25 May 2008

Mahasiswa dan Kesadaran Sosial: Menggugat Mahasiswa Oportunis

Permasalahan bangsa Indonesia dalam seluruh bidang kehidupan dari dahulu hingga sekarang belum juga terselesaikan, bahkan semakin hari semakin tampak memprihatinkan. Dalam berbagai siaran berita yang kita tonton di televisi terlihat bagaimana kondisi rakyat kecil yang masih miskin dan terbelakang, belum mampu mengenyam pendidikan secara layak dan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Korupsi di sana-sini semakin menggila, penjualan aset-aset bangsa kepada para kapitalis yang tidak bertanggungjawab semakin tak terkendali. Hutan kita dijarah tanpa ampun, lingkungan pun semakin rusak, dan pemanasan global tak mampu dibendung lagi.

Selama ini gerakan mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia pergerakan masih bersifat elitis dan belum mampu menyatukan diri mereka dengan rakyat kecil atau kalangan akar rumput. Mereka masih berkutat pada permasalahan yang abstrak dan jauh di awang-awang alias asing bagi rakyat kecil yang kurang begitu memahami wacana yang mereka angkat. Bahkan, banyak di antara anggota gerakan mahasiswa yang enggan untuk berperan secara konkret dalam ranah pemberdayaan dan advokasi masyarakat kecil yang tertindas. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk mengangkat isu-isu yang ‘besar’ dan bergengsi. Hal inilah yang kemudian akhirnya menyebabkan gerakan mereka kurang mendapatkan respon dari masyarakat banyak yang mereka bela. Bahkan apa yang mereka perjuangkan itu seringkali dianggap sebagai suatu bentuk ketergesa-gesaan dan kebodohan yang sia-sia. Dan yang lebih ekstrimnya, seperti kata teman saya, aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa selama ini dianggap buruk dan tidak baik oleh beberapa kalangan masyarakat.
Mahasiswa, mau tidak mau, merupakan kalangan elit dari bangsa ini. Oleh karena itulah sangat wajar apabila banyak dari mereka yang bersikap elitis dan kurang mau peduli dengan permasalahan riil yang sedang dihadapi oleh rakyat kecil. Namun, apakah ketidakacuhan ini merupakan tindakan yang benar? Kebanyakan dari mahasiswa di berbagai perguruan tinggi menganggap bahwa aksi atau demonstrasi merupakan hal yang sia-sia dan tidak berguna walaupun sebenarnya mereka ‘katanya’ juga turut peduli dengan kondisi rakyat miskin. Namun, apakah hanya dengan kepedulian yang tidak diikuti dengan tindakan nyata untuk menuntut keadilan bagi mereka yang tertindas kepada penguasa kita dapat memperbaiki kehidupan mereka? Di dalam kuliah-kuliah di kelas, para mahasiswa banyak memperbincangkan kemiskinan, keterbelakangan, kesalahan pengelolaan pendidikan, kesalahan sistem ekonomi, namun tidak mau terjun langsung untuk melakukan perubahan terhadap realitas yang timpang itu. Apakah sikap seperti ini yang dinamakan sebagai sikap konsisten dan berkomitmen? Padahal, di luar sana, di sudut-sudut kota yang kumuh itu, para gelandangan dan pengemis menanti kehadiran mereka untuk membebaskan mereka dari keterpurukan yang dialaminya.
Di manakah letak konsistensi kepedulian kita, para mahasiswa semua, terhadap kondisi bangsa dan negara kita yang tercinta ini? Kenapa kita hanya berbicara tentang kebobrokan bangsa dan negara kita tanpa melakukan gerakan nyata untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik? Apakah pembicaraan tentang kemiskinan itu menarik? Apakah berdebat tentang korupsi itu bergengsi? Apakah menulis tentang efek pemanasan global itu seksi? Apakah memperbincangkan komersialisasi pendidikan itu up to date? Mungkin banyak di antara kita yang menjawab ya. Namun, apakah kita mengatakan seksi, menarik, bergengsi, dan sebagainya itu hanya untuk dibicarakan panjang lebar tanpa ada usaha konkret untuk melakukan perbaikan? Kalau memang hal itu benar, berarti benar pulalah apa yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa para filosof hanya dapat menafsirkan realitas, padahal yang lebih penting adalah bagaimana mengubah realitas itu sendiri. Hanya saja, di sini bukan filosof yang digugat, tapi para mahasiswa yang katanya berpendidikan dan mengerti kondisi bangsa dan negara Indonesia, namun tidak mau berbuat sesuatu secara nyata untuk memperbaikinya. Mahasiswa seperti inilah yang disebut dengan mahasiswa oportunis, yang hanya mencari ‘aman’ untuk dirinya sendiri.
Sikap seperti apakah yang kita pilih, keluar dari zona aman untuk memperjuangkan nasib bangsa dan negara, atau tetap bertahan dalam zona aman untuk menyelamatkan kepentingan diri kita sendiri? Jawablah dengan hati nurani Anda sendiri.

No comments: