10 June 2013
Banalitas Indonesia (*)
Judul : Republik Rimba
Penulis : Ryan Sugiarto
Penerbit: Komunitas Kembang Merak
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal : xiv + 145 Halaman
Sebuah realita “rimbawi” dari Indonesia.
Kehidupan berbangsa yang buas, ganas, dan tak berperikemanusiaan
Rimba adalah sebuah dunia yang buas dan menakutkan. Di alam rimba, seluruh hewan bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, bahkan saling memakan. Barang siapa yang lebih kuat, dialah yang menang, sebagaimana hukum Darwinisme Sosial, survival of the fittest. Tak ada yang disebut dengan keadilan moral –apalagi keberpihakan- untuk si miskin atau si kecil, karena hukum yang berlaku adalah persaingan bebas. Barang siapa tidak mampu bersaing, dia harus siap tersingkir dan terpinggirkan.
Realitas kehidupan alam rimba itulah yang didedah dalam fabel Republik Rimba karya Ryan Sugiarto. Republik Rimba yang diceritakan dalam fabel ini adalah sebentuk metafor satiris dari tafsir pengarangnya atas kondisi republik ini. Sebagaimana tampak dari penggalan cerita berikut (hal. 4): “Inilah Republik Rimba. Rimba nan kaya. Gemah ripah loh jinawi. Semua bisa tenteram hidup di tanah ini. Tanahnya cipratan lokananta. Kaya akan bahan alam. Rimba para bidadari. Rimba yang konon dijanjikan oleh Sang Gusti. Inilah rimba paling seksi. Cantik di antara rimba lain di muka bumi. Kesuburan tanahnya tak diragukan. Tongkat kayu dilempar pun jadi tanaman. Persediaan air melimpah.”
Negeri kita tercinta, Indonesia, adalah tanah air yang kaya akan sumber daya alam nan subur. Kita tentu sangat bangga dan takjub dengan kekayaan alam kita. Namun, pada kenyataannya, hingga saat ini tanah tumpah darah yang kaya akan potensi sumber daya alam ini masih memprihatinkan. Kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, penjarahan sumber daya alam, dan sebagainya senantiasa menghiasi wajahnya. Perilaku para penguasanya sangat bobrok. Hampir tak ada lagi penghargaan terhadap kejujuran, kesederhanaan, ketulusan, dan keteladanan kepimpinan yang baik.
Pada bagian Cicak vs Buaya dalam karya ini, kita akan teringat pada upaya kriminalisasi terhadap KPK yang sangat heboh sekitar setahun lalu. Ya, cicak adalah KPK dan buaya adalah para koruptor. Cicak menggambarkan sosok yang besar, agresif, dan berkuasa. Cerita Cicak vs Buaya itu adalah salah satu gambaran betapa banalnya realitas kemanusiaan kita. Fabel ini menjadi gambaran satiris atas banalitas realitas sosial-politik bangsa Indonesia.
“Alam Rimba” dan Modus Eksistensi
Erich Fromm, psikolog sosial, mengatakan bahwa dalam gemerlap modernitas banyak orang yang terjebak pada orientasi hidup yang serba artifisial, jangka pendek, dan bahkan hanya didorong oleh nafsu untuk menguasai. Orientasi hidup itu, dalam istilah Fromm, disebut modus eksistensi “memiliki” (to have). Mereka selalu terdorong untuk memiliki dan menguasai benda-benda, orang lain, dan bahkan takhta atau jabatan, seolah hanya dirinya yang berhak memiliki semua itu. Secara tidak langsung, tanpa disadari, mereka diperbudak oleh kekuasaan dan kepemilikan mereka itu. Modus inilah yang menjangkiti sebagian besar elite politik bangsa Indonesia, yang dalam fabel ini digambarkan sebagai singa, banteng, beruang, dan kancil. Mereka sibuk berebut kekuasaan, menjarah kekayaan Republik Rimba lewat berbagai perilaku korup, dan mengabaikan hajat hidup rakyatnya.
Padahal, di sisi lain, manusia memiliki potensi untuk mengembangkan orientasi hidup yang lebih manusiawi dan bermakna, yaitu modus eksistensi “menjadi” (to be). Dalam orientasi “menjadi” ini, seseorang tidak akan terjebak pada “penghambaan” (fetishism) terhadap harta benda ataupun kekuasaan. Baginya, hidup adalah penghayatan atas hakikat kemanusiaan yang tidak ditentukan wujud fisik berupa harta benda atau kekuasaan berupa jabatan tertentu, tetapi oleh kesadaran mendalam akan kekinian sebagai proses, bukan hasil. Bukankah orientasi hidup demikian yang kita harapkan juga dimiliki kalangan elite politik dan penguasa negeri ini?
Yang lebih bermakna baginya adalah kebersamaan, solidaritas, kejujuran, dan ketulusan, bukan materi, gelar, jabatan, atau kekuasaan. Burung prenjak, burung manyar, dan kelinci –yang dalam fabel ini digambarkan sebagai rakyat kecil- adalah hewan-hewan yang jujur, sederhana, bahkan bisa dibilang polos, sehingga bisa ditipu oleh elite-elite yang tidak bertanggung jawab dengan janji-janji kosong. Namun, kenestapaan rakyat kecil di Republik Rimba seolah merupakan kemestian dan mereka –bagi penguasa- hanyalah angka-angka dalam statistik laporan kemajuan pembangunan, selain sebagai alat legitimasi kekuasaan saat pemilihan penguasa Republik Rimba.
(*) Artikel resensi ini pernah dimuat di Harian Jawa Pos edisi Minggu, 3 Juli 2011.
23 March 2013
Menerawang Masa Depan Indonesia 2030
Judul : Menerawang Indonesia Pada Dasawarsa Ketiga Abad Ke-21
Penulis : Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tebal : xiii + 274 halaman
Terbit : Maret 2012
Saat ini, bangsa dan negara kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan kebangsaan, mulai dari korupsi, akses pendidikan, ketimpangan ekonomi, pragmatisme politik, dan sebagainya. Semua orang tentu mendambakan bahwa Indonesia akan mampu menjadi negara yang maju, adil, dan sejahtera. Apalagi, sejak tahun 2010 hingga 2040 nanti, di mana puncaknya dicapai pada dasawarsa ketiga abad ke-21, yakni pada tahun 2030, kita mendapatkan anugerah “demography bonus”, yaitu sebuah masa di mana mayoritas penduduk Indonesia berada dalam usia produktif.
Momentum tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah sebagai katalisator untuk menentukan kebijakan pembangunan yang visioner. Namun, seringkali yang terjadi adalah bahwa kebijakan pemerintah-demi-pemerintah hanya bersifat ‘tambal-sulam’, tumpang tindih, dan bahkan bertentangan satu sama lain, sehingga tingkat kontinuitas kebijakan ke arah kemajuan yang diharapkan tidak terjadi.
Problematika itulah yang didedahkan oleh penulisnya, yang merupakan seorang guru besar (emeritus) Universitas Indonesia (UI) di bidang ekonomi, dalam buku ini. Dengan rentang wawasannya yang luas dan pengalamannya yang begitu panjang dalam bidang manajemen dan ekonomi-politik, ia memaparkan tentang pentingnya pemahaman terhadap persoalan mendasar yang telah, sedang, dan akan dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia, agar dapat dirumuskan dan dilaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia dan mampu membuat Indonesia menjadi negara yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Oleh karena itu, dalam buku ini ia membentangkan 3 bahasan utama, yaitu peta global, peta Indonesia, dan “lakon” masa depan Indonesia.
Membaca peta global
Apabila kita mempelajari perjalanan sejarah umat manusia dari masa ke masa, maka akan tampak bagaimana keberadaan sebuah negara-bangsa (nation-state) ditentukan oleh kemampuannya dalam menghadapi berbagai tantangan global. Tantangan dan cobaan itu bisa datang dari arah transformasi ekonomi yang berkaitan erat dengan perkembangan iptek, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT), yang makin cepat.
Ada juga yang datang dari perubahan-perubahan global yang diakibatkan perang-perang besar ataupun gejolak-gejolak internal. Ada yang datang dari transformasi kebudayaan ataupun pergesekan-pergesekan bahkan perang antar agama-agama besar. Dan ada pula yang datang dari transformasi demografi di tingkat nasional, regional, maupun global (hal. 15).
Selain tantangan dan cobaan di atas, ada 3 unsur utama yang menentukan nasib dan eksistensi sebuah negara-bangsa, yaitu geografi, demografi, dan sejarah. Geografi berkaitan dengan kondisi dan letak geografis sebuah negara, seperti luas darat dan laut, batas-batas negara, potensi sumberdaya alam yang dimiliki, dan sejenisnya. Demografi berkaitan dengan unsur-unsur demografi seperti jumlah penduduk, struktur umur, tingkat kelahiran dan kematian, jumlah angkatan kerja, dan faktor-faktor sejenis lainnya. Sedangkan sejarah berkaitan dengan unsur-unsur historis dari sebuah negara, seperti sejarah peradaban dan kebudayaannya, pluralitas masyarakatnya, dan fakta-fakta sejarah lainnya.
Pemahaman dan kesadaran terhadap adanya berbagai tantangan global serta ketiga unsur penentu nasib negara-bangsa -yaitu geografi, demografi, dan sejarah- di ataslah yang akan menentukan formulasi kebijakan sebuah negara-bangsa. Apabila ia mampu memahami dan menyadarinya serta menjadikannya sebagai basis formulasi kebijakan strategisnya, maka ia akan mampu menapaki jalan sejarah menuju kemajuan dan kemakmuran. Namun apabila yang terjadi adalah sebaliknya, maka negara-bangsa tersebut akan menjadi negara yang menuju gagal (failing state), dan apabila tidak mampu segera bangkit, ia akan semakin terperosok menjadi negara gagal (failed state).
Memposisikan Indonesia
Perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia sejak kedatangan kolonialis Barat dan Belanda hingga awal kemerdekaan, menurut pengamatan Clifford Geertz, menunjukkan bahwa sejarah perekonomian kita adalah sekumpulan “kesempatan yang hilang”. Bagaimana tidak, akibat dari pemaksaan tata cara perdagangan yang bersifat pemerasan (predatory) dan kebijakan ekonomi yang eksploitatif oleh pihak penjajah Barat, kegiatan perekonomian dari masyarakat Indonesia telah menghasilkan surplus yang besar dan berkelanjutan, namun tidak untuk memakmurkan rakyat Indonesia sendiri, melainkan kaum penjajah asing. Yang menjadi kaya dari berdagang, menanamkan modal, dan berekspansi bisnis adalah pihak Barat.
Barulah ketika kemerdekaan diraih, kesempatan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia menuju kedaulatan ekonomi dan politik didapatkan. Namun, dalam perjalanannya, cita-cita besar tersebut terenggut oleh berbagai macam konflik internal bangsa Indonesia akibat dari pertarungan berbagai kepentingan. Upaya untuk menemukan sistem politik dan ekonomi yang sesuai dengan identitas serta cita-cita kebangsaan tidak berjalan dengan mulus. Bahkan hingga kini, pertarungan kepentingan dan perebutan pengaruh dalam formulasi kebijakan ekonomi dan politik tersebut masih terus terjadi. Yang muncul adalah sistem politik otoriter dan oligarkis, sistem birokrasi yang “top-down” dan monolog, serta sistem ekonomi rente (rent-economy) yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Oleh karena itu, menurut penulis buku ini, gerakan dan kekuatan pendorong demokratisasi dan desentralisasi –yang sebagian besar dimotori oleh masyarakat sipil harus terus menunjukkan dan memperbesar peran serta partisipasinya dalam proses politik dan ekonomi, hingga tercapai iklim demokrasi yang dicita-citakan dan keadilan sosial yang sesungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila konsolidasi ke dalam sebagaimana hal di atas telah terwujud, maka peran Indonesia dalam kancah regional dan global akan semakin didengar dan berpengaruh. Tentunya peran regional dan global tersebut harus didasarkan pada kepentingan nasional serta demi terwujudnya perdamaian abadi di muka bumi, sebagaimana amanat UUD RI 1945.
Mochammad Said,
Alumnus Fakultas Psikologi UGM,
Alumnus Ponpes Al-Amin, Mojokerto
Penulis : Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tebal : xiii + 274 halaman
Terbit : Maret 2012
Saat ini, bangsa dan negara kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan kebangsaan, mulai dari korupsi, akses pendidikan, ketimpangan ekonomi, pragmatisme politik, dan sebagainya. Semua orang tentu mendambakan bahwa Indonesia akan mampu menjadi negara yang maju, adil, dan sejahtera. Apalagi, sejak tahun 2010 hingga 2040 nanti, di mana puncaknya dicapai pada dasawarsa ketiga abad ke-21, yakni pada tahun 2030, kita mendapatkan anugerah “demography bonus”, yaitu sebuah masa di mana mayoritas penduduk Indonesia berada dalam usia produktif.
Momentum tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah sebagai katalisator untuk menentukan kebijakan pembangunan yang visioner. Namun, seringkali yang terjadi adalah bahwa kebijakan pemerintah-demi-pemerintah hanya bersifat ‘tambal-sulam’, tumpang tindih, dan bahkan bertentangan satu sama lain, sehingga tingkat kontinuitas kebijakan ke arah kemajuan yang diharapkan tidak terjadi.
Problematika itulah yang didedahkan oleh penulisnya, yang merupakan seorang guru besar (emeritus) Universitas Indonesia (UI) di bidang ekonomi, dalam buku ini. Dengan rentang wawasannya yang luas dan pengalamannya yang begitu panjang dalam bidang manajemen dan ekonomi-politik, ia memaparkan tentang pentingnya pemahaman terhadap persoalan mendasar yang telah, sedang, dan akan dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia, agar dapat dirumuskan dan dilaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia dan mampu membuat Indonesia menjadi negara yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Oleh karena itu, dalam buku ini ia membentangkan 3 bahasan utama, yaitu peta global, peta Indonesia, dan “lakon” masa depan Indonesia.
Membaca peta global
Apabila kita mempelajari perjalanan sejarah umat manusia dari masa ke masa, maka akan tampak bagaimana keberadaan sebuah negara-bangsa (nation-state) ditentukan oleh kemampuannya dalam menghadapi berbagai tantangan global. Tantangan dan cobaan itu bisa datang dari arah transformasi ekonomi yang berkaitan erat dengan perkembangan iptek, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT), yang makin cepat.
Ada juga yang datang dari perubahan-perubahan global yang diakibatkan perang-perang besar ataupun gejolak-gejolak internal. Ada yang datang dari transformasi kebudayaan ataupun pergesekan-pergesekan bahkan perang antar agama-agama besar. Dan ada pula yang datang dari transformasi demografi di tingkat nasional, regional, maupun global (hal. 15).
Selain tantangan dan cobaan di atas, ada 3 unsur utama yang menentukan nasib dan eksistensi sebuah negara-bangsa, yaitu geografi, demografi, dan sejarah. Geografi berkaitan dengan kondisi dan letak geografis sebuah negara, seperti luas darat dan laut, batas-batas negara, potensi sumberdaya alam yang dimiliki, dan sejenisnya. Demografi berkaitan dengan unsur-unsur demografi seperti jumlah penduduk, struktur umur, tingkat kelahiran dan kematian, jumlah angkatan kerja, dan faktor-faktor sejenis lainnya. Sedangkan sejarah berkaitan dengan unsur-unsur historis dari sebuah negara, seperti sejarah peradaban dan kebudayaannya, pluralitas masyarakatnya, dan fakta-fakta sejarah lainnya.
Pemahaman dan kesadaran terhadap adanya berbagai tantangan global serta ketiga unsur penentu nasib negara-bangsa -yaitu geografi, demografi, dan sejarah- di ataslah yang akan menentukan formulasi kebijakan sebuah negara-bangsa. Apabila ia mampu memahami dan menyadarinya serta menjadikannya sebagai basis formulasi kebijakan strategisnya, maka ia akan mampu menapaki jalan sejarah menuju kemajuan dan kemakmuran. Namun apabila yang terjadi adalah sebaliknya, maka negara-bangsa tersebut akan menjadi negara yang menuju gagal (failing state), dan apabila tidak mampu segera bangkit, ia akan semakin terperosok menjadi negara gagal (failed state).
Memposisikan Indonesia
Perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia sejak kedatangan kolonialis Barat dan Belanda hingga awal kemerdekaan, menurut pengamatan Clifford Geertz, menunjukkan bahwa sejarah perekonomian kita adalah sekumpulan “kesempatan yang hilang”. Bagaimana tidak, akibat dari pemaksaan tata cara perdagangan yang bersifat pemerasan (predatory) dan kebijakan ekonomi yang eksploitatif oleh pihak penjajah Barat, kegiatan perekonomian dari masyarakat Indonesia telah menghasilkan surplus yang besar dan berkelanjutan, namun tidak untuk memakmurkan rakyat Indonesia sendiri, melainkan kaum penjajah asing. Yang menjadi kaya dari berdagang, menanamkan modal, dan berekspansi bisnis adalah pihak Barat.
Barulah ketika kemerdekaan diraih, kesempatan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia menuju kedaulatan ekonomi dan politik didapatkan. Namun, dalam perjalanannya, cita-cita besar tersebut terenggut oleh berbagai macam konflik internal bangsa Indonesia akibat dari pertarungan berbagai kepentingan. Upaya untuk menemukan sistem politik dan ekonomi yang sesuai dengan identitas serta cita-cita kebangsaan tidak berjalan dengan mulus. Bahkan hingga kini, pertarungan kepentingan dan perebutan pengaruh dalam formulasi kebijakan ekonomi dan politik tersebut masih terus terjadi. Yang muncul adalah sistem politik otoriter dan oligarkis, sistem birokrasi yang “top-down” dan monolog, serta sistem ekonomi rente (rent-economy) yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Oleh karena itu, menurut penulis buku ini, gerakan dan kekuatan pendorong demokratisasi dan desentralisasi –yang sebagian besar dimotori oleh masyarakat sipil harus terus menunjukkan dan memperbesar peran serta partisipasinya dalam proses politik dan ekonomi, hingga tercapai iklim demokrasi yang dicita-citakan dan keadilan sosial yang sesungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila konsolidasi ke dalam sebagaimana hal di atas telah terwujud, maka peran Indonesia dalam kancah regional dan global akan semakin didengar dan berpengaruh. Tentunya peran regional dan global tersebut harus didasarkan pada kepentingan nasional serta demi terwujudnya perdamaian abadi di muka bumi, sebagaimana amanat UUD RI 1945.
Mochammad Said,
Alumnus Fakultas Psikologi UGM,
Alumnus Ponpes Al-Amin, Mojokerto
22 March 2013
Ki Ageng Suryomentaram dan Psikologi Kawruh Jiwa
Judul : Ilmu Bahagia Menurut Ki Ageng Suryomentaram
Penulis : Afthonul Afif
Penerbit: Penerbit KEPIK & Pustaka Ifada
Tebal : viii + 157 Halaman
Terbit : Oktober 2012
Bagi generasi yang hidup saat ini, nama Ki Ageng Suryomentaram dan ajaran Kawruh Jiwa-nya mungkin hanya sayup-sayup terdengar, kalau tidak asing sama sekali. Hal ini terjadi bukan karena pemikirannya yang tidak relevan dengan konteks kekinian, namun lebih disebabkan oleh kekaguman yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran dari Barat dan minimnya apresiasi serta kajian yang serius terhadap khasanah pemikiran Nusantara yang dikembangkan oleh para pemikir Indonesia seperti dirinya. Kalaupun sebagian masyarakat mengetahuinya, mereka telah salah menilai pemikirannya sebagai bagian dari aliran kebatinan atau mistisisme Jawa (kejawen). Dan dalam konteks demikianlah karya Afthonul Afif ini menjadi sangat relevan.
Ki Ageng Suryomentaram adalah salah satu putra dari Sultan Hamengku Buwono VII. Ia diangkat sebagai pangeran pada usia 18 tahun, namun ia malah meminta ayahnya untuk membatalkan pengangkatan tersebut. Ia lebih memilih untuk meninggalkan istana dan hidup sebagai petani. Dalam kehidupan barunya yang jauh dari hiruk-pikuk kekuasaan itu, ia pun mulai mengembangkan pemikirannya mengenai persoalan kejiwaan dan kebahagiaan. Pemikiran yang kemudian melahirkan ajaran Kawruh Jiwa tersebut berawal dari keinginannya mencari makna dan hakikat hidup dengan meneliti perjalanan serta pengalaman hidupnya sendiri.
Ajaran Kawruh Jiwa bukanlah aliran kebatinan atau mistisisme Jawa, apalagi sebuah agama, sebagaimana banyak disalahpahami masyarakat. Kawruh Jiwa adalah ilmu mengenai jiwa dengan segala wataknya (meruhi jiwa sawateg-wategipun). Ilmu yang dimaksud di sini bukanlah ilmu dalam artian mistik, melainkan ilmu yang diperoleh dengan menggunakan logika dan penalaran ilmiah (rasional). Oleh karena itulah Ki Ageng lebih memilih menggunakan istilah kawruh yang berarti pengetahuan dalam pengertian yang rasional. Sebagai sebuah metode, Kawruh Jiwa mirip dengan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, yang juga meneliti tentang struktur kejiwaan manusia.
Dalam setiap tulisannya, Ki Ageng selalu mengajak kita untuk berpikir rasional, memeriksa ulang keyakinan-keyakinan yang kita miliki secara cermat dan teliti, membuka selubung-selubung yang menutupinya, hingga kita mendapatkan saripati pengetahuan yang terang dan jernih. Pengetahuan yang jernih inilah yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan. Namun rasionalitas pemikiran Ki Ageng tersebut berbeda dengan rasionalitas Barat yang secara umum bercorak egosentris. Rasionalitas yang dimaksud Ki Ageng adalah rasionalitas yang reflektif, di mana ia meliputi dimensi rasa, potensi reflektif dan intuitif dari rasio manusia, serta rasionalitas yang akomodatif, yang menempatkan rasa orang lain sebagai bagian tak terpisahkan dalam upaya mencapai kebenaran dan kebahagiaan.
Inti ajaran Kawruh Jiwa adalah metode untuk memahami diri sendiri (meruhi awakipun piyambak) secara tepat, benar, dan jujur. Ketika seseorang telah mampu memahami dirinya secara tepat, benar, dan jujur, maka dengan sendirinya ia juga akan mampu memahami atau mengerti orang lain dan lingkungannya dengan tepat, benar, dan jujur, sehingga ia dapat hidup damai dan bahagia. Keadaan tersebut disebut Ki Ageng dengan kehidupan bahagia sejati, yaitu kebahagiaan yang tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan (mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan).
Ajaran Kawruh Jiwa yang dikembangkan oleh Ki Ageng merupakan pemikiran yang orisinal dan bahkan revolusioner dalam ukuran masanya. Bagaimana tidak, ketika masyarakat Jawa masih diliputi oleh corak pemikiran irasional dan nuansa mistik, Ki Ageng mampu membangun pemikirannya dari bawah, dari pengalamannya sendiri, yang kemudian dibungkus dengan corak penalaran serta metode yang juga ia kembangkan sendiri, serupa dengan cara para pemikir besar dunia dalam merumuskan gagasan-gagasan mereka.
Oleh karenanya tidak berlebihan apabila Marcel Bonneff, seorang peneliti dari Barat, menyebut Ki Ageng sebagai filsuf, bukan tokoh spiritual atau tokoh kebatinan. Sebutan filsuf tersebut tidaklah berlebihan sama sekali, karena pemikiran Ki Ageng memang bukan bagian atau varian dari tradisi kebatinan yang berkembang di Jawa, melainkan lebih sesuai disebut sebagai ilmu filsafat atau ilmu jiwa, di mana pemikirannya didasarkan pada basis material, formal, dan metodologi yang jelas dan kuat. Lalu, masihkah kita silau oleh pemikiran Barat?
Mochammad Said
Alumnus Fakultas Psikologi UGM
Penulis : Afthonul Afif
Penerbit: Penerbit KEPIK & Pustaka Ifada
Tebal : viii + 157 Halaman
Terbit : Oktober 2012
Bagi generasi yang hidup saat ini, nama Ki Ageng Suryomentaram dan ajaran Kawruh Jiwa-nya mungkin hanya sayup-sayup terdengar, kalau tidak asing sama sekali. Hal ini terjadi bukan karena pemikirannya yang tidak relevan dengan konteks kekinian, namun lebih disebabkan oleh kekaguman yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran dari Barat dan minimnya apresiasi serta kajian yang serius terhadap khasanah pemikiran Nusantara yang dikembangkan oleh para pemikir Indonesia seperti dirinya. Kalaupun sebagian masyarakat mengetahuinya, mereka telah salah menilai pemikirannya sebagai bagian dari aliran kebatinan atau mistisisme Jawa (kejawen). Dan dalam konteks demikianlah karya Afthonul Afif ini menjadi sangat relevan.
Ki Ageng Suryomentaram adalah salah satu putra dari Sultan Hamengku Buwono VII. Ia diangkat sebagai pangeran pada usia 18 tahun, namun ia malah meminta ayahnya untuk membatalkan pengangkatan tersebut. Ia lebih memilih untuk meninggalkan istana dan hidup sebagai petani. Dalam kehidupan barunya yang jauh dari hiruk-pikuk kekuasaan itu, ia pun mulai mengembangkan pemikirannya mengenai persoalan kejiwaan dan kebahagiaan. Pemikiran yang kemudian melahirkan ajaran Kawruh Jiwa tersebut berawal dari keinginannya mencari makna dan hakikat hidup dengan meneliti perjalanan serta pengalaman hidupnya sendiri.
Ajaran Kawruh Jiwa bukanlah aliran kebatinan atau mistisisme Jawa, apalagi sebuah agama, sebagaimana banyak disalahpahami masyarakat. Kawruh Jiwa adalah ilmu mengenai jiwa dengan segala wataknya (meruhi jiwa sawateg-wategipun). Ilmu yang dimaksud di sini bukanlah ilmu dalam artian mistik, melainkan ilmu yang diperoleh dengan menggunakan logika dan penalaran ilmiah (rasional). Oleh karena itulah Ki Ageng lebih memilih menggunakan istilah kawruh yang berarti pengetahuan dalam pengertian yang rasional. Sebagai sebuah metode, Kawruh Jiwa mirip dengan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, yang juga meneliti tentang struktur kejiwaan manusia.
Dalam setiap tulisannya, Ki Ageng selalu mengajak kita untuk berpikir rasional, memeriksa ulang keyakinan-keyakinan yang kita miliki secara cermat dan teliti, membuka selubung-selubung yang menutupinya, hingga kita mendapatkan saripati pengetahuan yang terang dan jernih. Pengetahuan yang jernih inilah yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan. Namun rasionalitas pemikiran Ki Ageng tersebut berbeda dengan rasionalitas Barat yang secara umum bercorak egosentris. Rasionalitas yang dimaksud Ki Ageng adalah rasionalitas yang reflektif, di mana ia meliputi dimensi rasa, potensi reflektif dan intuitif dari rasio manusia, serta rasionalitas yang akomodatif, yang menempatkan rasa orang lain sebagai bagian tak terpisahkan dalam upaya mencapai kebenaran dan kebahagiaan.
Inti ajaran Kawruh Jiwa adalah metode untuk memahami diri sendiri (meruhi awakipun piyambak) secara tepat, benar, dan jujur. Ketika seseorang telah mampu memahami dirinya secara tepat, benar, dan jujur, maka dengan sendirinya ia juga akan mampu memahami atau mengerti orang lain dan lingkungannya dengan tepat, benar, dan jujur, sehingga ia dapat hidup damai dan bahagia. Keadaan tersebut disebut Ki Ageng dengan kehidupan bahagia sejati, yaitu kebahagiaan yang tidak bergantung pada tempat, waktu, dan keadaan (mboten gumantung papan, wekdal, lan kawontenan).
Ajaran Kawruh Jiwa yang dikembangkan oleh Ki Ageng merupakan pemikiran yang orisinal dan bahkan revolusioner dalam ukuran masanya. Bagaimana tidak, ketika masyarakat Jawa masih diliputi oleh corak pemikiran irasional dan nuansa mistik, Ki Ageng mampu membangun pemikirannya dari bawah, dari pengalamannya sendiri, yang kemudian dibungkus dengan corak penalaran serta metode yang juga ia kembangkan sendiri, serupa dengan cara para pemikir besar dunia dalam merumuskan gagasan-gagasan mereka.
Oleh karenanya tidak berlebihan apabila Marcel Bonneff, seorang peneliti dari Barat, menyebut Ki Ageng sebagai filsuf, bukan tokoh spiritual atau tokoh kebatinan. Sebutan filsuf tersebut tidaklah berlebihan sama sekali, karena pemikiran Ki Ageng memang bukan bagian atau varian dari tradisi kebatinan yang berkembang di Jawa, melainkan lebih sesuai disebut sebagai ilmu filsafat atau ilmu jiwa, di mana pemikirannya didasarkan pada basis material, formal, dan metodologi yang jelas dan kuat. Lalu, masihkah kita silau oleh pemikiran Barat?
Mochammad Said
Alumnus Fakultas Psikologi UGM
Subscribe to:
Posts (Atom)