Mochammad Said
Pada bulan April lalu, tepatnya 16 April 2015, kita dikejutkan dengan putusan PTUN Semarang yang ‘tidak mengejutkan’. Putusan tersebut menolak gugatan warga Rembang terkait pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Jateng untuk penambangan dan pendirian pabrik PT Semen Indonesia di Rembang. Padahal, kalau merujuk pada aturan hukum yang berlaku, ada beberapa pelanggaran hukum dalam proyek pabrik semen tersebut (kpa.or.id).
Pertama, penggunaan daerah karst Rembang sebagai area penambangan batuan kapur untuk bahan baku pabrik semen melanggar Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 Pasal 63 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung imbuhan air dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 Pasal 19 yang menetapkan area ini sebagai kawasan lindung geologi.
Kedua, penebangan kawasan hutan tidak sesuai dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan, surat Nomor 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22 April 2013, yang menyatakan bahwa kawasan yang diijinkan untuk ditebang adalah kawasan hutan KHP Mantingan yang secara administratif terletak di Desa Kajar dan Desa Pasucen Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah. Namun fakta di lapangan, Semen Indonesia menebang kawasan hutan Kadiwono Kecamatan Bulu seluas kurang lebih 21,13 hektar untuk tapak pabrik. Padahal, dalam Perda No. 14 tahun 2011 tentang RTRW Kab. Rembang, Kecamatan Bulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar.
Ketiga, dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 70 telah diatur mengenai hak masyarakat untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat dapat berupa pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan menyampaikan informasi dan atau laporan. Namun dalam kenyataan, rencana pembangunan pabrik semen tidak transparan dan masyarakat tidak mendapatkan informasi yang adil nan memadai tentang rencana tersebut. Ketidaktransparanan dan ketidakadilan ini muncul dalam proses penyusunan AMDAL, kebohongan publik dengan menggeneralisir bahwa seluruh masyarakat setuju dengan pembangunan pabrik semen, dan tidak adanya partisipasi dari masyarakat yang menolak rencana pembangunan ini.
Selain alasan hukum di atas, ada 2 alasan mendasar dari penolakan warga-petani Rembang atas pertambangan karst dan pembangunan pabrik semen. Pertama, sumber mata air di kawasan karst Watuputih harus dilindungi demi sumber air untuk kegiatan pertanian petani dan sumber kehidupan seluruh mahluk hidup di pegunungan Kendeng.
Kedua, proses produksi semen berpotensi merusak sumber agraria berupa tanah dan air warga Rembang. Pabrik semen mengancam lahan-lahan petani dan buruh tani yang selama ini menjadi sumber hidup petani. Dampak buruk keberadaan tambang karst dan pabrik semen berupa matinya sumber air, polusi debu, dan terganggunya keseimbangan ekosistem, akan membuat petani semakin menderita dan sengsara.
Defisit Keadilan
Kalau kita tarik ke dalam konteks yang lebih makro, kasus semen Rembang adalah salah satu contoh dari konflik “pasar vs masyarakat” sebagai akibat dari kebijakan pembangunan industrialyang dianut oleh pemerintah. Selama ini, paradigma pembangunan pemerintah kita adalah bahwa kemajuan dan kesejahteraan ekonomi rakyat hanya dapat dicapai melalui strategi industrialisasi yang masif, dengan harapan dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran.
Memang strategi industrialisasi ini, di satu sisi, tampaknya dapat menyerap tenaga kerja secara massal dan menambah pendapatan negara dalam jumlah besar dari investasi. Namun, di sisi lain, ada dampak yang amat besar dan berbahaya yang seringkali diabaikan. Dampak ekonomi, lingkungan, sosial, kultural, dan psikologis yang dirasakan oleh masyarakat tidak pernah diperhitungkan secara memadai. Dan dalam konteks demikianlah terjadi ketidakadilan pembangunan.
Pertama, ketidakadilan prosedural. Dalam kasus semen Rembang, dan berbagai kasus lainnya yang serupa, masyarakat hampir selalu berada dalam posisi yang tidak setara ketika berhadapan dengan korporasi maupun negara. Hal ini berakibat pada minimnya, bahkan hilangnya, kontrol yang mereka miliki terhadap proses penentuan kebijakan pembangunan. Perumusan kebijakan pembangunan seringkali bias dan cenderung lebih berpihak pada kepentingan korporasi dan pemerintah daripada kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Bahkan pihak-pihak yang dilibatkan dalam perumusan kebijakan tersebut hanyalah mereka yang mendukung kepentingan korporasi dan pemerintah, sehingga tidak representatif dalam artian melibatkan seluruh pihak yang berkaitan (stakeholders).
Kedua, ketidakadilan distributif. Dalam kasus semen Rembang, dan banyak kasus serupa, pertimbangan utama dalam perumusan suatu kebijakan adalah semata pertimbangan ekonomi kapitalistik semata, tanpa mempertimbangkan -apalagi mengakui- nilai-nilai sosial, budaya, dan sosiopsikologis yang melekat dalam dan diyakini oleh masyarakat. Padahal, setiap aktivitas ekonomi tertentu selalu membawa serta pola dan dampak sosial, budaya, dan sosiopsikologisnya. Hal inilah yang mengakibatkan teralienasinya masyarakat dari akar sosiokulturalnya, dan persis di sinilah terdapat ketimpangan nilai yang menjadi pijakan kebijakan pembangunan. Selain itu, penegakan peraturan hukum, sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan, seringkali bersifat manipulatif demi memuluskan kepentingan korporasi, sehingga masyarakat tidak memiliki sumber daya yang sama sebagai subyek peraturan hukum tersebut.
Keadilan Sebagai Pijakan
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut?
Berangkat dari dua persoalan ketidakadilan-yakni prosedural dan distributif- di atas, maka solusinya adalah menjadikan perspektif keadilan -baik prosedural maupun distributif- sebagai titik pijak dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan.
Dalam kasus semen Rembang, keadilan prosedural dapat diwujudkan dengan memposisikan masyarakat setara dengan korporasi maupun pemerintahdalam proses perumusan kebijakan. Seluruh pihak yang berkaitan (stakeholders) harus dilibatkan secara partisipatif, sehingga masyarakat memiliki kapasitas kontrol dalam perumusan kebijakan, agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar transparan dan obyektif.
Sedangkan keadilan distributif dapat diwujudkan dengan pengakuan akan nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, dan sosiopsikologis yang melekat dalam dan diyakini oleh masyarakat. Bersamaan dengan itu, nilai-nilai tersebut haruslah dijadikan sebagai pijakan yang absah dan utama dalam perumusan kebijakan pembangunan. Selain itu, harus ada ketegasan pemerintah untuk berpijak pada peraturan hukum yang berlaku, tidak bias pada kepentingan korporasi, sehingga masyarakat memiliki sumber daya yang sama sebagai subyek peraturan hukum tersebut.
Kelihatannya memang sangat idealistik, namun bukankah hal demikian yang sangat kita harapkan?
No comments:
Post a Comment