08 July 2015

Relasi Perempuan dan Pembangunan

Mochammad Said

Konsep ‘pembangunan’ (development) pada awalnya adalah proyek pasca zaman penjajahan yang digagas oleh negara-negara barat sebagai solusi bagi permasalahan kemiskinan ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemajuan modern barat merupakan model terbaik bagi kemajuan seluruh dunia, termasuk di negara-negara Dunia Ketiga. Oleh karena itu, konsep pembangunan ini –yang menjiplak model pembangunan negara-negara barat- dijadikan resep utama bagi penyelesaian permasalahan ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga (Shiva, 1997).
Namun, pertanyaan kritisnya adalah, apakah resep ‘pembangunan’ tersebut selalu sesuai dengan kebutuhan negara-negara Dunia Ketiga? Dalam kenyataannya, jawabannya tidaklah demikian. Pembangunan yang cenderung dipaksakan tersebut ternyata justru jauh lebih banyak merugikan daripada memberikan manfaat.
        
WID, Perempuan, dan Pembangunan
            Kritik terhadap ideologi pembangunan salah satunya muncul dari kaum perempuan dan pemerhati kaum perempuan. Salah satunya adalah yang dilontarkan oleh para peserta yang hadir dalam sebuah seminar yang diadakan pada 15-18 Juni 1975 dengan tema “Wanita dalam Pembangunan” (Women in Development/WID), bertempat di Mexico City. Seminar ini merupakan kritik terhadap Konferensi Dunia Tahun Wanita Internasional PBB (19 Juni – 2 Juli 1975) yang tidak memasukkan isu perempuan dalam pembangunan sebagai salah satu agendanya. Menurut mereka, proyek-proyek pembangunan seringkali meminggirkan dan meremehkan peran penting kaum perempuan di bidang sosial dan ekonomi, sehingga berakibat pada diskriminasi yang makin besar terhadap kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
            Para peserta seminar tersebut berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ala barat telah merugikan kaum perempuan karena:
1.    Gagal memperhatikan peran produktif perempuan yang secara tradisi telah dimainkannya,
2.    Mengukuhkan nilai-nilai dari suatu masyarakat di mana aktivitas perempuan dibatasi di sekitar tugas-tugas rutin rumah tangga, di sekitar mengurus anak,
3.    Merembesnya nilai-nilai barat mengenai pekerjaan apa yang paling cocok untuk perempuan modern di masyarakat yang sedang berkembang.
Sebagai respon atas kritik-kritik di atas, dalam kaitannya dengan peran kaum perempuan dalam pembangunan, muncullah konsep dan program WID (Women in Development) yang diputuskan oleh PBB. Tujuannya adalah kaum perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan itu sendiri, terutama di Dunia Ketiga. Asumsi dasarnya, penyebab keterbelakangan perempuan adalah tidak adanya partisipasi mereka dalam proses pembangunan itu sendiri. Dalam perkembangannya, WID menjadi pendekatan dominan bagi pemecahan masalah perempuan di Dunia Ketiga. Konsep WID ini memusatkan perhatian kepada isu-isu yang langsung berkaitan dengan bagaimana mendorong partisipasi perempuan dalam program pembangunan. Sebagian lagi menekankan pada orientasi kebijakan, dengan menganalisis program pembangunan masa lalu yang cenderung memiskinkan perempuan, dan mencari solusi berupa program, struktur kelembagaan, dan sumber daya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut (Fakih, 1996).
Gagasan WID pun dalam perkembangannya mendapat kritik tajam dari berbagai ilmuwan. Ada yang mengkritik dari segi ekonomi dan teknologi, dari aspek isu diskursus dan pengetahuan/kekuasaan, maupun dari aspek lingkungan (Fakih, 1996). Ester Boserup, misalnya, yang mempertanyakan pandangan asumsi kaum liberal pendukung WID bahwa teknologi membebaskan perempuan. Menurutnya, peningkatan teknologi pertanian justru merendahkan status perempuan, karena menyingkirkan akses perempuan terhadap kerja produktif. Ia juga berpendapat bahwa urbanisasi -sebagai dampak dari modernisasi pembangunan- telah memotong jaringan kesukuan, mengakibatkan makin berkurangnya pekerjaan dalam sektor modern, dan menutup peluang pekerjaan bagi perempuan di sektor modern akibat stereotipe terhadap perempuan. Akibat lanjutannya, perempuan kota dipaksa bekerja di sektor informal, yang pada umumnya perdagangan kecil, dan bahkan pelacuran.
Sedangkan Vandana Shiva (1997) melontarkan kritik tajam bahwa program modernisasi pembangunan berupa Revolusi Hijau dan bioteknologi telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang amat parah dan merugikan kaum perempuan Dunia Ketiga. Menurutnya, Revolusi Hijau bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga merupakan proses dominasi dan kekuasaan budaya yang menggusur ideologi budaya dan politik perempuan Selatan. Menurutnya, Revolusi Hijau adalah bentuk reduksionisme yang berprinsip pada maskulinitas, karena menekankan uniformitas, homogenitas, dan monokultur. Revolusi Hijau menyingkirkan segala bentuk pengetahuan lokal dan mengancam keanekaragaman hayati yang merupakan prinsip feminin. Padahal, kehidupan sebagian besar masyarakat dan kaum perempuan di Dunia Ketiga sepenuhnya tergantung pada kelestarian keanekaragaman tersebut.

Perempuan dan Transformasi Gender
            Berangkat dari kritik di atas, menurut Mansour Fakih (1996), kita harus merenungkan kembali dan menemukan alternatif yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Yang dimaksud dengan transformasi sosial di sini adalah suatu proses penciptaan hubungan yang secara fundamental merupakan sesuatu yang baru dan lebih baik. Hubungan tersebut adalah struktur yang tanpa eksploitasi, struktur politik yang nonrepresif, dan struktur gender yang membebaskan perempuan.
            Perjuangan transformasi sosial di atas juga harus mencakup perjuangan yang disebut transformasi gender. Berbeda dengan WID yang hanya bertujuan untuk mengupayakan persamaan laki-laki dan perempuan, transformasi gender bertujuan untuk membebaskan perempuan dan laki-laki dari segala bentuk penindasan, baik sistem dan struktur yang tidak adil, kelas, warna kulit, maupun ekonomi (Fakih, 1996).
           

Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. (1996). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ihromi, T.O (peny.). (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: YOI.
Shiva, Vandana. (1997). Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India (terjemahan). Jakarta: YOI.

No comments: