Mochammad Said
Tulisan
ini merupakan resume atas artikel yang ditulis oleh Jennifer Abe dari
Universitas Loyola Marymount, Los Angeles, Amerika Serikat berjudul A
Community Ecology Approach to Cultural Competence in Mental Health Service
Delivery: The Case of Asian Americans dan dimuat dalam Asian
American Journal of Psychology tahun 2012, Volume 3, Nomor 3, halaman
168-180. Abe -melalui artikelnya- menggunakan pendekatan ekologi komunitas
terhadap kompetensi budaya untuk: (1) melihat dan menganalisis konseptualisasi
tentang penderitaan, kesejahteraan, dan pelayanan kesehatan mental, dan (2)
mengeksplorasi implikasi pendekatan tersebut terhadap penyediaan intervensi
kesehatan mental bagi individu dan komunitas, khususnya pada masyarakat Asia-Amerika di Amerika Serikat.
Abe mengemukakan bahwa penduduk Amerika Serikat sangat beragam secara budaya dan etnis, sehingga mau tidak mau para klinisi harus melayani dan menangani para klien yang berasal dari berbagai latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Dalam konteks demikian, kompetensi budaya seharusnya dimiliki oleh para klinisi dan penyedia layanan kesehatan mental lainnya.
Yang dimaksud dengan kompetensi budaya
adalah “seperangkat perilaku, sikap, dan kebijakan yang menyatu dengan sebuah
sistem, agensi, atau para profesional yang memungkinkan munculnya kinerja yang
efektif dalam situasi lintas-budaya” (Cross, Bazron, Dennis, & Isaacs, 1989).
Dengan kompetensi
budaya, para terapis/klinisi diharapkan memahami hubungan “lintas-budaya”
terapis-klien dengan menghargai perbedaan ras, etnisitas, gender, orientasi
seksual, ataupun agama.
Namun dengan pemahaman yang lebih spesifik
tentang definisi budaya, pemahaman tentang hubungan “lintas-budaya”
terapis-klien seharusnya tidak hanya menghargai perbedaan ras, etnisitas,
gender, orientasi seksual, ataupun agama, tetapi lebih dari itu juga menghargai
dan memahami bahwa pengalaman klien berakar pada -dan dipengaruhi oleh- konteks
narasi kolektif dan sosial yang lebih luas. Hal ini dikarenakan budaya adalah “sesuatu yang
merepresentasikan proses dinamis yang meliputi pandangan dunia dan cara hidup dalam lingkungan sosial dan
fisik dari sekelompok orang, yang berlangsung dari generasi ke generasi dan
mungkin berubah karena adanya hubungan di antara budaya-budaya dalam konteks
sosial, historis, dan politis tertentu” (Whaley & Davis, 2007).
Pemahaman
bahwa individu dan komunitas harus diletakkan dalam konteks sosiokultural
merupakan pemahaman sentral dalam psikologi komunitas dan antropologi.
Pemahaman ini berakar dari filsafat ilmu pengetahuan kontekstualis yang
meyakini bahwa “aktifitas manusia tidak berkembang dalam kekosongan sosial (social
vacuum); sebaliknya, ia terkondisikan dalam konteks pemaknaan dan hubungan
sosio-historis dan kultural” (Rosnow & Georgoudi, 1986).
Perspektif
kontekstualis ini juga mempengaruhi pandangan ekologis tentang kompetensi
budaya yang memfokuskan pada konteks sosiokultural dari pengalaman penderitaan
(distress) dan kesejahteraan (well-being) individu. Pendekatan
ekologis ini -yang memasukkan lingkungan sebagai pertimbangan penting-
diharapkan dapat
memperluas pandangan
kita tentang apa yang kita sadari sebagai intervensi kesehatan mental yang
kompeten secara budaya. Pendekatan ekologi komunitas terhadap kompetensi budaya
berpijak pada tiga asumsi: (1) penderitaan psikologis individu dipahami sebagai
sesuatu yang berakar pada -dan berhubungan erat dengan-
pengalaman kolektif; (2) keadilan sosial dipahami sebagai satu kesatuan dengan
kesejahteraan psikologis; (3) pelayanan kesehatan mental resmi dipandang
sebagai sumber pelayanan utama -namun tidak eksklusif- yang dapat membantu
memenuhi kebutuhan kesehatan mental suatu komunitas.
Kompetensi
budaya telah dioperasionalisasikan dalam berbagai tingkatan, meliputi: (1)
kompetensi klinisi/terapis (kesadaran, sikap, perilaku, dan keterampilan); (2)
kompetensi profesional (kode etik dan standar praktik); (3) kompetensi
organisasi (kebijakan, praktik, dan prosedur dari sebuah organisasi); (4)
kompetensi sistem (praktik dan kebijakan di antara berbagai organisasi dan
sektor pelayanan); dan (5) kompetensi sosial (kekuatan unilateral suatu kelompok untuk
mendefinisikan realitas bagi kelompok lain dan monokulturalisme etnosentris
sebagai halangan bagi kompetensi budaya) (Sue, 2001). Namun demikian,
kompetensi budaya di tingkat sistem/sosial merupakan area penelitian yang
terabaikan. Dan persis di sinilah letak relevansi pendekatan ekologi komunitas,
yang dapat digabungkan secara lebih sistematis ke dalam konseptualisasi tentang
kompetensi budaya dan implementasi pelayanan kesehatan mental.
Penderitaan dan Kesejahteraan Individu
Ilmu
psikologi telah lama dikritik karena hanya berfokus pada individu yang
akultural, ahistoris, dan akontekstual sebagai unit analisis dan target
intervensi (Bronfenbrenner,1977; Sarason, 1981). Padahal, kalau dicermati lebih
jauh, gejala psikologis individu tidak terlepas dari pengaruh konteks
sosiokultural yang melingkupinya. Hal ini dikarenakan
individu, selain sebagai dirinya sendiri, juga berada dalam suatu lingkungan di
mana ia juga menjadi anggota dari komunitas dalam lingkungan tersebut. Ketika
kita melihat permasalahan individu sebagai permasalahan individual tanpa
melihat konteks sosiokultural yang melingkupinya, maka kita melupakan fakta
krusial dan sentral bahwa gejala-gejala individual bisa saja merepresentasikan
“dampak-dampak personal dari krisis masyarakat-luas” (Kleinman & Kleinman,
1991). Pada intinya, selalu terdapat interrealasi (kesaling-berhubungan) antara pengalaman individu dan
komunitasnya dalam konteks politis, historis, sosial, dan bahkan geografis
mereka.
Penelitian
mengenai penderitaan individu, seperti rasisme dan trauma kolektif akibat
Perang Dunia II, menunjukkan bahwa gejala pada level individu tidak terlepas
dari konteks sosiokultural dan sosiohistorisnya. Trauma kolektif -akibat
perang- terbentuk melalui pendiaman terhadap memori sosial traumatik, yang
akhirnya mempengaruhi keluarga dan komunitas. Pendiaman ini berkontribusi pada ‘pewarisan’ penderitaan dari waktu ke waktu, sehingga
menghasilkan transmisi trauma lintas-generasi. Hal ini dapat terjadi karena berdasarkan penelitian
mengenai dimensi sosial dari memori manusia, “seluruh komunitas, tidak hanya
individu, akan
mengingat masa lalu”
dengan cara mentransendensi ingatan personal dan menggabungkan pengalaman
individual dengan pengalaman kelompoknya (Zerubavel, 2003). Dalam hal ini
penderitaan individu diyakini berkaitan erat dengan pengalaman kolektif trauma.
Seperti
halnya penderitaan individu yang berkaitan erat dengan konteks sosiokultural
dan sosiohistoris yang melingkupinya, begitu pula halnya dengan kesejahteraan
hidup individu. Kesejahteraan psikologis individu dipandang berkaitan erat
dengan kesejahteraan hidup komunitas. Menurut Prilleltensky (2008), kita tidak
bisa memisahkan aspek politis dari aspek psikologis, karena baik aspek
psikologis maupun aspek politis dengan sendirinya berperan sebagai sumber
munculnya penderitaan dan kesejahteraan umat manusia. Dan dengan penalaran yang
sama, intervensi politik maupun intervensi psikologi masing-masing dapat
berperan dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Dengan perspektif di atas, yaitu bahwa
kesejahteraan hidup individu dan komunitas melibatkan dimensi psikologis dan
politis sekaligus, maka kesejahteraan hidup didefinisikan sebagai “kepuasan
yang berkelanjutan, seimbang, dan kontekstual dari (pemenuhan)
kebutuhan-kebutuhan pribadi, relasional, dan kolektif” (Prilleltensky, 2008).
Kebutuhan pribadi -seperti kesehatan, kebermaknaan, dan penentuan-diri-
berkaitan erat dengan kebutuhan relasional -seperti perhatian, kepedulian, dan
dukungan sosial- dan kebutuhan kolektif -seperti pelayanan kesehatan yang
memadai, kesetaraan ekonomi, dan perlindungan lingkungan (Prilleltensky, 2008).
Oleh karena itu, dalam pendekatan ekologi
komunitas terhadap kompetensi budaya, isu-isu mengenai keadilan sosial menjadi
fokus utama sebagai fondasi bagi intervensi berbasis kompetensi budaya. Para psikolog dituntut untuk lebih peduli (socially
aware) pada realitas sekitar atau konteks sosiokultural yang mempengaruhi
pengalaman hidup para klien mereka. Keadilan sosial dan kesejahteraan
psikologis merupakan fungsi dari kemampuan (internal) dan kesempatan
(eksternal). Sedangkan kekuasaan adalah “...memiliki kemampuan dan kesempatan
untuk memaksakan perintah untuk melakukan tindakan tertentu”. Ketiga elemen ini
-yaitu kekuasaan, kemampuan, dan kesempatan- merupakan bagian integral dari
pemenuhan kebutuhan pribadi, relasional, dan kolektif untuk mencapai
kesejahteraan psikologis seperti halnya peranan ketiga elemen tersebut untuk
menciptakan kondisi yang mengarahkan pada tercapainya keadilan sosial
(Prilleltensky dkk, 2007).
Pelayanan Kesehatan Mental pada Orang Asia-Amerika
Sue
and McKinney mengawali studi tentang kesenjangan pelayanan kesehatan mental
terhadap para klien Asia-Amerika dalam sistem kesehatan mental Seattle-King
County pada tahun 1975 (Leong & Okazaki, 2009). Hal ini menunjukkan
pentingnya konteks historis sebagai pertimbangan dalam menganalisis pelayanan
kesehatan mental yang kompeten secara budaya terhadap orang-orang Asia-Amerika
di Amerika Serikat.
Data
dari National Latino and Asian American Survey (NLAAS) menunjukkan bahwa hanya
28 persen orang Asia-Amerika yang memanfaatkan pelayanan kesehatan mental resmi
sepanjang hidup mereka. Sebaliknya, 78 persen dari mereka yang membutuhkan
pelayanan kesehatan mental tidak mencari pelayanan kesehatan mental sama
sekali. Selain itu, 16 persen dari mereka yang didiagnosa dengan gangguan
mental menggunakan layanan primer dan 11 persen menggunakan layanan alternatif
di masyarakat (Meyer dkk, 2009). Temuan ini menunjukkan pentingnya mengadopsi
pandangan ekologis yang lebih luas terhadap pelayanan kesehatan mental.
Dalam perspektif ekologis, kita seharusnya
tidak hanya meneliti penyediaan pelayanan kesehatan mental yang kompeten secara
budaya, tetapi juga mengeksplorasi cara mengatasi kebutuhan orang-orang
Asia-Amerika yang menderita namun tidak merasa butuh untuk mencari pelayanan
kesehatan mental di atas. Hal
ini membuat kita menyadari adanya kebutuhan komunitas terhadap penyembuhan
sosial (social healing) di luar sektor layanan kesehatan mental, selain
kebutuhan individu terhadap pelayanan di dalam sektor layanan kesehatan mental.
Individu, Komunitas, dan Kompetensi Budaya
Dalam
menghadapi dan menangani permasalahan individu dengan pendekatan ekologi
komunitas yang
memiliki kompetensi budaya,
seorang klinisi/terapis harus memiliki kemampuan yang disebut filsuf Perancis,
Emmanuel Levinas, dengan -pengakuan terhadap pengalaman- sebagai tugas etis
pertamanya (Kleinman & Benson, 2006). Mengakui pengalaman dengan empati dan
keterbukaan adalah ciri utama dari pertemuan terapeutik yang efektif. Sedangkan
Eisenbruch (1991) mengemukakan istilah keberanian kultural untuk mempertanyakan
kategorisasi gejala klinis individu dalam PTSD yang tidak mempertimbangkan
konteks kultural, historis, bahkan politis yang berkaitan.
Dengan
demikian, para terapis dituntut untuk memperhatikan konteks sosiokultural dari
pengalaman individu, sehingga pengalaman klien tidak dipatologisasi atau dimedikalisasi
sebagai gejala individual dari masalah pribadi semata. Kesadaran ini akan
membantu para terapis untuk menormalisasi pengalaman klien mereka dan
memberdayakan mereka untuk terlibat dalam refleksi yang bermakna dan tindakan
yang mungkin, sebagaimana mereka mampu menafsirkan pengalaman mereka dalam
konteks sosial yang lebih luas.
Selain
berfokus pada permasalahan individu, menurut perspektif ekologi komunitas
terhadap pelayanan kesehatan mental yang kompeten secara budaya, para
psikolog/terapis juga harus menyadari pentingnya upaya mengatasi permasalahan
komunitas. Hal ini dikarenakan perspektif ekologi komunitas meyakini bahwa
pendekatan individu dan komunitas dalam memenuhi kebutuhan kesehatan mental
merupakan satu kesatuan. Pendekatan komunitas ini dilakukan dengan penyembuhan
sosial (social healing).
Penyembuhan
sosial dapat dilakukan dengan menumbuhkan dan mendukung penyediaan ruang
liminal di tempat umum (Hooks, 1990; Shulman & Watkins, 2008). Ruang liminal adalah semacam lambang, in-between,
yang berisi sesuatu yang keluar dari sisi peluang yang disediakan kebudayaan.
Dengan kata lain, ruang liminal merupakan tempat teraplikasikannya potensi yang
dimiliki oleh suatu kebudayaan. Ruang liminal menggambarkan keamanan, tempat terpercaya
bagi ingatan komunal, peringatan, dan pengekspresian trauma masa lalu,
yang berfungsi untuk
menggali dan mengungkapkan memori sosial dan pengalaman kolektif yang
sebelumnya diam dan bahkan tak terlihat. Ekspresi ini dapat terjadi melalui
penjelasan verbal yang memberikan kesaksian terhadap trauma -seperti komisi
kebenaran dan audiensi rekonsiliasi- serta melalui penjelasan nonverbal,
termasuk seni dan penciptaan kenangan (memorial) yang mencerminkan ingatan,
kehilangan, dan penderitaan komunal (Shulman & Watkins, 2008).
Karena kehidupan kita sebagai manusia
berakar pada suatu tempat, mungkin bermanfaat bagi psikolog untuk
mempertimbangkan cara berkontribusi mereka dengan upaya penumbuhan ruang-ruang
publik dalam masyarakat; ruang-ruang publik yang secara aman menjaga memori,
ekspresi, dan kenangan individu dan komunal. Tempat-tempat ini dapat: (a) memberikan kontribusi bagi
pengakuan penuh terhadap pengalaman masyarakat, termasuk pengalaman trauma dan
perpindahan, serta (b) menegaskan kebutuhan anggota untuk menumbuhkan
tempat-tempat baru bagi rasa kepemilikan dan penegasan eksistensi.
No comments:
Post a Comment