03 November 2008

Islam dan Politik Islam: Pencarian Identitas*

Setiap pemeluk agama memiliki keyakinan dan kepercayaan akan agama yang dipeluknya. Ketika dua kelompok atau lebih yang berbeda agama dibenturkan, maka terdapat kemungkinan besar bahwa akan terjadi konflik antar agama. Dan oleh karena itulah sangat diperlukan kesadaran dari masing-masing pemeluk agama untuk menghormati keberadaan pemeluk agama lain.

Dalam Pembukaan UUD 1945, kalau kita berkaca pada sejarah, kita akan melihat bahwa di baliknya terdapat sebuah narasi yang panjang tentang konflik antar agama.
Pada saat sidang BPUPKI, kelompok Islam menginginkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara dengan argumen bahwa karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, maka sudah sepantasnya apabila negara Indonesia menerapkan sistem negara Islam yang tentunya diberlakukan kepada seluruh rakyat Indonesia. Namun, ternyata hal ini tidak berhasil, karena kelompok nasionalis mengatakan bahwa apabila Indonesia ‘diharuskan’ untuk menerapkan sistem negara Islam, maka para pemeluk agama lain akan memilih untuk tidak bergabung dalam NKRI, karena mereka merasa ada diskriminasi agama dalam konteks tersebut. Akhirnya, hasil yang dapat dicapai oleh kelompok Islam adalah Piagam Jakarta yang memuat “tujuh kata” yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Dan pada saat sidang PPKI, perdebatan sengit antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis mengenai “tujuh kata” di atas kembali mengemuka. Akhirnya, Bung Karno menengahi dengan berkata bahwa yang paling penting untuk diperhatikan ketika itu adalah keutuhan NKRI, dan oleh karenanya beliau meminta kelompok Islam untuk mengalah, dan sebagai kompensasinya kelompok Islam dihadiahi ‘jatah’ Departemen Agama, yang banyak mengurusi urusan umat Islam.
Pada Sidang Konstituante (1955-1959), kelompok Islam yang berada dalam partai Islam terus memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, namun usaha ini gagal. Meskipun begitu, mereka tetap menghormati dan menaati keputusan yang dihasilkan oleh Majelis Konstituante. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tetap menghormati demokrasi dan prinsip musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Dan karena didorong oleh kesadaran inilah mereka dalam perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia tetap taat pada NKRI dan tidak melakukan usaha-usaha anarkis yang dapat memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Adapun pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengatasnamakan Islam merupakan hal lain yang memiliki penyebab dan tujuan yang berbeda dengan mereka.
Keinginan dan cita-cita negara Islam yang diperjuangkan oleh kelompok Islam saat itu tidak terlepas dari sebuah kesadaran akan sifat komprehensif dari ajaran Islam. Islam merupakan agama yang universal, menyeluruh, dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik kenegaraan. Islam bukan hanya syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi juga mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keberadaban. Dan semua hal ini didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun pada perkembangannya, kelompok Islam terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok formalis-dasar negara dan kelompok formalis-UU dan peraturan lain. Kelompok pertama tetap menginginkan dan memperjuangkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara Islam. Pada era reformasi kita dapat melihat bagaimana kelompok berusaha memperjuangkan kembali aspirasinya, yaitu diberlakukannya kembali Piagam Jakarta dalam pembahasan perubahan UUD 1945 dalam Sidang Tahunan (ST) MPR pada tahun 2000, tetapi tidak berhasil. Sedangkan kelompok kedua tidak lagi memaksakan Islam untuk dijadikan sebagai dasar negara, tetapi lebih mementingkan pada tercapainya kesesuaian setiap peraturan dan undang-undang dengan prinsip-prinsip etis yang terkandung dalam ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut penulis, usaha yang dilakukan oleh kelompok pertama di atas sudah tidak sesuai lagi dengan konteks saat ini, karena kita sebagai bangsa yang besar harus menghormati keputusan bersama yang telah disepakati bersama di masa lalu. Namun, yang lebih layak dan patut diperjuangkan adalah tercapainya sistem dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertib, konstitusional, aman, adil, makmur, dan bermoral. Bukankah lebih penting memperjuangkan implementasi nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam daripada sekedar memperdebatkan bentuk negara?
__________________________________________________________________________________
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin Dialektika Edisi 2 (diterbitkan oleh PMII Rayon Sosio Humaniora Komisariat Gadjah Mada).

No comments: