Oleh: Mochammad Said(2)
Ketika penulis diminta oleh salah satu teman untuk menulis sebuah artikel tentang “Santri-Mahasiswa Ideal”, muncul pertanyaan, kenapa santri-mahasiswa? Sosok seperti apakah santri-mahasiswa itu? Lalu, bagaimanakah karakter santri-mahasiswa ideal itu?
Setelah penulis berfikir sejenak, walaupun masih agak bingung, penulis mencoba memahami (menebak?) maksud dan makna dari kata santri-mahasiswa. Ketika membaca sebuah tulisan berjudul “Mengeja Kembali Peran Santri-Mahasiswa”(3), penulis tidak menemukan definisi yang eksplisit dari santri-mahasiswa. Namun, dari artikel itu penulis menangkap makna dari santri-mahasiswa, yaitu individu yang lulus dari pesantren kemudian melanjutkan kuliah di suatu perguruan tinggi, atau individu yang kuliah di suatu perguruan tinggi sekaligus menempuh pendidikan di suatu pesantren.
Kalau kita berbicara tentang santri-mahasiswa ideal, maka kita harus membahas hakikat ontologis dari dua kata, yaitu santri dan mahasiswa. Siapakah santri itu? Siapakah mahasiswa itu?
Sejarah Pesantren: Menguji Sebuah Peran
Pesantren merupakan tempat menempuh pendidikan bagi para santri. Dalam sejarahnya, pesantren selalu menjadi basis bagi dua hal, yaitu pemberdayaan masyarakat, baik masyarakat pesantren maupun masyarakat sekitarnya, dan basis bagi perlawanan terhadap setiap ketidakadilan yang dihadapi oleh masyarakat.
Dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, pesantren menekankan pada dua aspek pemberdayaan, yaitu pemberdayaan keberagamaan dan pemberdayaan kesejahteraan(4). Dalam hal keberagamaan, pesantren melakukan dakwah Islam dengan cita rasa yang khas Indonesia, di mana ajaran Islam yang diajarkan dan dikembangkan kepada masyarakat seolah bersenyawa dengan nuansa keindonesiaan. Oleh Gus Dur, dakwah pesantren ini tidak terlepas dari apa yang dicontohkan oleh Wali Songo dalam melakukan dakwah Islam di Indonesia, yaitu bahwa mereka dalam berdakwah tidak melawan arus masyarakat yang sebelum Islam datang masih dipenuhi oleh dinamisme, animisme, politeisme, dan sebagainya. Namun sebaliknya, mereka lebih memilih untuk mengikuti, dengan pelan-pelan memasukkan esensi tauhid Islam dan mengokohkan fondasi syari’ahnya(5). Inilah yang oleh para intelektual muslim seperti Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan Buya Syafi’i Ma’arif sebut sebagai kontekstualisasi Islam atau pribumisasi Islam.
Selain peran dakwah keberagamaan di atas, pesantren juga menjadi basis sosial bagi lahirnya perlawanan terhadap para penjajah di bumi Nusantara ini. Pada masa pra-kemerdekaan, pesantren menjadi ‘ladang’ penempaan para mujahid anti-penjajahan, hingga lahirlah laskar-laskar seperti Hizbul Wathan, Hizbullah, Sabilillah, dan sebagainya. Semua itu bertujuan tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan nasional Indonesia. Satu momen historis penting yang harus kita ingat adalah lahirnya Resolusi Jihad –deklarasi para ulama NU se-Jawa dan Madura yang menyatakan bahwa perjuagan kemerdekaan merupakan jihad (perang suci)- pada 22 Oktober 1945, yang merupakan upaya ulama pesantren untuk melindungi bangsa dan negara Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya dari rongrongan penjajah yang ingin kembali ke Indonesia.
Martin van Bruinessen (1994) menceritakan: “…Pada pertengahan Oktober 1945, Jepang telah merebut beberapa kota Jawa yang telah jauh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkannya kepada Inggris. Beberapa hari sebelum pertemuan NU di atas, Bandung dan Semarang telah jatuh-setelah pertempuran berdarah yang dahsyat- ke tangan Inggris. Demikian juga di Surabaya, kedatangan pasukan Inggris ditunggu dengan gelisah- mereka masuk pada 25 Oktober. … Pemerintah mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik dan tampaknya menerima saja ketika bendera Belanda dikibarkan lagi di Jakarta. “Resolusi Jihad” meminta pemerintah republik mendeklarasikan “perang suci”. Resolusi ini tampaknya merupakan pengakuan legitimasi bagi pemerintah dan sekaligus kritik tidak langsung terhadap sikap pasifnya”(6).
Kampus dan Perjalanan Bangsa: Mengokohkan Peran Kaum Intelektual
Kalau kita mau berkaca pada sejarah, kampus –sebagai representasi dari ‘gudang’ penggodokan kaum terdidik– merupakan tempat yang ideal bagi lahirnya sosok-sosok intelektual di negeri ini. Kampus juga menjadi basis sosial perlawanan masyarakat terhadap tirani negara. Kampus juga menjadi tempat lahirnya para pemimpin negeri ini, para pejabat, para pegawai terdidik, dan orang-orang yang sangat mempengaruhi perjalanan bangsa dan negara ini.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, kaum terdidik masih sedikit. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan Ki Hadjar Dewantara merupakan sosok-sosok yang dilahirkan oleh pendidikan di masa kolonial. Dari proses pendidikan yang mereka jalani dan juga aktivisme mereka dalam berorganisasi, mereka memperoleh pemahaman dan kesadaran tentang keterjajahan bangsanya, dan bahwa bangsa Indonesia harus bangkit melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penjajah. Dan mereka telah melakukan apa yang mereka anggap sebagai “kewajiban moral” kaum terdidik, yaitu mendidik dan menyadarkan masyarakat akan kondisi mereka serta hak-hak mereka, dan mengarahkan masyarakat pada praksis perjuangan untuk mengubah kondisi hidup mereka serta merebut hak-hak mereka yang telah dirampas penjajah.
Pada saat Soekarno mulai menunjukkan watak otoritariannya, kembali mahasiswa keluar dari kampus dan turun ke jalan untuk menyuarakan ‘kegelisahan’ mereka. Begitu pula pada saat Soeharto tidak peduli lagi pada rakyatnya, kampus –dengan dosen dan mahasiswanya yang sadar akan kondisi ini- ‘menyerukan’ perlawanan terhadap dinding tirani yang kokoh dibangun Soeharto, dan lahirlah zaman baru, zaman reformasi.
PBSB, Santri-Mahasiswa, dan Momok Borjuisme
Program Beasiswa Santri Beasiswa (PBSB) yang diinisiasi oleh Departemen Agama (Depag) merupakan suatu terobosan baru sebagai bagian dari usaha negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Program beasiswa yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pesantren ini berangkat dari sebuah misi besar, yaitu agar para santri yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi nantinya mampu meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren mereka masing-masing, dan juga agar mereka mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat secara nyata sesuai bidang keilmuan mereka. Hal ini sesuai dengan misi pesantren sejak awal keberadaannya di bumi nusantara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup mereka.
PBSB membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dan biaya itu berasal dari anggaran negara yang dialokasikan untuk Depag. Dan dari manakah anggaran negara itu berasal? Sebagian besar tidak lain adalah penerimaan negara dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Mengapa pemerintah, dalam hal ini Depag, bersedia mengalokasikan dana yang sedemikian besar untuk program PBSB ini? Semua itu tidak lain adalah dengan harapan bahwa setelah lulus kuliah nanti para peserta PBSB ini mampu memberikan kontribusi yang lebih nyata dan lebih baik bagi pesantrennya dan masyarakat.
Oleh karena itu, program PBSB di atas seharusnya benar-benar dipahami oleh para santri-mahasiswa yang mengikutinya, agar mereka sadar akan ‘kewajiban moral’ yang mereka emban di masa depan, dan tidak ‘berfoya-foya’ dengan beasiswa yang mereka terima hanya untuk kepentingan individual mereka sendiri. Biaya yang mereka terima berasal dari uang rakyat, dan seharusnya mereka menyadari bahwa mereka harus menggunakannya sebaik mungkin dan sebermanfaat mungkin untuk memberikan kemaslahatan bagi rakyat banyak, baik pada saat masih kuliah ataupun ketika telah lulus dan saatnya berkontribusi secara nyata bagi rakyat. Jangan sampai PBSB ini, yang memiliki cita-cita sangat mulia, justru memunculkan apa yang disebut dengan ‘momok borjuisme’, yaitu munculnya orang-orang yang menikmati ‘kenyamanan baru’ yang mereka dapatkan untuk kepentingan mereka sendiri: wisata kuliner, makan-makan, jalan-jalan, camping, pergi ke bioskop, shopping, berganti-ganti HP sesuai selera, membeli motor dan laptop baru, dan sebagainya. Padahal, tidak jauh dari mereka, sebagian besar rakyat negeri ini dalam keadaan yang memprihatinkan. Namun, mereka –kaum borjuis- tidak peduli dengan realitas ini, karena mereka telah mendapatkan kenikmatan dari ‘rejeki’ yang mereka dapatkan. Sungguh memalukan. Atau biasa saja?
(1)Artikel ini dimuat dalam buletin eX-SI∑MA Edisi II/Juni 2010 yang diterbitkan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika CSS MoRA UGM.
(2)Anggota CSS MoRA UGM, mahasiswa Fakultas Psikologi UGM.
(3)Majalah SARUNG Edisi Perdana 2009, hal. 4-7.
(4)Ibid, hal. 16-17.
(5)Asmani, Jamal Ma’mur. 2009. Pesantren, Keislaman, dan Keindonesiaan. Yogyakarta (makalah disampaikan pada Pembinaan Santri Berprestasi Penerima Beasiswa Depag di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, 26 Desember 2009).
(6)Bruinessen, Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (terjemahan). Yogyakarta: LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial); hal. 52-53.
No comments:
Post a Comment