut.
Bahasa
tubuh dan pola pengucapan dapat menjadi petunjuk penting bahwa ada sesuatu yang
lebih mendalam yang dapat ditemukan. Mereka juga menambahkan konteks dan rasa
terhadap wawancara yang menurut peneliti dapat memperkaya pemahaman mereka
selama wawancara -misalnya, ketika partisipan menekankan suatu poin, tampak
marah, atau frustrasi. Tapi konteks ini akan hilang jika tidak diverbalkan dan dijelaskan,
dan dengan demikian ditangkap dalam rekaman. Peneliti perlu memastikan perasaan
yang mendasari perilaku atau sikap dibuat eksplisit, dan kemudian menjelaskan,
misalnya dengan mengatakan ‘Kau terdengar sangat yakin tentang itu -apa yang
membuat Anda begitu yakin?', atau 'Kau tampak sedikit tidak nyaman selama berbicara
-kenapa begitu?’ Konteks emosional ini juga dapat berguna untuk dicatat dalam
catatan lapangan (lihat Bab 5) meskipun hal ini tidak bisa menggantikan secara langsung
dalam menangani konteks emosional tersebut dalam wawancara, karena interpretasi
peneliti itu mungkin salah.
d. Memberi
waktu kepada partisipan untuk menjawab
Dalam
sebuah wawancara mendalam, orang diminta untuk berpikir dan memberikan
pandangan tentang isu-isu yang belum tentu merupakan pemikiran utama bagi
mereka. Mereka membutuhkan waktu untuk berpikir tentang poin tertentu dan
kemudian merumuskan tanggapan mereka. Hal ini dapat menggoda pewawancara untuk
mengisi jeda tersebut dengan penjelasan atau tambahan pertanyaan. Namun,
saat-saat hening dalam wawancara mendalam biasanya sangat produktif dan
berkontribusi besar bagi penelitian jika pewawancara dapat menahan jeda sampai
partisipan siap untuk berbicara. Keheningan kontemplatif atau keheningan yang
menunjukkan bahwa partisipan berpikir tidak seharusnya diisi.
e. Memperhitungkan
selang waktu wawancara
Penting
untuk memastikan bahwa tersedia waktu yang cukup untuk mencakup semua topik
pada panduan topik. Jika tampak bahwa waktu tambahan mungkin diperlukan, hal
ini harus dinegosiasikan dengan partisipan sedini mungkin.
f. Mengendalikan
informasi dari luar
Tergantung
pada pengambilan sampel dan pemilihan metodenya (lihat Bab 4), peneliti mungkin
memiliki informasi yang cukup rinci tentang suatu masalah yang berkaitan dengan
partisipan. Informasi ini mungkin digunakan beberapa orang dalam mempersiapkan
wawancara, meskipun penting untuk tidak merancanakan secara berlebihan karena informasi
tambahan atau informasi yang bertentangan mungkin muncul selama wawancara. Tetapi
biasanya lebih efektif bagi dinamika wawancara untuk mendekati masalah yang
baru bersama partisipan, bukan untuk memperkenalkan informasi yang tidak datang
dari wawancara.
Sebuah
pendekatan yang berbeda mungkin cocok jika seseorang telah mengambil bagian
dalam sebuah wawancara survei sebagai bagian dari program penelitian yang sama,
yang menghasilkan informasi faktual yang rinci. Di sini, mungkin tepat untuk
merujuk dan memeriksa informasi yang diketahui, untuk menghindari pengulangan
yang tidak semestinya. Ini akan menjadi kurang berguna, namun, dalam kaitannya
dengan informasi tentang sikap atau perasaan yang dikumpulkan oleh survei
dimana mendekati masalah baru ini dalam wawancara mendalam akan lebih mungkin
untuk membuka pernyataan rinci yang diperlukan.
Mengubah
asumsi dan intervensi menjadi pertanyaan
Asumsi, komentar, atau jenis
intervensi lainnya dapat menghambat proses wawancara mendalam, karena tujuan
utama wawancara mendalam adalah untuk memperoleh jawaban yang penuh dan tidak
bias dari sudut pandang partisipan mengenai suatu topik. Oleh karena itu,
asumsi, komentar, atau intervensi apapun harus diubah ke dalam pertanyaan.
a. Jangan
pernah berasumsi. Bisa saja suatu pernyataan yang dianggap sudah jelas atau
bisa disimpulkan dari pernyataan sebelumnya ternyata mengandung makna yang
lebih dalam dan kaya –atau terkadang makna yang berbeda- ketika partisipan
diminta untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
b. Menahan
diri dari mengomentari jawaban. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya penilaian
(judgement) terhadap wawancara dan mengganggu aliran wawancara, serta
menghambat upaya mendengar dan menyelidiki (probing) secara aktif.
c. Menahan
diri dari meringkas jawaban. Hal ini mengakibatkan kesulitan untuk menangkap
makna penuh yang diungkapkan partisipan karena makna yang ditangkap oleh
peneliti sangat mungkin tidak akurat, dan bisa berarti merendahkan partisipan.
d. Menahan
diri dari memotong jawaban. Hal ini penting untuk mendapatkan jawaban yang
penuh dari partisipan, atau untuk menanyakan pertanyaan selanjutnya jika
jawaban tersebut dirasa belum sepenuhnya memenuhi poin utama yang ingin
diungkap dalam wawancara.
e. Hindari
komentar-komentar asing. Peneliti baru yang gugup biasanya berkomentar dengan
kata ‘Benar’, ‘oke’, ‘ya’, atau ‘Saya mengerti’ sebagai pembuka menuju
pertanyaan baru selanjutnya. Padahal, komentar semacam ini dapat membuat
partisipan menutup jawabannya, dan menganggap jawaban mereka sudah cukup.
Peneliti yang sudah berpengalaman dan santai tidak menggunakan kata-kata
demikian. Mereka memilih untuk menanyakan ‘kenapa’, ‘siapa’, atau ‘bagaimana’.
Netralitas
dan menghindari pengungkapan-diri (kepada partisipan)
Pewawancara kualitatif dituntut
untuk mampu berempati tanpa terlibat secara berlebihan (secara emosional maupun
intelektual) (Rubin dan Rubin, 1995, dalam Ritchie dan Lewis, 2003). Mempertahankan
pendekatan obyektif dan netral mungkin sangat menantang jika seorang peneliti
secara pribadi tertarik atau terlibat dalam topik penelitian mereka. Tetapi
menyadari bagaimana tantangan ini muncul dan bagaimana menghadapinya adalah
bagian penting dari persiapan mereka dalam kerja-lapangan. Ketika obyektivitas
dan netralitas merupakan sesuatu yang mustahil, penting untuk selalu waspada
dalam mengupayakan keseimbangan dalam wawancara.
Ketika
satu pertanyaan selesai dijawab, sulit untuk menghindari menjawab pertanyaan
lebih lanjut, dan peneliti menjadi kehilangan waktu yang bisa digunakan secara
lebih efektif untuk mendengar dari partisipan. Respon yang lebih baik bisa
dengan mengatakan bahwa peneliti ingin fokus pada partisipan dan pengalaman
mereka selama wawancara, bahkan menawarkan untuk menjawab pertanyaan -dan untuk
memastikan partisipan memiliki kesempatan untuk bertanya- setelah wawancara
berakhir. Mempertahankan kehadiran yang hangat dan ketertarikan, tetapi netral,
merupakan keseimbangan yang baik, dan menjadi sesuatu yang lebih sulit ketika
penelitian lebih intens atau, seperti ungkapan Oakley 'di mana ada jarak sosial
yang amat sedikit antara pewawancara dan orang yang diwawancarai'(1981: 55).
Menanggapi
situasi-wawancara yang berbeda
Situasi wawancara, untuk batas
tertentu, selalu merupakan usaha untuk masuk ke dalam sesuatu yang tidak diketahui
dalam kondisi dimana tidak mungkin untuk memprediksi secara tepat jalannya wawancara.
Berbagai situasi muncul dalam perjalanan sebuah wawancara yang mungkin
memerlukan penanganan khusus pada sisi peneliti. Dalam beberapa kasus, situasi
dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam kasus lain, situasi mungkin tiba-tiba
muncul dengan sendirinya tanpa peringatan.
Melakukan
wawancara sensitif
Ada dua bentuk wawancara sensitif.
Pertama, sifat dari topik itu sendiri mungkin secara intrinsik sensitif.
Contohnya adalah topik yang berkaitan dengan isu-isu seperti seks, masalah
keuangan, kehilangan, kerusakan hubungan, atau penyakit serius, yang
berhubungan dengan masalah yang sangat pribadi dan emosional. Peneliti dapat
mengantisipasi hal ini di awal dan secara mental siap dengan berbagai cara:
a. Para
peneliti perlu mengingatkan diri bahwa partisipan telah setuju untuk
diwawancarai tentang topik penelitian, sehingga peneliti memiliki izin untuk
menanyakannya -dengan sensitif dan tepat- agar persetujuan tersebut tidak ditarik
atau masuk dalam pertanyaan.
b. Menamin
kerahasiaan pada awal wawancara akan membantu membuat partisipan merasa nyaman untuk
mengungkapkan informasi yang berpotensi menjadi sensitif.
c. Setiap
kegelisahan atau rasa malu pada sisi peneliti akan sampai dengan sendirinya
pada partisipan dan dapat membuat mereka (partisipan) segan untuk membahas
topik tersebut. Bahkan pertanyaan yang tampaknya agak mengganggu atau sensitif
harus ditanyakan dengan cara materi-berbasis fakta. Peneliti akan sering
terkejut melihat betapa orang yang bersedia diwawancarai harus berbicara
tentang masalah sensitif, dan bagaimana ketidaknyamanan mereka (peneliti) sendiri
tampaknya lebih besar daripada orang yang diwawancarai.
d. Memberitahukan
sensitivitas dari area penelitian dan partisipan diminta untuk terbuka secara
penuh.
Tipe
wawancara sensitif kedua muncul pada saat topik penelitian yang tampak cukup
berbahaya menjadi sangat sensitif karena beberapa aspek dari diskusi memicu respon
emosional yang kuat pada orang yang diwawancarai -mungkin karena menimbulkan
insiden tertentu di masa lalunya yang tidak bisa diantisipasi peneliti. Situasi
ini membutuhkan strategi yang lebih umum untuk menangani emosi yang kuat dalam
wawancara, yaitu sebagai berikut:
a. Merespon
emosi. Tanda dari munculnya emosi yang kuat bisa dilihat dari ekspresi wajah,
nada suara, atau bahasa tubuh. Ketika hal ini terjadi, penting meresponnya
dengan cara yang tepat. Peneliti bisa menanyakan ke partisipan apakah ia merasa
nyaman dan mau melanjutkan wawancara atau tidak. Ketika partisipan menangis,
misalnya, mungkin ia bersedia melanjutkan, tetapi peneliti tetap perlu mengecek
apakah partisipan ingin istirahat sejenak. Apabila tidak ada indikasi apakah ia
ingin melanjutkan atau tidak, peneliti hendaknya memutuskan untuk menghentikan
wawancara, untuk memberinya kesempatan untuk pulih terlebih dahulu, baru
kemudian menanyakan apakah ia ingin melanjutkan wawancara. Reaksi apapun dari
peneliti sendiri terhadap situasi wawancara seharusnya tidak menampilkan emosi
mereka selama wawancara.
b. Merespon
kecemasan atau keseganan. Untuk menghadapi partisipan yang mungkin terlihat
cemas ketika diwawancarai atau segan dalam menjawab, ada beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk mengatasinya:
1. menghabiskan
lebih banyak waktu dalam pembukaan wawancara untuk memberikan partisipan
kesempatan untuk merasa lebih nyaman
2. menghabiskan
lebih banyak waktu sebelumnya pada topik yang lebih faktual, konkrit, dan
deskriptif sebelum pindah ke perasaan dan emosi mereka. Pertanyaan yang
bersifat konseptual dan abstrak juga harus ditinggalkan sampai partisipan
terlihat lebih nyaman
3. menggunakan
pertanyaan yang sangat terbuka yang membutuhkan jawaban lebih dari sekadar 'ya'
atau 'tidak' untuk mendorong mereka
berbicara
4. berbicara
dengan jelas dan tenang untuk memastikan bahwa pertanyaan sudah jelas dan
sesuai arah yang dituju
5. menunjukkan
minat dan perhatian dan memberikan banyak dorongan positif dengan
mempertahankan kontak mata, mengangguk, dan tersenyum
6. menekankan
bahwa peneliti tertarik dalam segala hal yang partisipan katakan, bahkan jika
itu adalah sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya oleh partisipan
7. mengakui
bahwa orang lain kadang-kadang merasakannya sebagai topik yang sulit untuk dibicarakan
8. jika
perlu, rangsang ide-ide dengan mengacu pada apa yang telah partisipan lain katakan
dan meminta pandangan partisipan
c. Merespon
dominasi partisipan dalam agenda wawancara. Ada keseimbangan yang harus dicapai
antara memperbolehkan partisipan untuk berbicara dengan bebas dan mengangkat isu-isu
yang relevan dengan mereka, dan memastikan bahwa isu kunci penelitian dibahas.
Mendapatkan keseimbangan ini menjadi lebih sulit ketika partisipan sangat
dominan. Hal ini mungkin timbul karena mereka berada dalam posisi otoritas dan
terbiasa menetapkan suatu agenda, atau melihat diri mereka sebagai ahli dalam
bidang yang ditanyakan, atau karena untuk beberapa alasan lain mereka mendapati
wawancara sebagai situasi yang sulit. Perilaku tersebut mungkin timbul dalam
beberapa cara:
1. Mengatakan
mereka memiliki sedikit waktu: waktu yang dibutuhkan untuk wawancara harus
selalu ditegaskan kembali pada awal wawancara. Jika waktu ini sangat dibatasi,
peneliti perlu memutuskan apakah akan fokus pada beberapa topik utama saja,
atau mencoba untuk mengatur ulang wawancara.
2. Mengajukan
pertanyaan-pertanyaan peneliti: pertanyaan tentang perilaku atau tujuan
penelitian harus dijawab dengan memberikan informasi faktual tetapi tidak masuk
ke dalam diskusi. Bahkan peneliti harus sopan tetapi tegas untuk tidak menjawab
pertanyaan tentang pandangan mereka sendiri, sampai wawancara berakhir.
3. Kembali
berulang-ulang ke titik yang sama: pentingnya poin yang ditanyakan harus
diakui, namun kebutuhan untuk mengungkap masalah lain harus ditekankan.
4. Menjawab
pertanyaan pilihan mereka daripada yang diminta oleh peneliti: penting untuk
mengarahkan mereka kembali ke pertanyaan awal.
5. Memberikan
jawaban yang sangat singkat atau mengatakan mereka tidak memiliki pandangan
atau pengalaman yang relevan: ini tidak harus selalu diterima begitu saja.
Pertanyaan yang sama dapat ditanyakan dengan cara yang berbeda, atau kembali kepadanya
nanti dalam wawancara.
d. Respon
yang menyimpang (dari topik penelitian). Ketika jawaban atau respon partisipan
menyimpang dari apa yang ditanyakan, menjadi tugas peneliti untuk mencoba
mengarahkan mereka kembali ke arah yang benar. Cara untuk melakukan hal ini
tanpa menyebabkan pelanggaran adalah:
1. pada
kesempatan pertama, ajukan pertanyaan yang mengarahkan kembali mereka yang ke
poin yang relevan
2. menggunakan
bahasa tubuh untuk menunjukkan bahwa peneliti ingin mengganggu (condong ke
depan, mulai menyuarakan pertanyaan, mengangkat tangan sedikit)
3. mengakui
bahwa apa yang mereka katakan adalah penting dan telah dicatat -mereka mungkin
kembali berulang kali ke poin tersebut karena mereka merasa poin itu diabaikan
4. jika
mereka terus kembali ke poin yang sama, alihkan wawancara ke poin lain yang
sama sekali berbeda, atau kembali ke isu yang relevan yang mereka angkat
sebelumnya
5. jika
perlu, tunjukkan tanda-tanda tidak adanya ketertarikan dan persetujuan -alihkan
kontak mata dan lihat panduan topik- yang dirancang untuk menunjukkan kurangnya
perhatian
6. bertanya
lebih langsung dengan pertanyaan terstruktur yang memberikan ruang lingkup
lebih sedikit untuk jawaban panjang, setidaknya sampai partisipan tampaknya
lebih bersedia untuk tetap berada pada topik yang relevan
7. jika
mereka menyimpang dan berbicara tentang orang lain, arahkan kembali topik ke
diri mereka sendiri: 'bagaimana dengan Anda?’
8. menyebutkan
bahwa waktu terus bergerak dan ada beberapa topik lain yang perlu ditanyakan.
Respon yang menyimpang kadang-kadang merupakan indikasi dari kelelahan atau
kehilangan konsentrasi pada pada diri partisipan, dan mengatakan bahwa tinggal
sedikit waktu mereka sangatlah diperlukan, atau mengatakan bahwa ada satu masalah
yang tersisa untuk didiskusikan akan sering menyadarkan kembali mereka.
Pertimbangan-pertimbangan
Praktis
Penjadwalan
janji
Panjangnya wawancara tidak bisa
ditentukan, berbeda-beda tergantung jenis studi dan partisipannya. Pewawancara
tidak boleh membatasinya. Ia harus membuat kesepakatan dengan partisipan.
Biasanya, setiap sesi wawancara membutuhkan waktu maksimal dua jam, karena
lebih dari itu keduanya akan sulit untuk berkonsentrasi.
Penentuan
tempat
Tempat wawancara biasanya dilakukan
-atas keinginan partisipan- di rumah partisipan, atau di tempat kerja mereka.
Namun beberapa orang mungkin menginginkan agar wawancara dilakukan jauh dari
lingkungan pribadi mereka, dan peneliti harus bersedia untuk menemukan tempat
lain jika ini adalah apa yang partisipan inginkan. Lingkungan itu harus
kondusif untuk konsentrasi: pribadi, tenang, dan nyaman secara fisik. Oleh
karena itu, peneliti harus mengembangkan strategi untuk mengadaptasi lingkungan
untuk tujuan wawancara. Mungkin perlu untuk bertanya apakah ada ruang di mana
wawancara dapat dilakukan tanpa mengganggu anggota rumah tangga lainnya, untuk
meminta radio atau televisi dimatikan, dan bertanya apakah kursi dapat ditata
kembali untuk memungkinkan partisipan dan peneliti saling berhadapan nyaman
dengan peralatan rekaman yang diposisikan secara tepat. Dalam wawancara
profesional, akan sangat membantu jika telepon dapat diarahkan ke ekstensi lain
atau ke voicemail untuk menghindari gangguan.
Merekam
percakapan wawancara
Rekaman wawancara sangatlah penting
agar peneliti dapat memfokuskan perhatian untuk mendengarkan partisipan dan
melakukan probing. Rekaman wawancara menyediakan catatan verbatim
wawancara yang akurat, menangkap bahasa yang digunakan oleh partisipan
-termasuk keragu-raguan dan nada suara mereka- secara lebih detail daripada
dengan mencatat. Rekaman juga menjadi cara yang lebih netral dan tidak terlalu
intrusif dalam wawancara.
Sangat jarang partisipan menolak
untuk direkam selama peneliti memberikan penjelasan yang jelas dan logis
tentang nilai penting rekaman tersebut, meyakinkan tentang kerahasiaannya, dan
menjelaskan apa yang terjadi pada kaset dan transkripnya. Menjadi nyaman dengan
pengoperasian peralatan rekaman, memeriksa apakah ia berfungsi dengan sebelum
dan segera setelah wawancara, dan memiliki kaset dan baterai cadangan di tangan
sangatlah penting.
Orang
lain yang menghadiri wawancara
Ada saat-saat yang sangat membantu
bagi dua anggota tim peneliti untuk menghadiri wawancara, terutama pada awal
kerja lapangan, ketika memungkinkan untuk meninjau kembali strategi dan panduan
topik wawancara (lihat Bab 5) atau untuk tujuan pelatihan. Alasan tersebut
harus dijelaskan kepada partisipan dan persetujuan dari mereka harus diperoleh
ketika janji dibuat, dan kehadiran orang yang kedua dijelaskan lagi pada awal
wawancara. Jika orang kedua adalah wakil dari lembaga pendanaan, hal ini harus
dibuat jelas: kerahasiaan perlu ditekankan. Hal ini umumnya lebih efektif untuk
wawancara yang akan dilakukan terutama oleh seorang peneliti saja, dengan orang
kedua diundang untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut pada poin-poin tertentu
atau pada akhir wawancara. Sulit untuk mengembangkan alur pertanyaan dan untuk
menyelidiki secara mendalam jika peran wawancara terbagi, dan berurusan dengan
dua pewawancara sekaligus dapat menjadi membingungkan bagi partisipan. Lebih
dari satu orang tambahan akan mengganggu hubungan wawancara.
No comments:
Post a Comment