Negara kita tak pernah berhenti didera masalah. Berbagai permasalahan terus menghampiri, mulai dari bencana alam, bencana industrial, pengangguran, rendahnya upah buruh, ‘penguasaan’ sumberdaya alam oleh investor asing, berbagai tindak korupsi, carut-marut dunia pendidikan, persoalan perbatasan dengan negara ‘sebelah’, hingga hukuman pancung TKI di Arab Saudi. Belum lagi permasalahan-permasalahan lain yang terjadi silih berganti –bahkan menumpuk- di berbagai daerah.
Rakyat pun semakin jenuh, frustrasi, dan bahkan depresi, karena hampir selalu dihadapkan dengan ketidakbecusan penanganan negara terhadap masalah-masalah yang ada. Bila hal ini terus berlanjut, maka tidak mustahil bahwa akan timbul ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan penegak hukum.
Dalam perspektif psikologi sosial, hilangnya kepercayaan terhadap individu atau lembaga disebabkan oleh dua hal pokok (Bies & Tripp, 1996). Pertama, adanya ketidaksesuaian kinerja individu atau lembaga dengan nilai-nilai sosial. Mereka dianggap melanggar civic order, seperti ingkar janji, berbohong, memanipulasi aturan, dan menyalahgunakan wewenang.
Kedua, tindakan yang merusak identitas sosial, seperti berbuat tidak adil secara terbuka (diskriminatif, tebang pilih) dan mengkritik kelompoknya sendiri di depan umum. Ketidakpercayaan publik ini –jika dibiarkan tanpa ada upaya nyata untuk membangun kembali kepercayaan- akan muncul dalam bentuk tindakan tidak melakukan apapun (apatis), konfrontasi (protes), atau mengalihkan pada permasalahan lain (escape).
Berbagai macam gerakan protes yang dilakukan rakyat, baik melalui aksi jalanan, mogok makan, berbagai upaya judicial review, hingga gerakan “koin peduli”, merupakan manifestasi nyata dari ketidakpercayaan publik. Begitu pula tingginya rating sinetron-sinetron ‘picisan’ dan program-program reality show dalam tayangan televisi kita, menurut penulis, merupakan sebentuk pelarian (escape) masyarakat dari kejenuhan menghadapi realitas yang menyesakkan.
Membangun (Kembali) Kepercayaan
Membangun sebuah kepercayaan (trust) bukanlah hal yang mudah. Ketika berbagai pelanggaran terhadap civic order -sebagaimana disebutkan di atas- telah melekat dalam kognisi rakyat, maka kepercayaan yang telah terbentuk sebelumnya akan menurun drastis, bahkan mengarah pada ketidakpercayaan publik. Mungkin rakyat masih patuh kepada pemerintah sebagai penguasa yang sah (institutional-based trust), namun dalam perjalanannya mereka sebenarnya menentang dan tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan dan cara-cara yang digunakan pemerintah dalam memimpin negara. Padahal membangun kepercayaan demikian merupakan kemutlakan dan harus melalui proses yang lama (process-based trust), jika pemerintah tidak ingin kehilangan legitimasi.
Ada empat dimensi kepercayaan, yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedulian, dan reliabilitas (Mishra, 1996). Keempat dimensi tersebut merupakan satu kesatuan. Tinggi atau rendahnya kepercayaan rakyat tergantung pada kompetensi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan, keterbukaan dalam menyampaikan informasi publik, kepedulian nyata (dalam bentuk kebijakan) terhadap problem-problem kebangsaan, serta konsistensi dalam menjalankan pemerintahan yang baik.
Mencermati realitas saat ini, harapan akan terpenuhinya keempat dimensi kepercayaan di atas tampak tidak realistis. Kompetensi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan sangat meragukan, terbukti dengan berbagai problem yang belum terselesaikan hingga kini, bahkan melahirkan problem-problem baru, seperti kasus terbunuhnya Munir dan korban tragedi 1998, kasus Bank Century, biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal, dan angka pengangguran yang semakin meningkat. Keterbukaan pemerintah dalam menyampaikan informasi publik tercoreng oleh pernyataan Seskab yang mengarah pada ‘kriminalisasi’ media. Kepedulian terhadap problem-problem kebangsaan pun sangat kecil, dan semakin menunjukkan inkonsistensi pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang baik.
Oleh karenanya, apabila pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, maka menjadi sebuah keharusan untuk melakukan langkah-langkah riil dalam menyelesaikan berbagai problem kebangsaan, dan rakyat akan melihat dengan sendirinya kompetensi, kepedulian, dan konsistensi pemerintah. Pemerintah pun harus bersikap terbuka, baik dalam hal penyampaian informasi kepada publik maupun penerimaan kritik dari rakyat, karena menutup-nutupi persoalan dan bersikap arogan (anti-kritik) hanya akan memperbesar kecurigaan rakyat terhadap ketidakberesan dalam pemerintahan.
Bukankah demikian demokrasi yang selama ini kita cita-citakan?
No comments:
Post a Comment