Mochammad
Said
Ketika penulis dihubungi pengurus redaksi majalah ini dan diminta menulis
untuk rubrik ini, tiba-tiba pikiran penulis tertuju pada sebuah berita di media
massa tentang peristiwa yang belum begitu lama berlalu. Berita itu memuat
tentang peristiwa kekerasan yang dilakukan beberapa santri di sebuah pesantren
di Jombang yang berujung pada kematian korban. Penulis sendiri awalnya heran,
mengapa ia langsung teringat pada peristiwa itu. Namun setelah penulis
renungkan, mungkin hal itu terjadi karena peristiwa tersebut adalah peristiwa
yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Bagaimana tidak, para santri yang
dididik dan diasuh di lembaga pendidikan yang bernama pesantren, tega melakukan
perbuatan yang tidak manusiawi itu. Padahal, pesantren adalah salah satu kawah
candradimuka dalam pendidikan moral di negeri ini.
Penulis teringat pada sebuah tulisan yang ditulis oleh almarhum Dr. Masri
Singarimbun, seorang antropolog sosial dari UGM. Tulisan itu berjudul Batas
Agresi Di Mana dan dimuat dalam buku kumpulan tulisannya yang berjudul Renungan
dari Yogya (Singarimbun, 1992). Dalam tulisannya tersebut, ia mengungkapkan
dengan apik -dengan mengutip paparan hasil penelitian Konrad Lorenz, seorang
penerima Hadiah Nobel- bahwa manusia pada dasarnya memiliki nafsu agresi
seperti halnya hewan. Namun dalam kenyataannya, ternyata beberapa hewan justru
lebih mampu mengendalikan nafsu agresinya dibandingkan manusia. Ia mencontohkan
bahwa ketika anjing berkelahi dengan anjing lain, maka anjing yang menang akan
menghentikan agresinya ketika anjing yang kalah menunjukkan pernyataan
kekalahannya dengan ekor yang membengkok di antara kaki belakang yang merunduk,
dan beberapa sikap khas lainnya.
Sedangkan manusia, dalam banyak kasus yang bisa kita temui, sering tidak
mampu menghentikan agresinya walau manusia yang diserang itu sudah menyatakan
tunduk dan minta ampun. Entah yang diserang itu pencuri ayam atau musuh dalam
perang, atau seperti korban kekerasan di atas. Manusia yang berbudaya seolah
berubah menjadi makhluk lain ketika tak mampu mengendalikan nafsu agresinya.
Dalam perenungannya, penulis pun bertanya-tanya: Apa (atau siapa) yang
salah hingga mengakibatkan terjadinya peristiwa kekerasan seperti di atas? Apakah
persoalannya hanya berkisar pada masalah mentalitas individual si pelaku (dan
korban) saja? Ataukah ada yang salah dengan lembaga pendidikan kita? Atau ada
yang bermasalah dengan keadaan masyarakat kita saat ini?
Keterasingan Hidup
Ketika penulis mencoba mencari dan membaca buku-buku yang membahas topik
tulisan ini di perpustakaan pribadinya, ia menemukan sebuah tulisan menarik
berjudul Remaja dan Keterasingan yang ditulis oleh Prof. Djamaluddin
Ancok, salah satu guru besar di Fakultas Psikologi UGM dan dosen penulis waktu
menjalani studi sarjana. Tulisan itu dimuat dalam buku kumpulan tulisannya yang
berjudul Psikologi Terapan: Mengupas Dinamika Kehidupan Umat Manusia (Ancok,
2004). Menurut penulis, apa yang Prof. Ancok paparkan dalam tulisannya tersebut
sangat relevan untuk menjawab pertanyaan di atas. Tulisan itu juga mewakili
realitas sosial yang dialami dan terjadi pada para remaja kita saat ini.
Prof. Ancok menuturkan bahwa perilaku patologis para remaja -seperti
kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya- terjadi akibat adanya proses
keterasingan (alienasi) mereka dari kehidupan yang wajar. Akar penyebab dari
hal ini adalah pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Orientasi pembangunan yang demikian telah mengubah nilai hidup manusia menjadi
pemburu materi tanpa mempedulikan akibat sosial yang terjadi. Para orang tua, suami
dan istri, berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk bekerja demi kemajuan
ekonomi rumah tangga, sehingga meningkatkan stres kejiwaan dan fisik pada diri
mereka. Stres ini berdampak pada kurang harmonisnya hubungan antara suami,
istri, dan anak. Dan pada akhirnya, anak pun mengalami keterasingan dari kasih
sayang dan perhatian orang tua, sehingga memunculkan rasa benci yang dipendam
dalam hati. Keterasingan dari kasih sayang dan perhatian orang tua ini adalah
jenis keterasingan pertama.
Keterasingan kedua adalah pola asuh otoriter dalam kehidupan rumah tangga.
Pola asuh otoriter adalah cara orang tua dalam mengasuh anak dengan memberi
petunjuk dan pengarahan kepada anaknya tanpa memberikan kesempatan kepada anak
untuk mengungkapkan dan mengembangkan keinginannya secara wajar. Hal ini
berdampak pada perasaan keterasingan anak dari hak untuk menyatakan
keinginannya. Anak merasa dirinya tidak dimengerti oleh orangtuanya sendiri.
Keterasingan remaja semacam ini juga mereka alami di sekolah dan lembaga
pendidikan lainnya. Seringkali peraturan sekolah disusun tanpa melibatkan atau
mendengarkan aspirasi siswa. Begitu pula dengan berbagai kegiatan atau program
ekstrakurikuler, seringkali disusun secara instruktif dari atas. Para siswa
hanya menjadi pelaksananya, sehingga menimbulkan perasaan terpaksa pada diri
mereka. Rasa keterpaksaan yang demikian pun pada akhirnya melahirkan rasa benci
yang dipendam dalam hati. Kebencian-kebencian yang terpendam dalam hati remaja,
sebagai akibat dari keterasingan yang mereka alami, akan semakin menumpuk dan
tak dapat dibendung lagi ketika mencapai puncaknya. Dan dalam keadaan demikian,
kejadian kecil pun dapat menyulut kemarahan yang terpendam dalam diri mereka.
Salah satu bentuk pengungkapan (manifestasi) kemarahan terpendam itu adalah
peristiwa kekerasan yang penulis kemukakan di awal tulisan ini.
Reorientasi
dan Dialog
Erich Fromm, seorang psikolog sosial, mengatakan dalam bukunya yang
berjudul To Have or To Be? (Fromm, 1976) bahwa orientasi hidup manusia dalam
dunia modern ini terdiri dari dua macam. Kelompok yang pertama adalah mereka
yang memiliki orientasi hidup to have (memiliki). Dalam gemerlap
modernitas, banyak orang yang terjebak pada orientasi hidup yang serba
artifisial (semu), jangka pendek, dan bahkan hanya didorong oleh nafsu untuk
menguasai. Mereka selalu terdorong untuk memiliki dan menguasai
benda-benda, orang lain, dan bahkan takhta atau jabatan, seolah hanya dirinya
yang berhak memiliki semua itu. Secara tidak langsung, tanpa disadari, mereka
diperbudak oleh kekuasaan dan kepemilikan mereka itu.
Padahal, di sisi lain, manusia memiliki potensi untuk
mengembangkan orientasi hidup yang lebih manusiawi dan bermakna, yaitu orientasi hidup to be (menjadi).
Dalam orientasi “menjadi” ini, seseorang tidak akan terjebak pada “penghambaan”
(fetishism) terhadap harta benda ataupun kekuasaan. Baginya, hidup
adalah penghayatan atas hakikat kemanusiaan yang tidak ditentukan wujud fisik
berupa harta benda atau kekuasaan berupa jabatan tertentu, tetapi oleh
kesadaran mendalam akan kekinian sebagai proses, bukan hasil. Yang lebih
bermakna baginya adalah kebersamaan, solidaritas, kejujuran, dan ketulusan; bukan materi, gelar, jabatan, atau
kekuasaan.
Masyarakat kita, termasuk para orang tua, hendaknya mengembangkan orientasi
hidup “menjadi”, sehingga tidak terjebak pada ‘perlombaan’ dalam hal duniawi.
Perhatian dan kasih sayang terhadap keluarga adalah salah satu bentuk orientasi
“menjadi”. Di beberapa kota di Amerika Serikat, banyak mobil yang ditempeli
stiker “Have you hugged your kids?”. Stiker ini memperingatkan para
orang tua agar tidak lupa memberikan perhatian pada anak melalui pelukan dan
kasih sayang setiap hari. Ini menunjukkan bahwa persoalan konflik “kerja vs
keluarga” di sana sangatlah serius. Meskipun keadaan di Indonesia tidak
(belum?) seserius di Amerika Serikat, bukankah justru persoalan itu sangat
mendesak untuk diperhatikan dan dicari solusinya?
Selain itu, perlu ada upaya yang lebih serius untuk memberikan peluang
kepada remaja untuk menyuarakan keinginan mereka melalui perumusan berbagai
peraturan, kegiatan, dan program bersama mereka, atau bahkan oleh mereka
sendiri. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kecenderungan pengungkapan
eksistensi dan aspirasi diri mereka lewat kekerasan; namun sebaliknya,
meningkatkan inisiatif mereka untuk menyelesaikan segala persoalan melalui
cara-cara dialog yang positif dan beradab. Dengan demikian, mereka pun kelak dapat
tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang ramah dan menghargai sesama.
Wallahu a’lam bis showab.
*Dimuat dalam Majalah SARUNG (Santri Untuk Negeri), PP Al-Amin Mojokerto, Edisi 2 (Maret-April) 2017.
No comments:
Post a Comment