Mochammad Said
Konsep ‘pembangunan’ (development)
pada awalnya adalah proyek pasca zaman penjajahan yang digagas oleh
negara-negara barat sebagai solusi bagi permasalahan kemiskinan ekonomi di
negara-negara Dunia Ketiga. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemajuan modern barat
merupakan model terbaik bagi kemajuan seluruh dunia, termasuk di negara-negara
Dunia Ketiga. Oleh karena itu, konsep pembangunan ini –yang menjiplak model
pembangunan negara-negara barat- dijadikan resep utama bagi penyelesaian
permasalahan ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga (Shiva, 1997).
Namun, pertanyaan kritisnya adalah, apakah
resep ‘pembangunan’ tersebut selalu sesuai dengan kebutuhan negara-negara Dunia
Ketiga? Dalam kenyataannya, jawabannya tidaklah demikian. Pembangunan yang
cenderung dipaksakan tersebut ternyata justru jauh lebih banyak merugikan
daripada memberikan manfaat.
WID, Perempuan, dan Pembangunan
Kritik
terhadap ideologi pembangunan salah satunya muncul dari kaum perempuan dan
pemerhati kaum perempuan. Salah satunya adalah yang dilontarkan oleh para
peserta yang hadir dalam sebuah seminar yang diadakan pada 15-18 Juni 1975
dengan tema “Wanita dalam Pembangunan” (Women in Development/WID),
bertempat di Mexico City. Seminar ini merupakan kritik terhadap Konferensi
Dunia Tahun Wanita Internasional PBB (19 Juni – 2 Juli 1975) yang tidak
memasukkan isu perempuan dalam pembangunan sebagai salah satu agendanya.
Menurut mereka, proyek-proyek pembangunan seringkali meminggirkan dan
meremehkan peran penting kaum perempuan di bidang sosial dan ekonomi, sehingga
berakibat pada diskriminasi yang makin besar terhadap kaum perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan.
Para
peserta seminar tersebut berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ala barat
telah merugikan kaum perempuan karena:
1.
Gagal
memperhatikan peran produktif perempuan yang secara tradisi telah dimainkannya,
2.
Mengukuhkan
nilai-nilai dari suatu masyarakat di mana aktivitas perempuan dibatasi di
sekitar tugas-tugas rutin rumah tangga, di sekitar mengurus anak,
3.
Merembesnya
nilai-nilai barat mengenai pekerjaan apa yang paling cocok untuk perempuan
modern di masyarakat yang sedang berkembang.
Sebagai respon atas kritik-kritik di
atas, dalam kaitannya dengan peran kaum perempuan dalam pembangunan, muncullah
konsep dan program WID (Women in Development) yang diputuskan oleh PBB.
Tujuannya adalah kaum perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan itu
sendiri, terutama di Dunia Ketiga. Asumsi dasarnya, penyebab keterbelakangan
perempuan adalah tidak adanya partisipasi mereka dalam proses pembangunan itu
sendiri. Dalam perkembangannya, WID menjadi pendekatan dominan bagi pemecahan
masalah perempuan di Dunia Ketiga. Konsep WID ini memusatkan perhatian kepada
isu-isu yang langsung berkaitan dengan bagaimana mendorong partisipasi
perempuan dalam program pembangunan. Sebagian lagi menekankan pada orientasi
kebijakan, dengan menganalisis program pembangunan masa lalu yang cenderung
memiskinkan perempuan, dan mencari solusi berupa program, struktur kelembagaan,
dan sumber daya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut (Fakih, 1996).
Gagasan WID pun dalam perkembangannya
mendapat kritik tajam dari berbagai ilmuwan. Ada yang mengkritik dari segi
ekonomi dan teknologi, dari aspek isu diskursus dan pengetahuan/kekuasaan,
maupun dari aspek lingkungan (Fakih, 1996). Ester Boserup, misalnya, yang
mempertanyakan pandangan asumsi kaum liberal pendukung WID bahwa teknologi
membebaskan perempuan. Menurutnya, peningkatan teknologi pertanian justru
merendahkan status perempuan, karena menyingkirkan akses perempuan terhadap
kerja produktif. Ia juga berpendapat bahwa urbanisasi -sebagai dampak dari modernisasi
pembangunan- telah memotong jaringan kesukuan, mengakibatkan makin berkurangnya
pekerjaan dalam sektor modern, dan menutup peluang pekerjaan bagi perempuan di
sektor modern akibat stereotipe terhadap perempuan. Akibat lanjutannya,
perempuan kota dipaksa bekerja di sektor informal, yang pada umumnya
perdagangan kecil, dan bahkan pelacuran.
Sedangkan Vandana Shiva (1997)
melontarkan kritik tajam bahwa program modernisasi pembangunan berupa Revolusi
Hijau dan bioteknologi telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang amat parah
dan merugikan kaum perempuan Dunia Ketiga. Menurutnya, Revolusi Hijau bukan
hanya soal ekonomi, tetapi juga merupakan proses dominasi dan kekuasaan budaya
yang menggusur ideologi budaya dan politik perempuan Selatan. Menurutnya,
Revolusi Hijau adalah bentuk reduksionisme yang berprinsip pada maskulinitas,
karena menekankan uniformitas, homogenitas, dan monokultur. Revolusi Hijau
menyingkirkan segala bentuk pengetahuan lokal dan mengancam keanekaragaman
hayati yang merupakan prinsip feminin. Padahal, kehidupan sebagian besar
masyarakat dan kaum perempuan di Dunia Ketiga sepenuhnya tergantung pada
kelestarian keanekaragaman tersebut.
Perempuan dan Transformasi Gender
Berangkat
dari kritik di atas, menurut Mansour Fakih (1996), kita harus merenungkan
kembali dan menemukan alternatif yang memungkinkan terjadinya transformasi
sosial. Yang dimaksud dengan transformasi sosial di sini adalah suatu proses
penciptaan hubungan yang secara fundamental merupakan sesuatu yang baru dan lebih
baik. Hubungan tersebut adalah struktur yang tanpa eksploitasi, struktur
politik yang nonrepresif, dan struktur gender yang membebaskan perempuan.
Perjuangan
transformasi sosial di atas juga harus mencakup perjuangan yang disebut
transformasi gender. Berbeda dengan WID yang hanya bertujuan untuk mengupayakan
persamaan laki-laki dan perempuan, transformasi gender bertujuan untuk
membebaskan perempuan dan laki-laki dari segala bentuk penindasan, baik sistem
dan struktur yang tidak adil, kelas, warna kulit, maupun ekonomi (Fakih, 1996).
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. (1996).
Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ihromi, T.O
(peny.). (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: YOI.
Shiva, Vandana. (1997).
Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India
(terjemahan). Jakarta: YOI.
No comments:
Post a Comment