27 March 2015

Teori Psikologi Sosial: Teori Pernyataan-Harapan dan Posmodernisme



Mochammad Said
Mahasiswa Magister Psikologi Unair


A.  Teori Pernyataan-Harapan (Expectation-States Theory)
            Teori pernyataan-harapan diawali oleh studi yang dilakukan oleh Robert F. Bales tentang perilaku interpersonal individu dalam kelompok (small group) (Delamater, 2006). Dalam studi tersebut ia menem ukan hasil bahwa walaupun tidak ada struktur kelompok dan seluruh anggota kelompok memiliki kesamaan (kedudukan/status) sosial, terjadi ketidaksetaraan (inequalities) interaksi dalam kelompok tersebut. Anggota kelompok yang lebih aktif, dibandingkan anggota lainnya, dianggap memiliki ide paling baik dan paling mempengaruhi dinamika kelompok. Studi Bales tersebut mempengaruhi Joseph Berger, Bernard Cohen, Morris Zelditch, dan kolega-kolega mereka untuk mempelajari penyebab dan proses terjadinya ketidaksetaraan (diistilahkan sebagai ‘struktur “power and prestige” kelompok’) yang terjadi dalam kelompok.
Teori pernyataan-harapan berusaha menjelaskan terbentuknya hierarki status dalam situasi-situasi di mana para aktornya dituntut untuk melaksanakan dan mencapai suatu tujuan atau tugas kolektif, misalnya di dunia kerja dan sekolah. Fokus para anggota kelompok terhadap tujuan kelompok menghasilkan tekanan pada diri masing-masing anggota kelompok untuk mengantisipasi kualitas relatif dari kontribusi setiap anggota dalam menyelesaikan tugas untuk memutuskan bagaimana bertindak. Ketika para anggota kelompok, karena alasan apapun, mengantisipasi bahwa individu tertentu akan memberikan kontribusi yang lebih baik, mereka akan lebih condong kepadanya dan memberinya kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi. Antisipasi implisit –yang sering tidak disadari- tentang kualitas relatif kinerja anggota dalam tugas kelompok ini disebut pernyataan harapan-kinerja (performance expectation states).
Harapan-kinerja di atas pada akhirnya menciptakan dan memelihara hierarki partisipasi, penilaian, dan pengaruh di antara para aktor sehingga membentuk hierarki status kelompok. Anggota kelompok dengan harapan-kinerja yang lebih rendah akan mendapat kesempatan yang lebih sedikit untuk tampil, berbicara lebih sedikit, dan bahkan seringkali kontribusinya diabaikan atau dinilai rendah, apalagi ketika terdapat ketidaksetujuan dari anggota kelompok lain. Namun sebaliknya, anggota kelompok dengan harapan-kinerja yang lebih tinggi akan mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk tampil, berbicara lebih banyak, dan seringkali kontribusi serta saran-sarannya dinilai positif, bahkan walaupun terdapat ketidaksetujuan dari anggota kelompok lain.
Proses terbentuknya harapan-kinerja dipengaruhi oleh 3 faktor sosial, yaitu karakteristik status yang dianggap penting secara sosial (socially significant characteristics) seperti ras, gender, dan penampilan fisik, penghargaan sosial (social rewards), dan pola interaksi perilaku di antara para aktor (behavioral interchange patterns).
Karakteristik status adalah atribut-atribut individual yang membuat seseorang berbeda -seperti gender, keahlian komputer dan menghasilkan serangkaian keyakinan budaya yang menghubungkan keterampilan dan kompetensi sosial yang lebih baik dengan suatu kategori atribut tertentu (pria, ahli komputer) dibandingkan dengan kategori atribut lainnya (wanita, tidak ahli komputer). Karakteristik status bisa bersifat khusus (spesifik) atau menyebar (difusi). Karakteristik status khusus, seperti keahlian komputer, membawa harapan kultural tentang kompetensi pada lingkup pekerjaan yang terbatas, sehingga hanya berdampak pada terbentuknya harapan-kinerja hanya pada lingkup terbatas itu.
Sedangkan karakteristik status yang menyebar, seperti gender dalam kultur banyak negara, membawa harapan kultural yang lebih luas tentang kompetensi tertentu. Ia mempengaruhi harapan-kinerja pada lingkup yang luas. Keyakinan-keyakinan kultural yang membentuk suatu karakteristik status berpengaruh besar terhadap munculnya stereotipe kelompok dan identitas sosial. Keyakinan tentang status (status beliefs) merupakan representasi sosial yang digunakan untuk menilai bahwa suatu kategori lebih baik dan kompeten dibandingkan kategori lainnya.
Faktor yang kedua, yaitu penghargaan sosial (social rewards), berpengaruh terhadap munculnya harapan-kinerja yang berbeda di antara individu-individu dalam suatu kelompok, dan hal ini menghasilkan hierarki status tertentu dalam kelompok tersebut. Hal ini disebabkan karena penghargaan sosial terdistribusi secara tidak adil di antara para anggota kelompok. Cook (1975) melakukan eksperimen untuk membuktikan argumen ini, dan hasilnya menunjukkan bahwa ketika sebagian anggota memberikan penghargaan yang berbeda (lebih tinggi atau lebih rendah) kepada salah satu anggota kelompok lain yang tidak memiliki dasar untuk menilai kinerja mereka dalam tugas bersama, maka para anggota lainnya juga memberikan penghargaan yang berbeda dan menyimpulkan dan menghasilkan adanya perbedaan kemampuan di antara para anggota kelompok tersebut.
Sedangkan faktor yang ketiga, yaitu pola interaksi perilaku antar-anggota, dapat mengakibatkan munculnya harapan-kinerja yang berbeda ketika salah satu anggota kelompok menampilkan perilaku asertif –seperti memulai pembicaraan, memberikan saran, dan menunjukkan ketidaksetujuan terhadap suatu pendapat lain-, di mana perilaku ini dibandingkan dengan anggota kelompok yang menunjukkan perilaku pasif –seperti jarang berbicara, menilai positif saran anggota lain, dan mengubah pendirian untuk menyetujui pendapat anggota lain). Pola ini akan menghasilkan apa yang disebut dengan status typification, yang merupakan keyakinan-keyakinan tentang tipe status-tinggi-status-rendah dan perilaku pemimpin-pengikut. Pada akhirnya, anggota kelompok yang lebih asertif akan dianggap lebih kompeten dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas dibandingkan anggota yang lebih pasif. Penilaian yang berbeda inilah yang kemudian memunculkan adanya hierarki status dalam kelompok tersebut. 

 

Teori pernyataan-harapan melahirkan konsep turunan, di antaranya adalah teori standar-ganda (double-standard theory) dan konsep legitimasi (legitimacy). Teori standar-ganda diawali oleh temuan penelitian Carter (1993) tentang hambatan yang dialami oleh orang-orang Afrika-Amerika di AS ketika mereka berusaha untuk menunjukkan kompetensi mereka di sekolah atau di dunia kerja. Akibat keyakinan tentang status yang tidak menguntungkan, orang-orang dari kelompok status rendah (low status groups) harus menunjukkan tingkat kinerja yang lebih tinggi dibandingkan orang-orang dari kelompok status tinggi (high status groups) agar dianggap dan dinilai sama-sama kompeten.
Temuan tersebut dilanjutkan oleh Foschi (1989, 2000). Ia memperkenalkan istilah “standar (standards)” sebagai mekanisme yang digunakan oleh para pelaku untuk mengatribustikan kinerja terhadap kemampuan. Standar dalam hal ini merupakan fungsi karakteristik status difusi yang menciptakan perbedaan harapan-kinerja bagi para pelakunya, dan akhirnya menghasilkan perbedaan standar dalam mengatribusikan kemampuan. Ketika seseorang dari kelompok status lebih rendah menunjukkan kinerja yang baik dalam tugas kelompok, ia akan dinilai rendah karena kinerja yang baik tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan berdasarkan posisinya dalam hierarki status kelompok. Namun ketika seseorang dari kelompok status lebih tinggi menunjukkan kinerja yang sama, ia akan dinilai lebih tinggi dan positif karena sesuai dengan harapan yang didasarkan pada status hierarkinya (status-based expectations). Dengan demikian, kinerja tugas yang sama akan dinilai lebih mencerminkan kemampuan ketika ditunjukkan oleh anggota kelompok dengan status sosial yang lebih tinggi. Inilah yang dimaksud dengan standar-ganda.
Sedangkan konsep legitimasi berasal dari konseptualisasi tentang resistensi yang dihadapi oleh para pemimpin yang berasal dari kelompok yang tidak diuntungkan akibat status yang disandangnya. Hal ini mengakibatkan mereka mengalami problem legitimasi dari struktur status yang lebih mengutamakan orang-orang dari kelompok yang diuntungkan akibat status yang disandangnya. Menurut teori pernyataan-harapan, keyakinan tentang status berkaitan erat dengan karakteristik status yang menyebar, bahkan mempengaruhi harapan-kinerja, juga menyediakan dukungan kultural bagi hierarki status yang dimanfaatkan oleh orang-orang dengan keuntungan status yang menyebar. Dukungan kultural ini membuat hierarki tersebut tampak “benar”. Dengan keuntungan status dan dukungan kultural tersebut, maka seseorang akan dinilai lebih layak untuk menempati suatu posisi status tertentu dalam kelompok dibandingkan orang lain yang berasal dari status yang lebih rendah. Penilaian kelayakan (dukungan kultural) berdasarkan status inilah yang dimaksud dengan legitimasi.

B.  Teori Posmodernisme
Secara etimologis, posmodern terdiri dari 2 kata, post dan modern. Kata post, (dalam Webster’s Dictionary Library) adalah bentuk prefix (awalan), diartikan dengan ‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern, maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di zaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.
Sedangkan secara terminologis, menurut Pauline M. Rosenau, posmodernisme berarti: 1) kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya tentang kesejahteraan melalui industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, dan kehidupan serba cepat; 2) menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, universalitas, dan semacamnya.
Istilah posmodernisme berawal dari pembahasan tentang istilah “posmodern” dalam tahun 1950-an dan 1960-an dalam bidang arsitektur, kritik sastra, dan sosiologi di Amerika Serikat. Pada tahun 1970-an, para filsuf Perancis mempopulerkan istilah “posmodernitas”, dan pada tahun 1980-an persoalan posmodern telah menjadi pembahasan umum di kalangan ilmuwan sebagai kritik terhadap kebudayaan modern secara umum. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap modernisme (Kvale, 2006).
Pandangan modernisme, termasuk di dalamnya ilmu psikologi modernis, memiliki keyakinan yang kuat terhadap upaya mencapai kemajuan dan emansipasi dengan jalan pengetahuan dan penelitian ilmiah. Pengetahuan ilmiah tersebut, menurut Gergen, memiliki setidaknya 3 ciri utama (Kvale, 2006). Pertama, sifat universal. Psikologi modernis memiliki keyakinan bahwa pengetahuan ilmiah bersifat universal, artinya berbagai studi sistematis mengenai persepsi, memori, pembelajaran, dan semacamnya, bisa diterapkan dan digeneralisasikan pada waktu, situasi, dan orang-orang lain di tempat yang berbeda. Suatu hasil temuan ilmiah dapat digunakan untuk memprediksi persoalan-persoalan serupa dalam konteks yang berbeda.
Kedua, menekankan penggunaan metode empiris. Karena psikologi modernis mendasarkan diri pada filsafat positivisme empiris, maka ia juga memiliki keyakinan tentang pencapaian kebenaran ilmiah melalui metode empiris, khususnya eksperimen terkontrol. Selain itu, ia juga melarang masuknya ideologi, nilai-nilai, atau pengaruh-pengaruh subyektif lainnya dalam proses penelitian, deskripsi, dan penjelasan mengenai suatu permasalahan. Ketiga, mengagungkan penelitian atau riset sebagai kemajuan. Sebagai akibat lanjutan dari metode empiris yang diyakininya, psikologi modernis memiliki keyakinan kuat bahwa ilmu bersifat kumulatif, artinya pengetahuan ilmiah merupakan kemajuan dan perkembangan dari temuan-temuan terdahulu, dan persis di sinilah letak kemajuan atau sifat progresif riset ilmiah.
Sedangkan psikologi posmodernis merupakan antitesis dari psikologi modernis di atas (Gergen dalam Kvale, 2006). Pertama, psikologi posmodernis beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah tidak bersifat universal, melainkan bersifat kontekstual, bahkan relatif. Artinya, temuan-temuan ilmiah dalam konteks tertentu tidak dapat diterapkan dan digeneralisasikan pada konteks yang lain. Temuan tersebut berlaku hanya dalam konteks setempat, dan setiap teori terbentuk serta dihasilkan dari latar belakang sosiohistoris tertentu.
Kedua, psikologi posmodernis juga beranggapan bahwa klaim universalitas haruslah diganti dengan refleksi kontekstual. Artinya, ilmu psikologi harus dikembangkan dari fakta-fakta dan pendekatan lokal sehingga setiap fenomena terjaga keunikannya. Ketiga, psikologi posmodernis menekankan marjinalisasi metode, artinya metode penelitian hanyalah sekedar alat teropong, bukan tujuan itu sendiri. Dan keempat, psikologi posmodernis mengusung kritik kultural, yaitu sikap kritis terhadap problem-problem serius kemanusiaan yang diakibatkan oleh penerapan ilmu dan teknologi modern. Ilmu psikologi posmodern, karena itu, harus senantiasa kritis sekaligus peka terhadap dinamika masyarakat.

 Asumsi dasar psikologi sosial posmodern (Gergen dalam Kvale, 2006) ada dua. Pertama, individu merupakan produk dari komunitas/budaya. Kedua, setiap ide tentang realitas merupakan konstruksi sosial.




Daftar Pustaka:
___________. 2009. Postmodern. Diakses pada 28 November 2014 dari http://maktabah-stid.blogspot.com/2009/06/post-modern.html.
Delamater, John (ed.). 2006. Handbook of Social Psychology. New York: Springer.
Hepburn, Alexa. 2003. An Introduction to Critical Social Psychology. London: Sage Publications.
Kvale, Steinar (ed.). 2006. Psikologi dan Posmodernisme (terj.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawwar, D. R. 2008. Mencari Bentuk Psikologi dalam Lanskap Budaya Posmodern. Jurnal Psikologi, I (2), 231-234.
Mustafa, Hasan. 2011. Perilaku Manusia dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Administrasi Bisnis, 7 (2), 143-156.
Sarwono, Sarlito W. 1984. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV. Rajawali.
Shaw, Marvin E. & Costanzo, Philip R. 1985. Theories of Social Psychology (Second Edition). New York: McGraw-Hill.
Michener, H. Andrew & Delamater, John. 1999. Social Psychology. California: Harcourt Brace University.

1 comment:

Anonymous said...

Tolong diganti warna background atau tulisannya. sangat susah dibaca. bahkan tidak terbaca sama sekali