Liberalisme sebagai Ideologi
Sebelum lebih jauh membahas tentang liberalisasi pendidikan, maka penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu tentang istilah liberalisasi. Liberalisasi, sebagai sebuah proses, berasal dari istilah liberalisme. Liberalisme, sebagai sebuah filsafat dan ideologi, terdiri dari tiga nilai yang mendasar, yaitu Kehidupan, Kebebasan, dan Hak Milik (Life, Liberty, dan Property).
Ketiga nilai menghasilkan prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, kesempatan yang sama bagi setiap orang dalam segala bidang kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, maupun kebudayaan. Kedua, dalam setiap kebijakannya, pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat. Ketiga, yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu. Keempat, negara hanyalah alat, sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri, dengan anggapan bahwa masyarakat pada dasarnya dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah sebagai penengah ketika usaha yang secara mandiri dilakukan masyarakat telah mengalami kegagalan.
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan, di mana keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Liberalisme menghasilkan paham demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Salah satu tokoh utama yang mempengaruhi paham liberalisme ini, khususnya di bidang ekonomi, adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi sangat luas, namun yang paling utama adalah pemikiran bahwa segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar di mana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan.
Liberalisme dalam Sektor Pendidikan
Dalam membicarakan persoalan liberalisasi pendidikan di Indonesia, penting bagi kita untuk menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya proses liberalisasi pendidikan itu sendiri. Lahirnya liberalisasi pendidikan ini berawal dari kesepakatan dalam WTO (World Trade Organization), sebuah organisasi di bawah PBB, yang merupakan organisasi internasional yang mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan "aturan perdagangan" di antara anggotanya. Organisasi ini didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan GATT, yang bertujuan untuk meniadakan hambatan perdagangan internasional setelah Perang Dunia II. Prinsip dan persetujuan GATT diambil oleh WTO, yang bertugas untuk mendaftar dan memperluasnya. WTO bermarkas di Jenewa, Swiss. Pada Juli 2008 organisasi ini memiliki 153 negara anggota, termasuk Indonesia. Privatisasi merupakan prinsip WTO yang memegang peranan sangat penting. Privatisasi berada di top list dalam tujuan WTO. Privatisasi yang didukung oleh WTO akan membuat peraturan-peraturan pemerintah sulit untuk mengaturnya. WTO membuat sebuah peraturan secara global sehingga penerapan peraturan-peraturan tersebut di setiap negara belum tentulah cocok. Namun, meskipun peraturan tersebut dirasa tidak cocok bagi negara tersebut, negara itu harus tetap mematuhinya; jika tidak, negara tersebut dapat terkena sanksi ekonomi oleh WTO.
Negara-negara yang tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dirasa tidak fair, tetap tidak dapat memberikan suaranya, karena pencapaian suatu keputusan dalam WTO tidak berdasarkan konsensus dari seluruh anggota. Merupakan rahasia umum bahwa empat kubu besar dalam WTO (Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa)-lah yang memegang peranan untuk pengambilan keputusan. Pertemuan-pertemuan besar antara seluruh anggota hanya dilakukan untuk mendengarkan pendapat-pendapat yang ada tanpa menghasilkan keputusan. Pengambilan keputusan dilakukan di sebuah tempat yang diberi nama “Green Room”. Green Room ini adalah tempat berkumpulnya negara-negara yang biasa bertemu dalam Ministerial Conference (selama 2 tahun sekali), negara-negara besar yang umumnya negara maju dan memiliki kepentingan pribadi untuk memperbesar cakupan perdagangannya. Negara-negara berkembang tidak dapat mengeluarkan suara untuk pengambilan keputusan. Dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan WTO inilah, yang salah satunya harus melakukan privatisasi di bidang pendidikan, pemerintah mengeluarkan produk hukum yaitu UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana di dalam BAB VII BIDANG USAHA Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa “Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan”. Sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa “Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden”. Penjabaran UU ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No.77 tahun 2007 tentang Bidang Usaha Tertutup dan Yang Terbuka dengan persyaratan terhadap penanaman modal asing dan dalam negeri, di mana pendidikan termasuk di dalamnya.
Dampak Liberalisasi terhadap Pendidikan Indonesia
Konsekuensi dari keputusan pemerintah tersebut adalah masuknya modal asing dalam pengelolaan pendidikan Indonesia, mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan non-formal. Dengan demikian nantinya akan ada sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing, dan dikelola sesuai dengan tujuan diinvestasikannya modal tersebut. Tentu karena tujuan investasi modal tersebut adalah untuk mendapatkan laba, maka institusi pendidikan menjadi sebuah institusi bisnis yang proses pengelolaannya akan berorientasi kepada laba. Bermunculannya sekolah-sekolah yang dimiliki oleh asing akan mendorong persaingan yang tajam dengan sekolah-sekolah swasta dalam negeri. Di satu sisi persaingan tersebut bersifat positif, karena sekolah swasta Indonesia akan dipacu untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan secara lebih baik.
Namun di sisi lain, persaingan tersebut akan membuat perubahan yang sangat signifikan dalam orientasi pembangunan pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah swasta akan dipacu menjadi sebuah institusi bisnis yang harus mendatangkan laba, supaya mampu meningkatkan kualitas pendidikannya melalui pengembangan berbagai fasilitas pendidikan. Tujuannya agar dengan peningkatan fasilitas sekolah yang semakin bagus, akan mampu bersaing dengan sekolah yang memiliki modal yang kuat. Kondisi ini akan menciptakan persaingan yang membuat pendidikan menjadi mahal dan makin tidak terjangkau oleh seluruh masyarakat. Hanya lapisan masyarakat yang mampu dan kaya akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sedangkan masyarakat yang miskin semakin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan, dengan demikian, akhirnya menjadi sebuah bisnis yang tidak lagi mengemban misi sosial untuk perubahan kultur masyarakat, tetapi mengemban misi bisnis global. Sehingga kepentingan pemilik modal akan menentukan dan mengarahkan bagaimana bentuk dan tujuan pendidikan tersebut. Dan kepentingan pemilik modal selalu terkait dengan laba. Liberalisasi pendidikan akan berpotensi menciptakan kesenjangan yang luar biasa terhadap akses ke pendidikan, karena “korporasi” pendidikan akan menciptakan suatu proses pendidikan yang akan berorientasi kepada pasar semata. Sementara jutaan masyarakat lainnya tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Post-script: Meneladani Konsep Pendidikan Ki Hajar
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, harus dibedakan dengan pengajaran, karena pengajaran hanyalah satu bagian dari pendidikan. Secara umum, menurut beliau, pendidikan adalah “tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak”. Artinya, pendidikan haruslah berorientasi pada pembangunan intelektualitas dan juga karakter/kepribadian nasional. Jadi pendidikan tidak hanya mengurusi pengajaran yang intelektualistis dan materialistis, tetapi juga memperhatikan soal bagaimana membangun kesadaran anak didik terhadap jati diri mereka sebagai anak bangsa Indonesia, sehingga mereka memiliki kesadaran tentang kebudayaan Indonesia, peduli pada kondisi kehidupan rakyat, dan mau berbuat secara konkret untuk membangun bangsa menuju kesejahteraan bersama.
Ki Hajar dalam konsep pendidikannya sangat menekankan pentingnya pendidikan kebudayaan, karena menurut beliau pendidikan adalah alat, dan alat itu harus ditempatkan dan diperuntukkan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Oleh karenanya, ketika kita melaksanakan pendidikan kepada anak-anak kita, maka kita harus benar-benar tahu dan sadar tentang fungsi pendidikan itu bagi bangsa Indonesia, tidak sekedar meniru konsep pendidikan orang-orang di luar bangsa kita. Pendidikan haruslah ditujukan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tidak memisahkan diri dari kesatuan perikemanusiaan.
Oleh karenanya, pemerintah perlu memikirkan secara mendalam dampak liberalisasi pendidikan terhadap tujuan pendidikan nasional. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, tanggung jawab yang utama dari pemerintah adalah menyediakan akses yang merata dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang memadai, serta mengatur proses pendidikan melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan Indonesia. Jika investasi asing ini membuat kemampuan negara dalam memenuhi hak-hak masyarakat akan pendidikan menjadi semakin menurun, maka pemerintah perlu meninjau ulang PP Nomor 77 tersebut. Karena bukan tidak mungkin masuknya modal asing dalam pendidikan ini akan mengakibatkan ketergantungan yang semakin besar dari pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan.
Sejak dini, pemerintah harus memastikan regulasi yang dikeluarkan tersebut tidak membuat sekolah-sekolah milik negeri sendiri kalah bersaing karena permodalan, membuat lunturnya nilai-nilai kebangsaan karena kebijakan sekolah yang berorientasi laba, serta dalam perkembangannya justru tidak mendukung misi dan tujuan pendidikan nasional. Jika pemerintah ingin membendung liberalisasi pendidikan dengan segala dampaknya tersebut, maka pemerintah harus membangun kemampuan finansialnya dalam pendidikan nasional. Target minimum 20 % anggaran pendidikan (di luar gaji guru) harus dipenuhi, untuk memastikan tersedianya fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Kelemahan dalam manajemen pendidikan harus diperbaiki, serta korupsi dalam bidang pendidikan harus diperangi untuk memastikan anggaran tepat sasaran. Kita harus mulai bergantung kepada kemampuan diri sendiri dalam membangun pendidikan bangsa, termasuk kemampuan finansial kita.
Daftar Referensi:
Assegaf, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat. Yogyakarta: Gama Media.
Dewantara, Ki Hajar. 2009. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.
Majalah BASIS Edisi Juli-Agustus 2009.
UU Nomor 25 tahun 2007
PP Nomor 77 tahun 2007
http://www.wto.org/ (diakses 31 Maret 2011).
________________________________________
(1) Draf awal artikel ini merupakan makalah yang disampaikan oleh penulis bersama Muhammad Safri D. dalam mata kuliah Isu-isu Kontemporer Pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2011. Setelah itu, penulis melakukan beberapa perubahan untuk kepentingan pemuatan dalam blogsite pribadi ini.
28 January 2012
27 January 2012
Tentang Pak Hasyim: Sebuah Memoar Untuk Sang Pendidik
Saya sangat terkejut dan tak menyangka sama sekali ketika sebuah SMS masuk pada hari Kamis kemarin (19/01/12) pukul 14:08 WIB. Pesan singkat itu dari Abid, adik kelas saya di MI hingga MA di Mojokerto dan sama-sama kuliah di UGM walaupun berbeda fakultas. Rumahnya juga tidak jauh dari rumah saya, berada di dusun yang sama, hanya berbeda RT. Ia tinggal di RT 02, sedangkan saya di RT 03.
Isi SMS itu adalah: “Assalamu’alaikum Wr. Wb. Kang Said, ayahku tilar dunyo. Tolong dungakno yo. Aku moleh saiki. By: Abid.” Saya pun tak kuasa menahan sedih. Ayahnya, yaitu Pak Hasyim Asy’ari, adalah guru ngaji saya sejak kecil hingga usia 12 tahun, sebelum akhirnya saya mondok dan meneruskan ke MTs di Pondok Pesantren Al-Amin. Pak Hasyim, begitu saya dan teman-teman santri lainnya memanggil beliau, adalah kepala TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan Madrasah Diniyyah An-Nidhomiyyah yang letaknya di depan rumah beliau. Beliau melanjutkan amanah untuk memimpin kedua lembaga itu dari almarhum mertua beliau, yaitu K.H. Zainal Abidin.
Saya pun langsung membalas SMS Abid bahwa saya akan segera menyusul. Dan malam harinya, saya bersama 2 Sahabat PMII dari UGM berangkat dari Yogyakarta naik bus. Saya sangat ingin hadir ke rumah duka untuk ikut mendoakan beliau. Sepanjang perjalanan, pikiran saya tidak lepas dari bayangan sosok beliau. Bagaimana tidak, beliau adalah sosok yang begitu bersahaja, santun, dan ikhlas dalam mengajar.
Proses pendidikan di TPQ dan Madrasah Diniyyah An-Nidhomiyyah yang berjalan hingga kini menjadi bukti kemampuan beliau dalam mengkombinasikan keikhlasan dan konsistensi perjuangan. Ya, memang sangat berat untuk benar-benar ikhlas mengelola kedua lembaga itu, apalagi dengan bisyaroh yang dapat dibilang sama sekali tidak sepadan dengan beban dan tanggung jawab yang beliau emban. Dan sangat sulit pula untuk konsisten dan komitmen terhadap perjuangan mendidik anak-anak generasi muda Islam di Kedungpring dan sekitarnya lewat kedua lembaga itu, karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan. Dan beliau telah membuktikan kemampuannya melalui semua ujian itu, walaupun harus mengorbankan banyak hal, termasuk kesehatannya.
Saya masih ingat ketika beliau men-jewer dan memarahi saya dan beberapa teman lainnya karena kami bermain-main di atas pohon sawo di halaman gedung pada saat mengaji Madrasah Diniyyah. Waktu itu memang sudah waktunya mengaji, tetapi kami masih saja bermain-main. Beliau menasehati kami: ”Kalian itu harus serius dalam belajar ilmu agama, agar bisa bermanfaat untuk masa depan kalian”. Sebuah nasehat yang saya ingat hingga kini.
Ketika saya mengikuti tahlilan di rumah duka pada hari Jumat (20/01/12), saya tidak bisa berhenti memikirkan beliau. Saya teringat bagaimana salah satu guru saya, Ustadz Aang Baihaqi, meninggal dunia pada bulan Juli 2011. Dia adalah inspirator sekaligus aktor perjuangan yang sangat saya kagumi. Saya merasa sangat terpukul waktu itu. Dan kini, satu lagi guru yang menjadi teladan dan inspirator bagi saya, menyusul pergi. Saya menjadi bingung, siapakah kemudian sosok yang dapat menjadi tempat ‘berlabuh’ saya?
Mungkin wejangan dari Pak Sholihin, salah satu guru saya di Madrasah Diniyyah juga, dapat menjadi jawabannya. “Id, satu per satu sosok-sosok teladan kita meniggalkan kita, lalu siapakah yang meneruskan perjuangan mereka kalau bukan anak-anak muda seperti kalian?” Ya, mereka yang telah meninggalkan kita tidak perlu diratapi secara berlebihan; justru semangat dan perjuangan merekalah yang harus kita tanamkan kepada generasi sekarang dan generasi masa depan untuk melanjutkannya.
Semoga engkau damai di sisi Allah SWT, Pak Hasyim. Amin.
Isi SMS itu adalah: “Assalamu’alaikum Wr. Wb. Kang Said, ayahku tilar dunyo. Tolong dungakno yo. Aku moleh saiki. By: Abid.” Saya pun tak kuasa menahan sedih. Ayahnya, yaitu Pak Hasyim Asy’ari, adalah guru ngaji saya sejak kecil hingga usia 12 tahun, sebelum akhirnya saya mondok dan meneruskan ke MTs di Pondok Pesantren Al-Amin. Pak Hasyim, begitu saya dan teman-teman santri lainnya memanggil beliau, adalah kepala TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan Madrasah Diniyyah An-Nidhomiyyah yang letaknya di depan rumah beliau. Beliau melanjutkan amanah untuk memimpin kedua lembaga itu dari almarhum mertua beliau, yaitu K.H. Zainal Abidin.
Saya pun langsung membalas SMS Abid bahwa saya akan segera menyusul. Dan malam harinya, saya bersama 2 Sahabat PMII dari UGM berangkat dari Yogyakarta naik bus. Saya sangat ingin hadir ke rumah duka untuk ikut mendoakan beliau. Sepanjang perjalanan, pikiran saya tidak lepas dari bayangan sosok beliau. Bagaimana tidak, beliau adalah sosok yang begitu bersahaja, santun, dan ikhlas dalam mengajar.
Proses pendidikan di TPQ dan Madrasah Diniyyah An-Nidhomiyyah yang berjalan hingga kini menjadi bukti kemampuan beliau dalam mengkombinasikan keikhlasan dan konsistensi perjuangan. Ya, memang sangat berat untuk benar-benar ikhlas mengelola kedua lembaga itu, apalagi dengan bisyaroh yang dapat dibilang sama sekali tidak sepadan dengan beban dan tanggung jawab yang beliau emban. Dan sangat sulit pula untuk konsisten dan komitmen terhadap perjuangan mendidik anak-anak generasi muda Islam di Kedungpring dan sekitarnya lewat kedua lembaga itu, karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan. Dan beliau telah membuktikan kemampuannya melalui semua ujian itu, walaupun harus mengorbankan banyak hal, termasuk kesehatannya.
Saya masih ingat ketika beliau men-jewer dan memarahi saya dan beberapa teman lainnya karena kami bermain-main di atas pohon sawo di halaman gedung pada saat mengaji Madrasah Diniyyah. Waktu itu memang sudah waktunya mengaji, tetapi kami masih saja bermain-main. Beliau menasehati kami: ”Kalian itu harus serius dalam belajar ilmu agama, agar bisa bermanfaat untuk masa depan kalian”. Sebuah nasehat yang saya ingat hingga kini.
Ketika saya mengikuti tahlilan di rumah duka pada hari Jumat (20/01/12), saya tidak bisa berhenti memikirkan beliau. Saya teringat bagaimana salah satu guru saya, Ustadz Aang Baihaqi, meninggal dunia pada bulan Juli 2011. Dia adalah inspirator sekaligus aktor perjuangan yang sangat saya kagumi. Saya merasa sangat terpukul waktu itu. Dan kini, satu lagi guru yang menjadi teladan dan inspirator bagi saya, menyusul pergi. Saya menjadi bingung, siapakah kemudian sosok yang dapat menjadi tempat ‘berlabuh’ saya?
Mungkin wejangan dari Pak Sholihin, salah satu guru saya di Madrasah Diniyyah juga, dapat menjadi jawabannya. “Id, satu per satu sosok-sosok teladan kita meniggalkan kita, lalu siapakah yang meneruskan perjuangan mereka kalau bukan anak-anak muda seperti kalian?” Ya, mereka yang telah meninggalkan kita tidak perlu diratapi secara berlebihan; justru semangat dan perjuangan merekalah yang harus kita tanamkan kepada generasi sekarang dan generasi masa depan untuk melanjutkannya.
Semoga engkau damai di sisi Allah SWT, Pak Hasyim. Amin.
22 January 2012
Problem Kaderisasi dan Masa Depan “Politik NU”: Sebuah Catatan Kritis
Sekitar seminggu yang lalu (13/01/12) penulis bersama beberapa Sahabat PMII Cabang Sleman sowan ke K.H. Mu’tashim Billah, pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Kaliurang, Sleman. Tujuan utama kedatangan kami–selain silaturrahim tentunya- adalah untuk menyampaikan ucapan terima kasih kami atas saran-saran dan dukungan beliau baik secara moral, spiritual, maupun finansial bagi pelaksanaan rangkaian kegiatan Peringatan Haul Gus Dur yang diselenggarakan oleh PC PMII Sleman pada 28 dan 30 Desember 2011 sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Selain itu, dalam kesempatan tersebut kami meminta wejangan dan masukan dari beliau terkait beberapa program kerja kepengurusan yang sedang berjalan dan yang akan dilaksanakan, seperti program kemitraan –yakni pendidikan TPA dan bimbingan belajar untuk anak-anak kampung Pohruboh, Condongcatur, Sleman- dan gagasan untuk membentuk sebuah forum mahasiswa lintas iman di kampus. Beliau memberi masukan-masukan yang sangat bermanfaat bagi pelaksanaan kedua program kerja tersebut.
Kami pun terlibat dalam obrolan yang santai namun serius dengan beliau. Dalam obrolan tersebut, beliau mengemukakan tentang rencana pelaksanaan Pendidikan Politik (Dikpol) Untuk Santri Putri pada 20-22 Januari 2012 di Wonosobo. Dikpol ini merupakan yang kedua, setelah sebelumnya dilaksanakan kegiatan serupa untuk santri putra pada tahun 2011 di Ponpes Pandanaran yang beliau pimpin.
Kegiatan Dikpol tersebut, kata beliau, dilatar-belakangi oleh keprihatinan terhadap dua kenyataan yang sedang terjadi di dalam tubuh NU. Pertama, orang-orang NU yang berpolitik praktis –termasuk para kiai- namun tidak memiliki integritas dan keberpihakan yang nyata kepada masyarakat NU dan rakyat miskin, tidak mampu menjadi aktor yang berperan penting dalam pengambilan kebijakan politik, atau bahkan hanya menjadi ‘kacung’ untuk menjaring suara rakyat dalam Pemilu dan setelah itu dibuang –seperti pepatah “habis manis sepah dibuang”.
Kedua, berkebalikan dari yang pertama, adalah orang-orang NU yang resisten bahkan apatis terhadap politik praktis, sehingga membuat NU semakin termajinalkan dalam berbagai kebijakan politik negara. Walaupun banyak juga kader-kader NU yang memilih jalur NGO dan gerakan kerakyatan untuk berpolitik, namun menurut beliau upaya mendorong transformasi sosial yang paling efektif tetaplah lewat sistem, alias berpolitik praktis.
Kedua kenyataan di atas adalah konsekuensi logis dari adanya dua pandangan yang bertentangan di dalam tubuh NU itu sendiri, yaitu pandangan bahwa NU harus masuk jalur politik praktis untuk mewujudkan aspirasinya dan pandangan bahwa NU harus lepas sama sekali dari politik praktis. Menurut beliau, dua pandangan itu sama-sama kurang tepat. Yang seharusnya dilakukan adalah kiai-kiai NU tetap menjadi pengasuh pesantren dan masyarakat, namun para santrinya harus dipersiapkan dan dikader agar mampu tampil sebagai pelaku-pelaku politik yang berpengaruh dan dapat memberikan dampak positif bagi perbaikan masyarakat NU dan rakyat Indonesia. Selain itu, kiprah mereka dalam berpolitik diharapkan tetap memiliki keterikatan ideologis dengan kiai dan pesantren, serta berakar pada tradisi pesantren dan pedesaan. Untuk tujuan itulah, menurut beliau, Dikpol diselenggarakan.
Pemikiran dan praksis yang diambil oleh Gus Ta’shim dkk di atas merupakan sebentuk kekhawatiran yang mendalam terhadap masa depan “politik NU”. Artinya, mereka khawatir bahwa jika NU tidak segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internalnya dan berperan secara lebih signifikan sebagai aktor dan katalisator transformasi sosial di Indonesia, maka NU akan semakin terasing dan bahkan tersingkir dari dinamika kebangsaan di Indonesia. Kekhawatiran yang demikian sangatlah bisa dimaklumi.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah yang dilakukan oleh Gus Ta’shim dkk akan dapat menjamin bahwa ke depan aktor-aktor politik yang merupakan alumni “komunitas epistemik” Dikpol tersebut dapat berkiprah sesuai dengan harapan dan idealisme yang dibangun? Kemudian yang lebih mendasar, apakah kesadaran yang demikian telah dimiliki oleh para pengurus NU? Kalau iya, bagaimanakah keseriusan dan konsistensi sikap mereka untuk mewujudkannya dalam kebijakan-kebijakan organisasi?
Sejauh pengamatan penulis, PBNU selama ini tidak mampu mengambil kebijakan yang jelas terkait batas demarkasi antara NU sebagai organisasi sosial-keagamaan sesuai Khittah 1926 dengan politik praktis yang harus dijauhi. Bahkan, saat ini muncul tuduhan –yang menurut penulis cukup berdasar- bahwa PBNU cenderung (men)-dekat dengan salah satu partai politik. Begitu pula halnya dengan para pengurus NU di tingkatan wilayah, cabang, bahkan ranting. Tidak jarang mereka dengan tanpa tedeng aling-aling mengarahkan suara warga NU -bahkan cenderung instruktif- untuk memilih calon pemimpin daerah atau anggota legislatif dengan dalih para calon tersebut adalah kader NU dan atau berjasa besar bagi NU. Bahkan banyak dari mereka yang ternyata –selain menjabat sebagai pengurus NU- juga menduduki posisi tertentu dalam suatu partai politik.
Hal di atas belum ditambah dengan begitu besarnya ketergantungan organisasi NU secara finansial terhadap ‘sumbangan’ dari orang-orang NU yang berkiprah dalam politik praktis, atau orang-orang non-NU yang meniti karier politik di partai politik yang notabene lahir dari ‘rahim’ NU. Sungguh kenyataan yang ironis. Bagaimana NU mampu menjaga independensinya dari politik praktis nan pragmatis jika dalam praktiknya mereka tetap dependen kepada partai politik dan para politisi? Bagaimana pula NU mampu diandalkan untuk tampil sebagai pelindung dan pembela rakyat kecil dari ketertindasan politik, hukum, ekonomi, dan kultural akibat dari kebijakan-kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka?
Neoliberalisme dan Reorientasi Gerakan: Sebuah Imperatif
Berbagai permasalahan kebangsaan yang dihadapi Indonesia saat ini tidak terlepas dari hegemoni globalisasi yang disetir oleh kekuatan neoliberalisme. Mulai dari persoalan terorisme, kemiskinan, perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, hingga tragedi pembunuhan atau bunuh diri yang menghiasi berita sehari-sehari di media massa adalah dampak dari serbuan arus globalisasi neoliberal yang mencekam. Mungkin sebagian besar di antara masyarakat Indonesia tidak menyadari keterkaitan konteks mikro, mezzo, dan makro ini. Namun, seharusnya elit-elit bangsa dan pemimpin NU memahami hal ini dengan baik. Atau tentunya mereka telah memahaminya, namun enggan melakukan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil. Mereka lebih suka bertakhta di singgasananya masing-masing. Kalau demikian yang terjadi, alangkah malangnya nasib anak negeri ini.
NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan seharusnya mampu menjadi benteng pertahanan kekuatan rakyat, dan sekaligus garda terdepan pembela kepentingan rakyat kecil. Perjalanan sejarah kebangsaan kita selalu menunjukkan bahwa rakyat kecil berada dalam ketertindasan. Oleh karena itu, dibutuhkan orang-orang yang mendampingi mereka untuk mendapatkan hak-haknya. Dan NU sangatlah berpotensi untuk memainkan peran strategis tersebut. Semua itu bergantung pada keseriusan dan konsistensi para elit NU untuk selalu berada dan berjuang di jalan perjuangan membela rakyat tertindas.
Dan pada akhirnya, sejarahlah yang akan membuktikan keberpihakan NU. Entah kepada siapa, rakyat kecil yang tertindas atau penguasa yang lalim.
Wallahu a’lam.
Selain itu, dalam kesempatan tersebut kami meminta wejangan dan masukan dari beliau terkait beberapa program kerja kepengurusan yang sedang berjalan dan yang akan dilaksanakan, seperti program kemitraan –yakni pendidikan TPA dan bimbingan belajar untuk anak-anak kampung Pohruboh, Condongcatur, Sleman- dan gagasan untuk membentuk sebuah forum mahasiswa lintas iman di kampus. Beliau memberi masukan-masukan yang sangat bermanfaat bagi pelaksanaan kedua program kerja tersebut.
Kami pun terlibat dalam obrolan yang santai namun serius dengan beliau. Dalam obrolan tersebut, beliau mengemukakan tentang rencana pelaksanaan Pendidikan Politik (Dikpol) Untuk Santri Putri pada 20-22 Januari 2012 di Wonosobo. Dikpol ini merupakan yang kedua, setelah sebelumnya dilaksanakan kegiatan serupa untuk santri putra pada tahun 2011 di Ponpes Pandanaran yang beliau pimpin.
Kegiatan Dikpol tersebut, kata beliau, dilatar-belakangi oleh keprihatinan terhadap dua kenyataan yang sedang terjadi di dalam tubuh NU. Pertama, orang-orang NU yang berpolitik praktis –termasuk para kiai- namun tidak memiliki integritas dan keberpihakan yang nyata kepada masyarakat NU dan rakyat miskin, tidak mampu menjadi aktor yang berperan penting dalam pengambilan kebijakan politik, atau bahkan hanya menjadi ‘kacung’ untuk menjaring suara rakyat dalam Pemilu dan setelah itu dibuang –seperti pepatah “habis manis sepah dibuang”.
Kedua, berkebalikan dari yang pertama, adalah orang-orang NU yang resisten bahkan apatis terhadap politik praktis, sehingga membuat NU semakin termajinalkan dalam berbagai kebijakan politik negara. Walaupun banyak juga kader-kader NU yang memilih jalur NGO dan gerakan kerakyatan untuk berpolitik, namun menurut beliau upaya mendorong transformasi sosial yang paling efektif tetaplah lewat sistem, alias berpolitik praktis.
Kedua kenyataan di atas adalah konsekuensi logis dari adanya dua pandangan yang bertentangan di dalam tubuh NU itu sendiri, yaitu pandangan bahwa NU harus masuk jalur politik praktis untuk mewujudkan aspirasinya dan pandangan bahwa NU harus lepas sama sekali dari politik praktis. Menurut beliau, dua pandangan itu sama-sama kurang tepat. Yang seharusnya dilakukan adalah kiai-kiai NU tetap menjadi pengasuh pesantren dan masyarakat, namun para santrinya harus dipersiapkan dan dikader agar mampu tampil sebagai pelaku-pelaku politik yang berpengaruh dan dapat memberikan dampak positif bagi perbaikan masyarakat NU dan rakyat Indonesia. Selain itu, kiprah mereka dalam berpolitik diharapkan tetap memiliki keterikatan ideologis dengan kiai dan pesantren, serta berakar pada tradisi pesantren dan pedesaan. Untuk tujuan itulah, menurut beliau, Dikpol diselenggarakan.
Pemikiran dan praksis yang diambil oleh Gus Ta’shim dkk di atas merupakan sebentuk kekhawatiran yang mendalam terhadap masa depan “politik NU”. Artinya, mereka khawatir bahwa jika NU tidak segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internalnya dan berperan secara lebih signifikan sebagai aktor dan katalisator transformasi sosial di Indonesia, maka NU akan semakin terasing dan bahkan tersingkir dari dinamika kebangsaan di Indonesia. Kekhawatiran yang demikian sangatlah bisa dimaklumi.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah yang dilakukan oleh Gus Ta’shim dkk akan dapat menjamin bahwa ke depan aktor-aktor politik yang merupakan alumni “komunitas epistemik” Dikpol tersebut dapat berkiprah sesuai dengan harapan dan idealisme yang dibangun? Kemudian yang lebih mendasar, apakah kesadaran yang demikian telah dimiliki oleh para pengurus NU? Kalau iya, bagaimanakah keseriusan dan konsistensi sikap mereka untuk mewujudkannya dalam kebijakan-kebijakan organisasi?
Sejauh pengamatan penulis, PBNU selama ini tidak mampu mengambil kebijakan yang jelas terkait batas demarkasi antara NU sebagai organisasi sosial-keagamaan sesuai Khittah 1926 dengan politik praktis yang harus dijauhi. Bahkan, saat ini muncul tuduhan –yang menurut penulis cukup berdasar- bahwa PBNU cenderung (men)-dekat dengan salah satu partai politik. Begitu pula halnya dengan para pengurus NU di tingkatan wilayah, cabang, bahkan ranting. Tidak jarang mereka dengan tanpa tedeng aling-aling mengarahkan suara warga NU -bahkan cenderung instruktif- untuk memilih calon pemimpin daerah atau anggota legislatif dengan dalih para calon tersebut adalah kader NU dan atau berjasa besar bagi NU. Bahkan banyak dari mereka yang ternyata –selain menjabat sebagai pengurus NU- juga menduduki posisi tertentu dalam suatu partai politik.
Hal di atas belum ditambah dengan begitu besarnya ketergantungan organisasi NU secara finansial terhadap ‘sumbangan’ dari orang-orang NU yang berkiprah dalam politik praktis, atau orang-orang non-NU yang meniti karier politik di partai politik yang notabene lahir dari ‘rahim’ NU. Sungguh kenyataan yang ironis. Bagaimana NU mampu menjaga independensinya dari politik praktis nan pragmatis jika dalam praktiknya mereka tetap dependen kepada partai politik dan para politisi? Bagaimana pula NU mampu diandalkan untuk tampil sebagai pelindung dan pembela rakyat kecil dari ketertindasan politik, hukum, ekonomi, dan kultural akibat dari kebijakan-kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka?
Neoliberalisme dan Reorientasi Gerakan: Sebuah Imperatif
Berbagai permasalahan kebangsaan yang dihadapi Indonesia saat ini tidak terlepas dari hegemoni globalisasi yang disetir oleh kekuatan neoliberalisme. Mulai dari persoalan terorisme, kemiskinan, perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, hingga tragedi pembunuhan atau bunuh diri yang menghiasi berita sehari-sehari di media massa adalah dampak dari serbuan arus globalisasi neoliberal yang mencekam. Mungkin sebagian besar di antara masyarakat Indonesia tidak menyadari keterkaitan konteks mikro, mezzo, dan makro ini. Namun, seharusnya elit-elit bangsa dan pemimpin NU memahami hal ini dengan baik. Atau tentunya mereka telah memahaminya, namun enggan melakukan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil. Mereka lebih suka bertakhta di singgasananya masing-masing. Kalau demikian yang terjadi, alangkah malangnya nasib anak negeri ini.
NU sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan seharusnya mampu menjadi benteng pertahanan kekuatan rakyat, dan sekaligus garda terdepan pembela kepentingan rakyat kecil. Perjalanan sejarah kebangsaan kita selalu menunjukkan bahwa rakyat kecil berada dalam ketertindasan. Oleh karena itu, dibutuhkan orang-orang yang mendampingi mereka untuk mendapatkan hak-haknya. Dan NU sangatlah berpotensi untuk memainkan peran strategis tersebut. Semua itu bergantung pada keseriusan dan konsistensi para elit NU untuk selalu berada dan berjuang di jalan perjuangan membela rakyat tertindas.
Dan pada akhirnya, sejarahlah yang akan membuktikan keberpihakan NU. Entah kepada siapa, rakyat kecil yang tertindas atau penguasa yang lalim.
Wallahu a’lam.
14 January 2012
Merunut Kajian Masalah Pertanahan
Judul: Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor
Penulis: Ahmad Nashih Luthfi
Cetakan: Juli 2011
Tebal: lii + 347 hlm
Penerbit: Pustaka Ifada dan Sajogyo Institute
Kasus-kasus konflik agraria di negeri ini masih terus terjadi dan belum menunjukkan sebuah titik penyelesaian. Dua kasus terbaru, yaitu di Mesuji dan Bima, setidaknya menguatkan hal itu. Konflik agraria ini disebabkan oleh ketidakmampuan negara melaksanakan tugas konstitusionalnya untuk memberikan keadilan agraria bagi rakyatnya. Bagaimana tidak. Kewajiban pemerintah untuk meredistribusikan lahan kepada kepada rakyat sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) tidak pernah dilaksanakan. Rakyat kecil yang seharusnya menjadi subyek dalam pengelolaan kekayaan alam negeri ini ternyata justru dimarjinalkan, karena pemerintah memberikan akses pengelolaan lahan kepada para pemodal besar.
Menyimak dua kasus konflik agraria di atas, menjadi penting bagi kita untuk memikirkan kembali kebijakan agraria pada saat ini. Kesalahan dalam tata kelola dan tata laksana kebijakan agraria negara pada saat ini sebenarnya telah dipikirkan, diperbincangkan, bahkan digagas solusinya oleh dua sosok ilmuwan-pemikir-pejuang agraria yang dikaji dalam buku ini: Profesor Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi. Yang pertama adalah perintis dan pelopor studi sosiologi pedesaan Indonesia, sedangkan yang kedua adalah guru studi reformasi agraria.
Begitu banyak kajian tentang persoalan agraria sejak periode kolonial hingga sekarang dalam konteks pembentukan kebijakan agraria. Kajian itu meliputi riset ilmu sosial tentang struktur agraria dan sejarahnya, kemiskinan pedesaan dan agraria, reformasi agraria, hingga pembangunan pedesaan.
Pada masa kolonial, kajian agraria lebih banyak ditujukan untuk melegitimasi kebijakan penguasa Hindia Belanda pada waktu itu, sehingga metodologi dan hasilnya pun seringkali bias. Kalaupun hasilnya menunjukkan ketimpangan struktur agraria, rekomendasi yang dihasilkan tetaplah merepresentasikan kepentingan penguasa.
Walaupun demikian, ada beberapa pengecualian. Antara lain penelitian Sumitra Dingley (nama samaran dari Iwa Kusuma Sumantri), Tan Malaka, dan S.J. Rutgers, yang mau tak mau harus diakui bahwa kebanyakan dari mereka adalah para “sejarawan” yang berperspektif “Marxis-Komunis” (halaman 103).
Pada dekade awal kemerdekaan, kajian agraria semakin massif sejalan dengan upaya dekolonisasi sistem penguasaan sumber daya agraria dan berbagai gagasan pemba(ha)ruan (agraria). Kajian-kajian rintisan sosiologi dan pembangunan pedesaan telah dilakukan, dan sebagian besar menghasilkan beberapa kesimpulan: timpangnya penguasaan lahan antara mayoritas rakyat kecil, pemodal besar, dan negara. Ketimpangan itu berdampak kemiskinan struktural rakyat kecil di negerinya sendiri.
Prof. Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi merupakan dua sosok pemikir yang berada dalam kelompok pemikir kritis agraria tersebut. Upaya-upaya pelembagaan gagasan “mazhab Bogor” mereka menunjukkan, keduanya secara konsisten berusaha melawan tradisi riset dan kebijakan agraria yang elitis. Keduanya berpendapat, para ilmuwan perlu memberikan perhatian pada problem struktural yang menyebabkan dan mendorong terjadinya kemiskinan pedesaan. Mereka juga menekankan pentingnya reformasi agraria untuk menghapus ketimpangan itu.
Sosok dua pemikir mazhab Bogor ini merefleksikan peran dan kapasitas ilmuwan yang ideal. Pertama, sebagai ilmuwan, mereka memiliki relevansi teoretis dan relevansi sosial, sehingga dekat dengan realitas sosial dan tidak elitis. Kedua, kegiatan ilmiah mereka tidak disetir oleh kekuatan kapital. Ketiga, mereka mampu mengorganisasi gagasan lewat riset, seminar, pertemuan ilmiah, dan penulisan buku, lalu mendiseminasikannya kepada khalayak sehingga dapat dikenal dan diterima publik.
Selain itu, dalam konteks kerja kesarjanaan, penting bagi kita untuk menekuni kembali problematika agraria Indonesia secara lebih mendalam dan menyeluruh. Warisan pemikiran terdahulu perlu dihimpun agar tidak muncul tuduhan bahwa sejarah kesarjanaan Indonesia tidak terakumulasi menjadi pengetahuan yang otoritatif. Dengan akumulasi pengetahuan yang otoritatif dan relevan secara teoretis dan sosial, kerja-kerja kesarjanaan ilmuwan Indonesia akan benar-benar terasa dan bermanfaat bagi transformasi kehidupan rakyat ke arah yang lebih baik.
*Artikel resensi ini dimuat di Majalah GATRA No. 10 Tahun XVIII Edisi 12-18 Januari 2012.
**Mochammad Said
Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM,
Ketua Umum PC PMII Sleman,
Alumnus Ponpes Al-Amin, Mojokerto.
Penulis: Ahmad Nashih Luthfi
Cetakan: Juli 2011
Tebal: lii + 347 hlm
Penerbit: Pustaka Ifada dan Sajogyo Institute
Kasus-kasus konflik agraria di negeri ini masih terus terjadi dan belum menunjukkan sebuah titik penyelesaian. Dua kasus terbaru, yaitu di Mesuji dan Bima, setidaknya menguatkan hal itu. Konflik agraria ini disebabkan oleh ketidakmampuan negara melaksanakan tugas konstitusionalnya untuk memberikan keadilan agraria bagi rakyatnya. Bagaimana tidak. Kewajiban pemerintah untuk meredistribusikan lahan kepada kepada rakyat sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) tidak pernah dilaksanakan. Rakyat kecil yang seharusnya menjadi subyek dalam pengelolaan kekayaan alam negeri ini ternyata justru dimarjinalkan, karena pemerintah memberikan akses pengelolaan lahan kepada para pemodal besar.
Menyimak dua kasus konflik agraria di atas, menjadi penting bagi kita untuk memikirkan kembali kebijakan agraria pada saat ini. Kesalahan dalam tata kelola dan tata laksana kebijakan agraria negara pada saat ini sebenarnya telah dipikirkan, diperbincangkan, bahkan digagas solusinya oleh dua sosok ilmuwan-pemikir-pejuang agraria yang dikaji dalam buku ini: Profesor Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi. Yang pertama adalah perintis dan pelopor studi sosiologi pedesaan Indonesia, sedangkan yang kedua adalah guru studi reformasi agraria.
Begitu banyak kajian tentang persoalan agraria sejak periode kolonial hingga sekarang dalam konteks pembentukan kebijakan agraria. Kajian itu meliputi riset ilmu sosial tentang struktur agraria dan sejarahnya, kemiskinan pedesaan dan agraria, reformasi agraria, hingga pembangunan pedesaan.
Pada masa kolonial, kajian agraria lebih banyak ditujukan untuk melegitimasi kebijakan penguasa Hindia Belanda pada waktu itu, sehingga metodologi dan hasilnya pun seringkali bias. Kalaupun hasilnya menunjukkan ketimpangan struktur agraria, rekomendasi yang dihasilkan tetaplah merepresentasikan kepentingan penguasa.
Walaupun demikian, ada beberapa pengecualian. Antara lain penelitian Sumitra Dingley (nama samaran dari Iwa Kusuma Sumantri), Tan Malaka, dan S.J. Rutgers, yang mau tak mau harus diakui bahwa kebanyakan dari mereka adalah para “sejarawan” yang berperspektif “Marxis-Komunis” (halaman 103).
Pada dekade awal kemerdekaan, kajian agraria semakin massif sejalan dengan upaya dekolonisasi sistem penguasaan sumber daya agraria dan berbagai gagasan pemba(ha)ruan (agraria). Kajian-kajian rintisan sosiologi dan pembangunan pedesaan telah dilakukan, dan sebagian besar menghasilkan beberapa kesimpulan: timpangnya penguasaan lahan antara mayoritas rakyat kecil, pemodal besar, dan negara. Ketimpangan itu berdampak kemiskinan struktural rakyat kecil di negerinya sendiri.
Prof. Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi merupakan dua sosok pemikir yang berada dalam kelompok pemikir kritis agraria tersebut. Upaya-upaya pelembagaan gagasan “mazhab Bogor” mereka menunjukkan, keduanya secara konsisten berusaha melawan tradisi riset dan kebijakan agraria yang elitis. Keduanya berpendapat, para ilmuwan perlu memberikan perhatian pada problem struktural yang menyebabkan dan mendorong terjadinya kemiskinan pedesaan. Mereka juga menekankan pentingnya reformasi agraria untuk menghapus ketimpangan itu.
Sosok dua pemikir mazhab Bogor ini merefleksikan peran dan kapasitas ilmuwan yang ideal. Pertama, sebagai ilmuwan, mereka memiliki relevansi teoretis dan relevansi sosial, sehingga dekat dengan realitas sosial dan tidak elitis. Kedua, kegiatan ilmiah mereka tidak disetir oleh kekuatan kapital. Ketiga, mereka mampu mengorganisasi gagasan lewat riset, seminar, pertemuan ilmiah, dan penulisan buku, lalu mendiseminasikannya kepada khalayak sehingga dapat dikenal dan diterima publik.
Selain itu, dalam konteks kerja kesarjanaan, penting bagi kita untuk menekuni kembali problematika agraria Indonesia secara lebih mendalam dan menyeluruh. Warisan pemikiran terdahulu perlu dihimpun agar tidak muncul tuduhan bahwa sejarah kesarjanaan Indonesia tidak terakumulasi menjadi pengetahuan yang otoritatif. Dengan akumulasi pengetahuan yang otoritatif dan relevan secara teoretis dan sosial, kerja-kerja kesarjanaan ilmuwan Indonesia akan benar-benar terasa dan bermanfaat bagi transformasi kehidupan rakyat ke arah yang lebih baik.
*Artikel resensi ini dimuat di Majalah GATRA No. 10 Tahun XVIII Edisi 12-18 Januari 2012.
**Mochammad Said
Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM,
Ketua Umum PC PMII Sleman,
Alumnus Ponpes Al-Amin, Mojokerto.
09 January 2012
Memori Kelam G30S: Sebuah Cerita dari Ibu
Banyak di antara generasi muda saat ini mungkin tidak memahami, atau bahkan mengetahui, peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia 30 September 1965. Bagi mereka yang mengetahuinya pun, penulis yakin bahwa sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa peristiwa itu lebih merupakan upaya kudeta kekuasaan oleh PKI daripada tragedi kemanusiaan. Pemahaman pertama yang demikian kemungkinan besar dipengaruhi oleh teks-teks sejarah yang dominan pada masa Orde Baru, baik buku, film, maupun artefak yang diciptakan oleh rezim Orde Baru seperti monumen dan semacamnya.
Pada 8 Januari kemarin, ketika penulis mudik beberapa hari untuk melakukan pertemuan dengan beberapa teman sepesantren terkait agenda penyelenggaraan diskusi buku di pesantren, penulis berbincang-bincang dengan ibu tercinta di rumah. Ya, sebuah perbincangan yang sangat hangat dan akrab antara anak dan ibunya. Suasana yang senantiasa penulis nantikan, karena dalam suasana demikianlah penulis menemukan kedamaian yang “lebih dari apapun”.
Dalam perbincangan itu, ibu penulis menceritakan tentang peristiwa yang dalam sejarah “resmi” lazim disebut G30S/PKI. Beliau mendapatkan cerita itu dari kakek dan nenek serta orang-orang tua yang menjadi saksi sejarah atas peristiwa berdarah itu. Ya, kita semua tentu mengetahui bagaimana diceritakan dalam teks-teks sejarah –serta film yang selalu diputar pada 30 September di era Orde Baru itu- bahwa dalam peristiwa itu kelompok PKI yang komunis ingin menguasai Indonesia dengan membunuh para pemimpin negara dan militer. Dan ketika pasukan militer di bawah komando Soeharto berhasil ‘menguasai’ keadaan negara, ia dan pasukannya memprovokasi masyarakat untuk membasmi sisa-sisa anggota PKI sampai habis, dengan mengatakan bahwa PKI itu ateis, anti-Tuhan, dan suka membunuh, sehingga harus ditumpas habis. Dan terjadilah pembantaian itu.
Kampung penulis, yaitu di dusun Kedungpring, desa Jampirogo, kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto, tidak luput dari peristiwa itu. Beliau mengatakan bahwa orang-orang ketika itu berada dalam suasana yang sangat mencekam. Bagaimana tidak, saudara-saudara mereka, tetangga dekat mereka, dan orang-orang yang begitu mereka kenal baik, sederhana, bahkan alim, tiba-tiba dituduh sebagai anggota PKI –yang komunis, ateis, dan suka membunuh. Kata beliau, mereka yang dituduh antek PKI ketika itu karena mereka masuk dalam daftar hadir pertemuan-pertemuan di kelurahan dan semacamnya. Ya, hanya karena nama mereka tercantum dalam daftar hadir pertemuan. Tidak lebih.
Mereka yang dituduh PKI itu tidak tahu apa-apa soal PKI. Mereka tak tahu apa itu komunis atau ateis. Mereka digiring ke lapangan dekat sungai yang sekarang didirikan Masjid Rahmat, masjid dusun Kedungpring. Ketika mereka memberontak dan bersikukuh bahwa mereka bukan bagian dari PKI, pembelaan mereka tetap tak dipedulikan. Bahkan, kata ibu, sebelum mereka dieksekusi, banyak dari mereka yang meminta untuk shalat dahulu, membaca syahadat dahulu, atau wudlu terlebih dahulu. Mereka seakan pasrah akan nasib yang menimpa mereka, yang sangat di luar dugaan dan bahkan di luar batas kemanusiaan. Dan siapakah yang mengeksekusi mereka? Para tentara, dibantu para warga yang telah terprovokasi oleh tentara. Sungguh tragis.
Ketika penulis bertanya kepada ibu penulis, apakah beliau dan warga lainnya takut terhadap PKI, beliau menjawab iya. Beliau memiliki keyakinan yang sama seperti yang senantiasa diwacanakan rezim Orde Baru, bahwa kalau PKI hidup dan bangkit lagi, maka Indonesia akan menjadi negara otoriter dan ateis. Ya, beliau dan kebanyakan dari kita mungkin masih terhegemoni oleh wacana PKI ala Orde Baru yang bias itu. Padahal, kalau kita mencermati sejarah lebih mendalam, peristiwa G30S merupakan skenario militer yang didukung CIA untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno yang nasionalis, sehingga muncullah pemimpin militer, yaitu Soeharto, yang berkiblat kepada AS dalam setiap kebijakannya, dengan ciri liberalisme ekonominya. Dan naiknya Soeharto inilah tonggak liberalisasi ekonomi Indonesia dengan munculnya UU yang meliberalkan sektor-sektor ekonomi kita, dan hasilnya salah satunya adalah PT Freeport yang mengeruk kekayaan alam Papua secara sewenang-wenang dan sangat merugikan rakyat Indonesia hingga kini.
Peristiwa G30S bukanlah upaya kudeta PKI. Ia adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Ia adalah perang saudara yang diskenariokan oleh militer dan CIA. Dan rakyat banyak hanya menjadi alat dan korban. Alat bagi dan korban dari kebiadaban orang-orang yang haus kekuasaan dan pihak-pihak yang sok demokratis namun sebenarnya bermental penjajah/penindas.
Sampai kapankah konstruksi sosial yang bias atas G30S berlangsung? Entahlah. Menurut penulis, yang terpenting adalah usaha kita semua untuk berdamai dengan sejarah. Untuk memahami dengan jernih masa lalu kita. Untuk bersikap obyektif atas kesalahan-kesalahan masa lalu perjalanan kita sebagai bangsa. Dan untuk merajut kebersamaan nan damai dalam menggapai masa depan yang lebih baik.
Wallahu a’lam.
Pada 8 Januari kemarin, ketika penulis mudik beberapa hari untuk melakukan pertemuan dengan beberapa teman sepesantren terkait agenda penyelenggaraan diskusi buku di pesantren, penulis berbincang-bincang dengan ibu tercinta di rumah. Ya, sebuah perbincangan yang sangat hangat dan akrab antara anak dan ibunya. Suasana yang senantiasa penulis nantikan, karena dalam suasana demikianlah penulis menemukan kedamaian yang “lebih dari apapun”.
Dalam perbincangan itu, ibu penulis menceritakan tentang peristiwa yang dalam sejarah “resmi” lazim disebut G30S/PKI. Beliau mendapatkan cerita itu dari kakek dan nenek serta orang-orang tua yang menjadi saksi sejarah atas peristiwa berdarah itu. Ya, kita semua tentu mengetahui bagaimana diceritakan dalam teks-teks sejarah –serta film yang selalu diputar pada 30 September di era Orde Baru itu- bahwa dalam peristiwa itu kelompok PKI yang komunis ingin menguasai Indonesia dengan membunuh para pemimpin negara dan militer. Dan ketika pasukan militer di bawah komando Soeharto berhasil ‘menguasai’ keadaan negara, ia dan pasukannya memprovokasi masyarakat untuk membasmi sisa-sisa anggota PKI sampai habis, dengan mengatakan bahwa PKI itu ateis, anti-Tuhan, dan suka membunuh, sehingga harus ditumpas habis. Dan terjadilah pembantaian itu.
Kampung penulis, yaitu di dusun Kedungpring, desa Jampirogo, kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto, tidak luput dari peristiwa itu. Beliau mengatakan bahwa orang-orang ketika itu berada dalam suasana yang sangat mencekam. Bagaimana tidak, saudara-saudara mereka, tetangga dekat mereka, dan orang-orang yang begitu mereka kenal baik, sederhana, bahkan alim, tiba-tiba dituduh sebagai anggota PKI –yang komunis, ateis, dan suka membunuh. Kata beliau, mereka yang dituduh antek PKI ketika itu karena mereka masuk dalam daftar hadir pertemuan-pertemuan di kelurahan dan semacamnya. Ya, hanya karena nama mereka tercantum dalam daftar hadir pertemuan. Tidak lebih.
Mereka yang dituduh PKI itu tidak tahu apa-apa soal PKI. Mereka tak tahu apa itu komunis atau ateis. Mereka digiring ke lapangan dekat sungai yang sekarang didirikan Masjid Rahmat, masjid dusun Kedungpring. Ketika mereka memberontak dan bersikukuh bahwa mereka bukan bagian dari PKI, pembelaan mereka tetap tak dipedulikan. Bahkan, kata ibu, sebelum mereka dieksekusi, banyak dari mereka yang meminta untuk shalat dahulu, membaca syahadat dahulu, atau wudlu terlebih dahulu. Mereka seakan pasrah akan nasib yang menimpa mereka, yang sangat di luar dugaan dan bahkan di luar batas kemanusiaan. Dan siapakah yang mengeksekusi mereka? Para tentara, dibantu para warga yang telah terprovokasi oleh tentara. Sungguh tragis.
Ketika penulis bertanya kepada ibu penulis, apakah beliau dan warga lainnya takut terhadap PKI, beliau menjawab iya. Beliau memiliki keyakinan yang sama seperti yang senantiasa diwacanakan rezim Orde Baru, bahwa kalau PKI hidup dan bangkit lagi, maka Indonesia akan menjadi negara otoriter dan ateis. Ya, beliau dan kebanyakan dari kita mungkin masih terhegemoni oleh wacana PKI ala Orde Baru yang bias itu. Padahal, kalau kita mencermati sejarah lebih mendalam, peristiwa G30S merupakan skenario militer yang didukung CIA untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno yang nasionalis, sehingga muncullah pemimpin militer, yaitu Soeharto, yang berkiblat kepada AS dalam setiap kebijakannya, dengan ciri liberalisme ekonominya. Dan naiknya Soeharto inilah tonggak liberalisasi ekonomi Indonesia dengan munculnya UU yang meliberalkan sektor-sektor ekonomi kita, dan hasilnya salah satunya adalah PT Freeport yang mengeruk kekayaan alam Papua secara sewenang-wenang dan sangat merugikan rakyat Indonesia hingga kini.
Peristiwa G30S bukanlah upaya kudeta PKI. Ia adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Ia adalah perang saudara yang diskenariokan oleh militer dan CIA. Dan rakyat banyak hanya menjadi alat dan korban. Alat bagi dan korban dari kebiadaban orang-orang yang haus kekuasaan dan pihak-pihak yang sok demokratis namun sebenarnya bermental penjajah/penindas.
Sampai kapankah konstruksi sosial yang bias atas G30S berlangsung? Entahlah. Menurut penulis, yang terpenting adalah usaha kita semua untuk berdamai dengan sejarah. Untuk memahami dengan jernih masa lalu kita. Untuk bersikap obyektif atas kesalahan-kesalahan masa lalu perjalanan kita sebagai bangsa. Dan untuk merajut kebersamaan nan damai dalam menggapai masa depan yang lebih baik.
Wallahu a’lam.
Subscribe to:
Posts (Atom)