27 January 2012

Tentang Pak Hasyim: Sebuah Memoar Untuk Sang Pendidik

Saya sangat terkejut dan tak menyangka sama sekali ketika sebuah SMS masuk pada hari Kamis kemarin (19/01/12) pukul 14:08 WIB. Pesan singkat itu dari Abid, adik kelas saya di MI hingga MA di Mojokerto dan sama-sama kuliah di UGM walaupun berbeda fakultas. Rumahnya juga tidak jauh dari rumah saya, berada di dusun yang sama, hanya berbeda RT. Ia tinggal di RT 02, sedangkan saya di RT 03.

Isi SMS itu adalah: “Assalamu’alaikum Wr. Wb. Kang Said, ayahku tilar dunyo. Tolong dungakno yo. Aku moleh saiki. By: Abid.” Saya pun tak kuasa menahan sedih. Ayahnya, yaitu Pak Hasyim Asy’ari, adalah guru ngaji saya sejak kecil hingga usia 12 tahun, sebelum akhirnya saya mondok dan meneruskan ke MTs di Pondok Pesantren Al-Amin. Pak Hasyim, begitu saya dan teman-teman santri lainnya memanggil beliau, adalah kepala TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan Madrasah Diniyyah An-Nidhomiyyah yang letaknya di depan rumah beliau. Beliau melanjutkan amanah untuk memimpin kedua lembaga itu dari almarhum mertua beliau, yaitu K.H. Zainal Abidin.


Saya pun langsung membalas SMS Abid bahwa saya akan segera menyusul. Dan malam harinya, saya bersama 2 Sahabat PMII dari UGM berangkat dari Yogyakarta naik bus. Saya sangat ingin hadir ke rumah duka untuk ikut mendoakan beliau. Sepanjang perjalanan, pikiran saya tidak lepas dari bayangan sosok beliau. Bagaimana tidak, beliau adalah sosok yang begitu bersahaja, santun, dan ikhlas dalam mengajar.

Proses pendidikan di TPQ dan Madrasah Diniyyah An-Nidhomiyyah yang berjalan hingga kini menjadi bukti kemampuan beliau dalam mengkombinasikan keikhlasan dan konsistensi perjuangan. Ya, memang sangat berat untuk benar-benar ikhlas mengelola kedua lembaga itu, apalagi dengan bisyaroh yang dapat dibilang sama sekali tidak sepadan dengan beban dan tanggung jawab yang beliau emban. Dan sangat sulit pula untuk konsisten dan komitmen terhadap perjuangan mendidik anak-anak generasi muda Islam di Kedungpring dan sekitarnya lewat kedua lembaga itu, karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan. Dan beliau telah membuktikan kemampuannya melalui semua ujian itu, walaupun harus mengorbankan banyak hal, termasuk kesehatannya.

Saya masih ingat ketika beliau men-jewer dan memarahi saya dan beberapa teman lainnya karena kami bermain-main di atas pohon sawo di halaman gedung pada saat mengaji Madrasah Diniyyah. Waktu itu memang sudah waktunya mengaji, tetapi kami masih saja bermain-main. Beliau menasehati kami: ”Kalian itu harus serius dalam belajar ilmu agama, agar bisa bermanfaat untuk masa depan kalian”. Sebuah nasehat yang saya ingat hingga kini.

Ketika saya mengikuti tahlilan di rumah duka pada hari Jumat (20/01/12), saya tidak bisa berhenti memikirkan beliau. Saya teringat bagaimana salah satu guru saya, Ustadz Aang Baihaqi, meninggal dunia pada bulan Juli 2011. Dia adalah inspirator sekaligus aktor perjuangan yang sangat saya kagumi. Saya merasa sangat terpukul waktu itu. Dan kini, satu lagi guru yang menjadi teladan dan inspirator bagi saya, menyusul pergi. Saya menjadi bingung, siapakah kemudian sosok yang dapat menjadi tempat ‘berlabuh’ saya?

Mungkin wejangan dari Pak Sholihin, salah satu guru saya di Madrasah Diniyyah juga, dapat menjadi jawabannya. “Id, satu per satu sosok-sosok teladan kita meniggalkan kita, lalu siapakah yang meneruskan perjuangan mereka kalau bukan anak-anak muda seperti kalian?” Ya, mereka yang telah meninggalkan kita tidak perlu diratapi secara berlebihan; justru semangat dan perjuangan merekalah yang harus kita tanamkan kepada generasi sekarang dan generasi masa depan untuk melanjutkannya.

Semoga engkau damai di sisi Allah SWT, Pak Hasyim. Amin.

No comments: