14 January 2012

Merunut Kajian Masalah Pertanahan

Judul: Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor
Penulis: Ahmad Nashih Luthfi
Cetakan: Juli 2011
Tebal: lii + 347 hlm
Penerbit: Pustaka Ifada dan Sajogyo Institute

Kasus-kasus konflik agraria di negeri ini masih terus terjadi dan belum menunjukkan sebuah titik penyelesaian. Dua kasus terbaru, yaitu di Mesuji dan Bima, setidaknya menguatkan hal itu. Konflik agraria ini disebabkan oleh ketidakmampuan negara melaksanakan tugas konstitusionalnya untuk memberikan keadilan agraria bagi rakyatnya. Bagaimana tidak. Kewajiban pemerintah untuk meredistribusikan lahan kepada kepada rakyat sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) tidak pernah dilaksanakan. Rakyat kecil yang seharusnya menjadi subyek dalam pengelolaan kekayaan alam negeri ini ternyata justru dimarjinalkan, karena pemerintah memberikan akses pengelolaan lahan kepada para pemodal besar.


Menyimak dua kasus konflik agraria di atas, menjadi penting bagi kita untuk memikirkan kembali kebijakan agraria pada saat ini. Kesalahan dalam tata kelola dan tata laksana kebijakan agraria negara pada saat ini sebenarnya telah dipikirkan, diperbincangkan, bahkan digagas solusinya oleh dua sosok ilmuwan-pemikir-pejuang agraria yang dikaji dalam buku ini: Profesor Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi. Yang pertama adalah perintis dan pelopor studi sosiologi pedesaan Indonesia, sedangkan yang kedua adalah guru studi reformasi agraria.

Begitu banyak kajian tentang persoalan agraria sejak periode kolonial hingga sekarang dalam konteks pembentukan kebijakan agraria. Kajian itu meliputi riset ilmu sosial tentang struktur agraria dan sejarahnya, kemiskinan pedesaan dan agraria, reformasi agraria, hingga pembangunan pedesaan.

Pada masa kolonial, kajian agraria lebih banyak ditujukan untuk melegitimasi kebijakan penguasa Hindia Belanda pada waktu itu, sehingga metodologi dan hasilnya pun seringkali bias. Kalaupun hasilnya menunjukkan ketimpangan struktur agraria, rekomendasi yang dihasilkan tetaplah merepresentasikan kepentingan penguasa.

Walaupun demikian, ada beberapa pengecualian. Antara lain penelitian Sumitra Dingley (nama samaran dari Iwa Kusuma Sumantri), Tan Malaka, dan S.J. Rutgers, yang mau tak mau harus diakui bahwa kebanyakan dari mereka adalah para “sejarawan” yang berperspektif “Marxis-Komunis” (halaman 103).

Pada dekade awal kemerdekaan, kajian agraria semakin massif sejalan dengan upaya dekolonisasi sistem penguasaan sumber daya agraria dan berbagai gagasan pemba(ha)ruan (agraria). Kajian-kajian rintisan sosiologi dan pembangunan pedesaan telah dilakukan, dan sebagian besar menghasilkan beberapa kesimpulan: timpangnya penguasaan lahan antara mayoritas rakyat kecil, pemodal besar, dan negara. Ketimpangan itu berdampak kemiskinan struktural rakyat kecil di negerinya sendiri.

Prof. Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi merupakan dua sosok pemikir yang berada dalam kelompok pemikir kritis agraria tersebut. Upaya-upaya pelembagaan gagasan “mazhab Bogor” mereka menunjukkan, keduanya secara konsisten berusaha melawan tradisi riset dan kebijakan agraria yang elitis. Keduanya berpendapat, para ilmuwan perlu memberikan perhatian pada problem struktural yang menyebabkan dan mendorong terjadinya kemiskinan pedesaan. Mereka juga menekankan pentingnya reformasi agraria untuk menghapus ketimpangan itu.

Sosok dua pemikir mazhab Bogor ini merefleksikan peran dan kapasitas ilmuwan yang ideal. Pertama, sebagai ilmuwan, mereka memiliki relevansi teoretis dan relevansi sosial, sehingga dekat dengan realitas sosial dan tidak elitis. Kedua, kegiatan ilmiah mereka tidak disetir oleh kekuatan kapital. Ketiga, mereka mampu mengorganisasi gagasan lewat riset, seminar, pertemuan ilmiah, dan penulisan buku, lalu mendiseminasikannya kepada khalayak sehingga dapat dikenal dan diterima publik.

Selain itu, dalam konteks kerja kesarjanaan, penting bagi kita untuk menekuni kembali problematika agraria Indonesia secara lebih mendalam dan menyeluruh. Warisan pemikiran terdahulu perlu dihimpun agar tidak muncul tuduhan bahwa sejarah kesarjanaan Indonesia tidak terakumulasi menjadi pengetahuan yang otoritatif. Dengan akumulasi pengetahuan yang otoritatif dan relevan secara teoretis dan sosial, kerja-kerja kesarjanaan ilmuwan Indonesia akan benar-benar terasa dan bermanfaat bagi transformasi kehidupan rakyat ke arah yang lebih baik.


*Artikel resensi ini dimuat di Majalah GATRA No. 10 Tahun XVIII Edisi 12-18 Januari 2012.

**Mochammad Said
Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM,
Ketua Umum PC PMII Sleman,
Alumnus Ponpes Al-Amin, Mojokerto.

No comments: