Kita tentu masih ingat akan peristiwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh pemuda Indonesia di masa itu, tepatnya pada 28 Oktober 1928. Ketika itu kaum pemuda sepakat dan menyatakan dengan penuh kemantapan untuk berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu, Indonesia. Dan ikrar inilah yang kelak kemudian menjelma menjadi spirit perjuangan dan sekaligus alat pengikat bangsa sehingga bangsa kita mampu bangkit untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa penjajah. Dalam lintasan sejarah kebangsaan Indonesia pun kita dapat menyaksikan bagaimana kaum pemuda selalu menjadi pelopor dan ujung tombak perjuangan dalam menghancurkan rezim atau kekuasaan negara yang arogan dan otoriter.
Pun ada sebuah pepatah mengatakan: “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan (syubbanul yaum wa rijalul ghod)”. Artinya, eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini –apakah akan maju dengan keberhasilan di era globalisasi atau jatuh dalam keterpurukan zaman di masa depan- sepenuhnya ada di tangan para pemuda saat ini.
Pemuda Indonesia Kontemporer
Kalau kita amati bersama, ternyata pemuda Indonesia saat ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Kenapa? Setidaknya ada 3 hal yang mengindikasikannya. Pertama, masih banyaknya pemuda Indonesia yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi akibat masalah finansial, minimnya kesadaran akan urgensi pendidikan, biaya pendidikan yang tinggi, dan sebagainya. Kedua, akibat pengaruh budaya Barat yang permisif, materialis, dan hedonis, tidak sedikit pemuda Indonesia yang tenggelam ke dalamnya. Sehingga mereka tak lagi memperdulikan norma dan tata nilai moral, keagamaan, dan hukum yang ada. Dan akhirnya pudarlah idealisme dan nasionalisme mereka.
Ketiga, belum ada pola pendidikan kritis yang sesungguhnya dalam dunia pendidikan Indonesia, sehingga pemikiran kaum pemuda cenderung statis atau bahkan mundur. Aksi-aksi mereka pun menjadi tidak progresif-liberatif akibat tidak adanya keberanian untuk melakukan sebuah perubahan yang benar-benar mengubah dalam diri mereka terhadap struktur atau sistem dan budaya yang menyimpang.
Sebagai contoh adalah lagu Indonesia Raya yang merupakan lagu kebangsaan Indonesia, di mana setiap kali dilaksanakan upacara bendera, lagu tersebut senantiasa mengiringi saat-saat pengibaran Sang Merah Putih. Apabila kita menghayati lagu tersebut dengan baik, maka kita akan menemukan makna yang mendalam yang terkandung di dalamnya, yaitu makna sebuah kemerdekaan dan ke-Indonesia-an. Namun coba tanyakan bunyi lagu tersebut pada anak didik di lingkungan pendidikan kita, maka saya yakin bahwa tidak sedikit di antara mereka yang plegak-pleguk dalam melantunkannya. Bahkan, mungkin ada yang tidak mengenal sama sekali pencipta lagu tersebut. kalau sudah begini –walaupun tampak sepele- kita menjadi ragu, nasionaliskah mereka?
Mahasiswa Indonesia pun saat ini telah mulai kehilangan ruh idealismenya, akibat terlena oleh buaian materi dan kekuasaan. Memang, ketika masih menjadi mahasiswa dan aktif dalam organisasi, mereka tampak begitu idealis. Namun setelah terjun di masyarakat dan duduk dalam jabatan struktural tertentu, idealisme itu mulai surut, dan bahkan kemudian sirna tak bersisa. Mulailah mereka sibuk dengan urusan perut dan kekuasaan di satu sisi, namun di sisi lain mereka lupa akan realitas sosial yang ada di masyarakat. Kepekaan dan kesadaran sosial (sense of social crisis) itu hilang entah ke mana.
Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi problem di atas, maka ada beberapa hal yang harus dikerjakan. Pertama, pemerintah harus didesak untuk menunjukkan komitmennya terhadap keberlangsungan dan peningkatan mutu pendidikan di kalangan rakyat Indonesia, dengan tujuan agar pemerintah benar-benar concern dan fokus dalam menjadikan pendidikan sebagai salah satu pilar pembangunan. Kedua, harus ada reformasi sistem pendidikan di Indonesia secara menyeluruh yang sebelumnya hanya menganggap anak didik sebagai obyek dan cenderung monolog menuju pengakuan terhadap anak didik sebagai subyek pendidikan itu sendiri dan bersifat dialogis. Pendidikan tersebut haruslah berupa pola pendidikan kritis-emansipatoris-liberatif.
Ketiga, penyelenggaraan pendidikan tersebut harus berorientasi pada pembentukan generasi pemuda yang nasionalis tulen dan berkesadaran sosial tinggi. Selain itu, perlu juga ditanamkan jiwa wiraswasta dalam diri anak didik agar kelak mereka mampu menjadi orang yang mandiri, dinamis, kreatif, dan inovatif.
Usulan-usulan di atas haruslah dilaksanakan dan diaplikasikan dalam ranah realitas secara konsekuen, apabila kita semua benar-benar bertekad untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan kesadaran sosial pemuda. Namun apabila memang kita tidak memiliki kesungguhan tekad, maka biarkanlah bangsa dan negara Indonesia tercinta ini terpecah-belah dalam konflik dan disintegrasi dengan segunung problem multidimensional yang tak pernah terselesaikan. Manakah pilihan kita?
Wallahu a’lam bis showab.
___________________________________________
(*) Artikel ini merupakan artikel lama yang tidak sengaja penulis temukan ketika sedang beres-beres buku di rumah penulis. Artikel ini ditulis pada tahun 2007, ketika penulis masih nyantri di Ponpes Al-Amin, Mojokerto, dan sedang menempuh kelas XII MA Pesantren Al-Amin.
No comments:
Post a Comment