“Menyesali nasib
tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga.” –K.H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Beberapa minggu yang lalu, Hanif
Junaedy -adik kelasku di pesantren- mengirim sebuah pesan pribadi lewat
Facebook padaku. Ketika kubaca, isinya adalah informasi tentang lomba menulis
cerpen yang diadakan oleh CSS MoRA, organisasi yang menaungi para mahasiswa
penerima beasiswa S1 PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) dari Kemenag
RI. Lomba cerpen tersebut bertema tentang kisah inspiratif para penerima
beasiswa PBSB. Aku, Juned (panggilanku pada Hanif Junaedy), dan beberapa teman
lainnya dari pesantrenku merupakan alumni program beasiswa tersebut.
Dia menanyakan padaku, apakah aku tidak
berminat untuk mengikuti lomba tersebut, karena menurutnya, kisahku sangat unik
dan inspiratif, sehingga sayang sekali kalau tidak ditulis dan diikutkan dalam
lomba tersebut. Aku pun membalasnya dengan mengatakan bahwa aku tidak bisa
menulis cerpen, hahaha... Ya, memang demikianlah kenyataannya. Namun di balik
itu, aku sebenarnya memiliki alasan yang lebih mendasar. Bagiku, kisah
perjalananku dari pesantren hingga mendapat beasiswa PBSB untuk studi S1 di
UGM, pengabdian di pesantrenku pasca-lulus S1, dan beasiswa dari IDB-UIN
Walisongo untuk studi S2 di Unair tidak layak untuk diikutkan dalam lomba
tersebut. Atau setidaknya, belum bisa dikatakan layak. Mengapa? Karena
menurutku, masih amat banyak kisah lain yang lebih unik dan inspiratif
dibandingkan kisah perjalananku. Selain itu, aku sendiri merasa “terlalu
berlebihan” kalau perjalananku itu disebut inspiratif.