Oleh: Mochammad Said(2)
“Semakin mengglobal dunia,
Semakin penting hal-hal yang berbasis lokal”.
John Neisbitt, Global Paradox
Nahdlatul Ulama’ merupakan organisasi sosial keagamaan dengan kuantitas jama’ah terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, di mana mayoritas di antaranya hidup dan tinggal di perdesaan. Kultur keberagamaan yang dibangun memiliki kekhasan yang sangat berbeda dengan arus besar aliran Islam yang berkembang di dunia asal Islam lahir, yaitu di Arab. Hal itu sangat mudah dipahami karena kultur keberagamaan tersebut lebih berakar pada tradisi Nusantara daripada Arabisme.
Sebagai sebuah organisasi keagamaan, NU memiliki akar intelektual yang khas pula apabila dibandingkan dengan misalnya Muhammadiyah, Persis, atau LDII. Tradisi intelektual NU sangatlah panjang, di mana sanad-nya merentang dari para ulama’ Nusantara, Walisongo, hingga para imam madzhab. Tidak seperti organisasi keagamaan lainnya, NU dapat dikatakan sebagai satu-satunya gerakan keagamaan yang memiliki akar intelektual dan kultural yang kuat dari para pendahulu Nusantara.
Tegangan Modernitas: Menjawab Tantangan Zaman
Banyak pihak luar –baik ilmuwan, agamawan, bahkan juga pemegang kebijakan- melihat NU dengan kultur agraris basis umatnya dan pemahaman serta kultur keberagamaannya yang didasarkan pada kitab-kitab klasik –yang sering disebut kitab kuning- sebagai kelompok yang tradisional, bahkan istilah ini dikonotasikan secara peyoratif sebagai kekolotan dan kebekuan. Istilah ini dilawankan dengan kosakata modern(itas) yang dianggap sebagai indikator kemajuan dan kesesuaian dengan era kekinian, yang didapuk berdasarkan contoh kemajuan peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat. Dikotomi kategoris yang demikian tak pelak memunculkan konfrontasi yang bahkan tidak jarang berujung pada konflik horisontal –bahkan vertikal- tidak hanya dalam lingkup kehidupan beragama, tetapi juga dalam lapangan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Dalam sejarah kebangsaan Indonesia, kita bisa melihat bagaimana pertentangan antara kelompok ‘tradisionalis’ tersebut berhadapan dengan kelompok ‘modernis’. Dan bagaimana pula kebijakan pemerintah, khususnya di era Orde Baru, terhadap kelompok ‘tradisionalis’ ini. Padahal, kalau kita bersikap secara lebih kritis, kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan, “atas dasar apakah kategorisasi tradisional-modern itu bisa dianggap absah?” Atau sebuah sanggahan, “apakah ukuran modern, kemajuan, dan kekinian harus didasarkan pada sikap ‘membeo’ kepada apa yang dicapai dan terjadi di Barat tanpa preserve?”
Dalam mengambil dan menyikapi setiap persoalan, ulama’ NU memang senantiasa menggunakan rujukan kitab-kitab kuning, yang secara tidak langsung merupakan bagian dari persambungan (sanad) intelektual dari para ulama’ terdahulu. Apakah ini buruk? Tidak, karena seperti halnya para ilmuwan di Barat yang mendasarkan kebangkitan peradabannya dari tradisi Yunani, maka demikian pulalah yang dilakukan oleh para ulama’ NU. Tradisi (turats), yang diartikan oleh Hassan Hanafi sebagai warisan pemikiran Islam klasik, merupakan basis intelektual yang kaya dan justru harus ditransformasikan sebagai bahan racikan menuju pembaharuan (tajdid) gagasan yang lebih relevan dengan kekinian, yang menurut Hassan Hanafi adalah ke arah revolusi (tsaurah). Jadi, untuk mencapai kemajuan bukanlah dengan mengingkari dan menafikan begitu saja tradisi, tetapi justru dengan mengolahnya secara kreatif dengan konteks kekinian.
Kalau kita membaca sejarah pemikiran keagamaan di dalam tubuh NU, kita akan menemukan bagaimana dinamisnya dialektika pemikiran tersebut. Bahkan, dalam fase-fase krusial sejarah kebangsaan kita, sikap dan keputusan NU selalu menjadi pijakan sejarah yang penting. Peristiwa 10 Nopember adalah penerimaan asas Tunggal adalah contohnya. Dan sekali lagi, harus dikatakan bahwa sikap dan keputusan tersebut adalah hasil dari pergulatan intelektual berbasis kitab kuning.
Otokritik dan Upaya Ke Arah Progresivitas
Seiring dengan perkembangan zaman, pola pemikiran yang berbasis kitab kuning itu pun mengalami gugatan dari dalam, yang digaungkan oleh mereka yang disebut kaum muda NU. Ya, kaum muda NU, adalah anak-anak muda NU yang sebelumnya menempuh pendidikan dan menempa ilmu di basis pesantren-pesantren NU –dengan tradisi kitab kuningnya yang khas tentunya- dan kemudian menempuh pendidikan dan menempa ilmu di kampus-kampus, mulai dari IAIN (kini sebagian menjadi UIN) hingga kampus-kampus yang notabene ‘sekuler’ seperti UGM, UI, ITB, dsb. Gejala ini mulai muncul setidaknya sejak era 1970-an, dan semakin ke sini gelora ‘pemberontakan’ itu semakin kentara. Mereka yang sebelumnya mendapatkan asupan ilmu pengetahuan dari kitab-kitab kuning, ketika memasuki kampus, bersentuhan secara intens dengan wacana-wacana dan pengetahuan warisan peradaban Yunani (Barat) serta pemikiran para intelektual Timur Tengah (Arab).
Dialektika di antara 3 kutub keilmuan inilah yang membentuk karakter berpikir mereka, yang sangat berbeda dengan para sesepuh mereka terdahulu. Mereka mengalami lompatan pemikiran yang luar biasa, dari “tradisionalisme” menuju “post-tradisionalisme”. Terma kedua (post-tradisionalisme) ini digunakan untuk menunjukkan bahwa perubahan paradigma berpikir mereka tidaklah dari tradisional, kemudian memutuskan hubungan darinya untuk kemudian menanjak ke pemikiran ‘modern’, tetapi justru tradisi itu menjadi basis intelektual yang disikapi secara kritis untuk menyikapi persoalan zaman kekinian, sehingga lebih tepat disebut dengan istilah “post-tradisionalisme”. Dan ini adalah gejala khas dalam tubuh NU.
Dengan kekayaan basis intelektual tersebut, mereka –kaum muda NU- menghunjamkan kritik ke dalam tubuh NU dalam 3 persoalan utama yang menjadi concern mereka. Pertama, masalah kemandegan berfikir (jumud). Kaum muda NU berpendapat bahwa wacana-wacana yang dikembangkan oleh NU selama ini masih terpaku pada persoalan-persoalan yang sifatnya formalistik-ritualistik. Padahal, menurut mereka, NU –sebagai sebuah entitas- memiliki kontribusi yang sangat besar dalam fase-fase pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan, dan memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi yang lebih besar bagi umat Islam dan rakyat Indonesia. Mereka menggugat –meminjam istilah Ignas Kleden- relevansi sosial dari pemikiran keagamaan yang ada dalam tubuh NU. Mereka menuntut adanya sebuah pembaruan (tajdid) dalam paradigma berpikir NU, sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran dan praksis yang lebih luas dalam persoalan ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, hukum, pertanian, lingkungan, teknologi, dan sebagainya.
Kedua, keterlibatan NU dalam dunia politik praktis. Keterlibatan NU dalam percaturan politik praktis sejak 1952 membuat agenda-agenda keumatan seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi menjadi terbengkalai. Hal inilah yang menjadi keprihatinan kaum muda NU, sehingga mereka menyerukan agar NU kembali kepada khittah gerakannya, yaitu sebagai organisasi sosial-keagamaan sebagaimana dicantumkan dalam Khittah NU 1926. Sebenarnya gagasan untuk kembali ke Khittah ini pertama kali dikemukakan oleh K.H. Achyat Chalimy, Sekretaris Tanfidziyah PCNU Mojokerto, Jawa Timur, pada Muktamar NU ke-22 tahun 1965, namun kegelisahannya ternyata belum begitu dirasakan oleh elit-elit NU lainnya, sehingga tidak mendapat tanggapan serius dari muktamirin lainnya. Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah terjadi pergulatan dan perdebatan yang semakin intens dalam tubuh NU, gagasan tersebut diamini pada Muktamar NU tahun 1984, yang memilih Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Tanfidziyyah PBNU. Kembalinya NU ke Khittah 1926 dan terpilihnya Gus Dur dapat dikatakan sebagai simbol kemenangan dan keberhasilan kaum muda NU –yang sebagian besarnya adalah alumni PMII- untuk mendorong peran-peran transformasi sosial dan keumatan NU, sekaligus menjauhkannya dari pragmatisme politik praktis.
Ketiga, permasalahan pengelolaan keorganisasian. Pola pengelolaan basis masyarakat NU selama ini lebih bersifat patron-client, di mana elit ulama’ menjadi pemimpin kharismatik dan masyarakat yang menjadi client yang bergantung pada kharisma ulama’ mengakibatkan lemahnya dan kurangnya peran-peran NU dalam memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat. Kaum muda NU menuntut adanya pola manajerial dan kepemimpinan yang lebih sistematis agar dapat lebih akomodatif, proaktif, dan responsif dalam upaya-upaya mentransformasikan kehidupan masyarakat NU menuju kesejahteraan yang lebih baik.
Dari gerakan pembaruan pemikiran dan otokritik tersebut, lahirlah berbagai gagasan-gagasan baru, seperti Islam Progresif, Islam Liberal, Islam Emansipatoris, Islam Transformatif, dan berbagai turunannya. Dan pada akhirnya, gagasan-gagasan ini melahirkan praksis baru yang semakin membahana dengan keterlibatan anak-anak muda NU dalam gerakan mahasiswa seperti PMII –gerbong utama kaderisasi anak muda NU, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organiasasi Nonpemerintah (Ornop), serta berbagai gerakan rakyat lainnya di masa Orde Baru, dan berlanjut hingga kini.
Nasib “Post-Tradisionalisme” Islam: Kaum Muda NU dan Tantangan Ke Depan
Gerakan pembaruan pemikiran “post-tradisionalisme” yang digalakkan oleh kaum muda NU merupakan kontinuitas dari tradisi pemikiran keagamaan yang dianut oleh NU. Kiprah mereka dalam berbagai praksisnya menjadi penanda dari prediksi Cak Nur –panggilan akrab cendekiawan Nurcholish Madjid- pada tahun 1990-an bahwa abad 21 adalah abad kejayaan NU dengan “panen intelektual”-nya, di mana Gus Dur tampil sebagai pelopor dan inspirasi utama.
Dan kini, di mana abad 21 telah dimulai, bibit-bibit yang dulu ditanamkan telah mulai dapat dipanen. Hal itu dapat dilihat dari semakin membuncahnya keterlibatan kader-kader muda NU dalam berbagai bidang, baik secara gagasan maupun praksis. Mereka tidak lagi hanya bisa berkomentar dalam isu-isu keagamaan, tetapi juga isu-isu lingkungan, pendidikan, ekonomi, politik, hukum, kebudayaan, pertanian, teknologi, dan sebagainya. Perangkat analisis (tool of analysis) yang digunakan pun tidak lagi hanya didasarkan pada kitab-kitab klasik (baca: kitab kuning), tetapi juga teori-teori dan pemikiran kontemporer yang mereka ramu dengan kekayaan khasanah Islam klasik yang mereka miliki. Dari sekian karya pemikiran mereka, kita dapat melihat di antaranya pemikiran Teologi Buruh, Fiqih Minoritas, Fiqih Feminisme, Fiqih Rakyat, Fiqih Lingkungan, Fiqih Korupsi, dan sebagainya.
Ke depan, dengan adanya kesadaran yang mendalam atas kekayaan khasanah tradisi keislaman yang mereka miliki, dan dengan pengalaman serta wawasan yang mereka serap dari pemikiran-pemikiran luar (Barat, Timur Tengah, maupun yang lainnya), mereka (diharapkan dan dituntut) mampu menghasilkan gagasan-gagasan brilian yang khas dan memiliki relevansi teoritis serta relevansi sosial yang luas. Dan lebih jauh dari itu, kiprah serta keterlibatan mereka dalam praksis kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan akan semakin dinanti, dan tentunya akan semakin mewarnai lapangan ke-Indonesia-an dan (diharapkan) dapat memberikan sumbangsih yang nyata bagi transformasi sosial rakyat Indonesia. Masih begitu banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kondisi kehidupan bangsa dan negara ini, terutama yang berkaitan dengan kemiskinan, dan kaum muda NU ditantang untuk turut andil di dalamnya.
Daftar Bacaan:
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: LP3ES.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Misrawi, Zuhairi (ed.). 2004. Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU. Jakarta: Kompas.
Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam, Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (terj.). Yogyakarta: LKiS.
Wahid, Abdurrahman. 1999. “Agamawan dan Pembangunan Desa”, dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS.
________________________________
(1) Artikel ini merupakan tulisan pengantar diskusi “Post-Tradisionalisme Islam” dalam rangka diskusi pra-PKD PMII Komisariat Gadjah Mada yang disampaikan pada Jumat, 27 April 2012, di Balairung UGM.
(2) Penulis merupakan Kepala Departemen Advokasi LM Psikologi UGM (2009), Kepala Departemen Media PMII Rayon Sosio Humaniora (2008-2009), Ketua PK PMII Gadjah Mada (2009-2010), dan Ketua Umum PC PMII Sleman (2011-2012). Saat ini sedang ‘berjuang’ merampungkan tugas akademik S1 di Fakultas Psikologi UGM.
28 April 2012
06 April 2012
NU, Ulama, dan Kemaslahatan Umat*
NU merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yang sebagian besar anggotanya adalah masyarakat pedesaan dan kalangan bawah. Hal ini tentunya menjadi modal penting bagi NU untuk mengambil peranan dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Apalagi di zaman reformasi ini, di mana bangsa Indonesia masih saja dilanda krisis multidimensi —mulai dari ekonomi, politik, hingga keagamaan sebagaimana terjadi di Poso akhir-akhir ini— tentunya peran serta NU sangat dibutuhkan.
Peranan NU tersebut tentunya tak lepas dari sosok ulama. Kenapa? Karena NU secara bahasa berarti kebangkitan ulama di mana mereka adalah sebagai pewaris risalah para Nabi.
Dan sebagaimana kita ketahui, bahwa ketika diutus oleh Allah SWT, Nabi Muhammad melakukan dua perjuangan penting dan bersejarah. Pertama, adalah perjuangan teologis (ketuhanan) dengan ajaran Tauhid. Kedua, adalah perjuangan sosial yang meliputi tiga hal, yaitu pembebasan kaum budak, pembebasan kaum miskin, serta pembebas dan pengangkat derajat kaum perempuan. Jadi, perjuangan Nabi tersebut tidaklah sebatas pada ajakan untuk mengesakan Allah, tetapi juga meliputi usaha untuk pemihakan dan pembelaan terhadap masyarakat yang miskin, tertindas, dan kaum perempuan.
Dan sebagai pewaris Nabi, salah satu identitas ulama menurut Imam Al-Ghazali adalah “peka terhadap permasalahan makhluk.” Artinya, ulama harus memiliki tingkat kepedulian yang tinggi, memahami permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi umat dalam berbagai aspeknya, dan dituntut untuk mampu berperan dalam mencari solusi terbaiknya. Mereka tidak boleh hanya mementingkan masalah fiqhiyyah yang bersifat personal-ritual. Tetapi, lebih dari itu, mereka harus bangkit dan beranjak menuju pemecahan masalah-masalah yang lebih luas seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Dan yang berbahaya adalah apabila mereka hanya bertujuan untuk mencapai kepentingan politik dan kekuasaan. Sedangkan umat hanya dijadikan mereka sebagai alat untuk mewujudkan cita-citanya, dan setelah itu mereka melupakan kemaslahatan umat. Ulama seperti inilah yang digolongkan oleh Imam Al-Ghazali sebagai ulama tercela.
Oleh sebab itu, tulisan ini diakhiri dengan sebuah harapan besar bahwa ulama NU dapat senantiasa menjaga citra mereka sebagai pembimbing dan penjaga moral umat, demi tercapainya kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, sebagaimana telah diamanatkan oleh Khittah 1926.
*Tulisan ini merupakan artikel lama yang pernah dimuat di rubrik Opinium buletin Ad-Da’wah (yang diterbitkan oleh Ponpes Al-Amin, Mojokerto) edisi 42/21 Muharram 1428 H/9 Februari 2007 M. Waktu itu, penulis merupakan santri Ponpes Al-Amin Mojokerto dan sedang menempuh kelas XII MA Pesantren Al-Amin. Dimuat ulangnya tulisan ini adalah sebagai upaya dokumentasi sejarah.
Peranan NU tersebut tentunya tak lepas dari sosok ulama. Kenapa? Karena NU secara bahasa berarti kebangkitan ulama di mana mereka adalah sebagai pewaris risalah para Nabi.
Dan sebagaimana kita ketahui, bahwa ketika diutus oleh Allah SWT, Nabi Muhammad melakukan dua perjuangan penting dan bersejarah. Pertama, adalah perjuangan teologis (ketuhanan) dengan ajaran Tauhid. Kedua, adalah perjuangan sosial yang meliputi tiga hal, yaitu pembebasan kaum budak, pembebasan kaum miskin, serta pembebas dan pengangkat derajat kaum perempuan. Jadi, perjuangan Nabi tersebut tidaklah sebatas pada ajakan untuk mengesakan Allah, tetapi juga meliputi usaha untuk pemihakan dan pembelaan terhadap masyarakat yang miskin, tertindas, dan kaum perempuan.
Dan sebagai pewaris Nabi, salah satu identitas ulama menurut Imam Al-Ghazali adalah “peka terhadap permasalahan makhluk.” Artinya, ulama harus memiliki tingkat kepedulian yang tinggi, memahami permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi umat dalam berbagai aspeknya, dan dituntut untuk mampu berperan dalam mencari solusi terbaiknya. Mereka tidak boleh hanya mementingkan masalah fiqhiyyah yang bersifat personal-ritual. Tetapi, lebih dari itu, mereka harus bangkit dan beranjak menuju pemecahan masalah-masalah yang lebih luas seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Dan yang berbahaya adalah apabila mereka hanya bertujuan untuk mencapai kepentingan politik dan kekuasaan. Sedangkan umat hanya dijadikan mereka sebagai alat untuk mewujudkan cita-citanya, dan setelah itu mereka melupakan kemaslahatan umat. Ulama seperti inilah yang digolongkan oleh Imam Al-Ghazali sebagai ulama tercela.
Oleh sebab itu, tulisan ini diakhiri dengan sebuah harapan besar bahwa ulama NU dapat senantiasa menjaga citra mereka sebagai pembimbing dan penjaga moral umat, demi tercapainya kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, sebagaimana telah diamanatkan oleh Khittah 1926.
*Tulisan ini merupakan artikel lama yang pernah dimuat di rubrik Opinium buletin Ad-Da’wah (yang diterbitkan oleh Ponpes Al-Amin, Mojokerto) edisi 42/21 Muharram 1428 H/9 Februari 2007 M. Waktu itu, penulis merupakan santri Ponpes Al-Amin Mojokerto dan sedang menempuh kelas XII MA Pesantren Al-Amin. Dimuat ulangnya tulisan ini adalah sebagai upaya dokumentasi sejarah.
Subscribe to:
Posts (Atom)