Mochammad Said
Mahasiswa Magister Psikologi Unair
A. Teori Pernyataan-Harapan (Expectation-States
Theory)
Teori
pernyataan-harapan diawali oleh studi yang dilakukan oleh Robert F. Bales
tentang perilaku interpersonal individu dalam kelompok (small group) (Delamater,
2006). Dalam studi tersebut ia menem ukan hasil bahwa walaupun tidak ada
struktur kelompok dan seluruh anggota kelompok memiliki kesamaan
(kedudukan/status) sosial, terjadi ketidaksetaraan (inequalities)
interaksi dalam kelompok tersebut. Anggota kelompok yang lebih aktif,
dibandingkan anggota lainnya, dianggap memiliki ide paling baik dan paling
mempengaruhi dinamika kelompok. Studi Bales tersebut mempengaruhi Joseph
Berger, Bernard Cohen, Morris Zelditch, dan kolega-kolega mereka untuk mempelajari
penyebab dan proses terjadinya ketidaksetaraan (diistilahkan sebagai ‘struktur “power
and prestige” kelompok’) yang terjadi dalam kelompok.
Teori pernyataan-harapan berusaha menjelaskan
terbentuknya hierarki status dalam situasi-situasi di mana para aktornya dituntut
untuk melaksanakan dan mencapai suatu tujuan atau tugas kolektif, misalnya di
dunia kerja dan sekolah. Fokus para anggota kelompok terhadap tujuan kelompok
menghasilkan tekanan pada diri masing-masing anggota kelompok untuk
mengantisipasi kualitas relatif dari kontribusi setiap anggota dalam
menyelesaikan tugas untuk memutuskan bagaimana bertindak. Ketika para anggota
kelompok, karena alasan apapun, mengantisipasi bahwa individu tertentu akan
memberikan kontribusi yang lebih baik, mereka akan lebih condong kepadanya dan
memberinya kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi. Antisipasi
implisit –yang sering tidak disadari- tentang kualitas relatif kinerja anggota
dalam tugas kelompok ini disebut pernyataan harapan-kinerja (performance
expectation states).
Harapan-kinerja di atas pada akhirnya menciptakan
dan memelihara hierarki partisipasi, penilaian, dan pengaruh di antara para
aktor sehingga membentuk hierarki status kelompok. Anggota kelompok dengan harapan-kinerja
yang lebih rendah akan mendapat kesempatan yang lebih sedikit untuk tampil,
berbicara lebih sedikit, dan bahkan seringkali kontribusinya diabaikan atau
dinilai rendah, apalagi ketika terdapat ketidaksetujuan dari anggota kelompok
lain. Namun sebaliknya, anggota kelompok dengan harapan-kinerja yang
lebih tinggi akan mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk tampil, berbicara
lebih banyak, dan seringkali kontribusi serta saran-sarannya dinilai positif,
bahkan walaupun terdapat ketidaksetujuan dari anggota kelompok lain.
Proses terbentuknya harapan-kinerja dipengaruhi
oleh 3 faktor sosial, yaitu karakteristik status yang dianggap penting secara
sosial (socially significant characteristics) seperti ras, gender, dan penampilan
fisik, penghargaan sosial (social rewards), dan pola interaksi perilaku
di antara para aktor (behavioral interchange patterns).
Karakteristik status adalah atribut-atribut
individual yang membuat seseorang berbeda -seperti gender, keahlian komputer dan
menghasilkan serangkaian keyakinan budaya yang menghubungkan keterampilan dan
kompetensi sosial yang lebih baik dengan suatu kategori atribut tertentu (pria,
ahli komputer) dibandingkan dengan kategori atribut lainnya (wanita, tidak ahli
komputer). Karakteristik status bisa bersifat khusus (spesifik) atau menyebar
(difusi). Karakteristik status khusus, seperti keahlian komputer, membawa
harapan kultural tentang kompetensi pada lingkup pekerjaan yang terbatas,
sehingga hanya berdampak pada terbentuknya harapan-kinerja hanya pada lingkup
terbatas itu.
Sedangkan karakteristik status yang menyebar,
seperti gender dalam kultur banyak negara, membawa harapan kultural yang lebih
luas tentang kompetensi tertentu. Ia mempengaruhi harapan-kinerja pada
lingkup yang luas. Keyakinan-keyakinan kultural yang membentuk suatu
karakteristik status berpengaruh besar terhadap munculnya stereotipe kelompok dan
identitas sosial. Keyakinan tentang status (status beliefs) merupakan
representasi sosial yang digunakan untuk menilai bahwa suatu kategori lebih
baik dan kompeten dibandingkan kategori lainnya.
Faktor yang kedua, yaitu penghargaan sosial (social
rewards), berpengaruh terhadap munculnya harapan-kinerja yang berbeda di
antara individu-individu dalam suatu kelompok, dan hal ini menghasilkan hierarki
status tertentu dalam kelompok tersebut. Hal ini disebabkan karena penghargaan
sosial terdistribusi secara tidak adil di antara para anggota kelompok. Cook
(1975) melakukan eksperimen untuk membuktikan argumen ini, dan hasilnya
menunjukkan bahwa ketika sebagian anggota memberikan penghargaan yang berbeda
(lebih tinggi atau lebih rendah) kepada salah satu anggota kelompok lain yang
tidak memiliki dasar untuk menilai kinerja mereka dalam tugas bersama, maka
para anggota lainnya juga memberikan penghargaan yang berbeda dan menyimpulkan
dan menghasilkan adanya perbedaan kemampuan di antara para anggota kelompok
tersebut.
Sedangkan faktor yang ketiga, yaitu pola interaksi
perilaku antar-anggota, dapat mengakibatkan munculnya harapan-kinerja yang
berbeda ketika salah satu anggota kelompok menampilkan perilaku asertif
–seperti memulai pembicaraan, memberikan saran, dan menunjukkan ketidaksetujuan
terhadap suatu pendapat lain-, di mana perilaku ini dibandingkan dengan anggota
kelompok yang menunjukkan perilaku pasif –seperti jarang berbicara, menilai
positif saran anggota lain, dan mengubah pendirian untuk menyetujui pendapat
anggota lain). Pola ini akan menghasilkan apa yang disebut dengan status
typification, yang merupakan keyakinan-keyakinan tentang tipe status-tinggi-status-rendah
dan perilaku pemimpin-pengikut. Pada akhirnya, anggota kelompok yang lebih
asertif akan dianggap lebih kompeten dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas
dibandingkan anggota yang lebih pasif. Penilaian yang berbeda inilah yang
kemudian memunculkan adanya hierarki status dalam kelompok tersebut.
Teori pernyataan-harapan melahirkan konsep turunan,
di antaranya adalah teori standar-ganda (double-standard theory) dan konsep
legitimasi (legitimacy). Teori standar-ganda diawali oleh temuan
penelitian Carter (1993) tentang hambatan yang dialami oleh orang-orang
Afrika-Amerika di AS ketika mereka berusaha untuk menunjukkan kompetensi mereka
di sekolah atau di dunia kerja. Akibat keyakinan tentang status yang tidak
menguntungkan, orang-orang dari kelompok status rendah (low status groups)
harus menunjukkan tingkat kinerja yang lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari
kelompok status tinggi (high status groups) agar dianggap dan dinilai
sama-sama kompeten.
Temuan tersebut dilanjutkan oleh Foschi (1989, 2000).
Ia memperkenalkan istilah “standar (standards)” sebagai mekanisme yang
digunakan oleh para pelaku untuk mengatribustikan kinerja terhadap kemampuan.
Standar dalam hal ini merupakan fungsi karakteristik status difusi yang
menciptakan perbedaan harapan-kinerja bagi para pelakunya, dan akhirnya
menghasilkan perbedaan standar dalam mengatribusikan kemampuan. Ketika
seseorang dari kelompok status lebih rendah menunjukkan kinerja yang baik dalam
tugas kelompok, ia akan dinilai rendah karena kinerja yang baik tersebut tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan berdasarkan posisinya dalam hierarki status
kelompok. Namun ketika seseorang dari kelompok status lebih tinggi menunjukkan
kinerja yang sama, ia akan dinilai lebih tinggi dan positif karena sesuai
dengan harapan yang didasarkan pada status hierarkinya (status-based
expectations). Dengan demikian, kinerja tugas yang sama akan dinilai lebih
mencerminkan kemampuan ketika ditunjukkan oleh anggota kelompok dengan status sosial
yang lebih tinggi. Inilah yang dimaksud dengan standar-ganda.
Sedangkan konsep legitimasi berasal dari
konseptualisasi tentang resistensi yang dihadapi oleh para pemimpin yang
berasal dari kelompok yang tidak diuntungkan akibat status yang disandangnya.
Hal ini mengakibatkan mereka mengalami problem legitimasi dari struktur status
yang lebih mengutamakan orang-orang dari kelompok yang diuntungkan akibat
status yang disandangnya. Menurut teori pernyataan-harapan, keyakinan tentang
status berkaitan erat dengan karakteristik status yang menyebar, bahkan
mempengaruhi harapan-kinerja, juga menyediakan dukungan kultural bagi hierarki
status yang dimanfaatkan oleh orang-orang dengan keuntungan status yang
menyebar. Dukungan kultural ini membuat hierarki tersebut tampak “benar”.
Dengan keuntungan status dan dukungan kultural tersebut, maka seseorang akan
dinilai lebih layak untuk menempati suatu posisi status tertentu dalam kelompok
dibandingkan orang lain yang berasal dari status yang lebih rendah. Penilaian
kelayakan (dukungan kultural) berdasarkan status inilah yang dimaksud dengan
legitimasi.
B. Teori Posmodernisme
Secara etimologis, posmodern terdiri dari 2 kata, post dan modern.
Kata post, (dalam Webster’s Dictionary Library) adalah bentuk prefix
(awalan), diartikan dengan ‘later or after’. Bila kita menyatukannya
menjadi postmodern, maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern
itu sendiri dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di
zaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.
Sedangkan secara terminologis, menurut Pauline M. Rosenau,
posmodernisme berarti: 1) kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya
memenuhi janji-janjinya tentang kesejahteraan melalui industrialisasi,
urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, dan kehidupan serba cepat; 2)
menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view),
metanarasi, totalitas, universalitas, dan semacamnya.
Istilah posmodernisme berawal dari pembahasan
tentang istilah “posmodern” dalam tahun 1950-an dan 1960-an dalam bidang
arsitektur, kritik sastra, dan sosiologi di Amerika Serikat. Pada tahun
1970-an, para filsuf Perancis mempopulerkan istilah “posmodernitas”, dan pada
tahun 1980-an persoalan posmodern telah menjadi pembahasan umum di kalangan
ilmuwan sebagai kritik terhadap kebudayaan modern secara umum. Pada dasarnya
teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi
keras terhadap modernisme (Kvale, 2006).
Pandangan modernisme, termasuk di dalamnya ilmu
psikologi modernis, memiliki keyakinan yang kuat terhadap upaya mencapai
kemajuan dan emansipasi dengan jalan pengetahuan dan penelitian ilmiah.
Pengetahuan ilmiah tersebut, menurut Gergen, memiliki setidaknya 3 ciri utama
(Kvale, 2006). Pertama, sifat universal. Psikologi modernis memiliki
keyakinan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat universal, artinya berbagai studi
sistematis mengenai persepsi, memori, pembelajaran, dan semacamnya, bisa
diterapkan dan digeneralisasikan pada waktu, situasi, dan orang-orang lain di
tempat yang berbeda. Suatu hasil temuan ilmiah dapat digunakan untuk memprediksi
persoalan-persoalan serupa dalam konteks yang berbeda.
Kedua, menekankan penggunaan metode empiris. Karena psikologi modernis
mendasarkan diri pada filsafat positivisme empiris, maka ia juga memiliki
keyakinan tentang pencapaian kebenaran ilmiah melalui metode empiris, khususnya
eksperimen terkontrol. Selain itu, ia juga melarang masuknya ideologi,
nilai-nilai, atau pengaruh-pengaruh subyektif lainnya dalam proses penelitian,
deskripsi, dan penjelasan mengenai suatu permasalahan. Ketiga, mengagungkan
penelitian atau riset sebagai kemajuan. Sebagai akibat lanjutan dari metode
empiris yang diyakininya, psikologi modernis memiliki keyakinan kuat bahwa ilmu
bersifat kumulatif, artinya pengetahuan ilmiah merupakan kemajuan dan
perkembangan dari temuan-temuan terdahulu, dan persis di sinilah letak kemajuan
atau sifat progresif riset ilmiah.
Sedangkan psikologi posmodernis merupakan
antitesis dari psikologi modernis di atas (Gergen dalam Kvale, 2006). Pertama, psikologi
posmodernis beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah tidak bersifat universal,
melainkan bersifat kontekstual, bahkan relatif. Artinya, temuan-temuan ilmiah
dalam konteks tertentu tidak dapat diterapkan dan digeneralisasikan pada
konteks yang lain. Temuan tersebut berlaku hanya dalam konteks setempat, dan
setiap teori terbentuk serta dihasilkan dari latar belakang sosiohistoris
tertentu.
Kedua, psikologi posmodernis juga beranggapan bahwa klaim
universalitas
haruslah diganti dengan refleksi kontekstual. Artinya, ilmu psikologi
harus dikembangkan dari fakta-fakta dan pendekatan lokal sehingga setiap
fenomena terjaga keunikannya. Ketiga, psikologi posmodernis menekankan marjinalisasi metode, artinya
metode penelitian hanyalah sekedar alat teropong, bukan tujuan itu sendiri. Dan
keempat, psikologi posmodernis mengusung kritik kultural, yaitu sikap
kritis terhadap problem-problem serius kemanusiaan yang diakibatkan oleh
penerapan ilmu dan teknologi modern. Ilmu psikologi posmodern, karena itu,
harus senantiasa kritis sekaligus peka terhadap dinamika masyarakat.
Asumsi dasar psikologi sosial
posmodern (Gergen dalam Kvale, 2006) ada dua. Pertama, individu merupakan produk
dari komunitas/budaya. Kedua, setiap ide tentang realitas merupakan konstruksi
sosial.
Daftar
Pustaka:
___________.
2009. Postmodern. Diakses pada 28 November 2014 dari http://maktabah-stid.blogspot.com/2009/06/post-modern.html.
Delamater, John (ed.). 2006. Handbook
of Social Psychology. New York: Springer.
Hepburn, Alexa. 2003. An Introduction
to Critical Social Psychology. London: Sage Publications.
Kvale, Steinar (ed.). 2006. Psikologi
dan Posmodernisme (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawwar, D.
R. 2008. Mencari Bentuk Psikologi dalam Lanskap Budaya Posmodern. Jurnal
Psikologi, I (2), 231-234.
Mustafa, Hasan. 2011. Perilaku Manusia
dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Administrasi Bisnis, 7 (2), 143-156.
Sarwono, Sarlito W. 1984. Teori-teori
Psikologi Sosial. Jakarta: CV. Rajawali.
Shaw, Marvin
E. & Costanzo, Philip R. 1985. Theories of Social Psychology (Second
Edition). New York: McGraw-Hill.
Michener, H. Andrew & Delamater,
John. 1999. Social Psychology. California: Harcourt Brace University.
1 comment:
Tolong diganti warna background atau tulisannya. sangat susah dibaca. bahkan tidak terbaca sama sekali
Post a Comment