05 February 2011

Pesantren, Seni, dan Tantangan Kebudayaan di Indonesia (1)

Oleh: Mochammad Said(2)


Pesantren, sebagai sebuah entitas, merupakan –sebagaimana dinyatakan oleh Gus Dur- subkultur tersendiri. Artinya, ketika kita memahami pesantren, kita tidak boleh menganggapnya hanya sekedar satu jenis lembaga pendidikan di antara berbagai jenis lembaga pendidikan yang ada. Kenapa? Karena kehidupan di dalam dunia pesantren telah melahirkan reproduksi subkultur tersendiri, yaitu subkultur santri. Subkultur ini dimungkinkan lahir karena adanya sistem pembelajaran yang mengikuti jadwal-jadwal waktu sholat, yang merupakan aplikasi langsung nilai-nilai keagamaan dalam sebuah miniatur sosial bernama pesantren . Begitu pula metode pembelajaran serta nilai-nilai pendidikan yang disosialisasikan dan dikembangkan di dalamnya, telah ikut membentuk apa yang dinamakan subkultur santri tersebut. Sebagai contoh adalah nilai-nilai keislaman moderat, toleran, dan humanis yang diajarkan dan dikembangkan di pesantren yang sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqh sufistik dalam Islam.


Pesantren dan seni

Pengertian tentang seni dalam khazanah pemikiran Islam hingga saat saat ini masih belum bulat. Ada yang mendefinisikan seni Islami sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan konsep tauhid (keesaan Tuhan). Ada juga yang mendefinisikannya sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan ketundukan atau pengabdian kepada Allah. Kedua definisi ini meletakkan seni sebagai karya yang bertendensi normatif. Namun pada kenyataannya, terdapat banyak sekali karya seni yang diciptakan oleh para seniman dalam kerangka kemanusiaan, tetapi tidak terang-terangan menyebutkan tendensi normatif, misalnya Islam, di dalamnya.

Muhammad Abdul Jabbar, sebagaimana dikutip oleh Mulyadi A. Jamalik, dalam buku Seni di Dalam Peradaban Islam (1981: 2-4) mengatakan bahwa kesenian bisa dikatakan sebagai seni Islami apabila hasil karya seni tersebut mengungkapkan pandangan hidup kaum Muslim atau sesuai dengan bayangan ideal seorang Muslim. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa seniman yang menciptakan karya seni Islami tidak harus seorang Muslim. Pendapat Jabbar ini didasarkan pada fakta sejarah perkembangan seni Islam awal abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, di mana banyak seniman non-Muslim di banyak negara diminta oleh kaum Muslim bekerja sebagai tenaga profesional dalam merancang atau mendirikan bangunan dan pabrik benda-benda seni. Beberapa contoh yang bisa kita ambil adalah bangunan Masjid an-Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah, Masjid Jami’ al-Umawi (Masjid Umayyah) di Damaskus, dan Qubbat al-Sakhra (Kubah Batu) di Yerusalem. Sedangkan di Indonesia, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana arsitektur Menara Kudus, Kudus, Jawa Tengah, dibentuk dengan percampuran simbol Islam dan Hindu (akulturatif). Pada bangunan peninggalan Sunan Kudus itu terdapat tempat bersuci berupa arca berkepala sapi (hewan keramat umat Hindu). Menaranya pun mirip candi, penanda adanya dialog-estetis seni religius. Dan masih banyak contoh lain yang serupa sepanjang sejarah di berbagai negara .

Sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Tohari (1998), seni digunakan oleh komunitas pesantren sebagai media pengajaran sejarah, hukum, etika, moral, kesederhanaan, dan kesalehan hidup. Seni sastra (pantun, syair, gurindam, dan prosa), misalnya, bukanlah barang baru dalam dunia pesantren. Saat ini pun kita dapat melihat bahwa banyak kiai pesantren yang dikenal sebagai seniman nasional Indonesia, seperti K.H. Mustofa Bisri, K.H. D. Zawawi Imron, KH. Maman Imanulhaq, dan Ahmad Tohari. Ada juga seniman nasional Indonesia lulusan pesantren, seperti Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Ahmad Subhanuddin Alwi, Jamal D. Rahman, Mathori A. Elwa, Nasruddin Anshori, Abidah El-Khalieqy, Binhad Nurrohmat, dan lain-lain yang dapat menjadi sumbu dialog peradaban di luar pesantren.

Oleh karenanya, apabila pesantren menyadari kekayaan khazanah historisnya, maka ia sangat potensial untuk menjadi lokomotif gerakan kesenian Islami, dengan artian bahwa kesenian yang dikembangkan oleh pesantren –yang didasari oleh nilai-nilai substansial Islam tentang kebaikan, perdamaian, humanisme, keadilan, kesejahteraan, dan semacamnya- harus diarahkan pada perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas dan universal. Dengan demikian, pesantren dapat diharapkan sebagai mercusuar peradaban kemanusiaan, baik di Indonesia maupun di dunia.

Pesantren dan tantangan kebudayaan


Sejarah awal mula lahirnya pesantren di Indonesia adalah seiring dengan proses dakwah Islam di bumi Nusantara ini. Kalau kita telusuri secara historis, kita akan mendapati kenyataan bahwa lembaga pendidikan pesantren –seperti diungkapkan oleh Denys Lombard- merupakan lembaga asli Nusantara, bukan lembaga impor. Pesantren hadir sebagai keberlanjutan (continuity) dan modifikasi dari suatu lembaga yang telah hadir sebelumnya. Lombard juga menemukan fakta bahwa di Jawa kuno, terutama masyarakat bagian timur pulau itu, terdapat jenis lembaga pertapaan para resi. Lembaga-lembaga ini dikenal dengan nama dharma, mandala, atau pertapaan, dan lembaga-lembaga tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan struktur pesantren .

Selain itu, kalau kita runut sejarah dakwah Islam di Nusantara, corak Islam yang hadir adalah genre Islam yang –menurut sebutan Gus Dur- berhaluan fiqh sufistik. Yang dimaksud fiqh sufistik di sini adalah bahwa corak tradisi dan genre keilmuan pesantren di Nusantara dalam sejarahnya dipengaruhi oleh setidaknya dua gelombang keilmuan yang datang ke Nusantara. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi, menghadirkan corak keilmuan Islam dalam bentuk tasawuf yang tentu saja tidak terlepas dari rambu-rambu syariah. Corak keilmuan Islam tersebut sama dengan corak yang dikembangkan di Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik. Oleh karena itu tidak heran bila pada saat itu tasawuf menjadi orientasi yang dominan dari ciri keilmuan pesantren. Kitab-kitab literatur yang menjadi materi pelajaran utama antara lain adalah Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali.

Sedangkan gelombang kedua terjadi sekitar abad ke-19 dan melahirkan corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Dengan dibukanya lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah, taraf kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Hal ini kemudian mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan, sehingga terjadi massifikasi pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekah yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama yang demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kiai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Tremas, Kiai Abdul Gani Bima, Kiai Arsyad Banjarmasin, Kiai Abdus Shamad Palembang, Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga saat ini. Mereka telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqih secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad Banjar, Nihayatuz Zain dan Uqudul Lujjain karya Syekh Nawawi Banten, dan semacamnya.

Dalam perjalanannya, corak dakwah Islam ala fiqh sufistik yang demikian membuat Islam sebagai sebuah agama dapat lebih diterima oleh kalangan masyarakat, karena metode dakwah yang digunakan bersifat akulturatif, toleran, dan bahkan eklektik. Hal ini membuat masyarakat lebih mudah menerima dakwah Islam tanpa ada resistensi yang begitu kuat, apalagi dengan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kesetaraan yang dibawanya.

Oleh karenanya, pesantren-pesantren saat ini, seharusnya tidak melupakan akar historis keberadaannya di bumi Indonesia ini, karena kealpaan akan sejarah eksistensinya akan mengakibatkan kemunduran bagi dirinya sendiri, atau bahkan keterlindasan oleh roda sejarah yang terus berputar. Kesadaran sejarah ini menjadi lebih penting lagi karena saat ini kita berada di zaman yang semakin mengglobal, dengan hadirnya modernitas beserta berbagai eksesnya dan hadirnya berbagai macam kebudayaan asing –entah atas nama kepentingan agama, ekonomi, ataupun politik- yang kalau tidak kita waspadai dapat mengancam identitas kultural dan bahkan identitas nasional masyarakat Indonesia. Inilah tantangan kebudayaan pesantren di Indonesia, dan juga tantangan kita sebagai bangsa Indonesia.

Wallahu a’lam bis shawab.

(1) Tulisan ini dimuat dalam Majalah Sarung Edisi 2 (diterbitkan oleh CSS MoRA UGM).
(2) Mahasiswa PBSB Departemen Agama Fakultas Psikologi UGM (2007). Pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Kesantrian dan Keilmuan CSS MoRA UGM (2009-2010).

No comments: