23 March 2013

Menerawang Masa Depan Indonesia 2030

Judul : Menerawang Indonesia Pada Dasawarsa Ketiga Abad Ke-21
Penulis : Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
Penerbit : Pustaka Alvabet
Tebal : xiii + 274 halaman
Terbit : Maret 2012

Saat ini, bangsa dan negara kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan kebangsaan, mulai dari korupsi, akses pendidikan, ketimpangan ekonomi, pragmatisme politik, dan sebagainya. Semua orang tentu mendambakan bahwa Indonesia akan mampu menjadi negara yang maju, adil, dan sejahtera. Apalagi, sejak tahun 2010 hingga 2040 nanti, di mana puncaknya dicapai pada dasawarsa ketiga abad ke-21, yakni pada tahun 2030, kita mendapatkan anugerah “demography bonus”, yaitu sebuah masa di mana mayoritas penduduk Indonesia berada dalam usia produktif.

Momentum tersebut seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah sebagai katalisator untuk menentukan kebijakan pembangunan yang visioner. Namun, seringkali yang terjadi adalah bahwa kebijakan pemerintah-demi-pemerintah hanya bersifat ‘tambal-sulam’, tumpang tindih, dan bahkan bertentangan satu sama lain, sehingga tingkat kontinuitas kebijakan ke arah kemajuan yang diharapkan tidak terjadi.

Problematika itulah yang didedahkan oleh penulisnya, yang merupakan seorang guru besar (emeritus) Universitas Indonesia (UI) di bidang ekonomi, dalam buku ini. Dengan rentang wawasannya yang luas dan pengalamannya yang begitu panjang dalam bidang manajemen dan ekonomi-politik, ia memaparkan tentang pentingnya pemahaman terhadap persoalan mendasar yang telah, sedang, dan akan dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia, agar dapat dirumuskan dan dilaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia dan mampu membuat Indonesia menjadi negara yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Oleh karena itu, dalam buku ini ia membentangkan 3 bahasan utama, yaitu peta global, peta Indonesia, dan “lakon” masa depan Indonesia.

Membaca peta global


Apabila kita mempelajari perjalanan sejarah umat manusia dari masa ke masa, maka akan tampak bagaimana keberadaan sebuah negara-bangsa (nation-state) ditentukan oleh kemampuannya dalam menghadapi berbagai tantangan global. Tantangan dan cobaan itu bisa datang dari arah transformasi ekonomi yang berkaitan erat dengan perkembangan iptek, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (ICT), yang makin cepat.

Ada juga yang datang dari perubahan-perubahan global yang diakibatkan perang-perang besar ataupun gejolak-gejolak internal. Ada yang datang dari transformasi kebudayaan ataupun pergesekan-pergesekan bahkan perang antar agama-agama besar. Dan ada pula yang datang dari transformasi demografi di tingkat nasional, regional, maupun global (hal. 15).

Selain tantangan dan cobaan di atas, ada 3 unsur utama yang menentukan nasib dan eksistensi sebuah negara-bangsa, yaitu geografi, demografi, dan sejarah. Geografi berkaitan dengan kondisi dan letak geografis sebuah negara, seperti luas darat dan laut, batas-batas negara, potensi sumberdaya alam yang dimiliki, dan sejenisnya. Demografi berkaitan dengan unsur-unsur demografi seperti jumlah penduduk, struktur umur, tingkat kelahiran dan kematian, jumlah angkatan kerja, dan faktor-faktor sejenis lainnya. Sedangkan sejarah berkaitan dengan unsur-unsur historis dari sebuah negara, seperti sejarah peradaban dan kebudayaannya, pluralitas masyarakatnya, dan fakta-fakta sejarah lainnya.

Pemahaman dan kesadaran terhadap adanya berbagai tantangan global serta ketiga unsur penentu nasib negara-bangsa -yaitu geografi, demografi, dan sejarah- di ataslah yang akan menentukan formulasi kebijakan sebuah negara-bangsa. Apabila ia mampu memahami dan menyadarinya serta menjadikannya sebagai basis formulasi kebijakan strategisnya, maka ia akan mampu menapaki jalan sejarah menuju kemajuan dan kemakmuran. Namun apabila yang terjadi adalah sebaliknya, maka negara-bangsa tersebut akan menjadi negara yang menuju gagal (failing state), dan apabila tidak mampu segera bangkit, ia akan semakin terperosok menjadi negara gagal (failed state).

Memposisikan Indonesia

Perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia sejak kedatangan kolonialis Barat dan Belanda hingga awal kemerdekaan, menurut pengamatan Clifford Geertz, menunjukkan bahwa sejarah perekonomian kita adalah sekumpulan “kesempatan yang hilang”. Bagaimana tidak, akibat dari pemaksaan tata cara perdagangan yang bersifat pemerasan (predatory) dan kebijakan ekonomi yang eksploitatif oleh pihak penjajah Barat, kegiatan perekonomian dari masyarakat Indonesia telah menghasilkan surplus yang besar dan berkelanjutan, namun tidak untuk memakmurkan rakyat Indonesia sendiri, melainkan kaum penjajah asing. Yang menjadi kaya dari berdagang, menanamkan modal, dan berekspansi bisnis adalah pihak Barat.

Barulah ketika kemerdekaan diraih, kesempatan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia menuju kedaulatan ekonomi dan politik didapatkan. Namun, dalam perjalanannya, cita-cita besar tersebut terenggut oleh berbagai macam konflik internal bangsa Indonesia akibat dari pertarungan berbagai kepentingan. Upaya untuk menemukan sistem politik dan ekonomi yang sesuai dengan identitas serta cita-cita kebangsaan tidak berjalan dengan mulus. Bahkan hingga kini, pertarungan kepentingan dan perebutan pengaruh dalam formulasi kebijakan ekonomi dan politik tersebut masih terus terjadi. Yang muncul adalah sistem politik otoriter dan oligarkis, sistem birokrasi yang “top-down” dan monolog, serta sistem ekonomi rente (rent-economy) yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Oleh karena itu, menurut penulis buku ini, gerakan dan kekuatan pendorong demokratisasi dan desentralisasi –yang sebagian besar dimotori oleh masyarakat sipil harus terus menunjukkan dan memperbesar peran serta partisipasinya dalam proses politik dan ekonomi, hingga tercapai iklim demokrasi yang dicita-citakan dan keadilan sosial yang sesungguhnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Apabila konsolidasi ke dalam sebagaimana hal di atas telah terwujud, maka peran Indonesia dalam kancah regional dan global akan semakin didengar dan berpengaruh. Tentunya peran regional dan global tersebut harus didasarkan pada kepentingan nasional serta demi terwujudnya perdamaian abadi di muka bumi, sebagaimana amanat UUD RI 1945.

Mochammad Said,
Alumnus Fakultas Psikologi UGM,
Alumnus Ponpes Al-Amin, Mojokerto

No comments: