Banyak di antara generasi muda saat ini mungkin tidak memahami, atau bahkan mengetahui, peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia 30 September 1965. Bagi mereka yang mengetahuinya pun, penulis yakin bahwa sebagian besar dari mereka beranggapan bahwa peristiwa itu lebih merupakan upaya kudeta kekuasaan oleh PKI daripada tragedi kemanusiaan. Pemahaman pertama yang demikian kemungkinan besar dipengaruhi oleh teks-teks sejarah yang dominan pada masa Orde Baru, baik buku, film, maupun artefak yang diciptakan oleh rezim Orde Baru seperti monumen dan semacamnya.
Pada 8 Januari kemarin, ketika penulis mudik beberapa hari untuk melakukan pertemuan dengan beberapa teman sepesantren terkait agenda penyelenggaraan diskusi buku di pesantren, penulis berbincang-bincang dengan ibu tercinta di rumah. Ya, sebuah perbincangan yang sangat hangat dan akrab antara anak dan ibunya. Suasana yang senantiasa penulis nantikan, karena dalam suasana demikianlah penulis menemukan kedamaian yang “lebih dari apapun”.
Dalam perbincangan itu, ibu penulis menceritakan tentang peristiwa yang dalam sejarah “resmi” lazim disebut G30S/PKI. Beliau mendapatkan cerita itu dari kakek dan nenek serta orang-orang tua yang menjadi saksi sejarah atas peristiwa berdarah itu. Ya, kita semua tentu mengetahui bagaimana diceritakan dalam teks-teks sejarah –serta film yang selalu diputar pada 30 September di era Orde Baru itu- bahwa dalam peristiwa itu kelompok PKI yang komunis ingin menguasai Indonesia dengan membunuh para pemimpin negara dan militer. Dan ketika pasukan militer di bawah komando Soeharto berhasil ‘menguasai’ keadaan negara, ia dan pasukannya memprovokasi masyarakat untuk membasmi sisa-sisa anggota PKI sampai habis, dengan mengatakan bahwa PKI itu ateis, anti-Tuhan, dan suka membunuh, sehingga harus ditumpas habis. Dan terjadilah pembantaian itu.
Kampung penulis, yaitu di dusun Kedungpring, desa Jampirogo, kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto, tidak luput dari peristiwa itu. Beliau mengatakan bahwa orang-orang ketika itu berada dalam suasana yang sangat mencekam. Bagaimana tidak, saudara-saudara mereka, tetangga dekat mereka, dan orang-orang yang begitu mereka kenal baik, sederhana, bahkan alim, tiba-tiba dituduh sebagai anggota PKI –yang komunis, ateis, dan suka membunuh. Kata beliau, mereka yang dituduh antek PKI ketika itu karena mereka masuk dalam daftar hadir pertemuan-pertemuan di kelurahan dan semacamnya. Ya, hanya karena nama mereka tercantum dalam daftar hadir pertemuan. Tidak lebih.
Mereka yang dituduh PKI itu tidak tahu apa-apa soal PKI. Mereka tak tahu apa itu komunis atau ateis. Mereka digiring ke lapangan dekat sungai yang sekarang didirikan Masjid Rahmat, masjid dusun Kedungpring. Ketika mereka memberontak dan bersikukuh bahwa mereka bukan bagian dari PKI, pembelaan mereka tetap tak dipedulikan. Bahkan, kata ibu, sebelum mereka dieksekusi, banyak dari mereka yang meminta untuk shalat dahulu, membaca syahadat dahulu, atau wudlu terlebih dahulu. Mereka seakan pasrah akan nasib yang menimpa mereka, yang sangat di luar dugaan dan bahkan di luar batas kemanusiaan. Dan siapakah yang mengeksekusi mereka? Para tentara, dibantu para warga yang telah terprovokasi oleh tentara. Sungguh tragis.
Ketika penulis bertanya kepada ibu penulis, apakah beliau dan warga lainnya takut terhadap PKI, beliau menjawab iya. Beliau memiliki keyakinan yang sama seperti yang senantiasa diwacanakan rezim Orde Baru, bahwa kalau PKI hidup dan bangkit lagi, maka Indonesia akan menjadi negara otoriter dan ateis. Ya, beliau dan kebanyakan dari kita mungkin masih terhegemoni oleh wacana PKI ala Orde Baru yang bias itu. Padahal, kalau kita mencermati sejarah lebih mendalam, peristiwa G30S merupakan skenario militer yang didukung CIA untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno yang nasionalis, sehingga muncullah pemimpin militer, yaitu Soeharto, yang berkiblat kepada AS dalam setiap kebijakannya, dengan ciri liberalisme ekonominya. Dan naiknya Soeharto inilah tonggak liberalisasi ekonomi Indonesia dengan munculnya UU yang meliberalkan sektor-sektor ekonomi kita, dan hasilnya salah satunya adalah PT Freeport yang mengeruk kekayaan alam Papua secara sewenang-wenang dan sangat merugikan rakyat Indonesia hingga kini.
Peristiwa G30S bukanlah upaya kudeta PKI. Ia adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Ia adalah perang saudara yang diskenariokan oleh militer dan CIA. Dan rakyat banyak hanya menjadi alat dan korban. Alat bagi dan korban dari kebiadaban orang-orang yang haus kekuasaan dan pihak-pihak yang sok demokratis namun sebenarnya bermental penjajah/penindas.
Sampai kapankah konstruksi sosial yang bias atas G30S berlangsung? Entahlah. Menurut penulis, yang terpenting adalah usaha kita semua untuk berdamai dengan sejarah. Untuk memahami dengan jernih masa lalu kita. Untuk bersikap obyektif atas kesalahan-kesalahan masa lalu perjalanan kita sebagai bangsa. Dan untuk merajut kebersamaan nan damai dalam menggapai masa depan yang lebih baik.
Wallahu a’lam.
1 comment:
kak said, gmna kbrnyo?
Post a Comment