23 May 2012

Irshad Manji, Agama, dan Problem Negara Hukum

Oleh: Mochammad Said*

Baru-baru ini tanah air kembali berduka, karena terjadi kekerasan beragama di sebuah kota yang justru ingin menegaskan eksistensinya sebagai kota toleransi (city of tolerance). Ya, kota Yogyakarta, yang juga terkenal sebagai kota pelajar, tempat berkumpulnya dan bersemainya para elit intelektual dan cendekiawan terkemuka di negeri ini.

Peristiwa yang memprihatinkan itu terjadi pada Rabu (9/5), di mana sekelompok massa (baca: MMI) menyerang sebuah tempat diskusi (baca: kantor LKiS) dan memaksa agar diskusi yang mendatangkan Irshad Manji, seorang aktivis gender kelahiran Uganda, tersebut dibatalkan. Sebelumnya, di pagi pada hari yang sama dan acara diskusi yang juga menghadirkan Irshad Manji yang rencananya diadakan bertempat di UGM, juga dibatalkan karena tekanan dan ancaman dari sekelompok ormas.

Kerancuan Berpikir

Menanggapi peristiwa tersebut, Mu’tashim El-Mandiri menulis sebuah artikel (Jawa Pos, 12/5). Dalam artikel tersebut, ia berpendapat bahwa persoalan yang menimpa Irshad Manji di atas bukanlah sekadar persoalan yang berkaitan dengan nilai-nilai agama seperti toleransi, perdamaian, dialog, dan semacamnya; namun lebih dari itu adalah persoalan substansi ajaran Islam (syariat Islam) itu sendiri. Menurutnya, acara yang diadakan dan menghadirkan Irshad Manji itu bertentangan dengan syariat Islam, karena Irshad Manji mengkampanyekan legalitas lesbianisme dan homoseksualitas, padahal Islam jelas-jelas mengharamkannya. Oleh karena itu, menurutnya, sudah seharusnya kalau acara-acara semacam itu dilarang dan tidak seharusnya diberi tempat di bumi Indonesia.

Menurut penulis, cara berpikir demikian mengandung kerancuan cara berpikir. Di satu sisi, ia menghargai nilai-nilai demokrasi seperti dialog, anti-kekerasan, dan menghormati perbedaan pendapat. Namun, di sisi lain, ia menolak dan menentang penerapan nilai-nilai tersebut apabila sebuah ide atau praktik tertentu bertentangan dengan keyakinan dan pendapat diri atau kelompoknya.

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana dicantumkan dalam konstitusi pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, di mana salah satu cirinya adalah adanya jaminan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan penegakan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam Pasal 28E ayat (2) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, sedangkan ayat (3) menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Selain dijamin dalam UUD NRI 1945, kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat juga diakui oleh hukum internasional sebagai HAM yang dijabarkan dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) Pasal 19 dan 20, serta dalam Pasal 19 dari International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR).

Dengan demikian, adalah keliru kalau kemudian menyatakan ketidaksetujuan terhadap sebuah ide atau pemikiran dengan cara-cara pelarangan, pembubaran paksa, apalagi dengan anarkisme dan kekerasan. Kedatangan Irshad Manji di Indonesia dengan pemikirannya yang kontroversial –mengenai lesbianisme dan homoseksualitas- itu seharusnya ditentang, kalau memang tidak sepakat, tidak dengan pelarangan atau anarkisme, tetapi dengan argumentasi tandingan yang lebih santun dan elegan. Pemikiran seharusnya dilawan dengan pemikiran, dan argumentasi ditanggapi dengan argumentasi tandingan. Kekerasan atas nama apapun –termasuk agama- tidaklah diperbolehkan, dan harus ditindak tegas secara hukum.

Islam dan Kebebasan Berpikir

Islam merupakan agama yang sangat menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat, bahkan begitu banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan umatnya untuk berpikir dan memperluas serta meningkatkan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah kita dapat menyaksikan bagaimana peradaban Islam menjadi besar dan sangat disegani karena adanya keluasan yang diberikan oleh negara dalam hal kebebasan berpikir dan berpendapat, sehingga lahirlah sosok-sosok seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan sebagainya.

Namun, dalam sebagian babak sejarah Islam kita juga dapat melihat bahwa negara melakukan intervensi yang berlebihan terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat. Kita tentunya masih ingat peristiwa mihnah al-Qur’an, yang mengakibatkan kriminalisasi terhadap beberapa pemikir dan intelektual muslim yang pemikirannya dianggap menyimpang dan bertentangan dengan ‘madzhab’ yang dianut oleh negara pada masa itu. Dan, dari sinilah, kemunduran peradaban Islam yang gemilang itu dimulai.

Oleh karena itulah, kita perlu meneladani para intelektual dan penguasa Islam di masa lalu yang sangat menghargai dan bahkan mendorong tradisi kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan rakyatnya. Para imam madzhab seperti Imam Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali adalah contoh ulama’ yang sangat egaliter dan toleran. Mereka sangat menghargai perbedaan pendapat dalam pemikiran hukum Islam (fiqih).
Masa Depan Demokra(tisa)si Indonesia

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku, agama, dan ras hidup dalam sebuah rumah bersama bernama Indonesia. Hingga saat ini, kebersamaan tersebut, dengan dinamikanya yang khas, tetap terjaga dalam sebuah harmoni multikultural yang indah. Hal itu dapat terjadi tidak lain tentunya karena adanya perekat yang menjembatani segala jenis perbedaan tersebut yaitu UUD NRI 1945 dan Pancasila yang sangat ampuh. Fondasi kebangsaan dan kenegaraan ini haruslah terus dijunjung tinggi, dikembangkan, dan diterjemahkan dalam praksis bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara riil dalam kehidupan sehari-hari.

Apabila kedua perekat tersebut –yang di dalamnya memuat nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan toleransi- kita laksanakan dengan baik, maka masa depan NKRI akan senantiasa cerah dan penuh dengan optimisme. Namun, sebaliknya, apabila kita mengingkari dan mengabaikan keduanya, maka penulis tidak yakin bahwa kita akan dapat berkembang dan semakin maju sebagai bangsa dan negara kesatuan, karena perpecahan, konflik, dan kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman agama, etnis, maupun ras akan selalu mengintai. Pilihan ada di tangan kita, apakah kita ingin maju atau mundur sebagai bangsa dan negara demokrasi. Bukankah sudah terang mana yang harus kita pilih?

___________________________________
*) Mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, alumnus Ponpes Al-Amin Mojokerto.

No comments: