14 January 2008
Mohammad Hatta: Nationalist or Opportunist?
Hatta began to understand about plitical thinking when he was studying in school in Padang and Batavia. But, the political thinking was concepted perfectly after he studied in Business High School of Rotterdam untill he got the title of doctorandus. This school had given him the strong basis to understand economic theories and the practical problems in both the national and international economic system. During his staying in Holland, he used the opportunity to widen his knowledge, to read the contemporary political and social problems, and to understand the Marxist theories which at the time were always interesting to all of European intellectuals. The politic debates in Europe in 1920s, the activities of the students of the universities from colonialized countries in Paris, London, and Bonn, and his participation on politic debates with the European socialist and communist figures had formed Hatta’s ideology.
Hatta’s thinkings are dynamic, not dogmatic. They include many topics, from politic, social, economy untill culture. But there are four main problems that became Hatta’s concern during his role in struggle for Indonesia’s independence and in the next years in his life. They are:
a.His belief that the parliamentary democracy with multiparties is the best governance form for Indonesia
b.His belief about the necessity to the fundamental social modernization for Indonesia
c.His belief that Indonesia must struggle especially to create the just economy
d.His belief that the parties in Indonesia must be lead by the educated cadres who have high political consideration and should act carefully into the mass membership
Hatta delivered his thinkings by writing many articles and essays in newspaper, journal, and magazine. After Indonesia’s independence, he often attended public meetings and gave his opinions and thinkings on the contemporary problems. They, which delivered during his life, are motivated by his consideration of nationalism on Indonesia’s independence and the prosperity of Indonesian people on economy, spirituality, social, and politic.
Some commentaries saying that Hatta is opportunist are wrong and have no basis whatever. Although he didn’t continue his duty as the vice-president by some reasons, he was always critical to every Soekarno’s govermental policy. His continuous criticism can be proved from his personal letters to Soekarno which had been sent since his retirement from the vice-president duty in Desember 1, 1956. they were collected by Mochtar Lubis and contains about his criticism to the Guided Democracy done by Soekarno. He was really a nationalist.
(Posting ini format bahasa Inggrisnya dari segi gramatikal mungkin banyak yang salah. Jadi, mohon dikritik dan diberi saran untuk perbaikannya.
07 January 2008
Saya, 'Sosialisme', dan Blog
Dan, Alhamdulillah, keinginan saya tercapai. Begitu UAS selesai, beberapa hari setelahnya saya langsung berangkat menuju perpustakaan dan mendaftar sebagai anggota. Setelah itu saya mencoba melihat-lihat buku-buku yang ada, dan berusaha menemukan buku yang saya minati. Ternyata saya menemukan novel, kumpulan cerpen, dan novelet yang bagi saya ketika itu paling menarik. Saya pun meminjamnya dan membacanya di rumah untuk mengisi waktu luang di masa liburan dan sekaligus sebagai obat rasa haus saya akan bacaan.
Dan seiring berjalannya waktu, minat baca saya pun merambah ke bidang-bidang lain seperti agama, sosial, ekonomi, filsafat, politik, dan sebagainya. Saya ketika itu hanya merasa bahwa saya memang harus membaca sebanyak-banyaknya agar pengetahuan dan wawasan saya semakin luas. Namun, kalau boleh menyebut seseorang yang memiliki peran besar terhadap perubahan diri saya, maka saya memilih Ustadz Aang Baihaqi. Beliau adalah salah satu ustadz (guru) di madrasah dan pesantren saya. Pertama kali beliau mengajar saya saat masih kelas 3 MTs semester 1. Beliau mengajar mata pelajaran Aswaja/ Ke-NU-an. Baru pertama kalinya mengajar, beliau mendorong kami untuk berkarya dan membaca. Beliau memberikan contoh orang-orang sukses seperti Soekarno, Hatta, Gus Dur, dan sebagainya. Beliau juga mengajarkan, walaupun secara tidak langsung, agar kita berpikir kritis, rasional, dan ilmiah. Penjelasan-penjelasannya memang masih sulit ditangkap oleh siswa-siswa, karena sangat berbeda dengan apa yang terdapat di dalam buku bacaan wajib. Kami pun hanya bisa tercengang dan diam membisu (karena bingung) setiap kali mendengarkan penjelasan beliau di kelas. Namun, bagi saya, dan mungkin teman-teman sekelas lainnya, justru hal itulah yang membuat saya penasaran setengah mati untuk mengetahui apa yang dimaksudkan oleh beliau. Dan rasa penasaran itulah yang akhirnya mengantarkan saya pada pembacaan terhadaap berbagai bacaan yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sulit dan berat.
Lalu, apa hubungannya dengan judul 'Sosialisme' yang saya berikan untuk blog saya? Sebenarnya jawabannya sangat sederhana. Namun saya ingin menjelaskan secara lebih gamblang agar lebih jelas dan tidak membuat Anda, para pembaca, kebingungan, mengangap aneh, atau penasaran.
Ceritanya bermula dari kegemaran saya terhadap bacaan-bacaan yang bisa dibilang berat, mulai dari agama, sosial, ekonomi, filsafat, hingga politik. Dan dari bacaan-bacaan itulah saya mulai mengenal istilah-istilah semacam rasionalisme, empirisme, emanasi, kapitalisme, liberalisme, aufklarung, dan termasuk juga sosialisme.
Setelah melakukan pembacaan yang cukup lama, walaupun mungkin belum bisa dibilang mendalam, saya mengambil sedikit kesimpulan bahwa cara terbaik untuk mengatasi problem dan krisis yang melanda Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya adalah dengan menerapkan sistem ekonomi-politik yang didasari oleh filsafat sosialisme. Yang saya maksud dengan sosialisme di sini bukanlah Marxisme-Leninisme, Marxisme ala Stalin, atau Marxisme versi-versi lainnya. Yang saya maksud adalah sosialisme yang kontekstual, up to date, menyejarah, dan membumi. Yang saya maksud adalah sosialisme yang mampu berdialog dengan bahasa tempat ia berada dan hidup, sosialisme yang mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, dan sosialisme yang mampu menghargai, menghormati dan bahkan mengangkat harkat dan martabat lingkungan tempat tinggalnya dengan menampilkan ciri khasnya yang unik. Dengan demikian, maka dapat diharapkan munculnya sebuah tatanan masyarakat sosialis yang sebenar-benarnya, yang menyejahterakan rakyatnya dan memenuhi aspirasi mereka dalam segala aspek yang bersifat positif.
Oleh karena itulah saya mencantumkan kata 'sosialisme' sebagai judul blog saya, dengan sebuah harapan besar bahwa adanya blog ini dapat membuat kita semua tergerak dan bergerak untuk melakukan sebuah usaha yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat sosialis yang ideal. Kita tidak boleh menyerah, kita harus yakin bahwa apa yang kita cita-citakan itu pasti akan terwujud di masa depan, dan kita adalah bagian dari perintisnya. Lao Tse pernah mengatakan: ”Perjalanan satu mil dimulai dari satu langkah”. Dan Henry Ford pun berkata: ”Whether you believe you can or whether you believe you can't, you are absolutely right”.
Mari kita tuntaskan perubahan menuju Indonesia yang lebih baik!!!
05 January 2008
Agama dan Keterbatasan Akal
Namun, apakah yang dimaksud dengan akal itu? Secara bahasa akal berarti tali pengikat. Adapun secara istilah akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya. Hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Prof.Dr.Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam (Lentera Hati:2006). Definisi ini menunjukkan bahwa akal merupakan suatu potensi yang dapat membantu kita umat manusia untuk memahami persoalan-persoalan yang ada, termasuk persoalan agama. Akan tetapi perlu diingat bahwa akal itu sendiri memiliki wilayah peran yang terbatas, alias tidak mutlak, karena tidak semua persoalan dapat dicerna oleh akal. Misalnya perintah wudlu. Kenapa kita orang Islam diperintahkan berwudlu sebelum shalat atau mengaji Al-Qur'an? Bukankah kalau kita sudah mandi atau badan kita sudah bersih maka tidak perlu berwudlu? Atau misalnya perintah tayammum sebagai ganti dari wudlu ketika tidak menemukan air. Bukankah debu-walaupun bersih-dapat mengotori tubuh?
Para pakar hukum Islam membedakan antara illat dan hikmah. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menamakan sesuatu sebagai illat. Salah satunya adalah bahwa illat merupakan sesuatu yang jelas lagi dapat terukur, dan yang atas dasar keberadaannya hukum ditetapkan. Begitu juga sebaliknya, jika ia tidak ada, maka hukum terangkat (tidak berlaku lagi). Tetapi jika sesuatu itu tidak dapat terukur secara jelas, maka ia dinamakan hikmah, bukan illat. Dalam kasus tayammum di atas kita tidak dapat menemukan sesuatu yang jelas, terukur, dan dapat dijadikan sebagai dasar atau patokan dalam penetapan atau peniadaan hukumnya. Namun kita dapat mengira-ngirakan hikmah di baliknya, yaitu agar kita ingat dan sadar akan penciptaan diri kita yang berasal dari tanah. Hal tersebut tidak berarti bahwa hukum itu bertentangan dengan akal, tetapi semata karena akal kita belum atau tidak dapat mencernanya. Tidak ada satupun dari ajaran islam yang bertentangan dengan akal.
Keterbatasan akal di atas tidak berarti mengharuskan kita untuk menerima sesuatu itu apa adanya tanpa ada kesadaran untuk mempertanyakan hakikat atau kebenarannya lebih lanjut. Justru akal dengan segala keterbatasannya itu harus kita gunakan dengan sebaik-baiknya untuk memikirkan dan memahami apa yang ada di hadapan kita. Barulah ketika kita sudah sampai pada batas maksimal kemampuan akal dan usaha kita, semuanya kita serahkan kepada Allah, tawakkal, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasib mereka sendiri (dengan usaha mereka)".
Seorang bijak bestari mengatakan: "Setiap manusia adalah sempurna, dan kesempurnaannya itu terletak pada ketidaksempurnaannya".
Wallahu a'lam.
03 January 2008
Muqoddimah
Alhamdulillah, akhirnya usaha saya untuk menciptakan sebuah blog telah berhasil, walaupun dengan perjuangan yang cukup melelahkan. Saya berharap dengan adanya blog ini saya dapat mengekspresikan diri (mungkin lebih tepat diistilahkan 'mengaktualisasikan diri') secara lebih maksimal dan bermanfaat. Saya memilih judul blog saya dengan nama 'sosialisme' karena saya beranggapan bahwa dengan nama itulah saya akan mampu terus memotivasi diri saya untuk selalu berusaha dan berjuang di jalan 'rakyat Indonesia tercinta' (ini serius lho!). Dan semoga dengan membaca blog ini para pembacanya akan sedikit tergugah untuk ikut ambil bagian dalam perbaikan kondisi bangsa dan negara Indonesia ini ke arah yang lebih baik di masa depan. Amin.
Saya tidak ingin adanya blog ini membuat saya merasa 'di atas', oleh karena itu saya senantiasa mengharapkan sumbangan para pembaca bagi perbaikan tulisan-tulisan saya kelak.
Bravo, Rakyat Indonesia!!!!
Khilafah Islamiyah dan Kemaslahatan Umat
Pertanyaannya adalah, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan khilafah, imamah, umat, dan kata-kata yang sejenisnya? Dan kenapa terjadi perbedaan pemahaman seperti kedua kutub di atas? Atau malah mungkin masih ada kutub lain selain kedua kutub di atas?
Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini cita-cita untuk mewujudkan pemerintahan ala ‘khilafah Islamiyah’ semakin gencar disuarakan oleh berbagai kalangan, bahkan lingkupnya sudah bertaraf internasional. Adapun kelompok yang paling menonjol dalam kampanye ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah partai politik yang berideologi Islam. Partai ini memiliki jaringan yang luas, karena di berbagai negara lain terdapat partai yang sama, berideologi yang sama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Hizbut Tahrir merupakan partai internasional.
Kata ‘khilafah Islamiyah’ berasal dari kata ‘khilafah’ dan ‘Islamiyah’. Kata ‘khilafah’ secara bahasa berarti pergantian. Sedangkan kata ‘Islamiyah’ sendiri berarti yang bersifat atau berciri khas Islam. Mungkin kita mengenal kata ‘khalifah’ yang sering ditujukan kepada empat pemimpin pengganti Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Dan yang dimaksud oleh kalangan pro-‘khilafah Islamiyah’ memang adalah sebuah sistem pemerintahan yang persis seperti yang pernah diterapkan oleh keempat sahabat tersebut yang dianggap benar-benar sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dan pernah diterapkan oleh beliau semasa hidupnya.
Menurut mereka, konsep yang telah diterapkan di berbagai negara, terutama konsep demokrasi yang notabene adalah yang paling baik, bertentangan dengan ajaran syari’at Islam. Kenapa? Karena berdasarkan sistem demokrasi, suara mayoritas merupakan dasar yang paling sah bagi pengambilan segala keputusan pemerintah. Padahal, menurut mereka, meskipun misalnya suara mayoritas mengatakan A, hasil keputusan tersebut belum tentu merupakan kebenaran yang sesuai dengan ajaran agama. Apalagi bagi negara Indonesia, misalnya, yang sebagian besar rakyatnya atau konstituennya bersikap irasional dalam menggunakan suara mereka pada saat Pemilu. Ditambah lagi dengan adanya para wakil rakyat yang kurang memiliki kesadaran dan komitmen dalam menjalankan tugas mereka. Kebanyakan di antara mereka lebih bermotivasi politis-pragmatis pada saat pemilihan legislatif daripada motivasi moral atau politik luhur. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa konsep politik selama ini yang kita pahami sebagai ajang meraih kekuasaan belaka merupakan sebuah reduksi bagi makna dan peran luhur politik itu sendiri.
Mereka berpendapat bahwa sistem politik ala khilafah Islamiyah merupakan sistem politik yang paling tepat untuk menggantikan sistem politik demokrasi. Hal ini dikarenakan dalam ajaran Islam seorang khalifah atau kepala negara haruslah seorang yang memiliki sifat-sifat kenabian, yaitu shiddiq (kejujuran), amanah (dapat dipercaya), tabligh (keterbukaan/transparansi), dan fathonah (kecerdasan/intelektualitas). Dan yang berhak menentukan khalifah tersebut adalah sekelompok ulama’ yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi dan shaleh yang disebut dengan lembaga ahlul halli wal 'aqdi. Mereka ini dipilih secara selektif melalui pemilu. Dengan begitu, menurut mereka, hal-hal yang terjadi seperti pada DPR kita di Indonesia atau negara-negara lainnya seperti KKN atau pengesahan undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam tidak akan ditemukan di dalamnya. Selain itu, dan hal ini yang sering mereka tekankan, sesungguhnya makna kata ‘politik’ dalam Islam yang berasal dari kata ‘siyasiy’, yang secara bahasa berarti strategi, memiliki makna secara luas sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan tatanan yang adil, makmur, sejahtera, dan selaras dengan syari’at Islam.
Selain itu, mereka yang pro-khilafah beranggapan bahwa parlemen beserta sistem yang mengendalikannya yang ada sekarang ini tidak sesuai dengan ajaran di dalam Islam yang disebut dengan syura. Walaupun memang kelihatannya sama, yaitu berprinsipkan pada asas musyawarah, namun terdapat perbedaan dalam hal otoritas pengambilan keputusan final (decision making). Dalam sistem demokrasi, keputusan untuk mengambil kebijakan terhadap masalah tertentu didasarkan pada kesepakatan antara lembaga eksekutif (presiden) dan lembaga legislatif (DPR). Sedangkan dalam pandangan syari'at Islam (syura) hak untuk mengambil keputusan final adalah milik khalifah, walaupun mungkin berbeda dengan apa yang direkomendasikan oleh lembaga legislatif (ahlul halli wal 'aqdi). Kenapa demikian? Karena dalam sistem syura ini lembaga legislatif hanya berperan sebagai penganjur atau konsultan saja tanpa hak untuk ikut memutuskan sebuah kebijakan.
Menurut saya, pandangan kalangan pro-khilafah seperti di atas mengandung beberapa kelemahan. Pertama, yaitu bahwa sistem khilafah sebenarnya hampir sama dengan sistem demokrasi. Kalau yang mereka perdebatkan adalah masalah 'kekafiran' sistem demokrasi, maka mengapa hal-hal seperti teknologi dan buku-buku yang berasal dari Barat kita ambil, kita pakai, dan bahkan beberapa pandangannya kita ikuti? Saya kira hal yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengambil apa yang bermanfaat dari Barat dan membuang atau bahkan memperbaiki apa yang tidak bermanfaat dan mengandung mudharat. Adapun sistem demokrasi, menurut saya sudah cukup baik, tinggal bagaimana kita memanfaatkan dan 'memolesnya' untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Siapakah yang bisa menjamin bahwa ulama' yang akan duduk di lembaga ahlul halli wal 'aqdi benar-benar merupakan orang-orang yang 'pantas'? Siapa pula yang dapat menjamin bahwa khalifah yang kelak dipilih oleh mereka itu benar-benar sesuai dengan kriteria yang ada? Dan apakah kalau misalnya kebijakan sang khalifah tidak sesuai dengan kemaslahatan umat ia dapat diganti begitu saja? Siapa yang dapat menentukan sesuatu kebijakan mengandung kemaslahatan atau tidak?
Hal-hal yang menjadi pertanyaan saya di ataslah yang menurut saya harus kita renungkan bersama untuk mencoba mencari solusi terbaik bagi permasalahan-permasalahan yang kompleks yang sedang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia kita tercinta ini dan mungkin juga seluruh negara-negara di belahan dunia lainnya. Masih banyak permasalahan multidimensional yang lebih penting yang harus kita carikan solusinya sesegera mungkin daripada sekedar memperdebatkan format sistem politik yang terbaik. Bukankah tujuan utama turunnya agama Islam di dunia ini adalah untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya?
Wallahu a'lam bi al-showab.