Mochammad Said
Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Riset Aksi
Riset
aksi lahir dan berkembang mula-mula di Amerika Serikat. Riset aksi berawal
dari karya John Collier pada 1930-an, yang bekerja sebagai komisioner untuk
urusan kaum Indian, dan Kurt Lewin pada 1940-an. Lewin, pengungsi Yahudi dari
Nazi Jerman yang bekerja sebagai psikolog sosial di Amerika Serikat,
berpendapat bahwa manusia akan lebih termotivasi dalam melakukan
tugas/pekerjaan apabila dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tentang
bagaimana pekerjaan mereka akan dijalankan. Gagasan orisinal Lewin tersebut
sangat berpengaruh, dan setelah dirinya, banyak peneliti mengorganisir riset
dan laporan riset mereka sebagai siklus tahapan: amati (observe) –
renungkan (reflect) – lakukan (act) – evaluasi (evaluate)
– modifikasi (modify).
Siklus ini dapat berubah menjadi siklus lain. Gambar di bawah ini menunjukkan proses siklus tersebut:
Siklus ini dapat berubah menjadi siklus lain. Gambar di bawah ini menunjukkan proses siklus tersebut:
Gambar 1. Lingkaran siklus aksi-refleksi
Pada 1950an riset aksi telah diterapkan
dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pekerjaan mengajar, dan buku Stephen
Corey (1953) yang berjudul Action Research to Improve School Practices menjadi
begitu berpengaruh di Amerika. Hal ini juga bisa dilihat dalam konteks gerakan
sekolah gratis dan pendidikan progresif yang muncul pada 1960an, yang
menekankan pendidikan sebagai cara untuk mempromosikan praktik demokratis yang
mendorong seluruh masyarakat untuk berpartisipasi secara penuh dan aktif dalam
kehidupan politik. Pendidikan dipandang sebagai cara untuk melahirkan
warganegara yang bijaksana dan bertanggungjawab.
Riset
aksi mencapai puncaknya di Amerika pada akhir 1950an sebagai akibat adanya
fokus yang berlebihan terhadap kebutuhan untuk mencapai keunggulan teknis
setelah peluncuran Sputnik dan munculnya model-model baru riset dan
pengembangan. Selain itu, riset aksi juga mulai diakui di Britania, terutama
berkat pengaruh Lawrence Stenhouse, yang bekerja dalam konteks pendidikan guru.
Berangkat dari pendekatan disiplin-disiplin sebelumnya yang dominan terhadap
pendidikan, di mana para guru mempelajari psikologi, sosiologi, sejarah, dan
filsafat pendidikan, Stenhouse mengajukan sebuah pandangan tentang guru sebagai
profesional yang kompeten dan harus bertanggungjawab terhadap tindakan mereka
sendiri. Ia berpendapat bahwa pendidikan profesional meliputi:
“Komitmen untuk mempertanyakan secara
sistematis terhadap pengajaran diri sendiri sebagai dasar bagi pengembangan;
Komitmen dan keterampilan untuk
mempelajari pengajaran diri sendiri
Komitmen untuk mempertanyakan dan
menguji teori dalam praktik dengan keterampilan di atas.”
(Stenhouse, 1975: 144)
Tema
tentang guru yang harus bertanggungjawab terhadap tindakan mereka sendiri ini
dikembangkan secara lebih khusus oleh para peneliti terkemuka, tetapi dari
beragam perspektif. John Elliott, kolega Stenhouse di Universitas Anglia Timur,
mengembangkan pendekatan interpretif, dan Jack Whitehead, di Universitas Bath,
mengembangkan perspektif studi-diri (self-study perspective). Beragam
perspektif ini berdampak pada cara pendidikan profesional dipahami dan
diselenggarakan, dan juga cara riset aksi sendiri dipandang memenuhi nilai
keadilan sosialnya. Secara umum, riset aksi dikenal sebagai sebentuk riset
praktis yang melegitimasi upaya-upaya para guru untuk memahami pekerjaan mereka
dari sudut pandang mereka sendiri. Selain mempelajari berbagai disiplin dan
menerapkan teori untuk diri mereka sendiri, para guru juga dianjurkan untuk
mengeksplorasi apa yang sedang mereka lakukan dan mengupayakan berbagai cara
untuk meningkatkannya. Dengan demikian, kearifan praktis para guru dihargai
dengan status yang lebih tinggi, seperti halnya jabatan profesional. Kini,
riset aksi telah diterima secara luas sebagai bentuk pembelajaran profesional
lintas-profesi.
Posisi Riset Aksi Di Antara Berbagai Paradigma Penelitian
Telah
ada begitu banyak literatur mengenai metode penelitian yang memaparkan berbagai
teori tentang perkembangan ilmiah dan sosial untuk menjelaskan proses
terbentuknya paradigma-paradigma baru. Paradigma adalah suatu paket ide atau
teori yang berkaitan dengan suatu konteks tertentu. Berbagai teori ini memiliki
cara pandang yang berbeda mengenai perkembangan ilmiah dan sosial. Kuhn (1970)
menyatakan bahwa perubahan paradigma seringkali merupakan proses pergantian,
sedangkan Lakatos (1970) melihat perubahan paradigma sebagai proses
penggabungan ide-ide lama ke dalam ide-ide baru. Perubahan paradigma seringkali
melibatkan proses tumpang-tindih, pengulangan, dan bahkan mundur ke belakang. Suatu
paradigma mungkin juga meminjam paradigma lain, dan kadang sulit mengetahui di
mana paradigma itu berawal dan berakhir.
Dalam
konteks demikian, para ilmuwan sosial (seperti Ernest, 1994) membagi paradigma
menjadi tiga macam, yaitu:
·
Paradigma
rasional-teknis (empiris)
·
Paradigma
interpretif
·
Paradigma
kritis
Masing-masing paradigma di atas memiliki pandangan
yang berbeda mengenai sifat pengetahuan, bagaimana ia diperoleh, dan bagaimana
ia digunakan.
Paradigma
rasional-teknis (empiris) memiliki asumsi bahwa:
1. Peneliti
berada di luar lapangan penelitian untuk menjaga obyektivitas. Pengetahuan yang
dihasilkan adalah pengetahuan yang tak terkontaminasi oleh sentuhan manusia.
2.
Ada
hubungan sebab-akibat di mana: ‘Jika saya melakukan ini, maka itu akan
terjadi’, atau secara umum, ‘jika x, maka y’.
3.
Hasil
penelitian biasanya menggunakan analisis statistik, dan berlaku serta diakui
kebenarannya sepanjang waktu.
4.
Hasil
penelitian dapat diterapkan dan digeneralisasikan pada kondisi/konteks
orang-orang lain yang berbeda, dan dapat direplikasi dalam situasi yang mirip.
Penelitian rasional-teknis telah
digunakan dalam seluruh penyelidikan ilmiah, dan telah mendorong perkembangan
yang begitu masif di bidang teknologi, pelayanan kesehatan, dan perjalanan luar
angkasa. Bahkan banyak para peneliti rasional-teknis yang memiliki asumsi bahwa
metodologi ilmu alam dapat diterapkan dalam praktik manusia, sehingga mereka
cenderung melihat manusia sebagai mesin atau data. Stringent mengkritik bahwa
penelitian rasional merupakan mitos (Thomas, 1998), dan obyektivitas merupakan
sesuatu yang mustahil dicapai. Sebagian ilmuwan lain mempertanyakan mengenai
nilai penting obyektivitas ilmiah.
Sedangkan paradigma interpretif memiliki
asumsi bahwa:
1.
Peneliti
mengamati orang-orang dalam setting alamiah mereka, dan menawarkan deskripsi
dan penjelasan mengenai apa yang mereka lakukan.
2.
Analisis
data cenderung bersifat kualitatif, dalam hal makna perilaku.
3.
Orang-orang
dalam situasi tersebut menawarkan dan menegosiasikan pemahaman mereka sendiri
mengenai praktik mereka dengan penafsiran peneliti luar, tetapi yang sampai ke ranah
publik adalah pernyataan atau cerita dari peneliti luar.
Penelitian interpretif digunakan secara
luas dalam penelitian ilmu sosial dan pendidikan, yang seringkali mengambil
bentuk studi kasus. Tujuannya adalah untuk memahami apa yang terjadi dalam suatu
situasi sosial dan menegosiasikan makna-makna.
Adapun paradigma kritis memiliki asumsi
utama yaitu:
1.
Penting
untuk memahami suatu situasi dengan tujuan mengubahnya.
2.
Situasi
sosial diciptakan oleh orang-orang, sehingga dapat didekonstruksi dan direkonstruksi
oleh orang-orang juga.
3.
Situasi
yang terberi hendaknya dilihat dalam konteks latar belakang dan proses
kehadirannya, khususnya dalam konteks hubungan kekuasaan.
Teori kritis hadir sebagai kritik
terhadap berbagai bentuk penelitian yang ada, yang berpijak pada keyakinan
bahwa penelitian tidaklah pernah bebas nilai (netral), tetapi ia digunakan oleh
peneliti untuk tujuan tertentu, yang seringkali berhubungan dengan hasrat untuk
memprediksi dan mengontrol. Dalam tradisi kritis ini penting untuk memahami
kepentingan-kepentingan manusia yang terlibat dalam berbagai situasi sosial dan
dalam cara-cara yang digunakan untuk memahami situasi sosial tersebut.
Riset Aksi
Riset
aksi mengembangkan teori kritis, dan kemudian melampauinya. Teori kritis
menanyakan, ‘Bagaimana situasi ini dapat dipahami untuk kemudian mengubahnya?’
tetapi hanya bertujuan untuk memahami, bukan untuk aksi. Riset aksi bergerak
menuju aksi dan menanyakan, ‘Bagaimana ia bisa diubah?’ Namun sebagian peneliti
masih sering menempatkan riset aksi dalam kerangka umum teori kritis, yang
menekankan sifat partisipatoris untuk memerangi hubungan kekuasaan yang ada.
Yang
membedakan bentuk teori riset aksi adalah bahwa ia didasarkan pada sifat
ontologis ‘Aku’ si peneliti, dan menggunakan logika di mana para peneliti
mengorganisir pemikiran mereka seolah mereka mengalaminya pada saat itu. Banyak
pendekatan riset mengadopsi sikap sebagai orang luar, menggunakan cara berpikir
yang melihat benda-benda sebagai sesuatu yang terpisah satu sama lain.
Sedangkan di sisi lain, periset aksi bekerja dengan pendekatan teori yang
menggunakan cara berpikir yang melihat benda-benda sebagai sesuatu yang
berhubungan satu sama lain. Perbedaan tersebut berimplikasi pada cara melakukan
riset aksi di lapangan dan menteorisasikannya.
*
Makalah ini ditulis sebagai review terhadap Bab I (Bagian 4) berjudul Where
Did Action Research Come From? dari buku Jean McNiff & Jack
Whitehead, 2006, All You Need To Know About Action Research, London, SAGE
Publications.
1 comment:
Sangat membantu sekali😄
Post a Comment