03 January 2008

Khilafah Islamiyah dan Kemaslahatan Umat

Dalam kehidupan sehari-hari, kita, khususnya kaum muslimin, tentunya sering mendengar kata-kata seperti khilafah, imamah, umat, dan sebagainya. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang mengandung unsur politik dan sosial. Bagi sebagian kalangan mungkin kata-kata tersebut mengandung makna yang berkonotasi positif-inspiratif, namun bagi kalangan yang lainnya malah sebaliknya, kata-kata itu terasa seperti sebuah momok yang menakutkan dan mengancam.

Pertanyaannya adalah, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan khilafah, imamah, umat, dan kata-kata yang sejenisnya? Dan kenapa terjadi perbedaan pemahaman seperti kedua kutub di atas? Atau malah mungkin masih ada kutub lain selain kedua kutub di atas?

Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini cita-cita untuk mewujudkan pemerintahan ala ‘khilafah Islamiyah’ semakin gencar disuarakan oleh berbagai kalangan, bahkan lingkupnya sudah bertaraf internasional. Adapun kelompok yang paling menonjol dalam kampanye ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah partai politik yang berideologi Islam. Partai ini memiliki jaringan yang luas, karena di berbagai negara lain terdapat partai yang sama, berideologi yang sama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Hizbut Tahrir merupakan partai internasional.

Kata ‘khilafah Islamiyah’ berasal dari kata ‘khilafah’ dan ‘Islamiyah’. Kata ‘khilafah’ secara bahasa berarti pergantian. Sedangkan kata ‘Islamiyah’ sendiri berarti yang bersifat atau berciri khas Islam. Mungkin kita mengenal kata ‘khalifah’ yang sering ditujukan kepada empat pemimpin pengganti Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Dan yang dimaksud oleh kalangan pro-‘khilafah Islamiyah’ memang adalah sebuah sistem pemerintahan yang persis seperti yang pernah diterapkan oleh keempat sahabat tersebut yang dianggap benar-benar sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dan pernah diterapkan oleh beliau semasa hidupnya.

Menurut mereka, konsep yang telah diterapkan di berbagai negara, terutama konsep demokrasi yang notabene adalah yang paling baik, bertentangan dengan ajaran syari’at Islam. Kenapa? Karena berdasarkan sistem demokrasi, suara mayoritas merupakan dasar yang paling sah bagi pengambilan segala keputusan pemerintah. Padahal, menurut mereka, meskipun misalnya suara mayoritas mengatakan A, hasil keputusan tersebut belum tentu merupakan kebenaran yang sesuai dengan ajaran agama. Apalagi bagi negara Indonesia, misalnya, yang sebagian besar rakyatnya atau konstituennya bersikap irasional dalam menggunakan suara mereka pada saat Pemilu. Ditambah lagi dengan adanya para wakil rakyat yang kurang memiliki kesadaran dan komitmen dalam menjalankan tugas mereka. Kebanyakan di antara mereka lebih bermotivasi politis-pragmatis pada saat pemilihan legislatif daripada motivasi moral atau politik luhur. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa konsep politik selama ini yang kita pahami sebagai ajang meraih kekuasaan belaka merupakan sebuah reduksi bagi makna dan peran luhur politik itu sendiri.

Mereka berpendapat bahwa sistem politik ala khilafah Islamiyah merupakan sistem politik yang paling tepat untuk menggantikan sistem politik demokrasi. Hal ini dikarenakan dalam ajaran Islam seorang khalifah atau kepala negara haruslah seorang yang memiliki sifat-sifat kenabian, yaitu shiddiq (kejujuran), amanah (dapat dipercaya), tabligh (keterbukaan/transparansi), dan fathonah (kecerdasan/intelektualitas). Dan yang berhak menentukan khalifah tersebut adalah sekelompok ulama’ yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi dan shaleh yang disebut dengan lembaga ahlul halli wal 'aqdi. Mereka ini dipilih secara selektif melalui pemilu. Dengan begitu, menurut mereka, hal-hal yang terjadi seperti pada DPR kita di Indonesia atau negara-negara lainnya seperti KKN atau pengesahan undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam tidak akan ditemukan di dalamnya. Selain itu, dan hal ini yang sering mereka tekankan, sesungguhnya makna kata ‘politik’ dalam Islam yang berasal dari kata ‘siyasiy’, yang secara bahasa berarti strategi, memiliki makna secara luas sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan tatanan yang adil, makmur, sejahtera, dan selaras dengan syari’at Islam.

Selain itu, mereka yang pro-khilafah beranggapan bahwa parlemen beserta sistem yang mengendalikannya yang ada sekarang ini tidak sesuai dengan ajaran di dalam Islam yang disebut dengan syura. Walaupun memang kelihatannya sama, yaitu berprinsipkan pada asas musyawarah, namun terdapat perbedaan dalam hal otoritas pengambilan keputusan final (decision making). Dalam sistem demokrasi, keputusan untuk mengambil kebijakan terhadap masalah tertentu didasarkan pada kesepakatan antara lembaga eksekutif (presiden) dan lembaga legislatif (DPR). Sedangkan dalam pandangan syari'at Islam (syura) hak untuk mengambil keputusan final adalah milik khalifah, walaupun mungkin berbeda dengan apa yang direkomendasikan oleh lembaga legislatif (ahlul halli wal 'aqdi). Kenapa demikian? Karena dalam sistem syura ini lembaga legislatif hanya berperan sebagai penganjur atau konsultan saja tanpa hak untuk ikut memutuskan sebuah kebijakan.

Menurut saya, pandangan kalangan pro-khilafah seperti di atas mengandung beberapa kelemahan. Pertama, yaitu bahwa sistem khilafah sebenarnya hampir sama dengan sistem demokrasi. Kalau yang mereka perdebatkan adalah masalah 'kekafiran' sistem demokrasi, maka mengapa hal-hal seperti teknologi dan buku-buku yang berasal dari Barat kita ambil, kita pakai, dan bahkan beberapa pandangannya kita ikuti? Saya kira hal yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengambil apa yang bermanfaat dari Barat dan membuang atau bahkan memperbaiki apa yang tidak bermanfaat dan mengandung mudharat. Adapun sistem demokrasi, menurut saya sudah cukup baik, tinggal bagaimana kita memanfaatkan dan 'memolesnya' untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Siapakah yang bisa menjamin bahwa ulama' yang akan duduk di lembaga ahlul halli wal 'aqdi benar-benar merupakan orang-orang yang 'pantas'? Siapa pula yang dapat menjamin bahwa khalifah yang kelak dipilih oleh mereka itu benar-benar sesuai dengan kriteria yang ada? Dan apakah kalau misalnya kebijakan sang khalifah tidak sesuai dengan kemaslahatan umat ia dapat diganti begitu saja? Siapa yang dapat menentukan sesuatu kebijakan mengandung kemaslahatan atau tidak?

Hal-hal yang menjadi pertanyaan saya di ataslah yang menurut saya harus kita renungkan bersama untuk mencoba mencari solusi terbaik bagi permasalahan-permasalahan yang kompleks yang sedang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia kita tercinta ini dan mungkin juga seluruh negara-negara di belahan dunia lainnya. Masih banyak permasalahan multidimensional yang lebih penting yang harus kita carikan solusinya sesegera mungkin daripada sekedar memperdebatkan format sistem politik yang terbaik. Bukankah tujuan utama turunnya agama Islam di dunia ini adalah untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya?

Wallahu a'lam bi al-showab.


No comments: