29 May 2017

Remaja Kita dan Keterasingannya*

Mochammad Said


Ketika penulis dihubungi pengurus redaksi majalah ini dan diminta menulis untuk rubrik ini, tiba-tiba pikiran penulis tertuju pada sebuah berita di media massa tentang peristiwa yang belum begitu lama berlalu. Berita itu memuat tentang peristiwa kekerasan yang dilakukan beberapa santri di sebuah pesantren di Jombang yang berujung pada kematian korban. Penulis sendiri awalnya heran, mengapa ia langsung teringat pada peristiwa itu. Namun setelah penulis renungkan, mungkin hal itu terjadi karena peristiwa tersebut adalah peristiwa yang mengejutkan sekaligus memprihatinkan. Bagaimana tidak, para santri yang dididik dan diasuh di lembaga pendidikan yang bernama pesantren, tega melakukan perbuatan yang tidak manusiawi itu. Padahal, pesantren adalah salah satu kawah candradimuka dalam pendidikan moral di negeri ini.


Penulis teringat pada sebuah tulisan yang ditulis oleh almarhum Dr. Masri Singarimbun, seorang antropolog sosial dari UGM. Tulisan itu berjudul Batas Agresi Di Mana dan dimuat dalam buku kumpulan tulisannya yang berjudul Renungan dari Yogya (Singarimbun, 1992). Dalam tulisannya tersebut, ia mengungkapkan dengan apik -dengan mengutip paparan hasil penelitian Konrad Lorenz, seorang penerima Hadiah Nobel- bahwa manusia pada dasarnya memiliki nafsu agresi seperti halnya hewan. Namun dalam kenyataannya, ternyata beberapa hewan justru lebih mampu mengendalikan nafsu agresinya dibandingkan manusia. Ia mencontohkan bahwa ketika anjing berkelahi dengan anjing lain, maka anjing yang menang akan menghentikan agresinya ketika anjing yang kalah menunjukkan pernyataan kekalahannya dengan ekor yang membengkok di antara kaki belakang yang merunduk, dan beberapa sikap khas lainnya.

Sedangkan manusia, dalam banyak kasus yang bisa kita temui, sering tidak mampu menghentikan agresinya walau manusia yang diserang itu sudah menyatakan tunduk dan minta ampun. Entah yang diserang itu pencuri ayam atau musuh dalam perang, atau seperti korban kekerasan di atas. Manusia yang berbudaya seolah berubah menjadi makhluk lain ketika tak mampu mengendalikan nafsu agresinya.

Dalam perenungannya, penulis pun bertanya-tanya: Apa (atau siapa) yang salah hingga mengakibatkan terjadinya peristiwa kekerasan seperti di atas? Apakah persoalannya hanya berkisar pada masalah mentalitas individual si pelaku (dan korban) saja? Ataukah ada yang salah dengan lembaga pendidikan kita? Atau ada yang bermasalah dengan keadaan masyarakat kita saat ini?

Keterasingan Hidup

Ketika penulis mencoba mencari dan membaca buku-buku yang membahas topik tulisan ini di perpustakaan pribadinya, ia menemukan sebuah tulisan menarik berjudul Remaja dan Keterasingan yang ditulis oleh Prof. Djamaluddin Ancok, salah satu guru besar di Fakultas Psikologi UGM dan dosen penulis waktu menjalani studi sarjana. Tulisan itu dimuat dalam buku kumpulan tulisannya yang berjudul Psikologi Terapan: Mengupas Dinamika Kehidupan Umat Manusia (Ancok, 2004). Menurut penulis, apa yang Prof. Ancok paparkan dalam tulisannya tersebut sangat relevan untuk menjawab pertanyaan di atas. Tulisan itu juga mewakili realitas sosial yang dialami dan terjadi pada para remaja kita saat ini.

Prof. Ancok menuturkan bahwa perilaku patologis para remaja -seperti kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya- terjadi akibat adanya proses keterasingan (alienasi) mereka dari kehidupan yang wajar. Akar penyebab dari hal ini adalah pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Orientasi pembangunan yang demikian telah mengubah nilai hidup manusia menjadi pemburu materi tanpa mempedulikan akibat sosial yang terjadi. Para orang tua, suami dan istri, berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk bekerja demi kemajuan ekonomi rumah tangga, sehingga meningkatkan stres kejiwaan dan fisik pada diri mereka. Stres ini berdampak pada kurang harmonisnya hubungan antara suami, istri, dan anak. Dan pada akhirnya, anak pun mengalami keterasingan dari kasih sayang dan perhatian orang tua, sehingga memunculkan rasa benci yang dipendam dalam hati. Keterasingan dari kasih sayang dan perhatian orang tua ini adalah jenis keterasingan pertama.

Keterasingan kedua adalah pola asuh otoriter dalam kehidupan rumah tangga. Pola asuh otoriter adalah cara orang tua dalam mengasuh anak dengan memberi petunjuk dan pengarahan kepada anaknya tanpa memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan dan mengembangkan keinginannya secara wajar. Hal ini berdampak pada perasaan keterasingan anak dari hak untuk menyatakan keinginannya. Anak merasa dirinya tidak dimengerti oleh orangtuanya sendiri.

Keterasingan remaja semacam ini juga mereka alami di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Seringkali peraturan sekolah disusun tanpa melibatkan atau mendengarkan aspirasi siswa. Begitu pula dengan berbagai kegiatan atau program ekstrakurikuler, seringkali disusun secara instruktif dari atas. Para siswa hanya menjadi pelaksananya, sehingga menimbulkan perasaan terpaksa pada diri mereka. Rasa keterpaksaan yang demikian pun pada akhirnya melahirkan rasa benci yang dipendam dalam hati. Kebencian-kebencian yang terpendam dalam hati remaja, sebagai akibat dari keterasingan yang mereka alami, akan semakin menumpuk dan tak dapat dibendung lagi ketika mencapai puncaknya. Dan dalam keadaan demikian, kejadian kecil pun dapat menyulut kemarahan yang terpendam dalam diri mereka. Salah satu bentuk pengungkapan (manifestasi) kemarahan terpendam itu adalah peristiwa kekerasan yang penulis kemukakan di awal tulisan ini.

Reorientasi dan Dialog

Erich Fromm, seorang psikolog sosial, mengatakan dalam bukunya yang berjudul To Have or To Be? (Fromm, 1976) bahwa orientasi hidup manusia dalam dunia modern ini terdiri dari dua macam. Kelompok yang pertama adalah mereka yang memiliki orientasi hidup to have (memiliki). Dalam gemerlap modernitas, banyak orang yang terjebak pada orientasi hidup yang serba artifisial (semu), jangka pendek, dan bahkan hanya didorong oleh nafsu untuk menguasai. Mereka selalu terdorong untuk memiliki dan menguasai benda-benda, orang lain, dan bahkan takhta atau jabatan, seolah hanya dirinya yang berhak memiliki semua itu. Secara tidak langsung, tanpa disadari, mereka diperbudak oleh kekuasaan dan kepemilikan mereka itu.

Padahal, di sisi lain, manusia memiliki potensi untuk mengembangkan orientasi hidup yang lebih manusiawi dan bermakna, yaitu orientasi hidup to be (menjadi). Dalam orientasi “menjadi” ini, seseorang tidak akan terjebak pada “penghambaan” (fetishism) terhadap harta benda ataupun kekuasaan. Baginya, hidup adalah penghayatan atas hakikat kemanusiaan yang tidak ditentukan wujud fisik berupa harta benda atau kekuasaan berupa jabatan tertentu, tetapi oleh kesadaran mendalam akan kekinian sebagai proses, bukan hasil. Yang lebih bermakna baginya adalah kebersamaan, solidaritas, kejujuran, dan ketulusan; bukan materi, gelar, jabatan, atau kekuasaan.

Masyarakat kita, termasuk para orang tua, hendaknya mengembangkan orientasi hidup “menjadi”, sehingga tidak terjebak pada ‘perlombaan’ dalam hal duniawi. Perhatian dan kasih sayang terhadap keluarga adalah salah satu bentuk orientasi “menjadi”. Di beberapa kota di Amerika Serikat, banyak mobil yang ditempeli stiker “Have you hugged your kids?”. Stiker ini memperingatkan para orang tua agar tidak lupa memberikan perhatian pada anak melalui pelukan dan kasih sayang setiap hari. Ini menunjukkan bahwa persoalan konflik “kerja vs keluarga” di sana sangatlah serius. Meskipun keadaan di Indonesia tidak (belum?) seserius di Amerika Serikat, bukankah justru persoalan itu sangat mendesak untuk diperhatikan dan dicari solusinya?

Selain itu, perlu ada upaya yang lebih serius untuk memberikan peluang kepada remaja untuk menyuarakan keinginan mereka melalui perumusan berbagai peraturan, kegiatan, dan program bersama mereka, atau bahkan oleh mereka sendiri. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kecenderungan pengungkapan eksistensi dan aspirasi diri mereka lewat kekerasan; namun sebaliknya, meningkatkan inisiatif mereka untuk menyelesaikan segala persoalan melalui cara-cara dialog yang positif dan beradab. Dengan demikian, mereka pun kelak dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang ramah dan menghargai sesama.

Wallahu a’lam bis showab.


*Dimuat dalam Majalah SARUNG (Santri Untuk Negeri), PP Al-Amin Mojokerto, Edisi 2 (Maret-April) 2017.

No comments: