27 March 2015

Kompetensi Budaya dalam Pelayanan Kesehatan Mental: Pendekatan Ekologi Komunitas

Mochammad Said



Tulisan ini merupakan resume atas artikel yang ditulis oleh Jennifer Abe dari Universitas Loyola Marymount, Los Angeles, Amerika Serikat berjudul A Community Ecology Approach to Cultural Competence in Mental Health Service Delivery: The Case of Asian Americans dan dimuat dalam Asian American Journal of Psychology tahun 2012, Volume 3, Nomor 3, halaman 168-180. Abe -melalui artikelnya- menggunakan pendekatan ekologi komunitas terhadap kompetensi budaya untuk: (1) melihat dan menganalisis konseptualisasi tentang penderitaan, kesejahteraan, dan pelayanan kesehatan mental, dan (2) mengeksplorasi implikasi pendekatan tersebut terhadap penyediaan intervensi kesehatan mental bagi individu dan komunitas, khususnya pada masyarakat Asia-Amerika di Amerika Serikat.

Abe mengemukakan bahwa penduduk Amerika Serikat sangat beragam secara budaya dan etnis, sehingga mau tidak mau para klinisi harus melayani dan menangani para klien yang berasal dari berbagai latar belakang sosial dan budaya yang berbeda. Dalam konteks demikian, kompetensi budaya seharusnya dimiliki oleh para klinisi dan penyedia layanan kesehatan mental lainnya.

Yang dimaksud dengan kompetensi budaya adalah “seperangkat perilaku, sikap, dan kebijakan yang menyatu dengan sebuah sistem, agensi, atau para profesional yang memungkinkan munculnya kinerja yang efektif dalam situasi lintas-budaya” (Cross, Bazron, Dennis, & Isaacs, 1989). Dengan kompetensi budaya, para terapis/klinisi diharapkan memahami hubungan “lintas-budaya” terapis-klien dengan menghargai perbedaan ras, etnisitas, gender, orientasi seksual, ataupun agama.

Namun dengan pemahaman yang lebih spesifik tentang definisi budaya, pemahaman tentang hubungan “lintas-budaya” terapis-klien seharusnya tidak hanya menghargai perbedaan ras, etnisitas, gender, orientasi seksual, ataupun agama, tetapi lebih dari itu juga menghargai dan memahami bahwa pengalaman klien berakar pada -dan dipengaruhi oleh- konteks narasi kolektif dan sosial yang lebih luas. Hal ini dikarenakan budaya adalah “sesuatu yang merepresentasikan proses dinamis yang meliputi pandangan dunia dan cara hidup dalam lingkungan sosial dan fisik dari sekelompok orang, yang berlangsung dari generasi ke generasi dan mungkin berubah karena adanya hubungan di antara budaya-budaya dalam konteks sosial, historis, dan politis tertentu” (Whaley & Davis, 2007).

Pemahaman bahwa individu dan komunitas harus diletakkan dalam konteks sosiokultural merupakan pemahaman sentral dalam psikologi komunitas dan antropologi. Pemahaman ini berakar dari filsafat ilmu pengetahuan kontekstualis yang meyakini bahwa “aktifitas manusia tidak berkembang dalam kekosongan sosial (social vacuum); sebaliknya, ia terkondisikan dalam konteks pemaknaan dan hubungan sosio-historis dan kultural” (Rosnow & Georgoudi, 1986).

Perspektif kontekstualis ini juga mempengaruhi pandangan ekologis tentang kompetensi budaya yang memfokuskan pada konteks sosiokultural dari pengalaman penderitaan (distress) dan kesejahteraan (well-being) individu. Pendekatan ekologis ini -yang memasukkan lingkungan sebagai pertimbangan penting- diharapkan dapat memperluas pandangan kita tentang apa yang kita sadari sebagai intervensi kesehatan mental yang kompeten secara budaya. Pendekatan ekologi komunitas terhadap kompetensi budaya berpijak pada tiga asumsi: (1) penderitaan psikologis individu dipahami sebagai sesuatu yang berakar pada -dan berhubungan erat dengan- pengalaman kolektif; (2) keadilan sosial dipahami sebagai satu kesatuan dengan kesejahteraan psikologis; (3) pelayanan kesehatan mental resmi dipandang sebagai sumber pelayanan utama -namun tidak eksklusif- yang dapat membantu memenuhi kebutuhan kesehatan mental suatu komunitas.

Kompetensi budaya telah dioperasionalisasikan dalam berbagai tingkatan, meliputi: (1) kompetensi klinisi/terapis (kesadaran, sikap, perilaku, dan keterampilan); (2) kompetensi profesional (kode etik dan standar praktik); (3) kompetensi organisasi (kebijakan, praktik, dan prosedur dari sebuah organisasi); (4) kompetensi sistem (praktik dan kebijakan di antara berbagai organisasi dan sektor pelayanan); dan (5) kompetensi sosial (kekuatan unilateral suatu kelompok untuk mendefinisikan realitas bagi kelompok lain dan monokulturalisme etnosentris sebagai halangan bagi kompetensi budaya) (Sue, 2001). Namun demikian, kompetensi budaya di tingkat sistem/sosial merupakan area penelitian yang terabaikan. Dan persis di sinilah letak relevansi pendekatan ekologi komunitas, yang dapat digabungkan secara lebih sistematis ke dalam konseptualisasi tentang kompetensi budaya dan implementasi pelayanan kesehatan mental.

Penderitaan dan Kesejahteraan Individu

Ilmu psikologi telah lama dikritik karena hanya berfokus pada individu yang akultural, ahistoris, dan akontekstual sebagai unit analisis dan target intervensi (Bronfenbrenner,1977; Sarason, 1981). Padahal, kalau dicermati lebih jauh, gejala psikologis individu tidak terlepas dari pengaruh konteks sosiokultural yang melingkupinya. Hal ini dikarenakan individu, selain sebagai dirinya sendiri, juga berada dalam suatu lingkungan di mana ia juga menjadi anggota dari komunitas dalam lingkungan tersebut. Ketika kita melihat permasalahan individu sebagai permasalahan individual tanpa melihat konteks sosiokultural yang melingkupinya, maka kita melupakan fakta krusial dan sentral bahwa gejala-gejala individual bisa saja merepresentasikan “dampak-dampak personal dari krisis masyarakat-luas” (Kleinman & Kleinman, 1991). Pada intinya, selalu terdapat interrealasi (kesaling-berhubungan) antara pengalaman individu dan komunitasnya dalam konteks politis, historis, sosial, dan bahkan geografis mereka.

Penelitian mengenai penderitaan individu, seperti rasisme dan trauma kolektif akibat Perang Dunia II, menunjukkan bahwa gejala pada level individu tidak terlepas dari konteks sosiokultural dan sosiohistorisnya. Trauma kolektif -akibat perang- terbentuk melalui pendiaman terhadap memori sosial traumatik, yang akhirnya mempengaruhi keluarga dan komunitas. Pendiaman ini berkontribusi pada ‘pewarisan’ penderitaan dari waktu ke waktu, sehingga menghasilkan transmisi trauma lintas-generasi. Hal ini dapat terjadi karena berdasarkan penelitian mengenai dimensi sosial dari memori manusia, “seluruh komunitas, tidak hanya individu, akan mengingat masa lalu” dengan cara mentransendensi ingatan personal dan menggabungkan pengalaman individual dengan pengalaman kelompoknya (Zerubavel, 2003). Dalam hal ini penderitaan individu diyakini berkaitan erat dengan pengalaman kolektif trauma.

Seperti halnya penderitaan individu yang berkaitan erat dengan konteks sosiokultural dan sosiohistoris yang melingkupinya, begitu pula halnya dengan kesejahteraan hidup individu. Kesejahteraan psikologis individu dipandang berkaitan erat dengan kesejahteraan hidup komunitas. Menurut Prilleltensky (2008), kita tidak bisa memisahkan aspek politis dari aspek psikologis, karena baik aspek psikologis maupun aspek politis dengan sendirinya berperan sebagai sumber munculnya penderitaan dan kesejahteraan umat manusia. Dan dengan penalaran yang sama, intervensi politik maupun intervensi psikologi masing-masing dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Dengan perspektif di atas, yaitu bahwa kesejahteraan hidup individu dan komunitas melibatkan dimensi psikologis dan politis sekaligus, maka kesejahteraan hidup didefinisikan sebagai “kepuasan yang berkelanjutan, seimbang, dan kontekstual dari (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pribadi, relasional, dan kolektif” (Prilleltensky, 2008). Kebutuhan pribadi -seperti kesehatan, kebermaknaan, dan penentuan-diri- berkaitan erat dengan kebutuhan relasional -seperti perhatian, kepedulian, dan dukungan sosial- dan kebutuhan kolektif -seperti pelayanan kesehatan yang memadai, kesetaraan ekonomi, dan perlindungan lingkungan (Prilleltensky, 2008).

Oleh karena itu, dalam pendekatan ekologi komunitas terhadap kompetensi budaya, isu-isu mengenai keadilan sosial menjadi fokus utama sebagai fondasi bagi intervensi berbasis kompetensi budaya. Para psikolog dituntut untuk lebih peduli (socially aware) pada realitas sekitar atau konteks sosiokultural yang mempengaruhi pengalaman hidup para klien mereka. Keadilan sosial dan kesejahteraan psikologis merupakan fungsi dari kemampuan (internal) dan kesempatan (eksternal). Sedangkan kekuasaan adalah “...memiliki kemampuan dan kesempatan untuk memaksakan perintah untuk melakukan tindakan tertentu”. Ketiga elemen ini -yaitu kekuasaan, kemampuan, dan kesempatan- merupakan bagian integral dari pemenuhan kebutuhan pribadi, relasional, dan kolektif untuk mencapai kesejahteraan psikologis seperti halnya peranan ketiga elemen tersebut untuk menciptakan kondisi yang mengarahkan pada tercapainya keadilan sosial (Prilleltensky dkk, 2007).

Pelayanan Kesehatan Mental pada Orang Asia-Amerika

Sue and McKinney mengawali studi tentang kesenjangan pelayanan kesehatan mental terhadap para klien Asia-Amerika dalam sistem kesehatan mental Seattle-King County pada tahun 1975 (Leong & Okazaki, 2009). Hal ini menunjukkan pentingnya konteks historis sebagai pertimbangan dalam menganalisis pelayanan kesehatan mental yang kompeten secara budaya terhadap orang-orang Asia-Amerika di Amerika Serikat.

Data dari National Latino and Asian American Survey (NLAAS) menunjukkan bahwa hanya 28 persen orang Asia-Amerika yang memanfaatkan pelayanan kesehatan mental resmi sepanjang hidup mereka. Sebaliknya, 78 persen dari mereka yang membutuhkan pelayanan kesehatan mental tidak mencari pelayanan kesehatan mental sama sekali. Selain itu, 16 persen dari mereka yang didiagnosa dengan gangguan mental menggunakan layanan primer dan 11 persen menggunakan layanan alternatif di masyarakat (Meyer dkk, 2009). Temuan ini menunjukkan pentingnya mengadopsi pandangan ekologis yang lebih luas terhadap pelayanan kesehatan mental.

Dalam perspektif ekologis, kita seharusnya tidak hanya meneliti penyediaan pelayanan kesehatan mental yang kompeten secara budaya, tetapi juga mengeksplorasi cara mengatasi kebutuhan orang-orang Asia-Amerika yang menderita namun tidak merasa butuh untuk mencari pelayanan kesehatan mental di atas. Hal ini membuat kita menyadari adanya kebutuhan komunitas terhadap penyembuhan sosial (social healing) di luar sektor layanan kesehatan mental, selain kebutuhan individu terhadap pelayanan di dalam sektor layanan kesehatan mental.

Individu, Komunitas, dan Kompetensi Budaya

Dalam menghadapi dan menangani permasalahan individu dengan pendekatan ekologi komunitas yang memiliki kompetensi budaya, seorang klinisi/terapis harus memiliki kemampuan yang disebut filsuf Perancis, Emmanuel Levinas, dengan -pengakuan terhadap pengalaman- sebagai tugas etis pertamanya (Kleinman & Benson, 2006). Mengakui pengalaman dengan empati dan keterbukaan adalah ciri utama dari pertemuan terapeutik yang efektif. Sedangkan Eisenbruch (1991) mengemukakan istilah keberanian kultural untuk mempertanyakan kategorisasi gejala klinis individu dalam PTSD yang tidak mempertimbangkan konteks kultural, historis, bahkan politis yang berkaitan.

Dengan demikian, para terapis dituntut untuk memperhatikan konteks sosiokultural dari pengalaman individu, sehingga pengalaman klien tidak dipatologisasi atau dimedikalisasi sebagai gejala individual dari masalah pribadi semata. Kesadaran ini akan membantu para terapis untuk menormalisasi pengalaman klien mereka dan memberdayakan mereka untuk terlibat dalam refleksi yang bermakna dan tindakan yang mungkin, sebagaimana mereka mampu menafsirkan pengalaman mereka dalam konteks sosial yang lebih luas.

Selain berfokus pada permasalahan individu, menurut perspektif ekologi komunitas terhadap pelayanan kesehatan mental yang kompeten secara budaya, para psikolog/terapis juga harus menyadari pentingnya upaya mengatasi permasalahan komunitas. Hal ini dikarenakan perspektif ekologi komunitas meyakini bahwa pendekatan individu dan komunitas dalam memenuhi kebutuhan kesehatan mental merupakan satu kesatuan. Pendekatan komunitas ini dilakukan dengan penyembuhan sosial (social healing).

Penyembuhan sosial dapat dilakukan dengan menumbuhkan dan mendukung penyediaan ruang liminal di tempat umum (Hooks, 1990; Shulman & Watkins, 2008). Ruang liminal adalah semacam lambang, in-between, yang berisi sesuatu yang keluar dari sisi peluang yang disediakan kebudayaan. Dengan kata lain, ruang liminal merupakan tempat teraplikasikannya potensi yang dimiliki oleh suatu kebudayaan. Ruang liminal menggambarkan keamanan, tempat terpercaya bagi ingatan komunal, peringatan, dan pengekspresian trauma masa lalu, yang berfungsi untuk menggali dan mengungkapkan memori sosial dan pengalaman kolektif yang sebelumnya diam dan bahkan tak terlihat. Ekspresi ini dapat terjadi melalui penjelasan verbal yang memberikan kesaksian terhadap trauma -seperti komisi kebenaran dan audiensi rekonsiliasi- serta melalui penjelasan nonverbal, termasuk seni dan penciptaan kenangan (memorial) yang mencerminkan ingatan, kehilangan, dan penderitaan komunal (Shulman & Watkins, 2008).

Karena kehidupan kita sebagai manusia berakar pada suatu tempat, mungkin bermanfaat bagi psikolog untuk mempertimbangkan cara berkontribusi mereka dengan upaya penumbuhan ruang-ruang publik dalam masyarakat; ruang-ruang publik yang secara aman menjaga memori, ekspresi, dan kenangan individu dan komunal. Tempat-tempat ini dapat: (a) memberikan kontribusi bagi pengakuan penuh terhadap pengalaman masyarakat, termasuk pengalaman trauma dan perpindahan, serta (b) menegaskan kebutuhan anggota untuk menumbuhkan tempat-tempat baru bagi rasa kepemilikan dan penegasan eksistensi.

No comments: