27 March 2015

Mengajukan Pertanyaan dalam Wawancara Mendalam*



Mochammad Said
Mahasiswa Magister Psikologi Unair Surabaya


            Tujuan dari wawancara mendalam adalah untuk mencapai dua hal, yaitu: 1) keluasan cakupan terhadap masalah-masalah utama, dan 2) kedalaman cakupan terhadap masing-masing masalah utama. Berdasarkan kedua tujuan ini, secara umum ada dua jenis pertanyaan, yaitu content mapping questions dan content mining questions. Yang pertama didesain untuk membuka wilayah penelitian dan mengidentifikasi dimensi atau masalah yang relevan dan berkaitan dengan partisipan. Sedangkan yang kedua didesain untuk mengeksplorasi detail yang terletak di dalam setiap dimensi, untuk mengetahui makna dari setiap dimensi yang dirasakan/dialami oleh orang yang diwawancarai (interviewee), dan untuk menghasilkan pemahaman yang mendalam dari sudut pandang interviewee. Setiap wawancara melibatkan kombinasi dari kedua jenis pertanyaan ini dan keduanya tidak terbatas hanya pada beberapa bagian dari wawancara.

            Kedua jenis pertanyaan di atas, khususnya content mining questions, juga melibatkan apa yang disebut dengan probes (penyelidikan). Probes adalah pertanyaan-pertanyaan tindak-lanjut yang didesain untuk memperoleh informasi lebih lanjut, deskripsi, penjelasan, dan sebagainya. Bentuknya biasanya verbal, tetapi probe nonverbal -seperti jeda, gesture, alis terangkat- juga sangat penting. Dalam content mapping questions, probe digunakan untuk membantu dalam pemetaan wilayah penelitian; sedangkan dalam content mining questions, probe menjadi alat yang amat penting untuk mencapai kedalaman informasi.

Content Mapping Questions
            Ada tiga jenis  content mapping questions, yaitu:
1.     Ground mapping questions, yaitu pertanyaan-pertanyaan awal yang diajukan untuk ‘membuka’ suatu subyek masalah. Pertanyaan-pertanyaan ini didesain untuk mendorong spontanitas partisipan dan memungkinkannya untuk mengungkapkan masalah-masalah yang sangat relevan/berkaitan dengan dirinya. Ditambah dengan sedikit probing, pertanyaan-pertanyaan ini akan menghasilkan daftar dimensi-dimensi yang perlu ditindaklanjuti.
2.    Dimension mapping questions, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menstrukturkan dan mengarahkan wawancara, dengan memfokuskan jawaban partisipan secara lebih sempit pada topik atau konsep tertentu. Ia dapat digunakan untuk, misalnya, menstrukturkan sebuah proses atau pengalaman partisipan, misalnya dalam urutan kronologis. Atau untuk memfokuskan setiap dimensi atau topik yang diungkapkan partisipan sebagai tindak-lanjut dari ground mapping questions, mendorong partisipan untuk berbicara tentang masing-masing dimensi secara bergiliran, dan mengungkap unsur-unsur yang membentuk masing-masing konsep dimensi tersebut.
3.    Perspective-widening questions, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk memahami secara penuh sudut pandang (perspektif) partisipan, yang dengan pertanyaan tersebut peneliti bermaksud untuk memperluas sudut pandang partisipan, merangsang pemikiran lebih lanjut, atau memperkuat cakupan yang lebih menyeluruh terhadap pandangan partisipan tentang suatu subyek masalah. Jenis pertanyaan ketiga ini kadang digambarkan sebagai 'petunjuk' (prompts), yaitu item-item yang kepadanya peneliti secara eksplisit mengarahkan perhatian partisipan melebihi item-item yang diungkapkan melalui pertanyaan yang lebih terbuka. Pertanyaan-pertanyaan itu harus diungkapkan secara gamblang, sehingga dimensi-dimensi yang tidak relevan dengan partisipan tidak diberi penekanan yang tidak semestinya dan mengakibatkan perspektif yang unik dari partisipan hilang. Selain itu, pertanyaan jenis ini bisa juga diajukan dengan melibatkan pemikiran rangsangan dengan mengemukakan kembali kepada partisipan masalah atau sudut pandang yang telah diungkapkan pada wawancara sebelumnya atau dalam penelitian lain.

Content Mining Questions
            Ada empat jenis content mining questions, yaitu:
1.    Amplificatory probes, yaitu pertanyaan yang ditujukan untuk memperoleh kedalaman artikulasi jawaban para partisipan dengan mendorong mereka untuk mengelaborasi lebih lanjut jawaban mereka. Dengan demikian, peneliti memperoleh gambaran penuh dan pemahaman mendalam terhadap manifestasi atau pengalaman tentang sebuah fenomena.
2.    Exploratory probes, yaitu pertanyaan yang ditujukan untuk menggali pandangan dan perasaan partisipan terhadap perilaku, peristiwa, atau pengalaman tertentu, dan untuk membantu menunjukkan makna yang dirasakan partisipan dari pengalaman tersebut. Selain itu, pertanyaan ini juga ditujukan untuk menggali dampak, pengaruh, dan konsekuensi dari pengalaman dan perilaku partisipan.
3.    Explanatory probes, yaitu pertanyaan yang ditujukan untuk menyelediki alasan-alasan di balik pandangan, perasaan, perilaku, keputusan, peristiwa, dan sebagainya. Pertanyaan jenis ini menjadi penting karena penjelasan dari suatu perilaku atau pandangan seringkali berlapis-lapis, dan persis di sinilah nilai penting wawancara kualitatif, yang dengan penyelidikan (probing) berulang akan dapat mengungkap lapisan-lapisan penjelasan tersebut.
4.    Clarificatory probes, yaitu pertanyaan yang ditujukan untuk mencapai tingkat ketepatan (presisi) dan kejelasan yang tinggi/memadai. Secara lebih rinci, ada empat tujuan clarificatory probes, yaitu:
a.       Untuk memperjelas istilah-istilah dan mengeksplorasi bahasa
b.      Untuk memperjelas rincian, urutan, dan lain-lain
c.       Untuk memperjelas posisi yang diekspresikan partisipan
d.      Untuk menantang inkonsistensi jawaban atau pernyataan partisipan

Probing (Penyelidikan) Berulang secara Mendalam
            Probing merupakan tugas yang sangat penting, yaitu untuk memperoleh kedalaman seluruh informasi mengenai poin tertentu yang belum tereksplorasi. Oleh karena itu, probing harus dilakukan secara terus-menerus hingga peneliti merasa yakin bahwa ia telah mencapai titik jenuh (saturasi) mengenai poin atau dimensi yang ingin diungkap, yakni sebuah pemahaman penuh dari sudut pandang partisipan.
            Probing yang baik ibarat pekerjaan detektif, di mana peneliti selalu waspada dan curiga bahwa mereka belum mendengar jawaban yang sepenuhnya dari partisipan. Probing yang berulang menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang terasa tidak wajar atau dibuat-buat (artifisial). Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terasa banal atau bahkan konyol. Namun, hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mencapai pemahaman mendalam, yang merupakan tujuan utama penelitian kualitatif. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diharapkan dapat mengungkap kompleksitas atau detail informasi yang belum diperoleh.

Merumuskan Pertanyaan Wawancara
Menggunakan pertanyaan luas dan pertanyaan sempit
            Wawancara mendalam biasanya tidak menggunakan pertanyaan sempit (tertutup) yang mengandaikan pilihan jawaban ya/tidak dari responden. Ia menggunakan pertanyaan terbuka, yang kelihatanya mudah, tetapi sebenarnya lebih sulit dalam praktiknya. Namun, pilihan untuk menggunakan pertanyaan yang luas (terbuka) atau sempit (tertutup) sebenarnya tergantung pada kebutuhan wawancara. Misalnya, pertanyaan content mapping -sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya- memang menggunakan pertanyaan yang amat luas untuk membuka wilayah penelitian atau sebuah dimensi. Akan tetapi mungkin pada suatu momen dibutuhkan pertanyaan sempit (tertutup), misalnya ketika menanyakan apakah motivasi atau pandangan tertentu relevan dengan responden, yang kemudian membutuhkan tahapan selanjutnya, yaitu probing. Begitu pula halnya dengan pertanyaan content mining. Pertanyaan tertutup juga berguna dalam mengontrol proses wawancara. Sebagai misal, ketika jawaban partisipan melenceng dari apa yang ditanyakan, maka peneliti perlu lebih memfokuskan pertanyaan pada topik tertentu.

Menghindari pertanyaan yang bersifat mengarahkan
Pertanyaan peneliti dalam wawancara mendalam didesain untuk memperoleh jawaban penuh partisipan: pertanyaan tersebut tidak ditujukan untuk mempengaruhi jawaban itu sendiri. Namun, dalam situasi dan kondisi tertentu, akan lebih mudah bagi peneliti untuk memperoleh jawaban dengan mengajukan sebuah pertanyaan kepada partisipan yang mendorong pada suatu jawaban tertentu

Mengajukan pertanyaan yang jelas
            Pertanyaan yang paling efektif adalah pertanyaan yang singkat dan jelas, sehingga tidak meninggalkan ketidakpastian tentang sejumlah informasi yang dibutuhkan. Untuk itu, ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, awalilah wawancara dengan sebuah pertanyaan. Tujuannya mungkin agar wawancara tidak tampak terlalu intrusif jika ia menyangkut suatu isu yang sensitif, untuk menghubungkan pembicaraan dengan sesuatu yang dikatakan sebelumnya oleh partisipan, atau untuk menjelaskan bagaimana pertanyaan itu dilihat dari pemahaman peneliti tentang suatu masalah.
            Kedua, hindarilah pertanyaan ganda, karena akan sangat membingungkan bagi partisipan untuk mengingat atau menjawabnya. Kecenderungan masyarakat pada umumnya adalah menjawab bagian pertanyaan yang lebih mudah, sehingga jawaban dari pertanyaan yang seharusnya bisa menghasilkan data yang lebih kaya akan hilang. Oleh karena itu, jauh lebih efektif untuk mengajukan satu pertanyaan pada satu waktu, mengikutinya dengan probe apa pun yang sesuai, dan kemudian mengajukan pertanyaan berikutnya.
Ketiga, hindari pertanyaan yang terlalu abstrak atau teoritis. Pertanyaan yang paling efektif adalah pertanyaan yang berkaitan langsung dengan diri partisipan dan pandangan atau keadaan diri mereka sendiri. Meskipun pertanyaan peneliti mungkin berasal dari pemahaman teori sosialnya yang relevan, penting untuk menemukan cara menerjemahkannya ke dalam pertanyaan konkret yang sederhana, yang diutarakan dalam bahasa sehari-hari, karena justru pertanyaan-pertanyaan inilah yang paling mungkin untuk menghasilkan data yang lebih kaya dalam menindaklanjuti pemahaman teoritis (Kvale, 1996, dalam Ritchie dan Lewis, 2003).
Selain ketiga hal di atas, penting bagi peneliti untuk peka terhadap bahasa dan terminologi yang digunakan oleh masyarakat, dan 'bercermin' padanya sejauh mungkin. Penggunaan bahasa resmi dalam situasi di mana seseorang telah terbiasa menggunakan bahasa yang lebih sehari-hari dapat memunculkan suatu penghalang yang mungkin menghambat proses wawancara. Penting juga untuk mengeksplorasi istilah tertentu yang digunakan oleh masyarakat, yang mungkin dapat menjelaskan aspek yang mendasari persepsi, nilai-nilai, atau sikap mereka.
           
Teknik Lebih Lanjut untuk Mencapai Kedalaman
Mendengarkan dan mengingat
Mendengarkan adalah prinsip dasar wawancara mendalam. Ini tidak hanya berarti mendengarkan kata-kata, tetapi benar-benar mencoba untuk mendengar makna apa yang partisipan katakan, memahami subteks yang perlu dieksplorasi, dan mendengar nuansa dalam penjelasan partisipan. Meskipun tampaknya peran pasif, mendengarkan sebenarnya merupakan bagian aktif dari wawancara (Hammersley dan Atkinson, 1995), di mana sebagian besar energi dan perhatian pewawancara akan diarahkan padanya.
Mendengarkan membantu pewawancara mengingat poin yang perlu ditindaklanjuti pada tahap wawancara selanjutnya. Satu tanggapan dari orang yang diwawancarai dapat memicu empat atau lima poin untuk diselidiki (di-probing) dalam pikiran peneliti. Namun, keputusan cepat harus diambil tentang masalah langsung yang perlu ditindaklanjuti. Dalam kasus seperti ini, peneliti harus membuat catatan mental untuk kembali ke masalah-masalah lain yang diangkat, baik setelah ia berurusan dengan masalah saat itu juga atau dalam wawancara selanjutnya ketika ia berhadapan dengan topik terkait.

Membangun (dan menjaga) hubungan dengan partisipan
a.    Mengekspresikan ketertarikan dan perhatian
Hal ini dicapai dengan mempertahankan kontak mata dengan orang yang diwawancarai, memberikan senyum aneh dan mengangguk sesekali yang dirancang untuk mengekspresikan perhatian (bukan persetujuan), dan dengan mengajukan pertanyaan tindak lanjut yang menunjukkan bahwa peneliti telah mendengar apa yang telah dikatakan dan ingin tahu lebih banyak. Ini adalah sinyal kepada partisipan untuk terus memberikan jawaban penuh dan bahwa apa yang mereka katakan adalah relevan dan berharga.
b.    Memastikan bahwa tidak ada jawaban yang benar atau salah
Kadang-kadang berguna untuk mengatakan hal ini pada awal wawancara, tetapi penting untuk menyampaikannya dalam seluruh wawancara dengan cara tanpa-menghakimi. Hal ini juga berarti tidak mengoreksi kesalahan atau kesalahpahaman. Seorang partisipan bisa saja salah informasi tentang hak mereka terhadap manfaat keamanan sosial tertentu, atau tentang prosedur yang didesain untuk menilai kelayakan seorang penggugat. Daripada mengoreksi mereka dan menghadapi risiko yang akan membuat mereka merasa bodoh dan bungkam, tugas peneliti adalah untuk mengetahui bagaimana mereka membentuk kesan ini dan apa konsekuensinya.
c.    Sensitif terhadap nada suara dan bahasa tubuh
Orang sering menyampaikan keadaan pikiran mereka melalui nada suara, gaya, atau bahasa tubuh. Peneliti harus terus-menerus reseptif terhadap petunjuk ini. Jadi, misalnya, jika orang yang diwawancarai terdengar ragu-ragu tentang sebuah pandangan, hal ini harus dijadikan sinyal bagi peneliti untuk menjelajahi lebih lanjut. Misalnya dengan sekadar mempersilakan mereka untuk terus berbicara, menanyakan apakah mereka memiliki pandangan atau pengalaman lain, atau mengatakan 'Anda terlihat (atau suara Anda) agak ragu-ragu' dan memberi mereka kesempatan untuk merefleksikan atau menjelaskan lebih lanjut.
Bahasa tubuh dan pola pengucapan dapat menjadi petunjuk penting bahwa ada sesuatu yang lebih mendalam yang dapat ditemukan. Mereka juga menambahkan konteks dan rasa terhadap wawancara yang menurut peneliti dapat memperkaya pemahaman mereka selama wawancara -misalnya, ketika partisipan menekankan suatu poin, tampak marah, atau frustrasi. Tapi konteks ini akan hilang jika tidak diverbalkan dan dijelaskan, dan dengan demikian ditangkap dalam rekaman. Peneliti perlu memastikan perasaan yang mendasari perilaku atau sikap dibuat eksplisit, dan kemudian menjelaskan, misalnya dengan mengatakan ‘Kau terdengar sangat yakin tentang itu -apa yang membuat Anda begitu yakin?', atau 'Kau tampak sedikit tidak nyaman selama berbicara -kenapa begitu?’ Konteks emosional ini juga dapat berguna untuk dicatat dalam catatan lapangan (lihat Bab 5) meskipun hal ini tidak bisa menggantikan secara langsung dalam menangani konteks emosional tersebut dalam wawancara, karena interpretasi peneliti itu mungkin salah.
d.   Memberi waktu kepada partisipan untuk menjawab
Dalam sebuah wawancara mendalam, orang diminta untuk berpikir dan memberikan pandangan tentang isu-isu yang belum tentu merupakan pemikiran utama bagi mereka. Mereka membutuhkan waktu untuk berpikir tentang poin tertentu dan kemudian merumuskan tanggapan mereka. Hal ini dapat menggoda pewawancara untuk mengisi jeda tersebut dengan penjelasan atau tambahan pertanyaan. Namun, saat-saat hening dalam wawancara mendalam biasanya sangat produktif dan berkontribusi besar bagi penelitian jika pewawancara dapat menahan jeda sampai partisipan siap untuk berbicara. Keheningan kontemplatif atau keheningan yang menunjukkan bahwa partisipan berpikir tidak seharusnya diisi.
e.    Memperhitungkan selang waktu wawancara
Penting untuk memastikan bahwa tersedia waktu yang cukup untuk mencakup semua topik pada panduan topik. Jika tampak bahwa waktu tambahan mungkin diperlukan, hal ini harus dinegosiasikan dengan partisipan sedini mungkin.
f.     Mengendalikan informasi dari luar
Tergantung pada pengambilan sampel dan pemilihan metodenya (lihat Bab 4), peneliti mungkin memiliki informasi yang cukup rinci tentang suatu masalah yang berkaitan dengan partisipan. Informasi ini mungkin digunakan beberapa orang dalam mempersiapkan wawancara, meskipun penting untuk tidak merancanakan secara berlebihan karena informasi tambahan atau informasi yang bertentangan mungkin muncul selama wawancara. Tetapi biasanya lebih efektif bagi dinamika wawancara untuk mendekati masalah yang baru bersama partisipan, bukan untuk memperkenalkan informasi yang tidak datang dari wawancara.
Sebuah pendekatan yang berbeda mungkin cocok jika seseorang telah mengambil bagian dalam sebuah wawancara survei sebagai bagian dari program penelitian yang sama, yang menghasilkan informasi faktual yang rinci. Di sini, mungkin tepat untuk merujuk dan memeriksa informasi yang diketahui, untuk menghindari pengulangan yang tidak semestinya. Ini akan menjadi kurang berguna, namun, dalam kaitannya dengan informasi tentang sikap atau perasaan yang dikumpulkan oleh survei dimana mendekati masalah baru ini dalam wawancara mendalam akan lebih mungkin untuk membuka pernyataan rinci yang diperlukan.

Mengubah asumsi dan intervensi menjadi pertanyaan
            Asumsi, komentar, atau jenis intervensi lainnya dapat menghambat proses wawancara mendalam, karena tujuan utama wawancara mendalam adalah untuk memperoleh jawaban yang penuh dan tidak bias dari sudut pandang partisipan mengenai suatu topik. Oleh karena itu, asumsi, komentar, atau intervensi apapun harus diubah ke dalam pertanyaan.
a.    Jangan pernah berasumsi. Bisa saja suatu pernyataan yang dianggap sudah jelas atau bisa disimpulkan dari pernyataan sebelumnya ternyata mengandung makna yang lebih dalam dan kaya –atau terkadang makna yang berbeda- ketika partisipan diminta untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
b.    Menahan diri dari mengomentari jawaban. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya penilaian (judgement) terhadap wawancara dan mengganggu aliran wawancara, serta menghambat upaya mendengar dan menyelidiki (probing) secara aktif.
c.    Menahan diri dari meringkas jawaban. Hal ini mengakibatkan kesulitan untuk menangkap makna penuh yang diungkapkan partisipan karena makna yang ditangkap oleh peneliti sangat mungkin tidak akurat, dan bisa berarti merendahkan partisipan.
d.   Menahan diri dari memotong jawaban. Hal ini penting untuk mendapatkan jawaban yang penuh dari partisipan, atau untuk menanyakan pertanyaan selanjutnya jika jawaban tersebut dirasa belum sepenuhnya memenuhi poin utama yang ingin diungkap dalam wawancara.
e.    Hindari komentar-komentar asing. Peneliti baru yang gugup biasanya berkomentar dengan kata ‘Benar’, ‘oke’, ‘ya’, atau ‘Saya mengerti’ sebagai pembuka menuju pertanyaan baru selanjutnya. Padahal, komentar semacam ini dapat membuat partisipan menutup jawabannya, dan menganggap jawaban mereka sudah cukup. Peneliti yang sudah berpengalaman dan santai tidak menggunakan kata-kata demikian. Mereka memilih untuk menanyakan ‘kenapa’, ‘siapa’, atau ‘bagaimana’.

Netralitas dan menghindari pengungkapan-diri (kepada partisipan)
            Pewawancara kualitatif dituntut untuk mampu berempati tanpa terlibat secara berlebihan (secara emosional maupun intelektual) (Rubin dan Rubin, 1995, dalam Ritchie dan Lewis, 2003). Mempertahankan pendekatan obyektif dan netral mungkin sangat menantang jika seorang peneliti secara pribadi tertarik atau terlibat dalam topik penelitian mereka. Tetapi menyadari bagaimana tantangan ini muncul dan bagaimana menghadapinya adalah bagian penting dari persiapan mereka dalam kerja-lapangan. Ketika obyektivitas dan netralitas merupakan sesuatu yang mustahil, penting untuk selalu waspada dalam mengupayakan keseimbangan dalam wawancara.
Ketika satu pertanyaan selesai dijawab, sulit untuk menghindari menjawab pertanyaan lebih lanjut, dan peneliti menjadi kehilangan waktu yang bisa digunakan secara lebih efektif untuk mendengar dari partisipan. Respon yang lebih baik bisa dengan mengatakan bahwa peneliti ingin fokus pada partisipan dan pengalaman mereka selama wawancara, bahkan menawarkan untuk menjawab pertanyaan -dan untuk memastikan partisipan memiliki kesempatan untuk bertanya- setelah wawancara berakhir. Mempertahankan kehadiran yang hangat dan ketertarikan, tetapi netral, merupakan keseimbangan yang baik, dan menjadi sesuatu yang lebih sulit ketika penelitian lebih intens atau, seperti ungkapan Oakley 'di mana ada jarak sosial yang amat sedikit antara pewawancara dan orang yang diwawancarai'(1981: 55).

Menanggapi situasi-wawancara yang berbeda
            Situasi wawancara, untuk batas tertentu, selalu merupakan usaha untuk masuk ke dalam sesuatu yang tidak diketahui dalam kondisi dimana tidak mungkin untuk memprediksi secara tepat jalannya wawancara. Berbagai situasi muncul dalam perjalanan sebuah wawancara yang mungkin memerlukan penanganan khusus pada sisi peneliti. Dalam beberapa kasus, situasi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam kasus lain, situasi mungkin tiba-tiba muncul dengan sendirinya tanpa peringatan.

Melakukan wawancara sensitif
            Ada dua bentuk wawancara sensitif. Pertama, sifat dari topik itu sendiri mungkin secara intrinsik sensitif. Contohnya adalah topik yang berkaitan dengan isu-isu seperti seks, masalah keuangan, kehilangan, kerusakan hubungan, atau penyakit serius, yang berhubungan dengan masalah yang sangat pribadi dan emosional. Peneliti dapat mengantisipasi hal ini di awal dan secara mental siap dengan berbagai cara:
a.    Para peneliti perlu mengingatkan diri bahwa partisipan telah setuju untuk diwawancarai tentang topik penelitian, sehingga peneliti memiliki izin untuk menanyakannya -dengan sensitif dan tepat- agar persetujuan tersebut tidak ditarik atau masuk dalam pertanyaan.
b.    Menamin kerahasiaan pada awal wawancara akan membantu membuat partisipan merasa nyaman untuk mengungkapkan informasi yang berpotensi menjadi sensitif.
c.    Setiap kegelisahan atau rasa malu pada sisi peneliti akan sampai dengan sendirinya pada partisipan dan dapat membuat mereka (partisipan) segan untuk membahas topik tersebut. Bahkan pertanyaan yang tampaknya agak mengganggu atau sensitif harus ditanyakan dengan cara materi-berbasis fakta. Peneliti akan sering terkejut melihat betapa orang yang bersedia diwawancarai harus berbicara tentang masalah sensitif, dan bagaimana ketidaknyamanan mereka (peneliti) sendiri tampaknya lebih besar daripada orang yang diwawancarai.
d.   Memberitahukan sensitivitas dari area penelitian dan partisipan diminta untuk terbuka secara penuh.
Tipe wawancara sensitif kedua muncul pada saat topik penelitian yang tampak cukup berbahaya menjadi sangat sensitif karena beberapa aspek dari diskusi memicu respon emosional yang kuat pada orang yang diwawancarai -mungkin karena menimbulkan insiden tertentu di masa lalunya yang tidak bisa diantisipasi peneliti. Situasi ini membutuhkan strategi yang lebih umum untuk menangani emosi yang kuat dalam wawancara, yaitu sebagai berikut:
a.    Merespon emosi. Tanda dari munculnya emosi yang kuat bisa dilihat dari ekspresi wajah, nada suara, atau bahasa tubuh. Ketika hal ini terjadi, penting meresponnya dengan cara yang tepat. Peneliti bisa menanyakan ke partisipan apakah ia merasa nyaman dan mau melanjutkan wawancara atau tidak. Ketika partisipan menangis, misalnya, mungkin ia bersedia melanjutkan, tetapi peneliti tetap perlu mengecek apakah partisipan ingin istirahat sejenak. Apabila tidak ada indikasi apakah ia ingin melanjutkan atau tidak, peneliti hendaknya memutuskan untuk menghentikan wawancara, untuk memberinya kesempatan untuk pulih terlebih dahulu, baru kemudian menanyakan apakah ia ingin melanjutkan wawancara. Reaksi apapun dari peneliti sendiri terhadap situasi wawancara seharusnya tidak menampilkan emosi mereka selama wawancara.
b.    Merespon kecemasan atau keseganan. Untuk menghadapi partisipan yang mungkin terlihat cemas ketika diwawancarai atau segan dalam menjawab, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasinya:
1.    menghabiskan lebih banyak waktu dalam pembukaan wawancara untuk memberikan partisipan kesempatan untuk merasa lebih nyaman
2.    menghabiskan lebih banyak waktu sebelumnya pada topik yang lebih faktual, konkrit, dan deskriptif sebelum pindah ke perasaan dan emosi mereka. Pertanyaan yang bersifat konseptual dan abstrak juga harus ditinggalkan sampai partisipan terlihat lebih nyaman
3.    menggunakan pertanyaan yang sangat terbuka yang membutuhkan jawaban lebih dari sekadar 'ya' atau 'tidak' untuk mendorong  mereka berbicara
4.    berbicara dengan jelas dan tenang untuk memastikan bahwa pertanyaan sudah jelas dan sesuai arah yang dituju
5.    menunjukkan minat dan perhatian dan memberikan banyak dorongan positif dengan mempertahankan kontak mata, mengangguk, dan tersenyum
6.    menekankan bahwa peneliti tertarik dalam segala hal yang partisipan katakan, bahkan jika itu adalah sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya oleh partisipan
7.    mengakui bahwa orang lain kadang-kadang merasakannya sebagai topik yang sulit untuk dibicarakan
8.    jika perlu, rangsang ide-ide dengan mengacu pada apa yang telah partisipan lain katakan dan meminta pandangan partisipan
c.    Merespon dominasi partisipan dalam agenda wawancara. Ada keseimbangan yang harus dicapai antara memperbolehkan partisipan untuk berbicara dengan bebas dan mengangkat isu-isu yang relevan dengan mereka, dan memastikan bahwa isu kunci penelitian dibahas. Mendapatkan keseimbangan ini menjadi lebih sulit ketika partisipan sangat dominan. Hal ini mungkin timbul karena mereka berada dalam posisi otoritas dan terbiasa menetapkan suatu agenda, atau melihat diri mereka sebagai ahli dalam bidang yang ditanyakan, atau karena untuk beberapa alasan lain mereka mendapati wawancara sebagai situasi yang sulit. Perilaku tersebut mungkin timbul dalam beberapa cara:
1.    Mengatakan mereka memiliki sedikit waktu: waktu yang dibutuhkan untuk wawancara harus selalu ditegaskan kembali pada awal wawancara. Jika waktu ini sangat dibatasi, peneliti perlu memutuskan apakah akan fokus pada beberapa topik utama saja, atau mencoba untuk mengatur ulang wawancara.
2.    Mengajukan pertanyaan-pertanyaan peneliti: pertanyaan tentang perilaku atau tujuan penelitian harus dijawab dengan memberikan informasi faktual tetapi tidak masuk ke dalam diskusi. Bahkan peneliti harus sopan tetapi tegas untuk tidak menjawab pertanyaan tentang pandangan mereka sendiri, sampai wawancara berakhir.
3.    Kembali berulang-ulang ke titik yang sama: pentingnya poin yang ditanyakan harus diakui, namun kebutuhan untuk mengungkap masalah lain harus ditekankan.
4.    Menjawab pertanyaan pilihan mereka daripada yang diminta oleh peneliti: penting untuk mengarahkan mereka kembali ke pertanyaan awal.
5.    Memberikan jawaban yang sangat singkat atau mengatakan mereka tidak memiliki pandangan atau pengalaman yang relevan: ini tidak harus selalu diterima begitu saja. Pertanyaan yang sama dapat ditanyakan dengan cara yang berbeda, atau kembali kepadanya nanti dalam wawancara.
d.   Respon yang menyimpang (dari topik penelitian). Ketika jawaban atau respon partisipan menyimpang dari apa yang ditanyakan, menjadi tugas peneliti untuk mencoba mengarahkan mereka kembali ke arah yang benar. Cara untuk melakukan hal ini tanpa menyebabkan pelanggaran adalah:
1.    pada kesempatan pertama, ajukan pertanyaan yang mengarahkan kembali mereka yang ke poin yang relevan
2.    menggunakan bahasa tubuh untuk menunjukkan bahwa peneliti ingin mengganggu (condong ke depan, mulai menyuarakan pertanyaan, mengangkat tangan sedikit)
3.    mengakui bahwa apa yang mereka katakan adalah penting dan telah dicatat -mereka mungkin kembali berulang kali ke poin tersebut karena mereka merasa poin itu diabaikan
4.    jika mereka terus kembali ke poin yang sama, alihkan wawancara ke poin lain yang sama sekali berbeda, atau kembali ke isu yang relevan yang mereka angkat sebelumnya
5.    jika perlu, tunjukkan tanda-tanda tidak adanya ketertarikan dan persetujuan -alihkan kontak mata dan lihat panduan topik- yang dirancang untuk menunjukkan kurangnya perhatian
6.    bertanya lebih langsung dengan pertanyaan terstruktur yang memberikan ruang lingkup lebih sedikit untuk jawaban panjang, setidaknya sampai partisipan tampaknya lebih bersedia untuk tetap berada pada topik yang relevan
7.    jika mereka menyimpang dan berbicara tentang orang lain, arahkan kembali topik ke diri mereka sendiri: 'bagaimana dengan Anda?’
8.    menyebutkan bahwa waktu terus bergerak dan ada beberapa topik lain yang perlu ditanyakan. Respon yang menyimpang kadang-kadang merupakan indikasi dari kelelahan atau kehilangan konsentrasi pada pada diri partisipan, dan mengatakan bahwa tinggal sedikit waktu mereka sangatlah diperlukan, atau mengatakan bahwa ada satu masalah yang tersisa untuk didiskusikan akan sering menyadarkan kembali mereka.

Pertimbangan-pertimbangan Praktis
Penjadwalan janji
            Panjangnya wawancara tidak bisa ditentukan, berbeda-beda tergantung jenis studi dan partisipannya. Pewawancara tidak boleh membatasinya. Ia harus membuat kesepakatan dengan partisipan. Biasanya, setiap sesi wawancara membutuhkan waktu maksimal dua jam, karena lebih dari itu keduanya akan sulit untuk berkonsentrasi.

Penentuan tempat
            Tempat wawancara biasanya dilakukan -atas keinginan partisipan- di rumah partisipan, atau di tempat kerja mereka. Namun beberapa orang mungkin menginginkan agar wawancara dilakukan jauh dari lingkungan pribadi mereka, dan peneliti harus bersedia untuk menemukan tempat lain jika ini adalah apa yang partisipan inginkan. Lingkungan itu harus kondusif untuk konsentrasi: pribadi, tenang, dan nyaman secara fisik. Oleh karena itu, peneliti harus mengembangkan strategi untuk mengadaptasi lingkungan untuk tujuan wawancara. Mungkin perlu untuk bertanya apakah ada ruang di mana wawancara dapat dilakukan tanpa mengganggu anggota rumah tangga lainnya, untuk meminta radio atau televisi dimatikan, dan bertanya apakah kursi dapat ditata kembali untuk memungkinkan partisipan dan peneliti saling berhadapan nyaman dengan peralatan rekaman yang diposisikan secara tepat. Dalam wawancara profesional, akan sangat membantu jika telepon dapat diarahkan ke ekstensi lain atau ke voicemail untuk menghindari gangguan.

Merekam percakapan wawancara
            Rekaman wawancara sangatlah penting agar peneliti dapat memfokuskan perhatian untuk mendengarkan partisipan dan melakukan probing. Rekaman wawancara menyediakan catatan verbatim wawancara yang akurat, menangkap bahasa yang digunakan oleh partisipan -termasuk keragu-raguan dan nada suara mereka- secara lebih detail daripada dengan mencatat. Rekaman juga menjadi cara yang lebih netral dan tidak terlalu intrusif dalam wawancara.
            Sangat jarang partisipan menolak untuk direkam selama peneliti memberikan penjelasan yang jelas dan logis tentang nilai penting rekaman tersebut, meyakinkan tentang kerahasiaannya, dan menjelaskan apa yang terjadi pada kaset dan transkripnya. Menjadi nyaman dengan pengoperasian peralatan rekaman, memeriksa apakah ia berfungsi dengan sebelum dan segera setelah wawancara, dan memiliki kaset dan baterai cadangan di tangan sangatlah penting.
           
Orang lain yang menghadiri wawancara
            Ada saat-saat yang sangat membantu bagi dua anggota tim peneliti untuk menghadiri wawancara, terutama pada awal kerja lapangan, ketika memungkinkan untuk meninjau kembali strategi dan panduan topik wawancara (lihat Bab 5) atau untuk tujuan pelatihan. Alasan tersebut harus dijelaskan kepada partisipan dan persetujuan dari mereka harus diperoleh ketika janji dibuat, dan kehadiran orang yang kedua dijelaskan lagi pada awal wawancara. Jika orang kedua adalah wakil dari lembaga pendanaan, hal ini harus dibuat jelas: kerahasiaan perlu ditekankan. Hal ini umumnya lebih efektif untuk wawancara yang akan dilakukan terutama oleh seorang peneliti saja, dengan orang kedua diundang untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut pada poin-poin tertentu atau pada akhir wawancara. Sulit untuk mengembangkan alur pertanyaan dan untuk menyelidiki secara mendalam jika peran wawancara terbagi, dan berurusan dengan dua pewawancara sekaligus dapat menjadi membingungkan bagi partisipan. Lebih dari satu orang tambahan akan mengganggu hubungan wawancara.


*Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari buku Qualitative Research Practice: A Guide for Social Science Students and Researchers, Jane Ritchie & Jane Lewis (eds.), 2003, London, SAGE Publications, hal. 148-168.

No comments: