Liberalisme sebagai Ideologi
Sebelum lebih jauh membahas tentang liberalisasi pendidikan, maka penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu tentang istilah liberalisasi. Liberalisasi, sebagai sebuah proses, berasal dari istilah liberalisme. Liberalisme, sebagai sebuah filsafat dan ideologi, terdiri dari tiga nilai yang mendasar, yaitu Kehidupan, Kebebasan, dan Hak Milik (Life, Liberty, dan Property).
Ketiga nilai menghasilkan prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam segala bidang kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun kebudayaan. Kedua, dalam setiap kebijakannya, pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat. Ketiga, yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu. Keempat, negara hanyalah alat, sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri, dengan anggapan bahwa masyarakat pada dasarnya dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah sebagai penengah ketika usaha yang secara mandiri dilakukan masyarakat telah mengalami kegagalan.
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan, di mana keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Liberalisme menghasilkan paham demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Salah satu tokoh utama yang mempengaruhi paham liberalisme ini, khususnya di bidang ekonomi, adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi sangat luas, namun yang paling utama adalah pemikiran bahwa segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar di mana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan.
Liberalisme dalam Sektor Pendidikan
Dalam membicarakan persoalan liberalisasi pendidikan di Indonesia, penting bagi kita untuk menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya proses liberalisasi pendidikan itu sendiri. Lahirnya liberalisasi pendidikan ini berawal dari kesepakatan dalam WTO (World Trade Organization), sebuah organisasi di bawah PBB, yang merupakan organisasi internasional yang mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan "aturan perdagangan" di antara anggotanya. Organisasi ini didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan GATT, yang bertujuan untuk meniadakan hambatan perdagangan internasional setelah Perang Dunia II. Prinsip dan persetujuan GATT diambil oleh WTO, yang bertugas untuk mendaftar dan memperluasnya. WTO bermarkas di Jenewa, Swiss. Pada Juli 2008 organisasi ini memiliki 153 negara anggota, termasuk Indonesia. Privatisasi merupakan prinsip WTO yang memegang peranan sangat penting. Privatisasi berada di top list dalam tujuan WTO. Privatisasi yang didukung oleh WTO akan membuat peraturan-peraturan pemerintah sulit untuk mengaturnya. WTO membuat sebuah peraturan secara global sehingga penerapan peraturan-peraturan tersebut di setiap negara belum tentulah cocok. Namun, meskipun peraturan tersebut dirasa tidak cocok bagi negara tersebut, negara itu harus tetap mematuhinya; jika tidak, negara tersebut dapat terkena sanksi ekonomi oleh WTO.
Negara-negara yang tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dirasa tidak fair, tetap tidak dapat memberikan suaranya, karena pencapaian suatu keputusan dalam WTO tidak berdasarkan konsensus dari seluruh anggota. Merupakan rahasia umum bahwa empat kubu besar dalam WTO (Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa)-lah yang memegang peranan untuk pengambilan keputusan. Pertemuan-pertemuan besar antara seluruh anggota hanya dilakukan untuk mendengarkan pendapat-pendapat yang ada tanpa menghasilkan keputusan. Pengambilan keputusan dilakukan di sebuah tempat yang diberi nama “Green Room”. Green Room ini adalah tempat berkumpulnya negara-negara yang biasa bertemu dalam Ministerial Conference (selama 2 tahun sekali), negara-negara besar yang umumnya negara maju dan memiliki kepentingan pribadi untuk memperbesar cakupan perdagangannya. Negara-negara berkembang tidak dapat mengeluarkan suara untuk pengambilan keputusan. Dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan WTO inilah, yang salah satunya harus melakukan privatisasi di bidang pendidikan, pemerintah mengeluarkan produk hukum yaitu UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana di dalam BAB VII BIDANG USAHA Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa “Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan”. Sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa “Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden”. Penjabaran UU ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No.77 tahun 2007 tentang Bidang Usaha Tertutup dan Yang Terbuka dengan persyaratan terhadap penanaman modal asing dan dalam negeri, di mana pendidikan termasuk di dalamnya.
Dampak Liberalisasi terhadap Pendidikan Indonesia
Konsekuensi dari keputusan pemerintah tersebut adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan non-formal. Dengan demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan berorientasi kepada laba. Bermunculannya sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing akan mendorong persaingan yang tajam dengan sekolah-sekolah swasta dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat positif, karena sekolah swasta Indonesia akan dipacu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik.
Namun di sisi lain, persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah swasta akan dipacu menjadi sebuah institusi bisnis yang harus mendatangkan laba, supaya mampu meningkatkan kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai fasilitas pendidikan. Tujuannya agar dengan peningkatan fasilitas sekolah yang semakin bagus, akan mampu bersaing dengan sekolah yang memiliki modal yang kuat. Kondisi ini akan menciptakan persaingan yang membuat pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat. Hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan, dengan demikian, akhirnya menjadi sebuah bisnis yang tidak lagi mengemban misi sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi mengemban misi bisnis global. Sehingga kepentingan pemilik modal akan menentukan dan mengarahkan bagaimana bentuk dan tujuan pendidikan tersebut. Dan kepentingan pemilik modal selalu terkait dengan laba. Liberalisasi pendidikan akan berpotensi menciptakan kesenjangan yang luar biasa terhadap akses ke pendidikan, karena “korporasi” pendidikan akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi kepada pasar semata. Sementara jutaan masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Post-script: Meneladani Konsep Pendidikan Ki Hajar
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, harus dibedakan dengan pengajaran, karena pengajaran hanyalah satu bagian dari pendidikan. Secara umum, menurut beliau, pendidikan adalah “tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak”. Artinya, pendidikan haruslah berorientasi pada pembangunan intelektualitas dan juga karakter/kepribadian nasional. Jadi pendidikan tidak hanya mengurusi pengajaran yang intelektualistis dan materialistis, tetapi juga memperhatikan soal bagaimana membangun kesadaran anak didik terhadap jati diri mereka sebagai anak bangsa Indonesia, sehingga mereka memiliki kesadaran tentang kebudayaan Indonesia, peduli pada kondisi kehidupan rakyat, dan mau berbuat secara konkret untuk membangun bangsa menuju kesejahteraan bersama.
Ki Hajar dalam konsep pendidikannya sangat menekankan pentingnya pendidikan kebudayaan, karena menurut beliau pendidikan adalah alat, dan alat itu harus ditempatkan dan diperuntukkan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Oleh karenanya, ketika kita melaksanakan pendidikan kepada anak-anak kita, maka kita harus benar-benar tahu dan sadar tentang fungsi pendidikan itu bagi bangsa Indonesia, tidak sekedar meniru konsep pendidikan orang-orang di luar bangsa kita. Pendidikan haruslah ditujukan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tidak memisahkan diri dari kesatuan perikemanusiaan.
Oleh karenanya, pemerintah perlu memikirkan secara mendalam dampak liberalisasi pendidikan terhadap tujuan pendidikan nasional. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, tanggung jawab yang utama dari pemerintah adalah menyediakan akses yang merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai, serta mengatur proses pendidikan melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan Indonesia. Jika investasi asing ini membuat kemampuan negara dalam memenuhi hak-hak masyarakat akan pendidikan menjadi semakin menurun, maka pemerintah perlu meninjau ulang PP Nomor 77 tersebut. Karena bukan tidak mungkin masuknya modal asing dalam pendidikan ini akan mengakibatkan ketergantungan yang semakin besar dari pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan.
Sejak dini, pemerintah harus memastikan regulasi yang dikeluarkan tersebut tidak membuat sekolah-sekolah milik negeri sendiri kalah bersaing karena permodalan, membuat lunturnya nilai-nilai kebangsaan karena kebijakan sekolah yang berorientasi laba, serta dalam perkembangannya justru tidak mendukung misi dan tujuan pendidikan nasional. Jika pemerintah ingin membendung liberalisasi pendidikan dengan segala dampaknya tersebut, maka pemerintah harus membangun kemampuan finansialnya dalam pendidikan nasional. Target minimum 20 % anggaran pendidikan (di luar gaji guru) harus dipenuhi, untuk memastikan tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Kelemahan dalam manajemen pendidikan harus diperbaiki, serta korupsi dalam bidang pendidikan harus diperangi untuk memastikan anggaran tepat sasaran. Kita harus mulai bergantung kepada kemampuan diri sendiri dalam membangun pendidikan bangsa, termasuk kemampuan finansial kita.
Daftar Referensi:
Assegaf, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat. Yogyakarta: Gama Media.
Dewantara, Ki Hajar. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.
Majalah BASIS Edisi Juli-Agustus 2009.
UU Nomor 25 tahun 2007
PP Nomor 77 tahun 2007
http://www.wto.org/ (diakses 31 Maret 2011).
________________________________________
(1) Draf awal artikel ini merupakan makalah yang disampaikan oleh penulis bersama Muhammad Safri D. dalam mata kuliah Isu-isu Kontemporer Pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2011. Setelah itu, penulis melakukan beberapa perubahan untuk kepentingan pemuatan dalam blogsite pribadi ini.
No comments:
Post a Comment