Istilah multikultural sebagai sebuah fakta yang tak terelakkan tentang adanya keanekaragaman berbeda dengan istilah multikulturalisme sebagai sebuah konsep yang bersifat normatif. Konsep multikulturalisme pertama kali muncul pada saat negara-negara maju menghadapi kenyataan adanya keanekaragaman yang kemudian menimbulkan tantangan tersendiri bagi mereka untuk menyelesaikan permasalahan rasial yang muncul. Namun, harus disadari bahwa pada akhirnya permasalahan tersebut juga akan dihadapi oleh negara-negara lain yang mengaku sebagai negara bangsa modern, di mana masyarakatnya semakin berkembang ke arah keberagaman, seperti halnya negara kita, Indonesia.
Ketika kita berbicara tentang multikulturalisme, kita tentu tidak bisa terlepas dari persoalan mengenai kaum minoritas. Namun, menurut Bikhu Parekh, sebenarnya multikulturalisme tidaklah secara spesifik menawarkan pembelaan terhadap kaum minoritas. Ia sebenarnya lebih menekankan pada usaha pembuatan konsep dan kebijakan yang diharapkan dapat menjaga dan memelihara dengan baik relationship di antara berbagai komunitas rasial yang ada (dalam Nurkhoiron, 2007: 18). Hal ini diperkuat oleh pendapat Homi Bhabha yang menyatakan bahwa konsep kaum minoritas muncul dari adanya konstruksi diskursif, yang kemudian memunculkan minoritisasi. Minoritas lebih sulit ditemukan di dalam kenyataan di lapangan, karena apa yang kita anggap sebagai kaum minoritas tidak lebih dari akibat kategorisasi kita terhadap mereka sebagai ‘the other’ yang kemudian melahirkan kategori-kategori minor (minoritas, tradisional, bodoh, tertinggal, terbelakang, dan sebagainya). Dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan Orde Baru yang diskriminatif dan hegemonik terhadap berbagai komunitas yang dianggap sebagai minoritas, seperti penggunaan istilah “masyarakat terpencil”, yang dikeluarkan secara resmi oleh Dinas Sosial, dan tampaknya belum berubah sampai sekarang. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menurut mereka bertujuan untuk memberikan kemajuan dan demokrasi, yang dilatarbelakangi oleh konsep kemajuan, yang kemudian menjadi biang marjinalisasi dan minoritisasi kelompok-kelompok sosial tertentu, karena konsep kemajuan ini telah membagi ide-ide masyarakat ke dalam kategori-kategori menurut tingkatan kualitasnya: superior, inferior, maju, terbelakang, dan sebagainya.
Persoalan-persoalan yang timbul di dalam konteks ke-Indonesia-an berkaitan dengan kaum minoritas, sebenarnya tidak terlepas dari peran utama yang dimainkan oleh negara yang berkuasa dan kemudian membentuk wacana tertentu dari sudut pandang mereka. Hal inilah yang memunculkan politik representasi, yang akhirnya membentuk narasi di dalam masyarakat tentang kaum minoritas dan melegitimasi tindakan-tindakan yang diambilnya terhadap kaum minoritas tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan adanya sokongan dari aparatus negara dalam merealisasikan ‘gagasan’ negara terhadap masyarakat minoritas.
Dari Representasi ke Multikulturalisme
Sebagaimana kita ketahui bersama, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural, dan oleh karenanya harus ditumbuhkan sebuah kesadaran multikulturalisme terhadap masyarakat seluruhnya. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana negara mampu memberikan contoh yang baik bagi rakyatnya dalam mewujudkan kesadaran multikulturalisme ini secara nyata dalam bentuk instrumen kebijakan yang benar-benar berpihak kepada mereka yang merupakan golongan minoritas. Memang saat ini kita dapat melihat adanya perkembangan yang lebih baik dalam hal kebijakan terhadap kaum minoritas yang bertujuan untuk mencegah diskriminasi dalam wilayah-wilayah seperti pendidikan, pekerjaan, praktik kebudayaan, dan sistem kepercayaan, di mana hal ini merupakan bagian dari proses ratifikasi berbagai konvensi hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga dari lima konvensi utama hak asasi yang telah diratifikasi yang di dalamnya diatur mengenai larangan diskriminasi, yaitu: Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Namun, di sini terkandung sebuah kelemahan, di mana penggunaan istilah masyarakat adat dan pengadopsian beberapa unsur yang menyertainya masih berkecenderungan untuk mengarah pada penjustifikasian kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Seperti yang dialami oleh komunitas Tolotang yang meskipun secara numerik minoritas, namun dalam konstelasi politik lokal mampu memerankan siasat identitas kulturalnya untuk menempatkan wakilnya di dalam kursi pemerintahan.
Oleh karena itu, perlu upaya-upaya lebih lanjut untuk memetakan secara lebih mendalam komunitas lokal yang ada untuk kemudian menyiapkan instrumen kebijakan lokal yang berpihak kepada mereka. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa hal ini mutlak memerlukan komitmen dari pemerintah untuk mendukung upaya-upaya ini ke depan secara lebih baik dan konstruktif.
_____________________________________________________
*Artikel ini merupakan sebuah tulisan lama yang ditulis sebagai prasyarat ketika penulis menjadi peserta Sekolah Multikulturalisme yang diadakan oleh Lafadl Initiatives Yogyakarta pada tahun 2008.
No comments:
Post a Comment