“Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, maka pada hakikatnya engkau telah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya”.
(Al-Hujwiri)
Beberapa minggu yang lalu, kehidupan masyarakat Indonesia ‘terguncang’ oleh munculnya insiden Gereja HKBP di Bekasi. Tidak lama kemudian, kita menyaksikan lewat media massa, aksi para perampok bersenjata yang diduga merupakan teroris yang ingin menegakkan khilafah Islamiyyah di Indonesia. Dalam sebuah wawancara televisi, salah satu tersangka yang ditangkap mengaku bahwa harta yang mereka rampok adalah fa’i, karena diambil dari ‘musuh-musuh Islam’, sehingga sah hukumnya melakukan hal tersebut.
Dan beberapa hari yang lalu, perdamaian yang telah lama tercipta di Tarakan terusik. Dua kelompok etnik, yaitu Tidung dan Bugis, terlibat konflik yang menewaskan tidak kurang dari 5 orang. Walaupun akhirnya tercapai kesepakatan damai, namun potensi konflik ini masih dapat muncul sewaktu-waktu.
Kita pun menjadi bertanya-tanya, mengapa kekerasan dan konflik tersebut bisa terjadi? Bukankah bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran?
Agama dan Kesadaran Beragama
Kalau kita telusuri secara lebih mendalam, perilaku terorisme sebenarnya berasal dari kesadaran kognitif para pelakunya yang memahami bahwa Indonesia bukanlah negara Islam (dar al-Islam) karena belum menerapkan syariat Islam secara kaffah, yaitu dengan formalisasi sistem khilafah. Oleh karenanya, bagi mereka, Indonesia adalah medan untuk berperang mewujudkan khilafah (dar al-harb), dan harta yang dirampas darinya disebut dengan fai. Bagi mereka, aparat keamanan negara kita yang menghalangi “jihad” mereka adalah musuh, dan oleh karenanya harus dibunuh. Adapun sasaran mereka adalah sang presiden, karena dialah yang mereka anggap telah menjerumuskan bangsa yang mayoritas muslim ini ke dalam sistem ‘kafir’.
Aksi terorisme, kemudian juga konflik yang mengakibatkan insiden seperti gereja HKBP, sebenarnya tidak terlepas dari kesadaran beragama yang masih fanatik dan eksklusif. Kenapa demikian? Karena kita seharusnya membedakan 2 hal, yaitu antara kesadaran agama dan kesadaran beragama. Yang pertama berkaitan dengan pemahaman doktrinal terhadap ajaran agama, sedangkan yang kedua berkaitan dengan praktik penerapan perilaku beragama dalam lingkup sosial. Terlepas dari dugaan adanya pihak ketiga yang ‘bermain di air keruh’, insiden gereja HKBP menunjukkan bahwa masyarakat kita masih terjebak pada kesadaran agama yang sangat kuat, namun miskin kesadaran beragama.
Begitu juga halnya dengan konflik antara kelompok suku Tidung dan Bugis di Tarakan bisa dilihat dari sudut pandang demikian. Namun yang lebih penting, sebenarnya konflik ini bukanlah konflik etnis, karena kalau kita telusuri secara lebih mendalam, ia hanyalah efek dari kondisi sosio-ekonomi masyarakat Tarakan yang masih belum stabil. Problem perebutan ‘ruang sosial’ dan sumber-sumber ekonomilah sebenarnya yang menyebabkan mereka mudah tersulut ‘api’.
Agama dan Demokratisasi
Dari ketiga kasus tersebut, menurut penulis, ada satu benang merah yang dapat diambil, yaitu mengenai peranan agama di dalam masyarakat.
Kita tentunya sepakat bahwa semua agama dihadirkan ke muka bumi ini adalah untuk menyebarkan perdamaian dan moralitas luhur kemanusiaan. Manusia, menurut Islam, adalah khalifah yang diberi mandat oleh Allah untuk mengelola alam ini. Sehingga dari sinilah kita bisa melihat tiga dimensi hubungan yang kita jalin, yaitu manusia dengan Tuhan (transendental), manusia dengan sesama manusia lainnya (sosial), dan manusia dengan makhluk lain serta alam yang dia tempati (lingkungan).
Untuk dimensi pertama dapat kita maknai sebagai kesalehan individual, karena hanya berkisar hubungan si hamba dengan Tuhannya. Sedangkan dimensi kedua dan ketiga bisa kita maknai sebagai kesalehan sosial, karena berkaitan dengan relasi kita dengan orang lain, makhluk lain serta lingkungan.
Dalam kenyataannya, masih banyak di antara kaum beragama kita yang masih terlalu menekankan pada kesalehan individual. Mereka lebih menekankan pada aspek ritual seperti shalat, pergi ke gereja, dan sebagainya, daripada memikirkan aspek sosial dan lingkungan seperti persoalan kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, perusakan lingkungan, dan sebagainya. Mereka jarang mau melihat dan mendengar secara langsung dengan hati nurani mereka tentang kondisi masyarakatnya dan kondisi lingkungannya, sehingga bagi mereka yang terpenting adalah ibadah ritual untuk mencapai surga-Nya.
Padahal dalam semua agama, termasuk Islam, kita dapat mencermati bahwa ajaran-ajarannya sangatlah menekankan peranan manusia dalam menciptakan kesejahteraan, kedamaian, dan keserasian kehidupannya. Dan untuk mewujudkan hal demikian tentunya manusia tersebut haruslah benar-benar memahami manusia lainnya, saling mengenal, dan bekerjasama untuk memelihara kehidupan dan lingkungannya.
Dalam konteks Indonesia, kita harus sadar bahwa masih banyak tantangan yang harus kita hadapi untuk mewujudkan demokratisasi sepenuhnya. Rakyat kita masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, pengangguran masih tinggi, ancaman disintegrasi bangsa, persoalan perusakan lingkungan hidup, agenda pemberantasan korupsi, dan permasalahan-permasalahan lainnya seharusnya menjadi ‘lahan’ perjuangan (jihad) para agamawan dan kaum beragama kita, sehingga perhatian kita tidak hanya berkisar soal khilafah, perebutan pemeluk agama, pembakaran al-Quran, atau yang semacamnya. Demokratisasi menjadi suatu keniscayaan yang harus diperjuangkan, dan para agamawan serta kaum beragama harus memikirkan kembali perannya di dalam agenda demokratisasi ini.
Membaca Realitas, Memposisikan PMII
PMII sebagai bagian dari masyarakat sipil Indonesia, adalah organisasi kader berbasis agama yang bercita-cita memunculkan kader-kader ulul albab, yang memiliki kesadaran transendental serta kesadaran sosial (sense of social crisis), serta mewujudkan transformasi sosial-demokratik di Indonesia. Oleh karena itu, PMII dituntut untuk melaksanakan pengkaderan secara intensif dan sistematis sesuai dengan nilai-nilai Aswaja dengan paradigma kritis-transformatif, sehingga lahir sosok-sosok intelektual yang concern terhadap realitas sosial serta turut aktif dalam mewujudkan transformasi demokratik di Indonesia. Kita memiliki banyak sarjana dan akademisi, namun jarang di antara mereka yang adalah juga intelektual, khususnya intelektual organik.
Selain itu, PMII juga dituntut untuk terlibat dalam aksi-aksi sosial dalam rangka transformasi sosial, seperti pendidikan kesadaran kritis di masyarakat, kritisisme terhadap kebijakan lokal dan nasional, serta advokasi masyarakat. Yang harus disadari, ini semua haruslah dimaknai sebagai manifestasi kesadaran beragama sebagai hasil dari pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran agama Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
Adapun PMII Komisariat Gadjah Mada dituntut mampu memposisikan dirinya di dalam konstelasi sosial dalam lingkup UGM –sebagai basis material pergerakannya- yang notabene adalah kampus kerakyatan. Setidaknya ada 2 tantangan yang harus dihadapi, yaitu fundamentalisme agama dan liberalisasi pendidikan. Yang pertama berkaitan dengan agenda kelompok-kelompok fundamentalis yang berkeinginan menjadikan mahasiswa UGM sebagai kader-kader mereka untuk kepentingan sempit dan politis mereka –dan hal tersebut mengancam pluralitas masyarakat kita, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebijakan struktural negara yang ‘disetir’ oleh kepentingan kapitalisme neoliberal yang ingin menjadikan sektor pendidikan sebagai bisnis jasa pendidikan, bukan sebagai pelayanan publik yang menjadi hak asasi warganegara.
Sebuah harapan besar, lahir dari ‘rahim’ PMII, khususnya PMII Komisariat Gadjah Mada, sosok seperti Gus Dur, Romo Mangun, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, dan Vandana Shiva, yang memiliki keprihatinan sosial dan memanifestasikannya dalam langkah-langkah nyata –dan semua itu tidak terlepas dari penghayatan bahwa agama dapat dan harus berperan sebagai spirit transformasi sosial.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
*Artikel ini pernah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam Kajian Pra-MAPABA I PMII Forum Rayon Komisariat Gadjah Mada pada Oktober 2010.
21 February 2011
05 February 2011
Pesantren, Seni, dan Tantangan Kebudayaan di Indonesia (1)
Oleh: Mochammad Said(2)
Pesantren, sebagai sebuah entitas, merupakan –sebagaimana dinyatakan oleh Gus Dur- subkultur tersendiri. Artinya, ketika kita memahami pesantren, kita tidak boleh menganggapnya hanya sekedar satu jenis lembaga pendidikan di antara berbagai jenis lembaga pendidikan yang ada. Kenapa? Karena kehidupan di dalam dunia pesantren telah melahirkan reproduksi subkultur tersendiri, yaitu subkultur santri. Subkultur ini dimungkinkan lahir karena adanya sistem pembelajaran yang mengikuti jadwal-jadwal waktu sholat, yang merupakan aplikasi langsung nilai-nilai keagamaan dalam sebuah miniatur sosial bernama pesantren . Begitu pula metode pembelajaran serta nilai-nilai pendidikan yang disosialisasikan dan dikembangkan di dalamnya, telah ikut membentuk apa yang dinamakan subkultur santri tersebut. Sebagai contoh adalah nilai-nilai keislaman moderat, toleran, dan humanis yang diajarkan dan dikembangkan di pesantren yang sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqh sufistik dalam Islam.
Pesantren dan seni
Pengertian tentang seni dalam khazanah pemikiran Islam hingga saat saat ini masih belum bulat. Ada yang mendefinisikan seni Islami sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan konsep tauhid (keesaan Tuhan). Ada juga yang mendefinisikannya sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan ketundukan atau pengabdian kepada Allah. Kedua definisi ini meletakkan seni sebagai karya yang bertendensi normatif. Namun pada kenyataannya, terdapat banyak sekali karya seni yang diciptakan oleh para seniman dalam kerangka kemanusiaan, tetapi tidak terang-terangan menyebutkan tendensi normatif, misalnya Islam, di dalamnya.
Muhammad Abdul Jabbar, sebagaimana dikutip oleh Mulyadi A. Jamalik, dalam buku Seni di Dalam Peradaban Islam (1981: 2-4) mengatakan bahwa kesenian bisa dikatakan sebagai seni Islami apabila hasil karya seni tersebut mengungkapkan pandangan hidup kaum Muslim atau sesuai dengan bayangan ideal seorang Muslim. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa seniman yang menciptakan karya seni Islami tidak harus seorang Muslim. Pendapat Jabbar ini didasarkan pada fakta sejarah perkembangan seni Islam awal abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, di mana banyak seniman non-Muslim di banyak negara diminta oleh kaum Muslim bekerja sebagai tenaga profesional dalam merancang atau mendirikan bangunan dan pabrik benda-benda seni. Beberapa contoh yang bisa kita ambil adalah bangunan Masjid an-Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah, Masjid Jami’ al-Umawi (Masjid Umayyah) di Damaskus, dan Qubbat al-Sakhra (Kubah Batu) di Yerusalem. Sedangkan di Indonesia, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana arsitektur Menara Kudus, Kudus, Jawa Tengah, dibentuk dengan percampuran simbol Islam dan Hindu (akulturatif). Pada bangunan peninggalan Sunan Kudus itu terdapat tempat bersuci berupa arca berkepala sapi (hewan keramat umat Hindu). Menaranya pun mirip candi, penanda adanya dialog-estetis seni religius. Dan masih banyak contoh lain yang serupa sepanjang sejarah di berbagai negara .
Sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Tohari (1998), seni digunakan oleh komunitas pesantren sebagai media pengajaran sejarah, hukum, etika, moral, kesederhanaan, dan kesalehan hidup. Seni sastra (pantun, syair, gurindam, dan prosa), misalnya, bukanlah barang baru dalam dunia pesantren. Saat ini pun kita dapat melihat bahwa banyak kiai pesantren yang dikenal sebagai seniman nasional Indonesia, seperti K.H. Mustofa Bisri, K.H. D. Zawawi Imron, KH. Maman Imanulhaq, dan Ahmad Tohari. Ada juga seniman nasional Indonesia lulusan pesantren, seperti Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Ahmad Subhanuddin Alwi, Jamal D. Rahman, Mathori A. Elwa, Nasruddin Anshori, Abidah El-Khalieqy, Binhad Nurrohmat, dan lain-lain yang dapat menjadi sumbu dialog peradaban di luar pesantren.
Oleh karenanya, apabila pesantren menyadari kekayaan khazanah historisnya, maka ia sangat potensial untuk menjadi lokomotif gerakan kesenian Islami, dengan artian bahwa kesenian yang dikembangkan oleh pesantren –yang didasari oleh nilai-nilai substansial Islam tentang kebaikan, perdamaian, humanisme, keadilan, kesejahteraan, dan semacamnya- harus diarahkan pada perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas dan universal. Dengan demikian, pesantren dapat diharapkan sebagai mercusuar peradaban kemanusiaan, baik di Indonesia maupun di dunia.
Pesantren dan tantangan kebudayaan
Sejarah awal mula lahirnya pesantren di Indonesia adalah seiring dengan proses dakwah Islam di bumi Nusantara ini. Kalau kita telusuri secara historis, kita akan mendapati kenyataan bahwa lembaga pendidikan pesantren –seperti diungkapkan oleh Denys Lombard- merupakan lembaga asli Nusantara, bukan lembaga impor. Pesantren hadir sebagai keberlanjutan (continuity) dan modifikasi dari suatu lembaga yang telah hadir sebelumnya. Lombard juga menemukan fakta bahwa di Jawa kuno, terutama masyarakat bagian timur pulau itu, terdapat jenis lembaga pertapaan para resi. Lembaga-lembaga ini dikenal dengan nama dharma, mandala, atau pertapaan, dan lembaga-lembaga tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan struktur pesantren .
Selain itu, kalau kita runut sejarah dakwah Islam di Nusantara, corak Islam yang hadir adalah genre Islam yang –menurut sebutan Gus Dur- berhaluan fiqh sufistik. Yang dimaksud fiqh sufistik di sini adalah bahwa corak tradisi dan genre keilmuan pesantren di Nusantara dalam sejarahnya dipengaruhi oleh setidaknya dua gelombang keilmuan yang datang ke Nusantara. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi, menghadirkan corak keilmuan Islam dalam bentuk tasawuf yang tentu saja tidak terlepas dari rambu-rambu syariah. Corak keilmuan Islam tersebut sama dengan corak yang dikembangkan di Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik. Oleh karena itu tidak heran bila pada saat itu tasawuf menjadi orientasi yang dominan dari ciri keilmuan pesantren. Kitab-kitab literatur yang menjadi materi pelajaran utama antara lain adalah Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali.
Sedangkan gelombang kedua terjadi sekitar abad ke-19 dan melahirkan corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Dengan dibukanya lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah, taraf kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Hal ini kemudian mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan, sehingga terjadi massifikasi pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekah yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama yang demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kiai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Tremas, Kiai Abdul Gani Bima, Kiai Arsyad Banjarmasin, Kiai Abdus Shamad Palembang, Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga saat ini. Mereka telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqih secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad Banjar, Nihayatuz Zain dan Uqudul Lujjain karya Syekh Nawawi Banten, dan semacamnya.
Dalam perjalanannya, corak dakwah Islam ala fiqh sufistik yang demikian membuat Islam sebagai sebuah agama dapat lebih diterima oleh kalangan masyarakat, karena metode dakwah yang digunakan bersifat akulturatif, toleran, dan bahkan eklektik. Hal ini membuat masyarakat lebih mudah menerima dakwah Islam tanpa ada resistensi yang begitu kuat, apalagi dengan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kesetaraan yang dibawanya.
Oleh karenanya, pesantren-pesantren saat ini, seharusnya tidak melupakan akar historis keberadaannya di bumi Indonesia ini, karena kealpaan akan sejarah eksistensinya akan mengakibatkan kemunduran bagi dirinya sendiri, atau bahkan keterlindasan oleh roda sejarah yang terus berputar. Kesadaran sejarah ini menjadi lebih penting lagi karena saat ini kita berada di zaman yang semakin mengglobal, dengan hadirnya modernitas beserta berbagai eksesnya dan hadirnya berbagai macam kebudayaan asing –entah atas nama kepentingan agama, ekonomi, ataupun politik- yang kalau tidak kita waspadai dapat mengancam identitas kultural dan bahkan identitas nasional masyarakat Indonesia. Inilah tantangan kebudayaan pesantren di Indonesia, dan juga tantangan kita sebagai bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam bis shawab.
(1) Tulisan ini dimuat dalam Majalah Sarung Edisi 2 (diterbitkan oleh CSS MoRA UGM).
(2) Mahasiswa PBSB Departemen Agama Fakultas Psikologi UGM (2007). Pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Kesantrian dan Keilmuan CSS MoRA UGM (2009-2010).
Pesantren, sebagai sebuah entitas, merupakan –sebagaimana dinyatakan oleh Gus Dur- subkultur tersendiri. Artinya, ketika kita memahami pesantren, kita tidak boleh menganggapnya hanya sekedar satu jenis lembaga pendidikan di antara berbagai jenis lembaga pendidikan yang ada. Kenapa? Karena kehidupan di dalam dunia pesantren telah melahirkan reproduksi subkultur tersendiri, yaitu subkultur santri. Subkultur ini dimungkinkan lahir karena adanya sistem pembelajaran yang mengikuti jadwal-jadwal waktu sholat, yang merupakan aplikasi langsung nilai-nilai keagamaan dalam sebuah miniatur sosial bernama pesantren . Begitu pula metode pembelajaran serta nilai-nilai pendidikan yang disosialisasikan dan dikembangkan di dalamnya, telah ikut membentuk apa yang dinamakan subkultur santri tersebut. Sebagai contoh adalah nilai-nilai keislaman moderat, toleran, dan humanis yang diajarkan dan dikembangkan di pesantren yang sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqh sufistik dalam Islam.
Pesantren dan seni
Pengertian tentang seni dalam khazanah pemikiran Islam hingga saat saat ini masih belum bulat. Ada yang mendefinisikan seni Islami sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan konsep tauhid (keesaan Tuhan). Ada juga yang mendefinisikannya sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan ketundukan atau pengabdian kepada Allah. Kedua definisi ini meletakkan seni sebagai karya yang bertendensi normatif. Namun pada kenyataannya, terdapat banyak sekali karya seni yang diciptakan oleh para seniman dalam kerangka kemanusiaan, tetapi tidak terang-terangan menyebutkan tendensi normatif, misalnya Islam, di dalamnya.
Muhammad Abdul Jabbar, sebagaimana dikutip oleh Mulyadi A. Jamalik, dalam buku Seni di Dalam Peradaban Islam (1981: 2-4) mengatakan bahwa kesenian bisa dikatakan sebagai seni Islami apabila hasil karya seni tersebut mengungkapkan pandangan hidup kaum Muslim atau sesuai dengan bayangan ideal seorang Muslim. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa seniman yang menciptakan karya seni Islami tidak harus seorang Muslim. Pendapat Jabbar ini didasarkan pada fakta sejarah perkembangan seni Islam awal abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, di mana banyak seniman non-Muslim di banyak negara diminta oleh kaum Muslim bekerja sebagai tenaga profesional dalam merancang atau mendirikan bangunan dan pabrik benda-benda seni. Beberapa contoh yang bisa kita ambil adalah bangunan Masjid an-Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah, Masjid Jami’ al-Umawi (Masjid Umayyah) di Damaskus, dan Qubbat al-Sakhra (Kubah Batu) di Yerusalem. Sedangkan di Indonesia, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana arsitektur Menara Kudus, Kudus, Jawa Tengah, dibentuk dengan percampuran simbol Islam dan Hindu (akulturatif). Pada bangunan peninggalan Sunan Kudus itu terdapat tempat bersuci berupa arca berkepala sapi (hewan keramat umat Hindu). Menaranya pun mirip candi, penanda adanya dialog-estetis seni religius. Dan masih banyak contoh lain yang serupa sepanjang sejarah di berbagai negara .
Sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Tohari (1998), seni digunakan oleh komunitas pesantren sebagai media pengajaran sejarah, hukum, etika, moral, kesederhanaan, dan kesalehan hidup. Seni sastra (pantun, syair, gurindam, dan prosa), misalnya, bukanlah barang baru dalam dunia pesantren. Saat ini pun kita dapat melihat bahwa banyak kiai pesantren yang dikenal sebagai seniman nasional Indonesia, seperti K.H. Mustofa Bisri, K.H. D. Zawawi Imron, KH. Maman Imanulhaq, dan Ahmad Tohari. Ada juga seniman nasional Indonesia lulusan pesantren, seperti Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Ahmad Subhanuddin Alwi, Jamal D. Rahman, Mathori A. Elwa, Nasruddin Anshori, Abidah El-Khalieqy, Binhad Nurrohmat, dan lain-lain yang dapat menjadi sumbu dialog peradaban di luar pesantren.
Oleh karenanya, apabila pesantren menyadari kekayaan khazanah historisnya, maka ia sangat potensial untuk menjadi lokomotif gerakan kesenian Islami, dengan artian bahwa kesenian yang dikembangkan oleh pesantren –yang didasari oleh nilai-nilai substansial Islam tentang kebaikan, perdamaian, humanisme, keadilan, kesejahteraan, dan semacamnya- harus diarahkan pada perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas dan universal. Dengan demikian, pesantren dapat diharapkan sebagai mercusuar peradaban kemanusiaan, baik di Indonesia maupun di dunia.
Pesantren dan tantangan kebudayaan
Sejarah awal mula lahirnya pesantren di Indonesia adalah seiring dengan proses dakwah Islam di bumi Nusantara ini. Kalau kita telusuri secara historis, kita akan mendapati kenyataan bahwa lembaga pendidikan pesantren –seperti diungkapkan oleh Denys Lombard- merupakan lembaga asli Nusantara, bukan lembaga impor. Pesantren hadir sebagai keberlanjutan (continuity) dan modifikasi dari suatu lembaga yang telah hadir sebelumnya. Lombard juga menemukan fakta bahwa di Jawa kuno, terutama masyarakat bagian timur pulau itu, terdapat jenis lembaga pertapaan para resi. Lembaga-lembaga ini dikenal dengan nama dharma, mandala, atau pertapaan, dan lembaga-lembaga tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan struktur pesantren .
Selain itu, kalau kita runut sejarah dakwah Islam di Nusantara, corak Islam yang hadir adalah genre Islam yang –menurut sebutan Gus Dur- berhaluan fiqh sufistik. Yang dimaksud fiqh sufistik di sini adalah bahwa corak tradisi dan genre keilmuan pesantren di Nusantara dalam sejarahnya dipengaruhi oleh setidaknya dua gelombang keilmuan yang datang ke Nusantara. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi, menghadirkan corak keilmuan Islam dalam bentuk tasawuf yang tentu saja tidak terlepas dari rambu-rambu syariah. Corak keilmuan Islam tersebut sama dengan corak yang dikembangkan di Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik. Oleh karena itu tidak heran bila pada saat itu tasawuf menjadi orientasi yang dominan dari ciri keilmuan pesantren. Kitab-kitab literatur yang menjadi materi pelajaran utama antara lain adalah Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali.
Sedangkan gelombang kedua terjadi sekitar abad ke-19 dan melahirkan corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Dengan dibukanya lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah, taraf kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Hal ini kemudian mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan, sehingga terjadi massifikasi pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekah yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama yang demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kiai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Tremas, Kiai Abdul Gani Bima, Kiai Arsyad Banjarmasin, Kiai Abdus Shamad Palembang, Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga saat ini. Mereka telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqih secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad Banjar, Nihayatuz Zain dan Uqudul Lujjain karya Syekh Nawawi Banten, dan semacamnya.
Dalam perjalanannya, corak dakwah Islam ala fiqh sufistik yang demikian membuat Islam sebagai sebuah agama dapat lebih diterima oleh kalangan masyarakat, karena metode dakwah yang digunakan bersifat akulturatif, toleran, dan bahkan eklektik. Hal ini membuat masyarakat lebih mudah menerima dakwah Islam tanpa ada resistensi yang begitu kuat, apalagi dengan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kesetaraan yang dibawanya.
Oleh karenanya, pesantren-pesantren saat ini, seharusnya tidak melupakan akar historis keberadaannya di bumi Indonesia ini, karena kealpaan akan sejarah eksistensinya akan mengakibatkan kemunduran bagi dirinya sendiri, atau bahkan keterlindasan oleh roda sejarah yang terus berputar. Kesadaran sejarah ini menjadi lebih penting lagi karena saat ini kita berada di zaman yang semakin mengglobal, dengan hadirnya modernitas beserta berbagai eksesnya dan hadirnya berbagai macam kebudayaan asing –entah atas nama kepentingan agama, ekonomi, ataupun politik- yang kalau tidak kita waspadai dapat mengancam identitas kultural dan bahkan identitas nasional masyarakat Indonesia. Inilah tantangan kebudayaan pesantren di Indonesia, dan juga tantangan kita sebagai bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam bis shawab.
(1) Tulisan ini dimuat dalam Majalah Sarung Edisi 2 (diterbitkan oleh CSS MoRA UGM).
(2) Mahasiswa PBSB Departemen Agama Fakultas Psikologi UGM (2007). Pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Kesantrian dan Keilmuan CSS MoRA UGM (2009-2010).
Subscribe to:
Posts (Atom)