“Menyesali nasib
tidak akan mengubah keadaan. Terus berkarya dan bekerjalah yang membuat kita berharga.” –K.H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Beberapa minggu yang lalu, Hanif
Junaedy -adik kelasku di pesantren- mengirim sebuah pesan pribadi lewat
Facebook padaku. Ketika kubaca, isinya adalah informasi tentang lomba menulis
cerpen yang diadakan oleh CSS MoRA, organisasi yang menaungi para mahasiswa
penerima beasiswa S1 PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) dari Kemenag
RI. Lomba cerpen tersebut bertema tentang kisah inspiratif para penerima
beasiswa PBSB. Aku, Juned (panggilanku pada Hanif Junaedy), dan beberapa teman
lainnya dari pesantrenku merupakan alumni program beasiswa tersebut.
Dia menanyakan padaku, apakah aku tidak
berminat untuk mengikuti lomba tersebut, karena menurutnya, kisahku sangat unik
dan inspiratif, sehingga sayang sekali kalau tidak ditulis dan diikutkan dalam
lomba tersebut. Aku pun membalasnya dengan mengatakan bahwa aku tidak bisa
menulis cerpen, hahaha... Ya, memang demikianlah kenyataannya. Namun di balik
itu, aku sebenarnya memiliki alasan yang lebih mendasar. Bagiku, kisah
perjalananku dari pesantren hingga mendapat beasiswa PBSB untuk studi S1 di
UGM, pengabdian di pesantrenku pasca-lulus S1, dan beasiswa dari IDB-UIN
Walisongo untuk studi S2 di Unair tidak layak untuk diikutkan dalam lomba
tersebut. Atau setidaknya, belum bisa dikatakan layak. Mengapa? Karena
menurutku, masih amat banyak kisah lain yang lebih unik dan inspiratif
dibandingkan kisah perjalananku. Selain itu, aku sendiri merasa “terlalu
berlebihan” kalau perjalananku itu disebut inspiratif.
Akan tetapi, dalam beberapa hari ini, entah
mengapa, aku terpikir untuk merefleksikan perjalananku hingga aku bisa
menyelesaikan studi S2 di Unair bulan Juli lalu. Dari situ, aku kemudian
menyadari bahwa tak ada salahnya untuk menuliskan “secuil” kisah perjalanan
itu, paling tidak sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah yang telah Allah
berikan padaku lewat berbagai fasilitas dan kemudahan itu, sehingga aku bisa
menjadi seperti sekarang ini. Oleh karena itulah, aku terdorong untuk
menuliskan cerita ini.
Aku dilahirkan dari keluarga yang pas-pasan
secara ekonomi. Bapak bekerja sebagai seorang tukang kayu dengan membuka usaha
mebel kecil-kecilan di depan rumah. Sedangkan ibu adalah ibu rumah tangga yang
fokus pada tugas-tugas rumah tangga, termasuk mendidikku dan saudara-saudaraku.
Tak perlu aku ceritakan bagaimana lika-liku perjalanan kehidupan keluargaku,
karena terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Selain menguras emosi
tentunya.
Ketika belajar di pesantren, sejak
kelas 2 Aliyah, aku secara pribadi berlangganan Majalah KangGURU, sebuah majalah
dwibahasa kerjasama Pemerintah RI dan Australia. Aku mengirimkan surat permohonan
melalui pos ke kantor redaksinya di Bali agar aku bisa berlangganan secara
gratis. Di salah satu rubrik majalah tersebut terdapat informasi tentang
beasiswa kuliah ke Australia bagi anak-anak Indonesia. Sejak itu, aku
berkeinginan untuk menempuh studi S1 ke Australia lewat beasiswa tersebut, agar
aku tak perlu lagi membebani orang tuaku dalam membiayai studiku nantinya. Namun,
ketika aku sowan kepada Ust. Aang Baihaqi -nadzir pesantrenku waktu itu-
beliau mengatakan bahwa persyaratan utama untuk bisa lolos seleksi beasiswa
tersebut adalah kemampuan bahasa Inggris yang memadai.
Beliau pun kemudian memberi saran agar
aku mengurungkan niatku untuk mengikuti beasiswa tersebut. Menurut beliau,
lebih baik aku kuliah S1 di dalam negeri, baru kemudian S2 atau S3 ke luar
negeri. Satu sisi, aku kecewa dengan saran beliau. Tetapi di sisi lain aku
merasa bahwa beliau benar, karena dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang masih belepotan
tentunya aku tak bisa lolos seleksi beasiswa. Aku pun menghilangkan
angan-anganku untuk mendapatkan beasiswa ke Australia. Tapi kemudian aku
termenung: lalu bagaimana caranya agar aku bisa kuliah? Dalam pikiranku, aku
harus bisa memperoleh beasiswa penuh agar bisa kuliah, karena orang tuaku tak
mungkin mampu membiayaiku untuk kuliah. Kalau aku tak bisa mendapatkan beasiswa
penuh, itu berarti aku harus siap untuk memupus semua keinginanku untuk kuliah.
Ya, hanya ada 2 pilihan: mendapat beasiswa penuh atau tidak kuliah.
Memikirkan 2 pilihan di atas membuatku
galau. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti memikirkannya, dan
menghapus keinginan untuk kuliah. Biarlah setelah lulus Aliyah nanti aku
bekerja saja, entah membantu bapak atau bekerja yang lain, dan tak usah kuliah.
Aku sudah putus asa waktu itu. Namun asa itu tumbuh kembali di akhir kelas 3
Madrasah Aliyah, di mana Kiai Muthoharun Afif, pengasuh pesantrenku, mengabari
tentang adanya seleksi nasional program beasiswa penuh S1 untuk para santri dari
Kemenag. Aku pun mendaftarkan diri untuk mengikutinya, walaupun dalam hati aku
tidak terlalu berharap, karena seleksi tersebut diikuti oleh santri-santri
pilihan dari seluruh Indonesia.
Satu bulan berikutnya, setelah tes
seleksi dilaksanakan, aku mendapat kabar yang sangat menggembirakan dari salah
satu ustadz pesantren bahwa aku dan 2 temanku lolos seleksi. Aku
diterima di Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. Aku sendiri hampir tidak percaya
bahwa aku lolos seleksi. Ketika aku mengabarkan hal tersebut kepada orang
tuaku, mereka pun sangat kaget, seolah tak percaya bahwa anaknya bisa
mendapatkan beasiswa penuh di kampus ternama. Bagiku sendiri, kini, beasiswa
PBSB yang kuperoleh tersebut sangatlah bermakna bagi perubahan arah
kehidupanku. Aku mendapatkan begitu banyak pengalaman hidup yang amat berharga
selama 5 tahun menempuh studi di kampus UGM yang ternama itu.
“Pengabdian” dan
Beasiswa S2
Setelah lulus S1, sesuai perjanjian
beasiswa PBSB, para alumni harus kembali ke pesantren asal untuk mengabdi
selama minimal 3 tahun. Begitu pula halnya denganku. Keputusan untuk pulang dan
mengabdi di pesantren bukanlah keputusan mudah. Banyak di antara teman-temanku
sesama lulusan PBSB waktu itu yang lebih memilih untuk melanjutkan studi S2
atau bekerja profesional baik di perusahaan ataupun lembaga birokrasi. Ya,
tentu saja mereka memilih demikian, karena secara logis, dengan gelar
kesarjanaan dari UGM yang disandang, peluang kerja amatlah banyak dan jauh
lebih menjanjikan daripada harus “mengabdi” di pesantren asal. Di sisi lain,
pengawasan dari Kemenag terhadap kewajiban “pengabdian” para lulusan PBSB juga
amat lemah, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada.
Pada saat demikian, aku pun berada
dalam dilema. Namun, singkat cerita, aku memutuskan untuk kembali ke Mojokerto
dan mengabdi di pesantren asalku, Pondok Pesantren Al-Amin. Ada 2 alasan yang
mendasari keputusanku tersebut, namun tak perlu aku ceritakan di sini.
Apa yang aku lakukan selama kurang
lebih 3 tahun di pesantrenku sebenarnya terlalu berlebihan kalau disebut
pengabdian. Kata “pengabdian” -bagiku- adalah sebuah istilah yang sangat luhur,
sedangkan yang aku lakukan hanyalah sebuah upaya untuk melaksanakan kewajiban
sesuai kontrak perjanjian beasiswa PBSB. Aku sangat bersyukur karena selama 3
tahun di pesantren, aku diberi amanah yang spesifik dan sesuai bidangku. Ya,
walaupun dalam penilaianku sendiri, aku belum bisa melaksanakannya secara
maksimal. Tapi yang jelas, pengalaman melaksanakan “kewajiban” selama 3 tahun
itu adalah pengalaman yang amat berharga, karena aku mendapatkan banyak wawasan
dan pencerahan baru. Selama 3 tahun ini pula aku berkesempatan belajar untuk
meningkatkan kapasitas diriku menjadi lebih baik.
Pada tahun kedua “pengabdian”, aku
diterima di Program Magister Psikologi Unair Surabaya. Selain itu, alhamdulillah,
aku mendapatkan beasiswa penuh dari IDB-UIN Walisongo Semarang untuk studiku
tersebut. Awalnya, di tengah tahun pertama “pengabdian”, aku mencoba mendaftar
berbagai macam beasiswa S2, karena aku ingin mengabdi di pesantren sambil
melanjutkan S2. Namun, 1 tahun perburuan beasiswa yang aku lakukan gagal total,
tanpa hasil sama sekali. Akhirnya, di pertengahan tahun kedua pengabdian, tepatnya
2014, aku pun nekad mendaftarkan diri di Program Magister Psikologi Unair,
prodi yang sudah aku incar karena sesuai dengan pertimbangan-pertimbanganku. Dan
alhamdulillah aku dinyatakan lulus seleksi masuk. Pada saat itu, aku
hanya berpikir bahwa aku harus melanjutkan studi S2. Masalah biayanya, kuhitung
waktu itu tabunganku cukup untuk membayar hingga semester 1. Untuk semester 2
dan selanjutnya, itu soal nanti, pikirku kala itu. Kalau kata orang Jawa, dipikir
karo mlaku, hehe...
Sekitar 2 bulan menjelang awal
perkuliahan, kejutan dari Allah itu datang (kembali). Salah 1 temanku sesama
alumni PBSB dari UIN Walisongo, Maryani, mengabarkan padaku bahwa ada lowongan
beasiswa calon dosen dari UIN Walisongo yang bekerjasama dengan IDB (Islamic
Development Bank). Dia memintaku untuk mengecek informasi tersebut di situs
resmi kampusnya. Siapa tahu cocok dan diterima, katanya padaku. Akupun menelusurinya,
dan di situ disebutkan bahwa ada 1 lowongan untuk bidang psikologi. Singkat cerita,
aku pun mendaftarkan diri, mengikuti seleksi, dan alhamdulillah dinyatakan
diterima. Sungguh kejutan yang luar biasa. Dan aku harus berterima kasih pada
Maryani yang telah memberikan informasi yang amat berharga itu.
Itulah secuil cerita perjalananku. Aku sangat
bersyukur karena dapat menempuh pendidikan S1 dan S2 di kampus ternama melalui
beasiswa penuh, sehingga energiku bisa lebih aku fokuskan untuk studi dan
kegiatan lain yang produktif tanpa memikirkan biaya kuliah. Aku juga bersyukur
karena bisa melaksanakan kewajiban “pengabdian” di pesantren asalku, dengan
segala kekurangan dan keterbatasanku. Aku belajar begitu banyak hal dari
perjalananku selama ini. Alhamdulillah.
Wallahu yuwaffiquna
ila ma huwa khair.
No comments:
Post a Comment