17 June 2015

Membongkar Mitos Globalisasi



Mochammad Said


            Globalisasi adalah sebuah istilah yang populer bagi masyarakat kita saat ini. Ia menjadi ungkapan yang menggambarkan proses perubahan dalam mekanisme perekonomian internasional yang semakin mengglobal, di mana strategi perekonomian yang bersifat nasional dianggap semakin tidak relevan. Globalisasi dianggap sebagai suatu proses yang alamiah dan tak dapat terelakkan oleh siapapun.
Namun pertanyaannya, benarkah pengertian di atas, dan apakah memang demikian kenyataannya?
            Kalau kita cermati secara lebih kritis, pengertian globalisasi ekonomi dalam artian yang sebenarnya seperti di atas tidaklah sepenuhnya benar. Mengapa?
Karena ada persoalan-persoalan mendasar dalam apa yang disebut globalisasi, dan inilah yang ingin dibongkar oleh Paul Hirst dan Grahame Thompson (2001) dalam buku Globalization in Question yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini. Hirst dan Thompson mempertanyakan kebenaran dan ketepatan klaim-klaim globalisasi. Bagi mereka, ada lima persoalan mendasar dalam klaim kebenaran globalisasi tersebut.
Pertama, dalam perekonomian internasional masa kini, hubungan yang penting tetaplah hubungan antar negara-negara maju, khususnya anggota OECD. Sedangkan negara-negara yang kurang maju (LDC = less developed country) atau bahkan negara-negara industri baru (NIC = newly industrialized country) masih merupakan bagian yang sangat kecil dari perekonomian internasional. Produsen-produsen utama sedikit banyak sepenuhnya tergantung pada negara-negara yang lebih maju (MDC = more developed country) untuk pasar dan investasinya, dan kedudukannya belum banyak berubah setelah berpuluh-puluh tahun.
            Kedua, perekonomian yang disebut-sebut semakin mengglobal secara radikal pada periode pasca 1970-an, sebagaimana anggapan banyak orang, sebenarnya patut diragukan. Mengapa? Karena perekonomian internasional hampir tidak kalah terintegrasi sebelum 1914 -saat menggunakan sistem kabel telegraf bawah laut- dibandingkan dengan yang ada sekarang -yang menggunakan sistem satelit yang dikendalikan komputer. Selain itu, kebijakan nilai tukar mengambang -sebagai salah satu ciri penting internasionalisasi pasar uang- tidaklah sepenuhnya terjadi. Fakta ini dapat kita cermati pada beberapa mata uang internasional utama, di mana sebenarnya mereka merupakan mata uang ‘yang berada di bawah manajemen’. Kenyataan yang terjadi bukanlah deregulasi, tetapi re-regulasi.
            Ketiga, walaupun terdapat peningkatan volume perdagangan internasional, namun Uni Eropa secara keseluruhan dan blok negara-negara yang lain masih mengekspor dalam jumlah sangat rendah menurut proporsi PDB (Produk Domestik Bruto) mereka secara keseluruhan.
Keempat, jumlah perusahaan internasional berbentuk TNC masih sedikit. Sebagian besar masih berbentuk MNC (Multi National Company), yang mempunyai basis nasionalnya masing-masing, dan secara pasif menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah nasionalnya masing-masing, bukan menggerogotinya. Selain itu, pertumbuhan investasi asing langsung, atau yang disebut dengan FDI (Foreign Direct Investment), dari negara-negara industri maju ke negara-negara Dunia Ketiga, sampai sekarang tetaplah kecil dan tidak sesignifikan yang diperkirakan. Hal ini dikarenakan negara-negara industri maju enggan menginvestasikan dan mengembangkan kegiatan manufaktur intinya ke luar negeri; mereka relatif lebih memilih aman untuk mempertahankan kemampuannya mendapatkan nilai tambah di dalam negerinya masing-masing. Dengan demikian, negara-negara Dunia Ketiga tetap menempati posisi di pinggiran, baik dari sisi investasi maupun perdagangan.
            Kelima, walaupun terdapat perkembangan yang sangat signifikan pasca 1970-an dalam pembentukan blok-blok perdagangan dan ekonomi supra-nasional, hal itu tidak berarti bahwa globalisasi -dalam arti sesungguhnya- benar-benar menggantikan peranan multilateralisme liberal masa kini dan internasionalisasi kegiatan ekonomi selanjutnya. Yang terjadi hanyalah apa yang disebut internasionalisasi perekonomian yang bersifat regional, yang didominasi oleh trilateralisme AS/NAFTA, Uni Eropa, dan Jepang (dengan atau tanpa rekan-rekannya di sekitar Pasifik). Di dalamnya pun masih terdapat negosiasi bilateral antar pelaku utama ini dan pihak-pihak yang lebih kecil, yang disebut dengan istilah ‘minilateralisme’. Kalaupun kenyataan tersebut disebut globalisasi, hal itu tidaklah sesuai dengan tipe ideal dari globalisasi yang sesungguhnya.
Steger (2005) -dengan menganalisis pertarungan wacana globalisasi di Amerika Serikat- mengajukan sebuah kritik bernas dan tajam bahwa sebenarnya globalisasi (yang bermakna positif) adalah konstruksi wacana dari para pemimpin bisnis dan politik untuk menjajakan agenda politik mereka, yaitu menyebarkan ideologi pasar neoliberal. Jadi, pengertian globalisasi itu sendiri tidaklah netral, dan apa yang tampak baik dan positif dari globalisasi tidaklah sepenuhnya benar. Globalisasi juga memiliki dimensi normatif dan ideologis yang merupakan bagian dari proses-proses sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, masihkah kita mengamini kebenaran ‘mitos’ globalisasi?
           
Tatanan Internasional Baru: Mungkinkah?
            Hegemoni globalisasi neoliberal dalam tatanan internasional mendapatkan perlawanan dari para aktivis anti-globalis sayap kiri dan kanan sejak 1990an. Mereka membangun wacana kontra-hegemonik yang diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk mengakhiri dukungan diam-diam atau terbuka mereka terhadap rezim globalisasi neoliberal (Steger, 2005).
            Perlawanan demi perlawanan yang dilancarkan oleh para penentang globalisasi neoliberal bertujuan utama untuk mendesakkan apa yang disebut dengan reformasi global menuju “kesepakatan global yang baru” yakni tata ekonomi internasional yang demokratis dan egaliter (Steger, 2005). Dan salah satu langkah penting untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan menentang dan merevisi naskah mengenai globalisasi yang ada saat ini untuk memangkas dominasi gagasan-gagasan neoliberal di dalamnya, dan menggantinya dengan rumusan etika ekonomi dan politik global yang lebih demokratis. Memang bukan tugas yang mudah dan sederhana, namun harus senantiasa diupayakan, bukan?


Daftar Pustaka
Hirst, Paul & Thompson, Grahame. (2001). Globalisasi Adalah Mitos (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Steger, Manfred B. (2005). Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar (terjemahan). Yogyakarta: Lafadl Pustaka.