Pada tanggal 11 Februari 1979, semua mata masyarakat dunia tersedot pada sebuah pemandangan di Iran yang sangat menakutkan, namun sekaligus menakjubkan. Kenapa? Karena pada hari itu terjadi sebuah peristiwa yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka, di mana mereka melihat berjuta-juta orang melakukan aksi turun ke jalan menentang sebuah rezim yang mereka anggap sebagai tirani yang kejam, tidak manusiawi, dan telah membuat mereka tercerabut atau terasing (alienated) dari akar kebudayaan mereka. Peristiwa yang telah mencengangkan dunia internasional tersebut adalah revolusi Islam yang terjadi di Iran. Bahkan seorang pemikir Marxis yang terkenal seperti Fred Halliday pun mengomentari bahwa sebenarnya revolusi sebagaimana yang terjadi di Iran itulah yang sebenarnya diimpikan oleh Karl Marx dan Engels, di mana ia melibatkan seluruh komponen rakyat Iran, bukan seperti yang terjadi pada revolusi-revolusi di Rusia, Cina, Kuba, dan beberapa negara lainnya yang hanya melibatkan sekelompok kecil dari komponen masyarakat dengan dukungan dan koordinasi dari segelintir elit pimpinan kelompok komunis, sehingga dapat dimaklumi bahwa sebenarnya seluruh kaum Marxis di dunia merasa iri dengan apa yang telah terjadi di Iran.
Sebagaimana halnya yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa besar, revolusi Islam yang terjadi di Iran juga menyimpan sebuah pertanyaan. Bagaimana mungkin orang-orang yang berada di suatu negara yang tingkat pendidikan dan ekonominya belum begitu maju, walaupun memiliki potensi kekayaaan sumber daya minyak yang tinggi, dapat menjadi sangat revolusioner dan radikal? Faktor apakah yang menyebabkan hal tersebut? Kekuatan apakah yang berada di balik peristiwa itu? Ataukah mungkin ada aktor-aktor tertentu yang mempunyai andil besar dalam mengubah mindset mereka? Kalau iya, siapa sajakah mereka?
Mungkin masih banyak di antara kita yang belum akrab atau bahkan belum pernah mendengar nama Ali Syari’ati, seorang tokoh revolusioner yang mempunyai peran sangat besar, khususnya secara intelektual, dalam tercapainya revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, di samping tokoh-tokoh lainnya seperti Imam Khomeini, Muhammad Khatami, dan Ali Mossadeq.
Ali Syari’ati: Biografi Singkat
Ali Syari’ati lahir pada tanggal 24 November 1933 dengan nama asli Muhammad Ali Mazinani. Ia adalah putra sulung dari pasangan Sayyid Muhammad Taqi’ Syariati dan putri Zahrah. Ia tumbuh dan dibesarkan di sebuah desa dekat Masyhad di timur laut Khurasan, Iran. Keluarganya cukup disegani di kalangan masyarakat, terutama karena ayahnya yang terkenal sebagai seorang guru dan mujahid besar, pendiri Markaz Nasyr al-Haqa’iq al-Islamiyyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-Kebenaran Islam) di Masyhad dan sekaligus merupakan salah satu putra dari tokoh pergerakan pemikiran Islam di Iran. Dan melalui peran sang ayah inilah kelak Syari’ati menemukan jalan ke arah jati diri dan identitasnya sebagai seorang intelektual Islam, di samping peran tokoh-tokoh lainnya seperti kakek-kakeknya, khususnya Akhund Hakim, kakek dari ayahnya, dan juga paman ayahnya yang merupakan murid dari pemikir terkemuka dan sastrawan, Adib Nisyapuri.
Ali Syari’ati kecil terkenal sangat pendiam, kurang bisa bergaul, suka menyendiri, tidak mau diatur, namun sangat rajin membaca dan belajar. Ia lebih suka berada di kamar ayahnya membaca buku-buku milik ayahnya dengan ditemani olehnya hingga menjelang pagi daripada mempelajari buku-buku pelajaran sekolah atau bermain di luar rumah. Namun demikian, sebagaimana anak-anak lainnya, ia selalu naik kelas di sekolahnya.
Saat menginjak usia remaja, tepatnya pada tahun pertama di sekolah menengah atas, Syari’ati sudah mulai menyukai bidang filsafat dan mistisisme. Salah satu filosof yang mempengaruhi ketertarikannya terhadap filsafat adalah Maeterlinck yang membuatnya terkesan dengan pertanyaannya yang menggelitik: “Bila kita meniup mati sebatang lilin, ke manakah perginya nyala lilin itu?”
Saat memasuki usia dewasa, Syari’ati sangat aktif di dalam berbagai gerkan dan organisasi sosial dan politik. Pada sekitar usia 17-18 tahun ia menjadi mahasiswa di lembaga pendidikan Primary Teacher’s Training College (Kampus Pendidikan Guru Primer). Pada usia 20-an ia mulai menyadari kondisi sosial dan politik bangsanya yang mengalami penindasan oleh penguasa. Dan hal inilah yang kemudian membuat ia aktif melakukan perlawanan melalui pidato, tulisan dan gerakan. Setelah menginjak usia 23 tahun, ia masuk Fakultas Sastra di Universitas Masyhad. Di sini ia bergabung dengan kelompok pro-Mosadeq, oposisi rezim penguasa, dan Gerakan perlawanan Nasional atau NRM (National Revolution Movement) cabang Masyhad. Pada usia 25 tahun ia menikah dengan seorang putri dari Haji Ali Akbar yang bernama Pouran-e Syari’ati Razavi.
Setelah lulus dari Universitas Masyhad, Syari’ati mendapat beasiswa studi ke Universitas Sorbonne, Paris. Di sinilah ia menemukan kebebasan dalam pergulatan intelektual yang intens dan mendalam dengan berbagai aliran pemikiran yang belum pernah ditemuinya di Iran. Ia mulai mengenal tokoh-tokoh dunia, para filosof, sosiolog, islamolog, serta para penulis terkenal seperti Albert Camus, Henry Bergson, Jean Paul Sartre, Frantz Fanon, dan Louis Massignon. Ia juga mengkaji secara kritis pandangan-pandangan Karl Marx dan mengkorelasikannya dengan kondisi dunia ketiga, khususnya negaranya, Iran. Ia saat itu sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Frantz Fanon, seorang cendekiawan Aljazair asal Martinique yang aktif mendukung revolusi Aljazair kala itu, yang kemudian mengilhaminya untuk menerapkan pemikiran-pemikiran revolusionernya di negaranya, Iran. Salah satu buku yang sangat terkenal darinya dan disebarluaskan oleh Syari’ati adalah The Wretched of The Earth (Yang Terkutuk di Bumi). Selama di Paris ia bersama kawan-kawan seperjuangannya menyebarkan ide-ide revolusioner dan progresif untuk mengabarkan apa yang terjadi di Iran kepada warga dunia, khususnya Eropa.
Pada bulan September 1964, Ali Syari’ati dan keluarganya kembali ke Iran. Ia berniat untuk ikut berjuang secara penuh bersama para pejuang lainnya untuk kemerdekaan Iran dari rezim Syah yang lalim. Ia rela keluar-masuk penjara demi menyebarkan ide-ide revolusionernya tentang kebebasan dan kemerekaan kepada rakyat Iran, khususnya kalangan terdidik, yaitu kaum mahasiswa dan akademisi, dengan harapan bahwa mereka mampu menjadi ujung tombak dalam pergerakan anti-penjajahan oleh rezim yang totaliter. Ia berpidato di Universitas Masyhad dan di Institut Husyainiyah Irsyad mengenai arti dan pentingnya ideologi Islam radikal dan gerakan politik, dan karena kemampuannya dalam mempengaruhi massa yang sangat baik itulah ia seringkali menjadi sasaran penangkapan aparat keamanan rezim Syah.
Kemudian pada bulan Mei 1977, Syari’ati hijrah ke Inggris dengan harapan dapat menuangkan idenya secara luas. Akan tetapi, sebulan setelah itu, tepatnya pada tanggal 19 Juni 1977, ia meninggal secara misterius di rumah kerabatnya di Inggris. Ia dimakamkan di Damaskus, Syiria, di dekat kuburan Sayyidah Zainab, saudari Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Islam Revolusioner: Sebuah Gagasan
Salah satu ide Ali Syari’ati yang sangat terkenal dan mempengaruhi berbagai kalangan pemikir di dunia Islam adalah idenya tentang sifat revolusioner dari agama Islam. Ia memandang bahwa sesungguhnya Islam adalah agama perlawanan, agama kiri, agama rakyat tertindas, dan oleh karena itu ia harus dipahami sebagai sebuah gerakan dan semangat pembebasan secara keseluruhan, baik dari penindasan politik, ekonomi, agama, sosial, maupun yang lainnya.
Pemikiran di atas lahir karena didasari oleh ajaran tauhid, yang intinya adalah pernyataan pengakuan akan satu-satunya dzat yang patut disembah dan dipatuhi, yaitu Allah SWT, dan penyangkalan terhadap selain-Nya, seperti rezim yang totaliter, penghambaan terhadap harta kekayaan, kectentangan dengan ajaran itu adalah adanya penindasan di Iran, kata Syari’atiintaan terhadap keluarga yang berlebihan, dan sebagainya. Ketika kita sudah mengikrarkan tauhid, maka harus menentang segala hal yang bertentangan dengan ajaran tauhid dan ajaran yang datang dari Allah serta Rasul-Nya, dan salah satu hal yang ber. Oleh karena itu, menurutnya, seluruh umat Islam di Iran harus ikut bergerak dan bangkit bersama melawan hegemoni rezim Syah yang tidak adil dan lalim kala itu, karena hal itu bertentangan dengan prinsip ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin. Ia sangat menekankan perlunya pemahaman dan keyakinan tauhid yang mendalam sebagai simbol pembebasan manusia.
Ali Syari’ati menekankan pentingnya Islam sebagai sebuah ideologi, dan karakter dari ideologi Islam di sini ialah sifatnya yang anti-status quo dan pro-perubahan. Menurutnya, ideologi Islam harus termanifestasikan dalam amanat yang ia emban untuk membangkitkan dan membebaskan kaum yang menderita, bodoh, dan tertindas, agar bangun dan menuntut hak-haknya secara tegas. Tujuan utama dari seluruh pemikiran yang diperjuangkan oleh Syari’ati bermuara pada cita-cita bagi terwujudnya Islam sebagai agama pembaharuan yang progresif dan revolusioner. Oleh karena itu, diperlukan suatu penafsiran kembali terhadap ajaran Islam secara radikal agar tidak hanya berkutat pada permasalahan ritual individual saja, tetapi secara lebih luas harus juga menyentuh permasalahan yang dihadapi masyarakat seluruhnya, terutama yang berkaitan dengan hak-hak politik dan ekonomi.
Dalam upaya menggerakkan masyarakat yang tertindas untuk merebut hak-haknya yang terampas, Ali Syari’ati berpandangan bahwa diperlukan adanya golongan atau kelompok yang membimbing dan memimpin mereka dalam mengambil langkah-langkah strategis bagi tercapainya tujuan mereka. Dan kelompok ini haruslah terdiri dari orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi dengan pemhaman yang komprehensif terhadap ideologi yang menjadi landasan gerakannya. Dengan begitu, segala langkah yang akan ditempuhnya mempunyai pijakan yang pasti dan arah yang jelas. Orang yang mempunyai keyakinan ideologi yang kuat akan mampu berbuat secara total untuk memperjuangkan cita-citanya. Syari’ati menyebut kelompok ini dengan sebutan rausyanfikr, pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Merekalah yang akan memimpin masyarakat menuju revolusi.
Menurut Ali Syari’ati, ideologi komunisme yang berkembang dan dipahami oleh orang-orang saat itu kurang sesuai apabila diterapkan secara ‘mentah’ di Iran. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan yang nyata antara kondisi sosial, kultural, dan politik di negara-negara komunis dengan negara Iran. Bangsa Iran merupakan bangsa yang religius, terutama mayoritas dari mereka beragama Islam, sedangkan ideologi komunisme berwatak atheis, menekankan pertentangan kelas, dan terlalu mementingkan aspek materi. Oleh karena itu, perlu adanya ‘penyesuaian’ yang tepat antara komunisme dengan ideologi Islam yang diyakini oleh rakyat Iran. Di dalam Islam tidak dikenal istilah pertentangan kelas, karena justru ia bertujuan menghilangkannya dengan konsep taqwa. Selain itu, Islam juga melarang umatnya melakukan pemujaan terhadap harta benda, karena harta benda hanyalah sarana untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya di akhirat. Dan khusus untuk rakyat Iran, Syari’ati berpendapat bahwa mereka perlu kembali kepada semangat Islam Syi’ah yang selama ini mereka miliki dengan menggugah kembali akar-akar revolusioner dari ajaran-ajarannya. Ia berpandangan demikian karena Islam, khususnya Islam Syi’ah, masih mendominasi budaya, tradisi, dan identitas rakyat Iran. Ia meyakinkan seluruh rakyat Iran bahwa kebutuhan yang paling mendasar mereka saat itu adalah sebuah gerakan revolusioner yang didasarkan pada ajaran Islam yang mereka yakini yang bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat intelektual mereka dan mewujudkan kebangkitan Islam. Ini semua berawal dari sebuah pemahaman bahwa Islam adalah agama revolusioner, agama perlawanan.
Islam Indonesia: Revolusioner?
Rakyat Iran telah mengalami sendiri masa-masa sulit dalam menghadapi kekuatan penguasa yang menindas dan despotis, dan mereka berhasil membuktikan dengan baik bahwa mereka mampu bangkit melawan segala penindasan dan kedzaliman yang mereka hadapi. Mereka telah membuktikan bahwa kekuatan revolusioner Islam benar-benar ada, apabila hal itu ada dalam keyakinan kita. Dan meskipun Ali Syari’ati tidak sempat menyaksikan secara langsung peristiwa revolusi Islam di Iran yang sangat bersejarah dan inspiratif itu, kita semua pasti setuju bahwa ia sebenarnya sangat berbahagia karena usahanya yang penuh dedikasi dan pantang menyerah selama hidupnya tidaklah sia-sia. Mungkin di dalam kuburnya ia tidak henti-hentinya mengucapkan syukur dan bersujud kepada Allah dengan diiringi tangis bahagia.
Bagaimana halnya dengan Islam di Indonesia?
No comments:
Post a Comment