06 April 2012

NU, Ulama, dan Kemaslahatan Umat*

NU merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia yang sebagian besar anggotanya adalah masyarakat pedesaan dan kalangan bawah. Hal ini tentunya menjadi modal penting bagi NU untuk mengambil peranan dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Apalagi di zaman reformasi ini, di mana bangsa Indonesia masih saja dilanda krisis multidimensi —mulai dari ekonomi, politik, hingga keagamaan sebagaimana terjadi di Poso akhir-akhir ini— tentunya peran serta NU sangat dibutuhkan.

Peranan NU tersebut tentunya tak lepas dari sosok ulama. Kenapa? Karena NU secara bahasa berarti kebangkitan ulama di mana mereka adalah sebagai pewaris risalah para Nabi.
Dan sebagaimana kita ketahui, bahwa ketika diutus oleh Allah SWT, Nabi Muhammad melakukan dua perjuangan penting dan bersejarah. Pertama, adalah perjuangan teologis (ketuhanan) dengan ajaran Tauhid. Kedua, adalah perjuangan sosial yang meliputi tiga hal, yaitu pembebasan kaum budak, pembebasan kaum miskin, serta pembebas dan pengangkat derajat kaum perempuan. Jadi, perjuangan Nabi tersebut tidaklah sebatas pada ajakan untuk mengesakan Allah, tetapi juga meliputi usaha untuk pemihakan dan pembelaan terhadap masyarakat yang miskin, tertindas, dan kaum perempuan.

Dan sebagai pewaris Nabi, salah satu identitas ulama menurut Imam Al-Ghazali adalah “peka terhadap permasalahan makhluk.” Artinya, ulama harus memiliki tingkat kepedulian yang tinggi, memahami permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi umat dalam berbagai aspeknya, dan dituntut untuk mampu berperan dalam mencari solusi terbaiknya. Mereka tidak boleh hanya mementingkan masalah fiqhiyyah yang bersifat personal-ritual. Tetapi, lebih dari itu, mereka harus bangkit dan beranjak menuju pemecahan masalah-masalah yang lebih luas seperti kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Dan yang berbahaya adalah apabila mereka hanya bertujuan untuk mencapai kepentingan politik dan kekuasaan. Sedangkan umat hanya dijadikan mereka sebagai alat untuk mewujudkan cita-citanya, dan setelah itu mereka melupakan kemaslahatan umat. Ulama seperti inilah yang digolongkan oleh Imam Al-Ghazali sebagai ulama tercela.

Oleh sebab itu, tulisan ini diakhiri dengan sebuah harapan besar bahwa ulama NU dapat senantiasa menjaga citra mereka sebagai pembimbing dan penjaga moral umat, demi tercapainya kemaslahatan umat di dunia dan akhirat, sebagaimana telah diamanatkan oleh Khittah 1926.


*Tulisan ini merupakan artikel lama yang pernah dimuat di rubrik Opinium buletin Ad-Da’wah (yang diterbitkan oleh Ponpes Al-Amin, Mojokerto) edisi 42/21 Muharram 1428 H/9 Februari 2007 M. Waktu itu, penulis merupakan santri Ponpes Al-Amin Mojokerto dan sedang menempuh kelas XII MA Pesantren Al-Amin. Dimuat ulangnya tulisan ini adalah sebagai upaya dokumentasi sejarah.

No comments: